Rina Mahfuzah Nst
Saat berhadapan dengannya, kesan pendiam lebih menonjol dalam diri lelaki yang bekerja sebagai PNS di Pemkab Deli Serdang ini. Sebaliknya, dia tidak pernah diam dengan kreatifitas dan karya-karyanya.
Baginya, pekerjaaan, kehidupan berumah tangga dan persoalan kehidupan lainnya, tidak menghalangi semangat menulis yang tetap terus bersemi di dalam hatinya. Selain menulis untuk dipublikasikan di media cetak, lelaki penyuka traveling, musik, film dan olahraga catur ini, juga rajin menulis di Blog dan mengikuti kegiatan-kegiatan lomba menulis di Blog.
Di sela-sela kesibukannya menyusun Tesis di Pasca Sarjana UMN Medan, Idris menulis novel, skrip film dan sinetron. Idris juga menulis lagu, bermain musik dan hobi fotografi. Bibit menulis sudah terlihat dalam diri lelaki kelahiran Medan, 2 Januari 1968 ini sejak masih di sekolah dasar. Bungsu dari tujuh bersaudara ini, selalu mendapatkan nilai pelajaran mengarang paling tinggi dari teman-temannya yang lain.
Kegembiraan sebagai seorang penulis mulai dirasakan Idris, ketika cerpen pertamanya dimuat di majalah HAI tahun 1986. Betapa senangnya dia kala itu. Honor yang dia dapatkan tidak disia-siakan. Idris membeli sepasang baju dan celana. Setiapkali dia memakainya, dia merasa kepercayaan dirinya bertambah.
Seolah ingin berkata, baju dan celana ini hasil dari menulis. Begitu juga saat masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum USU Medan. Idris bersama teman sekampus bernama Jenny. G menulis naskah fragmen penyuluhan hukum, shooting di TVRI Medan. Idris merasa senang bisa melakukan hal seperti itu.
Sejak itu, Idris menancapkan keinginan untuk terus menulis. Melepaskan berbagai ide yang menyesaki kepala, pikiran maupun hatinya. Dia mengagumi Arswendo Atmowiloto, lewat bukunya ‘cara gampang menulis cerpen’. Sedikit banyak telah memotivasinya untuk lebih giat lagi menulis. Idris juga menyukai Seno Gumira Ajidarma, dengan teknik bercerita yang mewarnai cerpen-cerpennya.
Dalam berkarya Idris tidak membatasi tema tulisannya. Dia menulis tema Anak-anak, remaja, politik, sastra, budaya dan lain lain. Sejumlah karyanya pernah dimuat di Majalah Dewan Sastera Malaysia, Majalah Bahana Brunei Darussalam, Majalah Annida, Analisa, Harian Bisnis Indonesia, Suara Pembaruan, Sumatra, Taruna Baru, SIB, Koran Tempo, Waspada, Garuda Minggu, Medan Bisnis, Global, Swadesi, Sinar Pagi, Persada, Bukit Barisan, Mimbar Umum, Radio Jepang NHK, Radio Jerman DW, dan lainlain.
Bersama rekan sesama penulis, Lely Zailani, Idris menulis buku bertajuk Merajut Bersama. Buku ini diterbitkan HAPSARI dengan dukungan HIVOS Jakarta Tahun 2008. Di samping itu sejumlah puisi dan cerpennya telah terangkum dalam berbagai Antologi Puisi bersama maupun tungggal.
Dalam perkembangan karir menulisnya di berbagai media, Idris tidak melupakan beberapa tokoh yang telah memberikan nasehat dan dorongan buatnya dalam berkarya. Sebut saja almarhum Wildan Nasution, redaktur harian Garuda Minggu. Beberapa tokoh lainnya, Idris Pasaribu, YS Rat, Adi Mujabir, Sulaiman Sambas, Harta Pinem, Bersihar Lubis dan Ristata S, ketika masih aktif berdiskusi di TBSU.
Untuk menunjang ide-ide sekaligus menambah wawasan, Idris kerap mengunjungi perpustakaan dan beberapa toko buku di Medan. Ketika menulis, dia ingin tumbuh dalam kewajaran semata. Menulis, menjadi jembatan pentransformasian gagasan yang ada dengan kondisi yang terjadi dalam kehidupan nyata kepada para pembaca. Menulis tidak lagi sekedar mendapatkan honor atau nama, melainkan tanggung jawab sebagai seorang manusia yang dianugerahi Allah SWT talenta atau keterampilan menulis.
Untuk itu ayah empat anak lelaki ini, terus mengasah keterampilannya dengan terus belajar, banyak membaca buku-buku dan latihan terus menerus. Sebenarnya sudah lama Idris mendambakan adanya sebuah wadah di Sumatera Utara yang representatif, memberikan apresiasi tahunan kepada penulis kreatif atau penulis berbakat di Sumatera Utara, seperti anugerah Sagang di Riau.
“Seni khususnya sastra tetap memberikan warna dalam kehidupan ini, walaupun masih saja penghargaan untuk sastra belum begitu maksimal. Bandingkan saja dengan sebuah kuis di salah satu televisi. Dengan sekedar menjawab pertanyaan atau melakukan sesuatu bisa memperoleh hadiah uang 2 sampai 3 juta. rupiah.
Bahkan jika beruntung bisa membawa mobil mewah. Beberapa organisasi seni memang sudah mencoba untuk membangun penghargaan kepada para penulis melalui lomba lomba dengan hadiah yang cukup significan tetapi sifatnya masih insidentil,” ujarnya.
“Menulis berbeda dengan main film, di mana pemerannya bisa dilihat para penonton. Terkadang pembaca tidak merasa penting untuk mengetahui bagaimana sosok seorang penulis yang dibaca karyanya. Belakangan ini memang ada trend tulisan dilengkapi dengan wajah penulisnya. Begitu juga dengan buku buku yang kerap memuat wajah si penulis. Tidak ada korelasi wajah seorang penulis dengan hasil tulisannya,” lanjutnya.
Dari keterampilannya menulis, sejumlah prestasi menulis telah diperolehnya antara lain:
Juara II Lomba Karya Tulis yang diselenggarakan BP-7 Kota Medan Tahun 1995. Juara II Lomba Menulis Pusi yang diselenggarakan Studio Seni Indonesia Medan 1995. Juara Lomba Cipta Cerpen yang diselenggarakan LKK Unimed 1995. Juara III Lomba Karya Tulis yang diselenggarakan KNPI Deli Serdang 199. Juara II Lomba Karya Tulis yang diselenggarakan Pemprovsu Tahun 2000. Pemenang Harapan Krakatau Award (Puisi) Tahun 2000. Pemenang Harapan Lomba Menulis Puisi yang diselenggarakan INTI Jakarta Tahun 2007. Pemenang Harapan Lomba Menulis di Blog yang diselenggarakan BNI Tahun 2009.
Kalau ingat perjuangannya ketika mengandalkan mesin tik, sangat memerlukan konsentrasi agar tidak salah mengetik. Idris merasa perkembangan teknologi yang ada di zaman sekarang, sangat mendukungnya dalam mengembangkan karya. Dengan adanya media blog dan facebook, Idris merasa dapat lebih mengembangkan, menyalurkan dan mempromosikan karya-karyanya. Bahkan dengan kemampuan berbahasa asing seperti bahasa Inggeris, menurutnya seorang penulis bisa menyalurkan karya atau mengikuti kegiatan writing contest melalui internet.
Menulis memang bukan merupakan cita-cita lelaki penyuka nasi goreng dan kopi susu ini. Idris juga tidak ingin berhenti dari kegiatan menulis. Dia merasa harus mensinergikan antara pekerjaan dengan kegiatan menulis yang sudah ditekuninya sejak lama.
Dia justru menyayangkan beberapa teman, harus berhenti menulis sama sekali ketika memiliki profesi di dalam kehidupan yang dijalankannya. Menurutnya, dia bercita cita menjadi orang yang berguna saja dan mampu memberikan meskipun setitik manfaat bagi orang lain. Menulis atau berkarya dan berkerja merupakan sarananya untuk mewujudkan hal itu.
Tuesday, 12 October 2010
Saturday, 9 October 2010
Teroris
Teroris,
siapa?
Aku
kamu
atau kita?
Teroris,
berapa?
satu
kelompok
atau semua?
Teroris,
yang mana?
meresahkan
mengganggu
atau menghancurkan?
Ah, tak usah diperpanjang
kita sudah sama-sama tahu
tetapi mengapa harus diobral
untuk saling menghancurkan?
Tuhan berkata,
"setiap manusia telah kutitipkan
satu teroris di sisi kirinya!"
maka,
teroris akan tetap ada
sampai manusia binasa!
siapa?
Aku
kamu
atau kita?
Teroris,
berapa?
satu
kelompok
atau semua?
Teroris,
yang mana?
meresahkan
mengganggu
atau menghancurkan?
Ah, tak usah diperpanjang
kita sudah sama-sama tahu
tetapi mengapa harus diobral
untuk saling menghancurkan?
Tuhan berkata,
"setiap manusia telah kutitipkan
satu teroris di sisi kirinya!"
maka,
teroris akan tetap ada
sampai manusia binasa!
Friday, 8 October 2010
Tuhan ataukah pemimpin?
TUHAN ATAU PEMIMPIN
PEMIMPIN ATAU TUHAN
TUHAN
TUHAN
TUHAN
ADAKAH....?
PEMIMPIN
PEMIMPIN
PEMIMPIN
ADAKAH
satu sisi kita selalu saja patuh pada pemimpin
mengabaikan tuhan
satu sisi kita selalu saja patuh pada tuhan
mengabaikan pemimpin
suatu saat kita berfikir
tuhan tidak pernah melarang kita patuh
pada pemimpin
suatu saat pemimpin selalu saja melarang kita patuh
pada tuhan
siapa yang mencuci otak kita
Tuhan ataukah pemimpin?
dimana sebenarnya kita berdiri?
PEMIMPIN ATAU TUHAN
TUHAN
TUHAN
TUHAN
ADAKAH....?
PEMIMPIN
PEMIMPIN
PEMIMPIN
ADAKAH
satu sisi kita selalu saja patuh pada pemimpin
mengabaikan tuhan
satu sisi kita selalu saja patuh pada tuhan
mengabaikan pemimpin
suatu saat kita berfikir
tuhan tidak pernah melarang kita patuh
pada pemimpin
suatu saat pemimpin selalu saja melarang kita patuh
pada tuhan
siapa yang mencuci otak kita
Tuhan ataukah pemimpin?
dimana sebenarnya kita berdiri?
Monday, 4 October 2010
Menulis
KATA
Subagyo Sastrowardoyo
Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa
“Didiklah anak-anakmu untuk masa yang bukan masamu”Ungkapan di atas tidak kurang dari 13 abad yang lalu disampaikan Ali Bin Abi Thalib R.A. bahwa masa-masa kita mengenyam pendidikan dulu tidak sama dengan pendidikan masa sekarang dan di masa yang akan datang. Barangkali kata-kata ini diadaptasi oleh para pengambil kebijakan pendidikan ditingkat elit sehingga timbul pergantian dan pengembangan kurikulum. Saya mencatat tidak kurang dari delapan kali kurikulum pendidikan kita berubah-ubah, yakni kurikulum 1947, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan kurikulum 2006 yang kita kenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan alasan mutu, relevansi, efisiensi, dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
GURU yang menjadikan tradisi tulis-menulis sebagai kegiatan sehari-hari mungkin sama langkanya dengan tradisi membaca yang juga rendah. Dapat diperkirakan, ini tak lepas dari budaya baca-tulis kita yang memang buruk.
Suasana sekolah-sekolah kita berbeda jauh dari sekolah-sekolah di negara-negara Asia tetangga kita, bahkan dengan Vietnam yang baru merdeka dan belum sedekade bergabung dengan ASEAN.
Pula berbeda dari universitas maupun sentra-sentra pengkajian ilmu zaman dulu yang digambarkan penuh pemandangan orang menenteng buku, berdiskusi, berorasi, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya.
Sekolah dan universitas masa kini diwarnai berita tawuran antarpelajar/mahasiswa, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, video porno, tuntutan guru untuk diangkat menjadi pegawai negeri, kenaikan honor, serta Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang monoton dan membosankan.
Menulis adalah kegiatan yang memang seharusnya dilakukan para guru. Selain untuk mendokumentasikan kegiatan pribadinya sebagai agen perubahan, menulis juga dalam rangka mempertanggungjawabkan pengajarannya yang mesti diselaraskan dengan kurikulum.
Administrasi yang diisi guru di antaranya absensi murid, daftar nilai, leger (kumpulan nilai selama semester yang bersangkutan), rencana pelaksanaan pembelajaran, selain administrasi tambahan yang digariskan sekolah tempatnya mengajar.
Pengembangan Keilmuan
Kegiatan menulis (dan membaca) pulalah yang memungkinkan terjadinya pengembangan keilmuan. Meski Einstein, misalnya, ketika duduk di bangku sekolah dasar disebut gurunya sebagai ”Herr Langweil” (Si Bodoh), komitmennya terhadap pengembangan ilmu dan potensi diri menjadikannya melahap habis sebuah buku geometri yang diberikan oleh seorang teman ayahnya (Suranto Adi Wirawan, Aku Tahu Tahu: Gemar Membaca, 2009).
Kerajinannya belajar (Jawa: niteni), membuatnya mengadakan dokumentasi—berupa tulisan—atas pengetahuan yang diperolehnya dari kegiatan membaca hingga menemukan teori relativitas yang terkenal itu dan dunia pun mengenangnya sebagai Bapak Sains Modern.
Atau Isaac Newton, yang ketika duduk-duduk santai di bawah pohon apel dan kejatuhan buahnya menemukan teori gravitasi bumi, kemudian didokumentasikannya menjadi buku Philosophie Naturalis Principia Mathematica yang dianggap sebagai karya ilmiah terbaik sepanjang masa (Suranto Adi Wirawan, Aku Tahu: Orang-orang Besar, 2009)
Apa yang terjadi bila orang-orang cerdas ini tak mencatat temuannya? Apa jadinya kalau seorang guru tak pernah mendokumentasikan kegiatan sehari-hari serta pengajarannya untuk murid-murid?
Akankah kita mendapat murid berprestasi jika guru tak mampu mencatat apa-apa yang dibutuhkan murid agar berprestasi? Tentu saja kebutuhan para pelajar lebih diketahui gurunya ketimbang oleh para penulis yang khusus dikontrak penerbit buku.
Pantas saja, guru yang menjadi penulis (buku) dapat dihitung dengan jari. Memang, memadamkan lampu lebih mudah ketimbang menyalakan sebatang lilin.
Kata siapa menulis itu sulit?
Dan siapa yang bilang menulis itu mudah?
Bila Anda menemui permasalahan atas pertanyaan tersebut di atas, simaklah tulisan ini. Bagi Anda yang berprofesi menjadi guru tentu hal ini akan menjadi semakin berguna karena setiap hari Anda bergumul dengan dunia tulis menulis. Kuncinya terletak pada kebiasaan. Kebiasaan bagi seorang petani yang terbiasa mencangkul di sawah akan lebih mudah mencangkul daripada orang yang pakai dasi di kantoran yang kerjanya di belakang meja. Seorang nelayan akan mudah menebar dan membuat jala dibandingkan dengan pekerjaan lain, karena itu memang kebiasaannya. Dulu saya terbiasa ikut bapak ke laut mencari ikan di laut, maka saya terbiasa dengan kehidupan laut. Tapi lambat laun kebiasaan itu hilang ketika saya tidak membiasakan diri ke laut.
• Teruslah berlatih menulis. Jangan pernah berhenti menulis. Sebab menulis itu seperti menyetir mobil. Semakin tinggi jam terbang Anda, maka keahlian Anda pun insya Allah semakin baik.
• Rajin-rajinlah membaca buku-buku yang berkualitas. Jika tubuh kita diibaratkan “pabrik penulis”, maka inputnya – antara lain adalah bacaan, dan outputnya (atau produk yang dihasilkan) adalah tulisan. Dengan demikian, kegiatan membaca bagi seorang penulis sangat penting. Tulisan kita akan banyak diwarnai oleh jenis bacaan yang kita lahap. Bila Anda rajin membaca teenlit, maka Anda akan menjadi seorang penulis teenlit. Bila Anda rajin membaca opini di surat kabar, maka Anda akan menjadi seorang penulis opini. Demikian seterusnya.
Tulisan yang berkualitas, pastilah didahului dulu dengan proses membaca. Tak ada tulisan berkualitas yang langsung mengalir begitu saja bila anda tak membiasakan diri dalam membaca dan menulis. Pada intinya bahwa menulis itu menyenangkan, menulis itu mengasyikkan, menulis itu membebaskan, menulis itu menata pikiran.
1. menulis sebelum tidur
2. menulis catatan harian
3. jangan pernah menunda menulis
4. jangan pernah berhenti menulis
5. menulis itu berjuang
Tak usah dari yang njelimet-njelimet dulu. Menulislah dari hal-hal sederhana; hal-hal yang sering kita alami, pengalaman sendiri, teman-teman, hasil menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang berkeluh-kesah kepada kita, atau fenomena yang tengah terjadi di sekitar kita.
Ada beberapa strategi penting menembus media mulai dari cara nonteknis seperti, banyak membaca, kenali karakteristik media, kenali pembaca sampai pada cara teknis penulisan yang pada intinya tidak mempersulit tugas redaktur. “Permudah tugas redaktur” ungkapnya menjelang akhir penyampaian materi.
Menulis resensi atau kritik buku sebenarnya nggak sulit. Kalau mau,
kamu juga bisa. Nah, berikut ini ada beberapa tips agar kamu piawai
menulis resensi.
* Tulisan resensi yang menggambarkan sinopsis harus sesuai dengan isi
buku. Banyak peserta yang terdaftar dalam kompetisi ini ternyata kurang
memahami isi buku sehingga sinopsis mereka berbeda dengan isi buku.
* Ketajaman analisa. Setelah memahami isi buku, kamu harus bisa menilai
apakah isi buku bermanfaat atau tidak ? Jika memang bagus, beri
penjelasan di mana letak sisi bagus itu. Begitu pun sebaliknya. Di samping
itu, kamu harus pula menguasai pengetahuan lain sebagai bahan pembanding
isi buku yang hendak kamu kritisi itu, termasuk di dalamnya menyikapi
masalah yang ditampilkan buku tersebut.
Asal kamu tahu, prosentase terbesar kriteria penilaian ada pada
ketajaman analisa. Di sini, kamu harus bisa mengaitkan masalah lain yang ada
dengan masalah yang diangkat buku itu. Dari sini, gagasan kamu dan isi
buku mengenai masalah yang sama, bisa bertemu. Tentu saja kamu bisa
mengungkapkan ketidaksetujuan atas gagasan penulis buku yang bersangkutan.
Pada saat yang sama, kamu juga harus menawarkan argumen untuk mendukung
pendapatmu.
* Gunakan bahasa yang terstruktur, lugas, dan jelas sehingga memudahkan
pembaca memahami maksud kamu. Melalui bahasa semacam itu, kamu bisa
menulis ulang isi atau materi yang terkandung dalam buku, kemudian
mengkritisi isinya jika ada yang dinilai kurang tepat. Selain itu, penulis
resensi juga harus memiliki kemampuan memahami isi buku secara benar.
* Terakhir, hindari penggunaan kalimat yang panjang dan bertele-tele.
Kalimat panjang bisa mengaburkan pesan yang akan disampaikan. Jangan
lupa, pilih kata-kata yang tepat untuk merangkai tulisan resensimu. Dengan
cara ini, niscaya pembaca akan gampang memahami maksud kamu. Tidak
sulit, kan? Oke deh, selamat mencoba.
KIAT PENULISAN LAKON
Untuk menyusun naskah lakon, yang diperlukan mula-mula adalah gagasan. Tidak semua hasrat atau keinginan adalah sebuah gagasan. Gagasan atau ide dalam menulis lakon, adalah hasil perenungan dan pemikiran.. Dalam hubungan dengan kerja kreatif, gagasan atau ide adalah apa yang biasa disebut “inspirasi”.
Kita hindari istilah inspirasi atau ilham untuk sementara, karena apa yang disebut ilham sering dihubung-hubungkan dengan karunia Tuhan. Akibatnya banyak orang terkecoh lalu hanya menunggu untuk mendapatkannya. Padahal semua yang ada di dunia ini adalah karunia Tuhan. Yang disebutkan dengan gagasan di sini adalah hasil perenungan, hasil pemikiran, hasil kontemplasi. Bahkan mungkin hasil diskusi dan rembugan-rembugan, baik dengan diri sendiri, denganm orang lain atau pemahaman kebenaran yang lain.
Di dalam gagasan ada sesuatu yang baru, yang berbeda, yang lain dari yang sudah ada dikenal. Itulah yang menyebabkan seorang penulis lakon perlu melahirkan, mendeklarasikannya, agar dikenal oleh orang lain. Apakah gagasannya bagus dan berguna atau sebaliknya, sangat tergantung pada benturannya dengan sekitar setelah lahir sebagai lakon.
Jadi gagasan, walau pun merupakan cakal-bakal, tetapi yang kemudian menentukan adalah pengembaraannya sebagai naskah. Untuk itu diperlukan ketrampilan untuk mewujudkan gagasan itu menjadi lakon yang baik. Lakon yang baik, bukan saja gagasannya bagus, tetapi juga memenuhi persyaratan sebagai sebuah lakon, yakni punya daya pukau sebagai tontonan.
Tema adalah wilayah yang menunjuk, sudut kehidupan yang mana yang akan digarap. Ke dalam tema yang menjadi flatform dari naskah itu kemudian dipancangkan gagasan yang merupakan hasil pemikiran penulisnya. Lalu dicari batang tubuhnya berupa cerita.
Cerita tidak selamanya berjalan lurus, runtun. Dapat acak, sama sekali tanpa aturan atau kacau, sehingga nyaris bukan cerita tetapi hanya suasana-suasana. Cerita yang bertutur membuat lakon menjadi potret atau representasi kehidupan. Yang tidak bertutur, adalah pemikiran, sikap dan rumusan-rumusan yang mengandung nilai-nilai yang dipakai dalam menghadapi fenomena-fenomena kehidupan yang baru.
Dalam membangun cerita akan muncul berbagai kebutuhan terhadap: waktu, tempat, tokoh-tokoh, kemudian alur, plot, konflik dan sebagainya. Juga akan timbul masalah-masalah teknis yang mungkin akan dijumpai dalam pelaksanaannya, sehingga penulis mesti memikirkan jalan keluarnya. Sedangkan untuk rumusan-rumusan nilai yang diperlukan adalah statemen-statemen tajam yang menggugah yang sering berbau pemberontakan dan pembaruan, agar lebih menggigit.
Terakhir adalah pesan moral. Muatan apa yang mau disampaikan oleh penulis, baik secara langsung maupun tak langsung. Watak, idiologi, pandangan hidup, filosofi penulis naskah dapat dibaca dari isi pesan moral dan cara menyampaikannya. Naskah yang tak memiliki pesan moral pun adalah sebuah pesan moral.
Seperti dalam proses pembuatan bangunan, penulis adalah seorang arsitek sekaligus pemborong proyek. Ia berpikir tentang konstruksi bagaimana membuat sesuatu yang kuat dan indah. Ia memikirkan dengan cermat wujud naskah itu.
Bila gagasannya memerlukan wadah besar yang spektakuler, berarti naskah itu akan terdiri dari banyak babak sehingga durasinya sampai beberapa jam. Atau sudah cukup satu babak, sekitar satu jam, sehingga padat dan tajam. Di sini seorang penulis menentukan strategi dan konsepnya.
Konsep adalah strategi untuk menerapkan gagasan. Inilah pergulatan yang sebenarnya bagi setiap penulis lakon: bagaimana memindahkan gagasannya menjadi sebuah tontonan. Untuk itu ia harus memahami benar seluk-beluk seni pertunjukan. Ia perlu menguasai teknik-teknik penulisan, sehingga ia bebas untuk menuangkan gagasannya. Ia tidak terhalang oleh persoalan-persoalan teknis, sehingga konsentrasinya pada usaha menuangkan ide tidak terhambat.
Di dalam menuangkan gagasan menjadi lakon juga diperlukan “gagasan-gagasan”. Jadi bukan hanya isi, kemasan lakon pun harus memberikan “gigitan”. Bentuk, struktur, cara menyampaikan pesan, bahasa, gaya, jenis tontonan yang hendak dicapai, semua itu bukan hanya sekedar alat, tetapi bisa menjadi isi itu sendiri. Bahkan pesan yang klise dan sangat sederhana, tentang pengorbanan, misalnya, bisa menjadi baru karena cara menyampaikannya berbeda dari apa yang biasa dilakukan.
Naskah yang menggigit baik isi maupun kemasannya disebut “berdarah” atau “memiliki daya tendang”. Artinya lakon itu tidak hanya sekedar bualan kosong. Bukan semata-mata memukau karena pasang surut ceritanya. Tetapi karena mengandung sesuatu yang benar-benar penting, jitu atau baru. Pengemasan yang pas, tajam atau unik membuat naskah itu punya nilai lebih. Unsur pembaruan menyebabkan isinya yang sebenarnya biasa, bisa menjadi luar biasa.
Mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, umumnya dicapai dengan melakukan penggalian dan pendalaman. Persoalan cinta biasa antara dua remaja, bila digali lebih mendalam lagi, dimunculkan kompleksitasnya, tiba-tiba menyeruak menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Cerita Romeo Dan Juliet karya Shakespearre , misalnya, bukan hanya masalah percintaan tetapi menampilkan masalah-masalah mendasar kemanusiaan.
Cara lain adalah dengan menukar sudut pandang. Sebuah pembunuhan dalam negara hukum akan berakhir dengan terhukumnya pembunuhnya. Tetapi dengan menggeser sudut pandang, pembunuh itu bukan dipenjarakan, tapi malah dinobatkan menjadi pahlawan. Kenapa? Sebab pembunuh itu sudah berhasil menggoyang hukum yang tidur untuk beringas dan aktip kembali menegakkan keadilan.
Sudut pandang adalah bagian penting di dalam apa yang semula kita sebut gagasan. Diperlukan keberanian dan juga kejujuran untuk memandang sesuatu keluar dari kebiasaan umum. Tujuannya bukan hanya sekedar keluar, bukan hanya untuk berbeda, tetapi karena ada keyakinan, bahwa dengan mampu melihat dari sudut pandang yang lain, kebenaran lebih terburai atau muncrat.
Bila sebuah lakon tak hanya menghibur, tak hanya menarik, tapi dapat membawa penonton pada kebenaran yang lain, dia menjadi penting. Naskah tidak hanya akan menjadi sebuah persiapan untuk sebuah pementasan, tetapi pengetahuan dan pencapaian kultural. Sebagaimana yang terjadi pada “Waiting For Godot”. Karya Samule Beckett yang memenangkan hadiah nobel itu adalah sebuah penemuan yang fenomenal. Beckett mencatat bahwa di samping lahir dan mati, pada hakekatnya semua manusia adalah menunggu.
Gagasan yang bagus dapat hancur berantakan apabila tidak terkemas dengan baik. Karena itu sebelum menulis lakon, seseorang harus mengenal dulu teknik penulisan lakon. Umumnya pengemasan lakon memerlukan beberapa unsur yang membuat hasilnya pas sebagai tontonan. Karena untuk itulah lakon dibuat. Lakon yang ditulis hanya untuk dibaca biasa disebut drama “kloset”.
Sebagai tontonan, lakon harus memikat. Cerita akan memikat kalau memiliki plot. Plot akan memukau bila mengandung empathi. Empathi akan menjadi sempurna kalau dibumbui dengan ketegangan, konflik dan humor. Ada juga yang menyelipkan kritik-kritik sosial, konteks dari lingkungannya, sehingga lakon menjadi membumi dan memiliki komitmen sosial.
Naskah lakon dibuat untuk kemudian dipentaskan sebagai pertunjukan. Kemungkinan-kemungkinan tontonan yang ada di dalam naskah itu menjadi penting. Kemungkinan tersebut ada yang sudah dicantumkan secara tertulis oleh penulisnya, tapi ada juga yang lahir akibat persentuhan dengan sutradara dan pemain. Semakin banyak kandungan kemungkinan yang ada dalam sebuah naskah, membuat naskah itu semakin kaya.
Sebuah naskah lakon yang kaya memberikan kesempatan kepada sutradara, pemain serta penata artistik mengembangkan lakon itu sehingga ia menjadi seperti tambang emas yang tak habis-habisnya digali. Di dalamnya juga termasuk ruang-ruang yang diberikan kepada penonton. Naskah yang bagus akan membuat penonton tak hanya penikmat yang pasif. Penonton akan hidup dan ikut mencipta di dalam imajinasinya, sehingga pertunjukan benar-benar merupakan sebuah dialog gencar antara tontonan dengan penonton sehingga menciptakan pengalaman spiritual.
Sebuah naskah lakon yang baik akan menciptakan pengalaman batin yang membuat penonton mengalami ekstase. Naskah yang kuat memberikan rangsangan kreatif pada semua yang terlibat di dalam pementasan. Baik naskah standar yang konvensional atau naskah kontemporer yang multi iterpretasi, kalau ia berdarah, mengandung kekayaan sebagai seni pertunjukan, ia tidak akan bersifat temporer, tetapi abadi. Naskah lakon yang baik tetap berdarah di segala zaman dalam konteks dan referensi yang berbeda-beda. Setiap kali dipentaskan ia akan mentransformasikan dirinya menjadi aktual dan baru.
II.CATATAN DARI LAPANGAN
Berikut catatan dapur saya di lapangan untuk perbandingan:
Saya menulis lakon sejak saya masih SMA. Tetapi lakon-lakon itu masih merupakan ,ide-ide mentah yang belum disentuhkan dengan pengalaman lapangan. Naskah-naskah yang saya tulis adalah drama kloset. Drama yang hanya untuk dibaca, miskin dari kemungkinan pemanggungan.
Setelah saya mulai main drama (Badak:Anton Chekov, Barabah:Motinggo Boesye dan Selamat Jalan Anak Kufur:Utuy Tatang Sontany, Pelacur:Sartre), baru saya memahami hubungan naskah dengan pementasan, memahami hubungan naskah dengan penonton. Sejak itu saya mulai menulis naskah di Jogja tidak lagi untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Dalam periode itu saya menulis Bila Malam Bertambah Malam, Dalam Cahaya Bulan (1964). Kemudian Lautan Bernyanyi (1967), Tak Sampai Tiga Bulan (1965), Orang-Orang Malam (1966). Semuanya ditulis dan kemudian saya mainkan.
Pada tahun 1966, ketika membuat parade drama di gedung BTN Jogja, saya melakukan monolog spontan berjudul Matahari Yang Terakhir. Berlangsung bagus. Sesudah main baru naskahnya dituliskan. Menjadi lebih jelas lagi bahwa lakon ditulis bukan untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Kini saya sering memainkan monolog lebih dahulu dan sesudahnya baru ditulis. Misalnya Merdeka dan Zmar.
Setelah menulis naskah untuk kebutuhan pementasan, saya ikut pementasan Waiting For Godot (1969) Bengkel Teater, bermain sebagai Pozzo. Terpengaruh oleh naskah itu, antara tahun 1971 s/d 1980 saya mulai menulis naskah untuk berekspresi. (Aduh, Edan, Anu, Dag-Dig-Dug, Hum-PimPah). Kecuali Dag-Dig-Dug, semuanya juga saya mainkan dengan Teater Mandiri di Jakarta.
Pada tahun 1975 dan 1976 saya membuat pementasan tanpa memakai naskah (Lho, Entah, Nol). Tidak ada cerita. Yang ada hanya suasana dan gambar-gambar. Pementasan Lho yang dipersiapkan selama 4 bulan, sangat visual, mengagetkan penonton dan mendapat sambutan bagus sekali. Pengunjung sampai membludak selama 3 hari di Teater Arena TIM. Tetapi pementasan selanjutnya penonton menipis dan akhirnya sangat kurang waktu NOL. Waktu itu saya menyimpulkan yang dibutuhkan oleh penonton adalah cerita. Saya kembali kepada kata-kata.
Setelah itu saya kembali membuat naskah yang penuh kata-kata untuk pementasan (Dor, Blong, Awas, Los, Gerr, Zat, Tai, Front, Awas, Aib, Wah). Di dalamnya ada cerita, karakter dan konflik. Tetapi saya tidak berkiblat kepada realisme. Teater saya cenderung menjadi teater seni rupa.
Pada 1985 – 1988, saya berada di Amerika dan membuat naskah, hanya untuk membuat naskah (Aeng, Aut, Jreng-Jreng-Jreng, Bah, Hah). Naskah-naskah itu sampai sekarang belum pernah saya pentaskan.
Pada 1991 s/d 2003 saya sama sekali tidak membuat naskah dan hanya melakukan pementasan-pementasan (Wesleyan, New York, Cal Art, Seatle, Brunai Darusssalam, Tokyo, Hong Kong, Taipeh, Singapura, Kyoto, Hamburg, Cairo) tanpa naskah (Yel, Yel II, Bor, The Coffin is too Bif for The Hole, War, Zoom, Zero). Saya membuat sekumpulan monolog yang terhimpun dalam buku DAR-DER-DOR.
Sejak 2003 saya mulai lagi menulis dan memainkan monolog (Kemerdekaan, Demokrasi, Mulut, Merdeka, Memek, Perempuan, Pahlawan, Surat Kepada Zetan, Zmar) selanjutnya sejak 2004 saya kembali menulis lakon untuk pementasan (Jangan Menangis Indonesia, Zetan, TVRI). Dalam perjalanan saya sebagai penulis, gagasan yang ada dalam setiap naskah terlahir didorong oleh beberapa kebutuhan. Pertama kebutuhan untuk memiliki naskah sendiri. Dengan naskah sendiri kebebasan mengembangkan tontonan akan lebih leluasa. Di samping itu selesai pementasan, hasilnya akan tetap ada berupa naskah. Jadi sekali kerja dua hal tercapai.
Kebutuhan lain yang mendorong adalah hasrat untuk berekspresi, berdialog dengan penonton, memberikan kesaksian-kesaksian yang personal tentang kejadian di sekitar. Saya merasa punya sudut pandang yang lain dengan umumnya pandangan di sekitar. Tak ada maksud untuk memenangkan pandangan sendiri, hanya ingin berbagi, mengutarakan kepada masyarakat bahwa perbedaan itu harmoni yang dinamis.
Yang juga mewarnai gagasan itu adalah kompromi terhadap kondisi pemain, keadaan sarana serta keterbatasan biaya produksi yang semuanya kemudian membentuk sikap dasar saya dan Teater Mandiri (berdiri tahun 1971 di Jakarta) untuk berkiblat pada : Bertolak Dari Yang Ada. Yakni usaha untuk memanipulasi kekurangan menjadi kekuatan dengan mengoptimalkan apa yang dimiliki. Dengan cara itu tak ada yang tak mungkin dalam setiap produksi.
Pemain-pemain saya sebenarnya bukan pemain tapi orang-orang biasa. Mereka bukan aktor. Ada tukang sapu dan maling kecil yang tak bisa membaca. Orang cacad. Ibu rumah tangga. Bahkan pernah suami-sitri pemulung ikut dalam produksi ( Kasan dan Kamisah dalam lakon Anu, 1974) Keterlibatannya pada teater hanya karena senang. Keterbatasan mereka yang juga membatasi produksi, saya balikkan menjadi kekuatan, sejak dari pembuatan naskah. Naskah saya buat sesuai dengan potensi mereka.
Saya sangat terganggu dengan tidak adanya desiplin dan komitmen dalam berlatih. Para pemain jarang datang lengkap dan selalu merepotkan jadwal. Akhirnya saya menulis naskah yang membuat pemain sekali masuk ke dalam adegan, untuk seterusnya tidak bisa keluar sampai lakon berakhir. Ini yang membuat saya sampai ke naskah-naskah yang mengetengahkan kelompok manusia sebagai sebuah karakter. Struktur itulah yang menjadi formula semua naskah yang saya buat sampai 1989.
Pesan moral yang saya pegang dalam setiap pembuatan naskah adalah usaha untuk melakukan “teror mental”. Upaya untuk mengganggu, membangunkan, mengingat, membimbangkan, menggoda, menteror batin penonton. Tujuannya agar penonton terbangun, tergugah dan berpikir lagi setelan mendusin dari tidurnya.
Saya lihat akibat berbagai macam bentuk penjajahan (politik, ekonomi, sosial, budaya), banyak orang setelah membuat keputusan tidak mau berpikir lagi. Banyak orang karena dibius oleh sesuatu yang dahysat ( idiologi, paham, agama, kecendrungan, pendapat, ilmu) mengunci dirinya dalam satu kesimpulan yang membuat ia seperti mati dalam kehidupan. Banyak manusia menjadi mummi. Saya ingin mengajak ia bimbang dan memikirkan lagi posisinya, tetapi tanpa berusaha untuk mempengaruhinya. Buat saya kebimbangan adalah suci.
Karena pesan moral itulah saya mengawali setiap naskah dengan langsung menggebrak. Dan kemudian mengakhirinya dengan mengambang. Tak ada kesimpulan. Kesimpulkan yang terbuka. Pertanyan berakhir sebagai pertanyaan. Pertanyaan, jawabanya pertanyaan yang lain. Lakon adalah sebuah PR kepada setiap penonton yang mengajak mereka berdialog dan kemudian mengambil keputusan-keputusan untuk hidupnya sendiri.
Saya tidak memberikan banyak petunjuk di dalam naskah (yang saya lakukan juga dalam membuat skrip film) karena berharap mereka yang membaca/mempergunakan naskah itu akan melakukan penafsiran. Saya mengambil posisi, saya sendiri belum tentu lebih tahu tentang naskah itu dari penggunanya. Karenanya naskah-naskah itu mengapung, bersifat multi interpretasi. Dapat dimaknakan ke mana saja, tergantung pembaca, pelaku atau penontonnya.
Maksud saya untuk memberikan ruang kepada sutradara. Tetapi hasilnya agak menyedihkan, karena kebanyakan penggunanya kemudian mempergunakan seenak perutnya. Di samping itu naskah itu bagi yang belum pernah menyaksikan pementasannya menjadi sulit dimengerti.
Dalam membuat naskah teater saya merasa tak pernah mendapat hambatan. Sensor dan batasan dari berbagai aspek di sekitar saya adalah tantangan, adalah kesempatan yang justru menolong saya mampu melompat. Pengalaman dalam mengelak, menyiasati hambatan-hambatan itu, membuat saya percaya bahwa kreativitas membuat tak ada yang tak mungkin di atas pentas. Dengan cara memandang seperti itu, wilayah pentas adalah wilayah yang yang tak terbatas. Kita bebas mengekspresikan apa saja.
Sebuah tulisan yang baik tidak selalu harus benar-benar “tulisan pribadi” atau yang sering kita bayangkan sebagai karya asli/original, meluncur dari kata-kata sendiri, buah pikiran asli, murni.
Ada memang naskah yang lebih enak ditulis dengan cara “mengarang“, yaitu yang keluar dari hati nurani atau pikiran sendiri. Misalnya saat menulis surat pribadi atau surat pembaca, menulis essay/opini, menulis hasil pengamatan, pengalaman atau observasi. Akan tetapi untuk tulisan jurnalistik, cara “ngarang” ini harus dipakai hati-hati. Jangan sampai kebablasan.
Kekuatan naskah karya jurnalistik sebenarnya bukan lagi terletak pada “cara atau skill anda menulis” melainkan pada isi atau materi alias substansi. Dan ini tidak mungkin dihasilkan hanya mengandalkan pikiran sendiri apalagi melulu suara hati penuh emosi. Pembaca berita tidak akan peduli dengan pikiran anda, juga perasaan anda. Yang mereka mau, fakta-fakta apa yang anda temukan dan laporkan. Fokuslah pada fakta itu.
Jadi intinya, kalau mau menulis untuk media-massa, rahasianya cuma satu. BAHAN! Skill menulis apapun yang anda miliki saat ini, pakai sajalah. Asal bisa menulis kalimat yang orang lain ngerti, sudah cukup itu. Soal bagus atau jelek, biarkan saja. Ntar juga diperbaiki sama editor/redaktur, asalkan memang isinya “layak terbit”. Sambil terus berjalan, saking seringnya menulis, lama-lama skill atau cara kita menulis itu akan baik juga secara otomatis. Pasti akan berlaku teori “kuantitas akan melahirkan kualitas“.
Menulis Tanpa Beban
Cara menulis yang sering saya sarankan bagi kalangan penulis pemula adalah FreeWriting dan Re-Writing.
Dengan teknik Free Writing berarti kita menulis secara bebas, tanpa mempedulikan bagus tidaknya tulisan yang sedang digarap. Pokoknya terus saja menulis sampai capek, sampai tidak ada lagi yang mau ditulis. Sekalipun nggak urut biarkan saja. Tidak bagus cuekin saja. Bahkan karena bingung, akhirnya kita hanya menulis: “… apa ya? Aku tak tahu mau nulis apa? Ah gimana nih? Dst”. Yang ada dalam pikiran kita cuma: what next, next, next!
Perhatikan saja kalau kita lagi emosi (khususnya marah atau gembira), atau dalam pengaruh tekanan (seperti lagi ujian essay). Naturalnya sebagian besar kita akan menulis dengan cara free writing, ya ‘kan?
Anda yang dalam keadaan normal ngakunya tidak bisa menulis, saya yakin sekali dalam dua keadaan itu dengan ajaib tiba-tiba bisa lancar menulis. Apalagi jika yang mau disampaikan begitu banyak. Bisa sampai pegel.
Lha, setelah selesai menulis, tentu hasilnya wow… jelek sekali ya. Semua serba ada. Banyak yang asal-asalan, atau juga urutannya bisa jadi ngaco.
Disinilah saatnya anda mulai menyunting, mulai dari membuang yang tidak perlu, menyusun lagi urutannya serta membaguskan bahasanya. Bisa bolak-balik berkali-kali, sampai akhirnya anda suka dengan hasil akhirnya.
Cara lain adalah menulis dengan teknik Re-Writing atau menulis ulang. Ini sangat ampuh digunakan dan sangat mudah bagi para pemula. Yang kita lakukan hanyalah mengumpulkan bahan-bahan (tertulis atau hasil wawancara) lalu kemudian menuliskan-ulang kembali bahan tersebut dengan tentu saja memakai gaya bahasa sendiri. Sebut sajalah hasilnya sebagai naskah-ramuan.
Ramuan yang baik biasanya selalu berupa pernyataan yang disusun dengan kalimat lain, yang berbeda dengan kalimat sumber informasi yang asli. Sedang ramuan yang buruk seringnya berbentuk kumpulan kalimat sama dengan sumber aslinya. Kadang-kadang malah ada semacam ramuan atau rangkuman yang tidak merangkum, tapi mengutip berbagai pernyataan sesuai dengan aslinya, walaupun dengan kata-kata yang disana-sini diganti dengan kata lain, agar agak berbeda.
Selama naskah-ramuan itu tidak menunjukkan hasil pengumpulan berbagai informasi (lebih dari satu sumber), ia belum dapat disebut naskah-ramuan namanya, tapi itu jiplakan yang ringkas.
Sebaiknya dalam menulis naskah ramuan gunakan gaya bebas saja, seperti sedang menyampaikan informasi kepada seorang teman akrab. Apa yang ditulis biasanya memakai kata lain yang berbeda dengan kata dalam informasi aslinya. Hanya idenya saja yang sama.
Sesudah ramuan itu selesai ditulis, tetap saja sebaiknya naskah itu disunting lagi minimal mengedit bahasanya, atau paling tidak ya judul dan leadnya. Bila perlu, agar lebih gurih rasanya, mungkin masih bisa kita selipkan dan perbaiki intonasinya, nadanya, gaya bahasanya, atau bahkan sedikit digarami dengan humor-humor jenaka.
Menulis adalah kegiatan yang mengasyikkan sekaligus mencerahkan. Banyak orang berkeinginan untuk bisa menulis secara teratur namun terhalang tidak adanya waktu karena kesibukan pekerjaan.
Apakah karena halangan tersebut kegiatan menulis harus terhenti? Jawabnya tidak. Semua orang tetap dapat menyalurkan pemikiran dan perenungannya lewat tulisan sesibuk apapun jika menemukan kiat yang tepat.
Tulisan berikut akan memberikan beberapa kiat buat orang-orang yang sibuk agar bisa menulis secara teratur dan konsisten.
1. Teguhkan niat menulis
Segala sesuatu berawal dari niat. Dengan menetapkan niat yang kuat untuk menulis, maka akan ada dorongan yang memaksa diri untuk melakukannya. Sama halnya dengan menulis, tetapkan target yang jelas misalnya 1 tulisan per minggu atau 2 tulisan per bulan. Dengan cara ini secara mental kita akan merasa berhutang jika belum melakukannya dan secara aktif akan mencari cara agar bisa menyelesaikan hutang tersebut.
Saya pribadi menetapkan target 2 tulisan per minggunya dan sejauh ini masih bisa memenuhinya, meskipun dengan berbagai tantangan kesibukan yang ada.
2. Temukan waktu produktif Anda
Tiap orang memiliki waktu produktif yang berbeda-beda. Ada yang sangat produktif di pagi hari ketika banyak orang belum bangun. Ada yang produktif di tengah malam ketika semua orang tengah terlelap. Ada pula yang menikmati waktu di tengah hari ketika semua orang sedang sibuk bekerja.
Menemukan waktu yang tepat akan membantu produktivitas tinggi dalam menulis. Memanfaatkan waktu yang tepat dan nyaman secara natural, seseorang dapat menyelesaikan beberapa tulisan sekaligus.
Saya sendiri paling suka menulis di tengah malam sampai pagi hari setelah tidur beberapa jam sebelumnya. Pada waktu tersebut, segala sesuatunya menjadi sangat lancar dan berbagai ide bermunculan. Tak jarang saya menulis 2-3 tulisan sekaligus untuk diterbitkan di hari yang berbeda dalam blog ini.
3. Manfaatkan waktu senggang dengan baik
Jika Anda memiliki pekerjaan full time yang menuntut perhatian penuh, maka memanfaatkan waktu dengan baik adalah kunci agar Anda bisa menulis. Sepulang kerja, coba perhatikan kegiatan apa saja yang Anda lakukan. Mandi, makan malam, sholat, bercengkrama dengan keluarga, menonton TV, istirahat dan lain-lain. Kurangi kegiatan yang kurang bermanfaat dan gunakan untuk menulis. Jika Anda terlalu lelah, maka segeralah beristirahat untuk kemudian bangun dengan segar sehingga dapat menulis.
Selain itu, Anda juga dapat memanfaatkan waktu istirahat di kantor dengan menulis. Gunakan waktu istirahat kerja secara efektif sehingga masih ada sisa untuk menulis. Atau Anda dapat membuat draft tulisan dalam perjalanan pergi dan pulang dari kantor. Tentunya hal ini baru bisa dilakukan jika Anda tidak membawa kendaraan sendiri.
Jangan lupa manfaatkan pula waktu akhir pekan ketika libur dari pekerjaan. Saya sering memanfaatkan waktu akhir pekan ini terutama di pagi hari. Jika beruntung, dalam dua jam bisa menyelesaikan beberapa tulisan sekaligus.
4. Kurangi waktu istirahat
Jika Anda benar-benar ingin konsisten menulis sementara Anda juga orang yang sibuk, mau tidak mau harus ada waktu istirahat yang harus dikorbankan. Sebagai contoh sepulang kerja mungkin Anda harus bercengkrama dengan keluarga sampai waktunya tidur malam. Setelah anggota keluarga tertidur, Anda dapat memanfaatkan waktu untuk menulis. Atau sebaliknya, Anda bisa ikutan tidur dan bangun di tengah malam untuk menyelesaikan tulisan.
Mengurangi waktu istirahat adalah cara paling akhir jika memang Anda benar-benar tidak punya waktu. Lantas bagaimana dengan kewajiban kerja keesokan harinya? Jika sudah terbiasa, maka tubuh akan membiasakan diri. Jadi cukup dengan tidur 3-4 jam sehari sudah membuat Anda segar untuk melaksanakan tugas keesokan harinya.
5. Catat ide tulisan
Ide dapat muncul kapan saja. Sama seperti Newton yang mendapat ide gravitasi ketika melihat sebuah apel jatuh. Oleh karena itu segera catat segala ide yang melintas di kepala Anda. Menundanya akan membuat lupa dan menghabiskan energi ketika berusaha mengingatnya kembali.
Catatan ide ini sangat berguna ketika Anda punya waktu senggang untuk menulis. Seringkali orang yang tidak membuat catatan kehabisan waktu mencari ide ketika sebenarnya dia punya waktu yang cukup untuk membuat tulisan.
Saya pribadi memiliki catatan khusus untuk semua ide tentang tulisan yang ingin saya buat. Total ada 50 judul dan ide di sana. Setiap kali saya terpikir akan suatu ide, kutipan, frase yang menarik, akan segera saya catat. Ketika nanti punya waktu luang, saya tinggal membaca daftar tersebut dan menulis yang paling menarik dan nyaman buat saya saat itu.
IDE sudah mantap, menulis sudah dilakukan, tulisan sudah jadi, tapi … takut mempostingnya. Nah lho. Kalau menemukan pesharing berperilaku demikian tanpa banyak komentar dikatakan: “Mas, tulisan itu tulisan siapa? Blog itu punya siapa? FB itu milik siapa? Punya Sampeyan kan?”
“Ya”, katanya pendek. “Tapi, saya tidak PD. Minder”, jelasnya mantap. “Begini saja. Coba mindset Sampeyan di upgrade”. “Maksudnya?”, tanyanya bingung. “Begini”, kata saya sesabar mungkin sekaligus ‘menyinggung’ agar rasa percaya dirinya bangkit.
“Sampeyan itu berpikir, orang lain jahat semua. Tidak baik itu. ‘Curigation’ boleh, namun kalau berlebihan merugikan diri sendiri, dan menumpuk dosa”. Dikuliahi sekalian biar lebih mantap: “Hilangkan kecurigaan, biasakan berprasangka baik”. Pikiran buruk itu bersarang di batok kepala Sampeyan.
Wajar saja dia kurang berterima. “Saya tidak …”. Langsung dipotong. “Coba. Anggap saya, juga teman-teman blogger atau Facebooker saudaramu. Orang yang mau menolong. Kalau salah, tidak akan ditertawakan, tetapi dibetulkan. Kalau sesama saudara, mana ada istilah malu. Kekurangan dijadikan bahan perbaikan agar lebih baik”.
Setelah kuliah agak ‘ganas’ pesahring tersebut mengalami kemajuan menulis sangat baik. Dia tidak takut lagi salah. Tidak membesarkan kesalahan, tidak menganggap salah dan kesalahan aib besar. Sekalipun dikatakan: “Kalau salahnya itu-itu saja, salah yang berulang, itu bodoh namanya”.
SALAH KOK DIPELIHARA
Yap, salah adalah hak kita, milik kita. Nabi Adam AS saja melakukan ‘kesalahan’ agar menjadi pelajaran buat manusia sampai hari kiamat. Apalagi menulis. Salah? Ya, bagus itu. Kalau sadar salah, perbaiki. Kalau diketahui teman, ditunjukkan dimana salahnya, perbaiki. Enteng saja kok. Bersalah (dosa) kepada Allah SWT boleh-boleh saja. Makanya dibukakan pintu minta ampun, pintu tobat.
Apalagi, ya apalagi, kalau belajar menulis, baru penulis pemula. Saya pikir, semua penulis pernah melakukan kesalahan. Tetapi, jangan dituduh semua penulis bersalah. Itu lain lagi maknanya. Dari kesalahan itu belajar dengan mantap. Kenapa harus malu? Salah dan kesalahan dipahami agar tidak bersalah pada kesempatan berikutnya.
Hanya mereka yang sok perfeksionis saja yang tidak menoleransi salah, apalagi pada awal belajar. Baru belajar saja sombong, sok hebat. Tapi, kalau menulis untuk lomba, kompetisi, atau karya keilmuan atau sederajatnya, ya tidak mungkin ditolerir. Pada hal sedemikian kualitas prima yang dipertaruhkan.
Dengan kata lain, turunkan kadar kesombongan. Salah, biar saja. Namanya juga belajar. Baru belajar menulis tulisan disepadankan dengan karya Sitor Situmorang, yo opo rek.
Mari lawan takut salah dengan mempublikasikan tulisan, dan dari situ belajar, menapak tulisan agar tidak salah. Salah adalah jalan menuju betul. Mari lakukan, dan dari situ tancapkan percaya diri alias PD. Tidak PD kok dipelihara dengan bangga. Aya-aya wae.
Subagyo Sastrowardoyo
Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa
“Didiklah anak-anakmu untuk masa yang bukan masamu”Ungkapan di atas tidak kurang dari 13 abad yang lalu disampaikan Ali Bin Abi Thalib R.A. bahwa masa-masa kita mengenyam pendidikan dulu tidak sama dengan pendidikan masa sekarang dan di masa yang akan datang. Barangkali kata-kata ini diadaptasi oleh para pengambil kebijakan pendidikan ditingkat elit sehingga timbul pergantian dan pengembangan kurikulum. Saya mencatat tidak kurang dari delapan kali kurikulum pendidikan kita berubah-ubah, yakni kurikulum 1947, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan kurikulum 2006 yang kita kenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan alasan mutu, relevansi, efisiensi, dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
GURU yang menjadikan tradisi tulis-menulis sebagai kegiatan sehari-hari mungkin sama langkanya dengan tradisi membaca yang juga rendah. Dapat diperkirakan, ini tak lepas dari budaya baca-tulis kita yang memang buruk.
Suasana sekolah-sekolah kita berbeda jauh dari sekolah-sekolah di negara-negara Asia tetangga kita, bahkan dengan Vietnam yang baru merdeka dan belum sedekade bergabung dengan ASEAN.
Pula berbeda dari universitas maupun sentra-sentra pengkajian ilmu zaman dulu yang digambarkan penuh pemandangan orang menenteng buku, berdiskusi, berorasi, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya.
Sekolah dan universitas masa kini diwarnai berita tawuran antarpelajar/mahasiswa, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, video porno, tuntutan guru untuk diangkat menjadi pegawai negeri, kenaikan honor, serta Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang monoton dan membosankan.
Menulis adalah kegiatan yang memang seharusnya dilakukan para guru. Selain untuk mendokumentasikan kegiatan pribadinya sebagai agen perubahan, menulis juga dalam rangka mempertanggungjawabkan pengajarannya yang mesti diselaraskan dengan kurikulum.
Administrasi yang diisi guru di antaranya absensi murid, daftar nilai, leger (kumpulan nilai selama semester yang bersangkutan), rencana pelaksanaan pembelajaran, selain administrasi tambahan yang digariskan sekolah tempatnya mengajar.
Pengembangan Keilmuan
Kegiatan menulis (dan membaca) pulalah yang memungkinkan terjadinya pengembangan keilmuan. Meski Einstein, misalnya, ketika duduk di bangku sekolah dasar disebut gurunya sebagai ”Herr Langweil” (Si Bodoh), komitmennya terhadap pengembangan ilmu dan potensi diri menjadikannya melahap habis sebuah buku geometri yang diberikan oleh seorang teman ayahnya (Suranto Adi Wirawan, Aku Tahu Tahu: Gemar Membaca, 2009).
Kerajinannya belajar (Jawa: niteni), membuatnya mengadakan dokumentasi—berupa tulisan—atas pengetahuan yang diperolehnya dari kegiatan membaca hingga menemukan teori relativitas yang terkenal itu dan dunia pun mengenangnya sebagai Bapak Sains Modern.
Atau Isaac Newton, yang ketika duduk-duduk santai di bawah pohon apel dan kejatuhan buahnya menemukan teori gravitasi bumi, kemudian didokumentasikannya menjadi buku Philosophie Naturalis Principia Mathematica yang dianggap sebagai karya ilmiah terbaik sepanjang masa (Suranto Adi Wirawan, Aku Tahu: Orang-orang Besar, 2009)
Apa yang terjadi bila orang-orang cerdas ini tak mencatat temuannya? Apa jadinya kalau seorang guru tak pernah mendokumentasikan kegiatan sehari-hari serta pengajarannya untuk murid-murid?
Akankah kita mendapat murid berprestasi jika guru tak mampu mencatat apa-apa yang dibutuhkan murid agar berprestasi? Tentu saja kebutuhan para pelajar lebih diketahui gurunya ketimbang oleh para penulis yang khusus dikontrak penerbit buku.
Pantas saja, guru yang menjadi penulis (buku) dapat dihitung dengan jari. Memang, memadamkan lampu lebih mudah ketimbang menyalakan sebatang lilin.
Kata siapa menulis itu sulit?
Dan siapa yang bilang menulis itu mudah?
Bila Anda menemui permasalahan atas pertanyaan tersebut di atas, simaklah tulisan ini. Bagi Anda yang berprofesi menjadi guru tentu hal ini akan menjadi semakin berguna karena setiap hari Anda bergumul dengan dunia tulis menulis. Kuncinya terletak pada kebiasaan. Kebiasaan bagi seorang petani yang terbiasa mencangkul di sawah akan lebih mudah mencangkul daripada orang yang pakai dasi di kantoran yang kerjanya di belakang meja. Seorang nelayan akan mudah menebar dan membuat jala dibandingkan dengan pekerjaan lain, karena itu memang kebiasaannya. Dulu saya terbiasa ikut bapak ke laut mencari ikan di laut, maka saya terbiasa dengan kehidupan laut. Tapi lambat laun kebiasaan itu hilang ketika saya tidak membiasakan diri ke laut.
• Teruslah berlatih menulis. Jangan pernah berhenti menulis. Sebab menulis itu seperti menyetir mobil. Semakin tinggi jam terbang Anda, maka keahlian Anda pun insya Allah semakin baik.
• Rajin-rajinlah membaca buku-buku yang berkualitas. Jika tubuh kita diibaratkan “pabrik penulis”, maka inputnya – antara lain adalah bacaan, dan outputnya (atau produk yang dihasilkan) adalah tulisan. Dengan demikian, kegiatan membaca bagi seorang penulis sangat penting. Tulisan kita akan banyak diwarnai oleh jenis bacaan yang kita lahap. Bila Anda rajin membaca teenlit, maka Anda akan menjadi seorang penulis teenlit. Bila Anda rajin membaca opini di surat kabar, maka Anda akan menjadi seorang penulis opini. Demikian seterusnya.
Tulisan yang berkualitas, pastilah didahului dulu dengan proses membaca. Tak ada tulisan berkualitas yang langsung mengalir begitu saja bila anda tak membiasakan diri dalam membaca dan menulis. Pada intinya bahwa menulis itu menyenangkan, menulis itu mengasyikkan, menulis itu membebaskan, menulis itu menata pikiran.
1. menulis sebelum tidur
2. menulis catatan harian
3. jangan pernah menunda menulis
4. jangan pernah berhenti menulis
5. menulis itu berjuang
Tak usah dari yang njelimet-njelimet dulu. Menulislah dari hal-hal sederhana; hal-hal yang sering kita alami, pengalaman sendiri, teman-teman, hasil menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang berkeluh-kesah kepada kita, atau fenomena yang tengah terjadi di sekitar kita.
Ada beberapa strategi penting menembus media mulai dari cara nonteknis seperti, banyak membaca, kenali karakteristik media, kenali pembaca sampai pada cara teknis penulisan yang pada intinya tidak mempersulit tugas redaktur. “Permudah tugas redaktur” ungkapnya menjelang akhir penyampaian materi.
Menulis resensi atau kritik buku sebenarnya nggak sulit. Kalau mau,
kamu juga bisa. Nah, berikut ini ada beberapa tips agar kamu piawai
menulis resensi.
* Tulisan resensi yang menggambarkan sinopsis harus sesuai dengan isi
buku. Banyak peserta yang terdaftar dalam kompetisi ini ternyata kurang
memahami isi buku sehingga sinopsis mereka berbeda dengan isi buku.
* Ketajaman analisa. Setelah memahami isi buku, kamu harus bisa menilai
apakah isi buku bermanfaat atau tidak ? Jika memang bagus, beri
penjelasan di mana letak sisi bagus itu. Begitu pun sebaliknya. Di samping
itu, kamu harus pula menguasai pengetahuan lain sebagai bahan pembanding
isi buku yang hendak kamu kritisi itu, termasuk di dalamnya menyikapi
masalah yang ditampilkan buku tersebut.
Asal kamu tahu, prosentase terbesar kriteria penilaian ada pada
ketajaman analisa. Di sini, kamu harus bisa mengaitkan masalah lain yang ada
dengan masalah yang diangkat buku itu. Dari sini, gagasan kamu dan isi
buku mengenai masalah yang sama, bisa bertemu. Tentu saja kamu bisa
mengungkapkan ketidaksetujuan atas gagasan penulis buku yang bersangkutan.
Pada saat yang sama, kamu juga harus menawarkan argumen untuk mendukung
pendapatmu.
* Gunakan bahasa yang terstruktur, lugas, dan jelas sehingga memudahkan
pembaca memahami maksud kamu. Melalui bahasa semacam itu, kamu bisa
menulis ulang isi atau materi yang terkandung dalam buku, kemudian
mengkritisi isinya jika ada yang dinilai kurang tepat. Selain itu, penulis
resensi juga harus memiliki kemampuan memahami isi buku secara benar.
* Terakhir, hindari penggunaan kalimat yang panjang dan bertele-tele.
Kalimat panjang bisa mengaburkan pesan yang akan disampaikan. Jangan
lupa, pilih kata-kata yang tepat untuk merangkai tulisan resensimu. Dengan
cara ini, niscaya pembaca akan gampang memahami maksud kamu. Tidak
sulit, kan? Oke deh, selamat mencoba.
KIAT PENULISAN LAKON
Untuk menyusun naskah lakon, yang diperlukan mula-mula adalah gagasan. Tidak semua hasrat atau keinginan adalah sebuah gagasan. Gagasan atau ide dalam menulis lakon, adalah hasil perenungan dan pemikiran.. Dalam hubungan dengan kerja kreatif, gagasan atau ide adalah apa yang biasa disebut “inspirasi”.
Kita hindari istilah inspirasi atau ilham untuk sementara, karena apa yang disebut ilham sering dihubung-hubungkan dengan karunia Tuhan. Akibatnya banyak orang terkecoh lalu hanya menunggu untuk mendapatkannya. Padahal semua yang ada di dunia ini adalah karunia Tuhan. Yang disebutkan dengan gagasan di sini adalah hasil perenungan, hasil pemikiran, hasil kontemplasi. Bahkan mungkin hasil diskusi dan rembugan-rembugan, baik dengan diri sendiri, denganm orang lain atau pemahaman kebenaran yang lain.
Di dalam gagasan ada sesuatu yang baru, yang berbeda, yang lain dari yang sudah ada dikenal. Itulah yang menyebabkan seorang penulis lakon perlu melahirkan, mendeklarasikannya, agar dikenal oleh orang lain. Apakah gagasannya bagus dan berguna atau sebaliknya, sangat tergantung pada benturannya dengan sekitar setelah lahir sebagai lakon.
Jadi gagasan, walau pun merupakan cakal-bakal, tetapi yang kemudian menentukan adalah pengembaraannya sebagai naskah. Untuk itu diperlukan ketrampilan untuk mewujudkan gagasan itu menjadi lakon yang baik. Lakon yang baik, bukan saja gagasannya bagus, tetapi juga memenuhi persyaratan sebagai sebuah lakon, yakni punya daya pukau sebagai tontonan.
Tema adalah wilayah yang menunjuk, sudut kehidupan yang mana yang akan digarap. Ke dalam tema yang menjadi flatform dari naskah itu kemudian dipancangkan gagasan yang merupakan hasil pemikiran penulisnya. Lalu dicari batang tubuhnya berupa cerita.
Cerita tidak selamanya berjalan lurus, runtun. Dapat acak, sama sekali tanpa aturan atau kacau, sehingga nyaris bukan cerita tetapi hanya suasana-suasana. Cerita yang bertutur membuat lakon menjadi potret atau representasi kehidupan. Yang tidak bertutur, adalah pemikiran, sikap dan rumusan-rumusan yang mengandung nilai-nilai yang dipakai dalam menghadapi fenomena-fenomena kehidupan yang baru.
Dalam membangun cerita akan muncul berbagai kebutuhan terhadap: waktu, tempat, tokoh-tokoh, kemudian alur, plot, konflik dan sebagainya. Juga akan timbul masalah-masalah teknis yang mungkin akan dijumpai dalam pelaksanaannya, sehingga penulis mesti memikirkan jalan keluarnya. Sedangkan untuk rumusan-rumusan nilai yang diperlukan adalah statemen-statemen tajam yang menggugah yang sering berbau pemberontakan dan pembaruan, agar lebih menggigit.
Terakhir adalah pesan moral. Muatan apa yang mau disampaikan oleh penulis, baik secara langsung maupun tak langsung. Watak, idiologi, pandangan hidup, filosofi penulis naskah dapat dibaca dari isi pesan moral dan cara menyampaikannya. Naskah yang tak memiliki pesan moral pun adalah sebuah pesan moral.
Seperti dalam proses pembuatan bangunan, penulis adalah seorang arsitek sekaligus pemborong proyek. Ia berpikir tentang konstruksi bagaimana membuat sesuatu yang kuat dan indah. Ia memikirkan dengan cermat wujud naskah itu.
Bila gagasannya memerlukan wadah besar yang spektakuler, berarti naskah itu akan terdiri dari banyak babak sehingga durasinya sampai beberapa jam. Atau sudah cukup satu babak, sekitar satu jam, sehingga padat dan tajam. Di sini seorang penulis menentukan strategi dan konsepnya.
Konsep adalah strategi untuk menerapkan gagasan. Inilah pergulatan yang sebenarnya bagi setiap penulis lakon: bagaimana memindahkan gagasannya menjadi sebuah tontonan. Untuk itu ia harus memahami benar seluk-beluk seni pertunjukan. Ia perlu menguasai teknik-teknik penulisan, sehingga ia bebas untuk menuangkan gagasannya. Ia tidak terhalang oleh persoalan-persoalan teknis, sehingga konsentrasinya pada usaha menuangkan ide tidak terhambat.
Di dalam menuangkan gagasan menjadi lakon juga diperlukan “gagasan-gagasan”. Jadi bukan hanya isi, kemasan lakon pun harus memberikan “gigitan”. Bentuk, struktur, cara menyampaikan pesan, bahasa, gaya, jenis tontonan yang hendak dicapai, semua itu bukan hanya sekedar alat, tetapi bisa menjadi isi itu sendiri. Bahkan pesan yang klise dan sangat sederhana, tentang pengorbanan, misalnya, bisa menjadi baru karena cara menyampaikannya berbeda dari apa yang biasa dilakukan.
Naskah yang menggigit baik isi maupun kemasannya disebut “berdarah” atau “memiliki daya tendang”. Artinya lakon itu tidak hanya sekedar bualan kosong. Bukan semata-mata memukau karena pasang surut ceritanya. Tetapi karena mengandung sesuatu yang benar-benar penting, jitu atau baru. Pengemasan yang pas, tajam atau unik membuat naskah itu punya nilai lebih. Unsur pembaruan menyebabkan isinya yang sebenarnya biasa, bisa menjadi luar biasa.
Mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, umumnya dicapai dengan melakukan penggalian dan pendalaman. Persoalan cinta biasa antara dua remaja, bila digali lebih mendalam lagi, dimunculkan kompleksitasnya, tiba-tiba menyeruak menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Cerita Romeo Dan Juliet karya Shakespearre , misalnya, bukan hanya masalah percintaan tetapi menampilkan masalah-masalah mendasar kemanusiaan.
Cara lain adalah dengan menukar sudut pandang. Sebuah pembunuhan dalam negara hukum akan berakhir dengan terhukumnya pembunuhnya. Tetapi dengan menggeser sudut pandang, pembunuh itu bukan dipenjarakan, tapi malah dinobatkan menjadi pahlawan. Kenapa? Sebab pembunuh itu sudah berhasil menggoyang hukum yang tidur untuk beringas dan aktip kembali menegakkan keadilan.
Sudut pandang adalah bagian penting di dalam apa yang semula kita sebut gagasan. Diperlukan keberanian dan juga kejujuran untuk memandang sesuatu keluar dari kebiasaan umum. Tujuannya bukan hanya sekedar keluar, bukan hanya untuk berbeda, tetapi karena ada keyakinan, bahwa dengan mampu melihat dari sudut pandang yang lain, kebenaran lebih terburai atau muncrat.
Bila sebuah lakon tak hanya menghibur, tak hanya menarik, tapi dapat membawa penonton pada kebenaran yang lain, dia menjadi penting. Naskah tidak hanya akan menjadi sebuah persiapan untuk sebuah pementasan, tetapi pengetahuan dan pencapaian kultural. Sebagaimana yang terjadi pada “Waiting For Godot”. Karya Samule Beckett yang memenangkan hadiah nobel itu adalah sebuah penemuan yang fenomenal. Beckett mencatat bahwa di samping lahir dan mati, pada hakekatnya semua manusia adalah menunggu.
Gagasan yang bagus dapat hancur berantakan apabila tidak terkemas dengan baik. Karena itu sebelum menulis lakon, seseorang harus mengenal dulu teknik penulisan lakon. Umumnya pengemasan lakon memerlukan beberapa unsur yang membuat hasilnya pas sebagai tontonan. Karena untuk itulah lakon dibuat. Lakon yang ditulis hanya untuk dibaca biasa disebut drama “kloset”.
Sebagai tontonan, lakon harus memikat. Cerita akan memikat kalau memiliki plot. Plot akan memukau bila mengandung empathi. Empathi akan menjadi sempurna kalau dibumbui dengan ketegangan, konflik dan humor. Ada juga yang menyelipkan kritik-kritik sosial, konteks dari lingkungannya, sehingga lakon menjadi membumi dan memiliki komitmen sosial.
Naskah lakon dibuat untuk kemudian dipentaskan sebagai pertunjukan. Kemungkinan-kemungkinan tontonan yang ada di dalam naskah itu menjadi penting. Kemungkinan tersebut ada yang sudah dicantumkan secara tertulis oleh penulisnya, tapi ada juga yang lahir akibat persentuhan dengan sutradara dan pemain. Semakin banyak kandungan kemungkinan yang ada dalam sebuah naskah, membuat naskah itu semakin kaya.
Sebuah naskah lakon yang kaya memberikan kesempatan kepada sutradara, pemain serta penata artistik mengembangkan lakon itu sehingga ia menjadi seperti tambang emas yang tak habis-habisnya digali. Di dalamnya juga termasuk ruang-ruang yang diberikan kepada penonton. Naskah yang bagus akan membuat penonton tak hanya penikmat yang pasif. Penonton akan hidup dan ikut mencipta di dalam imajinasinya, sehingga pertunjukan benar-benar merupakan sebuah dialog gencar antara tontonan dengan penonton sehingga menciptakan pengalaman spiritual.
Sebuah naskah lakon yang baik akan menciptakan pengalaman batin yang membuat penonton mengalami ekstase. Naskah yang kuat memberikan rangsangan kreatif pada semua yang terlibat di dalam pementasan. Baik naskah standar yang konvensional atau naskah kontemporer yang multi iterpretasi, kalau ia berdarah, mengandung kekayaan sebagai seni pertunjukan, ia tidak akan bersifat temporer, tetapi abadi. Naskah lakon yang baik tetap berdarah di segala zaman dalam konteks dan referensi yang berbeda-beda. Setiap kali dipentaskan ia akan mentransformasikan dirinya menjadi aktual dan baru.
II.CATATAN DARI LAPANGAN
Berikut catatan dapur saya di lapangan untuk perbandingan:
Saya menulis lakon sejak saya masih SMA. Tetapi lakon-lakon itu masih merupakan ,ide-ide mentah yang belum disentuhkan dengan pengalaman lapangan. Naskah-naskah yang saya tulis adalah drama kloset. Drama yang hanya untuk dibaca, miskin dari kemungkinan pemanggungan.
Setelah saya mulai main drama (Badak:Anton Chekov, Barabah:Motinggo Boesye dan Selamat Jalan Anak Kufur:Utuy Tatang Sontany, Pelacur:Sartre), baru saya memahami hubungan naskah dengan pementasan, memahami hubungan naskah dengan penonton. Sejak itu saya mulai menulis naskah di Jogja tidak lagi untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Dalam periode itu saya menulis Bila Malam Bertambah Malam, Dalam Cahaya Bulan (1964). Kemudian Lautan Bernyanyi (1967), Tak Sampai Tiga Bulan (1965), Orang-Orang Malam (1966). Semuanya ditulis dan kemudian saya mainkan.
Pada tahun 1966, ketika membuat parade drama di gedung BTN Jogja, saya melakukan monolog spontan berjudul Matahari Yang Terakhir. Berlangsung bagus. Sesudah main baru naskahnya dituliskan. Menjadi lebih jelas lagi bahwa lakon ditulis bukan untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Kini saya sering memainkan monolog lebih dahulu dan sesudahnya baru ditulis. Misalnya Merdeka dan Zmar.
Setelah menulis naskah untuk kebutuhan pementasan, saya ikut pementasan Waiting For Godot (1969) Bengkel Teater, bermain sebagai Pozzo. Terpengaruh oleh naskah itu, antara tahun 1971 s/d 1980 saya mulai menulis naskah untuk berekspresi. (Aduh, Edan, Anu, Dag-Dig-Dug, Hum-PimPah). Kecuali Dag-Dig-Dug, semuanya juga saya mainkan dengan Teater Mandiri di Jakarta.
Pada tahun 1975 dan 1976 saya membuat pementasan tanpa memakai naskah (Lho, Entah, Nol). Tidak ada cerita. Yang ada hanya suasana dan gambar-gambar. Pementasan Lho yang dipersiapkan selama 4 bulan, sangat visual, mengagetkan penonton dan mendapat sambutan bagus sekali. Pengunjung sampai membludak selama 3 hari di Teater Arena TIM. Tetapi pementasan selanjutnya penonton menipis dan akhirnya sangat kurang waktu NOL. Waktu itu saya menyimpulkan yang dibutuhkan oleh penonton adalah cerita. Saya kembali kepada kata-kata.
Setelah itu saya kembali membuat naskah yang penuh kata-kata untuk pementasan (Dor, Blong, Awas, Los, Gerr, Zat, Tai, Front, Awas, Aib, Wah). Di dalamnya ada cerita, karakter dan konflik. Tetapi saya tidak berkiblat kepada realisme. Teater saya cenderung menjadi teater seni rupa.
Pada 1985 – 1988, saya berada di Amerika dan membuat naskah, hanya untuk membuat naskah (Aeng, Aut, Jreng-Jreng-Jreng, Bah, Hah). Naskah-naskah itu sampai sekarang belum pernah saya pentaskan.
Pada 1991 s/d 2003 saya sama sekali tidak membuat naskah dan hanya melakukan pementasan-pementasan (Wesleyan, New York, Cal Art, Seatle, Brunai Darusssalam, Tokyo, Hong Kong, Taipeh, Singapura, Kyoto, Hamburg, Cairo) tanpa naskah (Yel, Yel II, Bor, The Coffin is too Bif for The Hole, War, Zoom, Zero). Saya membuat sekumpulan monolog yang terhimpun dalam buku DAR-DER-DOR.
Sejak 2003 saya mulai lagi menulis dan memainkan monolog (Kemerdekaan, Demokrasi, Mulut, Merdeka, Memek, Perempuan, Pahlawan, Surat Kepada Zetan, Zmar) selanjutnya sejak 2004 saya kembali menulis lakon untuk pementasan (Jangan Menangis Indonesia, Zetan, TVRI). Dalam perjalanan saya sebagai penulis, gagasan yang ada dalam setiap naskah terlahir didorong oleh beberapa kebutuhan. Pertama kebutuhan untuk memiliki naskah sendiri. Dengan naskah sendiri kebebasan mengembangkan tontonan akan lebih leluasa. Di samping itu selesai pementasan, hasilnya akan tetap ada berupa naskah. Jadi sekali kerja dua hal tercapai.
Kebutuhan lain yang mendorong adalah hasrat untuk berekspresi, berdialog dengan penonton, memberikan kesaksian-kesaksian yang personal tentang kejadian di sekitar. Saya merasa punya sudut pandang yang lain dengan umumnya pandangan di sekitar. Tak ada maksud untuk memenangkan pandangan sendiri, hanya ingin berbagi, mengutarakan kepada masyarakat bahwa perbedaan itu harmoni yang dinamis.
Yang juga mewarnai gagasan itu adalah kompromi terhadap kondisi pemain, keadaan sarana serta keterbatasan biaya produksi yang semuanya kemudian membentuk sikap dasar saya dan Teater Mandiri (berdiri tahun 1971 di Jakarta) untuk berkiblat pada : Bertolak Dari Yang Ada. Yakni usaha untuk memanipulasi kekurangan menjadi kekuatan dengan mengoptimalkan apa yang dimiliki. Dengan cara itu tak ada yang tak mungkin dalam setiap produksi.
Pemain-pemain saya sebenarnya bukan pemain tapi orang-orang biasa. Mereka bukan aktor. Ada tukang sapu dan maling kecil yang tak bisa membaca. Orang cacad. Ibu rumah tangga. Bahkan pernah suami-sitri pemulung ikut dalam produksi ( Kasan dan Kamisah dalam lakon Anu, 1974) Keterlibatannya pada teater hanya karena senang. Keterbatasan mereka yang juga membatasi produksi, saya balikkan menjadi kekuatan, sejak dari pembuatan naskah. Naskah saya buat sesuai dengan potensi mereka.
Saya sangat terganggu dengan tidak adanya desiplin dan komitmen dalam berlatih. Para pemain jarang datang lengkap dan selalu merepotkan jadwal. Akhirnya saya menulis naskah yang membuat pemain sekali masuk ke dalam adegan, untuk seterusnya tidak bisa keluar sampai lakon berakhir. Ini yang membuat saya sampai ke naskah-naskah yang mengetengahkan kelompok manusia sebagai sebuah karakter. Struktur itulah yang menjadi formula semua naskah yang saya buat sampai 1989.
Pesan moral yang saya pegang dalam setiap pembuatan naskah adalah usaha untuk melakukan “teror mental”. Upaya untuk mengganggu, membangunkan, mengingat, membimbangkan, menggoda, menteror batin penonton. Tujuannya agar penonton terbangun, tergugah dan berpikir lagi setelan mendusin dari tidurnya.
Saya lihat akibat berbagai macam bentuk penjajahan (politik, ekonomi, sosial, budaya), banyak orang setelah membuat keputusan tidak mau berpikir lagi. Banyak orang karena dibius oleh sesuatu yang dahysat ( idiologi, paham, agama, kecendrungan, pendapat, ilmu) mengunci dirinya dalam satu kesimpulan yang membuat ia seperti mati dalam kehidupan. Banyak manusia menjadi mummi. Saya ingin mengajak ia bimbang dan memikirkan lagi posisinya, tetapi tanpa berusaha untuk mempengaruhinya. Buat saya kebimbangan adalah suci.
Karena pesan moral itulah saya mengawali setiap naskah dengan langsung menggebrak. Dan kemudian mengakhirinya dengan mengambang. Tak ada kesimpulan. Kesimpulkan yang terbuka. Pertanyan berakhir sebagai pertanyaan. Pertanyaan, jawabanya pertanyaan yang lain. Lakon adalah sebuah PR kepada setiap penonton yang mengajak mereka berdialog dan kemudian mengambil keputusan-keputusan untuk hidupnya sendiri.
Saya tidak memberikan banyak petunjuk di dalam naskah (yang saya lakukan juga dalam membuat skrip film) karena berharap mereka yang membaca/mempergunakan naskah itu akan melakukan penafsiran. Saya mengambil posisi, saya sendiri belum tentu lebih tahu tentang naskah itu dari penggunanya. Karenanya naskah-naskah itu mengapung, bersifat multi interpretasi. Dapat dimaknakan ke mana saja, tergantung pembaca, pelaku atau penontonnya.
Maksud saya untuk memberikan ruang kepada sutradara. Tetapi hasilnya agak menyedihkan, karena kebanyakan penggunanya kemudian mempergunakan seenak perutnya. Di samping itu naskah itu bagi yang belum pernah menyaksikan pementasannya menjadi sulit dimengerti.
Dalam membuat naskah teater saya merasa tak pernah mendapat hambatan. Sensor dan batasan dari berbagai aspek di sekitar saya adalah tantangan, adalah kesempatan yang justru menolong saya mampu melompat. Pengalaman dalam mengelak, menyiasati hambatan-hambatan itu, membuat saya percaya bahwa kreativitas membuat tak ada yang tak mungkin di atas pentas. Dengan cara memandang seperti itu, wilayah pentas adalah wilayah yang yang tak terbatas. Kita bebas mengekspresikan apa saja.
Sebuah tulisan yang baik tidak selalu harus benar-benar “tulisan pribadi” atau yang sering kita bayangkan sebagai karya asli/original, meluncur dari kata-kata sendiri, buah pikiran asli, murni.
Ada memang naskah yang lebih enak ditulis dengan cara “mengarang“, yaitu yang keluar dari hati nurani atau pikiran sendiri. Misalnya saat menulis surat pribadi atau surat pembaca, menulis essay/opini, menulis hasil pengamatan, pengalaman atau observasi. Akan tetapi untuk tulisan jurnalistik, cara “ngarang” ini harus dipakai hati-hati. Jangan sampai kebablasan.
Kekuatan naskah karya jurnalistik sebenarnya bukan lagi terletak pada “cara atau skill anda menulis” melainkan pada isi atau materi alias substansi. Dan ini tidak mungkin dihasilkan hanya mengandalkan pikiran sendiri apalagi melulu suara hati penuh emosi. Pembaca berita tidak akan peduli dengan pikiran anda, juga perasaan anda. Yang mereka mau, fakta-fakta apa yang anda temukan dan laporkan. Fokuslah pada fakta itu.
Jadi intinya, kalau mau menulis untuk media-massa, rahasianya cuma satu. BAHAN! Skill menulis apapun yang anda miliki saat ini, pakai sajalah. Asal bisa menulis kalimat yang orang lain ngerti, sudah cukup itu. Soal bagus atau jelek, biarkan saja. Ntar juga diperbaiki sama editor/redaktur, asalkan memang isinya “layak terbit”. Sambil terus berjalan, saking seringnya menulis, lama-lama skill atau cara kita menulis itu akan baik juga secara otomatis. Pasti akan berlaku teori “kuantitas akan melahirkan kualitas“.
Menulis Tanpa Beban
Cara menulis yang sering saya sarankan bagi kalangan penulis pemula adalah FreeWriting dan Re-Writing.
Dengan teknik Free Writing berarti kita menulis secara bebas, tanpa mempedulikan bagus tidaknya tulisan yang sedang digarap. Pokoknya terus saja menulis sampai capek, sampai tidak ada lagi yang mau ditulis. Sekalipun nggak urut biarkan saja. Tidak bagus cuekin saja. Bahkan karena bingung, akhirnya kita hanya menulis: “… apa ya? Aku tak tahu mau nulis apa? Ah gimana nih? Dst”. Yang ada dalam pikiran kita cuma: what next, next, next!
Perhatikan saja kalau kita lagi emosi (khususnya marah atau gembira), atau dalam pengaruh tekanan (seperti lagi ujian essay). Naturalnya sebagian besar kita akan menulis dengan cara free writing, ya ‘kan?
Anda yang dalam keadaan normal ngakunya tidak bisa menulis, saya yakin sekali dalam dua keadaan itu dengan ajaib tiba-tiba bisa lancar menulis. Apalagi jika yang mau disampaikan begitu banyak. Bisa sampai pegel.
Lha, setelah selesai menulis, tentu hasilnya wow… jelek sekali ya. Semua serba ada. Banyak yang asal-asalan, atau juga urutannya bisa jadi ngaco.
Disinilah saatnya anda mulai menyunting, mulai dari membuang yang tidak perlu, menyusun lagi urutannya serta membaguskan bahasanya. Bisa bolak-balik berkali-kali, sampai akhirnya anda suka dengan hasil akhirnya.
Cara lain adalah menulis dengan teknik Re-Writing atau menulis ulang. Ini sangat ampuh digunakan dan sangat mudah bagi para pemula. Yang kita lakukan hanyalah mengumpulkan bahan-bahan (tertulis atau hasil wawancara) lalu kemudian menuliskan-ulang kembali bahan tersebut dengan tentu saja memakai gaya bahasa sendiri. Sebut sajalah hasilnya sebagai naskah-ramuan.
Ramuan yang baik biasanya selalu berupa pernyataan yang disusun dengan kalimat lain, yang berbeda dengan kalimat sumber informasi yang asli. Sedang ramuan yang buruk seringnya berbentuk kumpulan kalimat sama dengan sumber aslinya. Kadang-kadang malah ada semacam ramuan atau rangkuman yang tidak merangkum, tapi mengutip berbagai pernyataan sesuai dengan aslinya, walaupun dengan kata-kata yang disana-sini diganti dengan kata lain, agar agak berbeda.
Selama naskah-ramuan itu tidak menunjukkan hasil pengumpulan berbagai informasi (lebih dari satu sumber), ia belum dapat disebut naskah-ramuan namanya, tapi itu jiplakan yang ringkas.
Sebaiknya dalam menulis naskah ramuan gunakan gaya bebas saja, seperti sedang menyampaikan informasi kepada seorang teman akrab. Apa yang ditulis biasanya memakai kata lain yang berbeda dengan kata dalam informasi aslinya. Hanya idenya saja yang sama.
Sesudah ramuan itu selesai ditulis, tetap saja sebaiknya naskah itu disunting lagi minimal mengedit bahasanya, atau paling tidak ya judul dan leadnya. Bila perlu, agar lebih gurih rasanya, mungkin masih bisa kita selipkan dan perbaiki intonasinya, nadanya, gaya bahasanya, atau bahkan sedikit digarami dengan humor-humor jenaka.
Menulis adalah kegiatan yang mengasyikkan sekaligus mencerahkan. Banyak orang berkeinginan untuk bisa menulis secara teratur namun terhalang tidak adanya waktu karena kesibukan pekerjaan.
Apakah karena halangan tersebut kegiatan menulis harus terhenti? Jawabnya tidak. Semua orang tetap dapat menyalurkan pemikiran dan perenungannya lewat tulisan sesibuk apapun jika menemukan kiat yang tepat.
Tulisan berikut akan memberikan beberapa kiat buat orang-orang yang sibuk agar bisa menulis secara teratur dan konsisten.
1. Teguhkan niat menulis
Segala sesuatu berawal dari niat. Dengan menetapkan niat yang kuat untuk menulis, maka akan ada dorongan yang memaksa diri untuk melakukannya. Sama halnya dengan menulis, tetapkan target yang jelas misalnya 1 tulisan per minggu atau 2 tulisan per bulan. Dengan cara ini secara mental kita akan merasa berhutang jika belum melakukannya dan secara aktif akan mencari cara agar bisa menyelesaikan hutang tersebut.
Saya pribadi menetapkan target 2 tulisan per minggunya dan sejauh ini masih bisa memenuhinya, meskipun dengan berbagai tantangan kesibukan yang ada.
2. Temukan waktu produktif Anda
Tiap orang memiliki waktu produktif yang berbeda-beda. Ada yang sangat produktif di pagi hari ketika banyak orang belum bangun. Ada yang produktif di tengah malam ketika semua orang tengah terlelap. Ada pula yang menikmati waktu di tengah hari ketika semua orang sedang sibuk bekerja.
Menemukan waktu yang tepat akan membantu produktivitas tinggi dalam menulis. Memanfaatkan waktu yang tepat dan nyaman secara natural, seseorang dapat menyelesaikan beberapa tulisan sekaligus.
Saya sendiri paling suka menulis di tengah malam sampai pagi hari setelah tidur beberapa jam sebelumnya. Pada waktu tersebut, segala sesuatunya menjadi sangat lancar dan berbagai ide bermunculan. Tak jarang saya menulis 2-3 tulisan sekaligus untuk diterbitkan di hari yang berbeda dalam blog ini.
3. Manfaatkan waktu senggang dengan baik
Jika Anda memiliki pekerjaan full time yang menuntut perhatian penuh, maka memanfaatkan waktu dengan baik adalah kunci agar Anda bisa menulis. Sepulang kerja, coba perhatikan kegiatan apa saja yang Anda lakukan. Mandi, makan malam, sholat, bercengkrama dengan keluarga, menonton TV, istirahat dan lain-lain. Kurangi kegiatan yang kurang bermanfaat dan gunakan untuk menulis. Jika Anda terlalu lelah, maka segeralah beristirahat untuk kemudian bangun dengan segar sehingga dapat menulis.
Selain itu, Anda juga dapat memanfaatkan waktu istirahat di kantor dengan menulis. Gunakan waktu istirahat kerja secara efektif sehingga masih ada sisa untuk menulis. Atau Anda dapat membuat draft tulisan dalam perjalanan pergi dan pulang dari kantor. Tentunya hal ini baru bisa dilakukan jika Anda tidak membawa kendaraan sendiri.
Jangan lupa manfaatkan pula waktu akhir pekan ketika libur dari pekerjaan. Saya sering memanfaatkan waktu akhir pekan ini terutama di pagi hari. Jika beruntung, dalam dua jam bisa menyelesaikan beberapa tulisan sekaligus.
4. Kurangi waktu istirahat
Jika Anda benar-benar ingin konsisten menulis sementara Anda juga orang yang sibuk, mau tidak mau harus ada waktu istirahat yang harus dikorbankan. Sebagai contoh sepulang kerja mungkin Anda harus bercengkrama dengan keluarga sampai waktunya tidur malam. Setelah anggota keluarga tertidur, Anda dapat memanfaatkan waktu untuk menulis. Atau sebaliknya, Anda bisa ikutan tidur dan bangun di tengah malam untuk menyelesaikan tulisan.
Mengurangi waktu istirahat adalah cara paling akhir jika memang Anda benar-benar tidak punya waktu. Lantas bagaimana dengan kewajiban kerja keesokan harinya? Jika sudah terbiasa, maka tubuh akan membiasakan diri. Jadi cukup dengan tidur 3-4 jam sehari sudah membuat Anda segar untuk melaksanakan tugas keesokan harinya.
5. Catat ide tulisan
Ide dapat muncul kapan saja. Sama seperti Newton yang mendapat ide gravitasi ketika melihat sebuah apel jatuh. Oleh karena itu segera catat segala ide yang melintas di kepala Anda. Menundanya akan membuat lupa dan menghabiskan energi ketika berusaha mengingatnya kembali.
Catatan ide ini sangat berguna ketika Anda punya waktu senggang untuk menulis. Seringkali orang yang tidak membuat catatan kehabisan waktu mencari ide ketika sebenarnya dia punya waktu yang cukup untuk membuat tulisan.
Saya pribadi memiliki catatan khusus untuk semua ide tentang tulisan yang ingin saya buat. Total ada 50 judul dan ide di sana. Setiap kali saya terpikir akan suatu ide, kutipan, frase yang menarik, akan segera saya catat. Ketika nanti punya waktu luang, saya tinggal membaca daftar tersebut dan menulis yang paling menarik dan nyaman buat saya saat itu.
IDE sudah mantap, menulis sudah dilakukan, tulisan sudah jadi, tapi … takut mempostingnya. Nah lho. Kalau menemukan pesharing berperilaku demikian tanpa banyak komentar dikatakan: “Mas, tulisan itu tulisan siapa? Blog itu punya siapa? FB itu milik siapa? Punya Sampeyan kan?”
“Ya”, katanya pendek. “Tapi, saya tidak PD. Minder”, jelasnya mantap. “Begini saja. Coba mindset Sampeyan di upgrade”. “Maksudnya?”, tanyanya bingung. “Begini”, kata saya sesabar mungkin sekaligus ‘menyinggung’ agar rasa percaya dirinya bangkit.
“Sampeyan itu berpikir, orang lain jahat semua. Tidak baik itu. ‘Curigation’ boleh, namun kalau berlebihan merugikan diri sendiri, dan menumpuk dosa”. Dikuliahi sekalian biar lebih mantap: “Hilangkan kecurigaan, biasakan berprasangka baik”. Pikiran buruk itu bersarang di batok kepala Sampeyan.
Wajar saja dia kurang berterima. “Saya tidak …”. Langsung dipotong. “Coba. Anggap saya, juga teman-teman blogger atau Facebooker saudaramu. Orang yang mau menolong. Kalau salah, tidak akan ditertawakan, tetapi dibetulkan. Kalau sesama saudara, mana ada istilah malu. Kekurangan dijadikan bahan perbaikan agar lebih baik”.
Setelah kuliah agak ‘ganas’ pesahring tersebut mengalami kemajuan menulis sangat baik. Dia tidak takut lagi salah. Tidak membesarkan kesalahan, tidak menganggap salah dan kesalahan aib besar. Sekalipun dikatakan: “Kalau salahnya itu-itu saja, salah yang berulang, itu bodoh namanya”.
SALAH KOK DIPELIHARA
Yap, salah adalah hak kita, milik kita. Nabi Adam AS saja melakukan ‘kesalahan’ agar menjadi pelajaran buat manusia sampai hari kiamat. Apalagi menulis. Salah? Ya, bagus itu. Kalau sadar salah, perbaiki. Kalau diketahui teman, ditunjukkan dimana salahnya, perbaiki. Enteng saja kok. Bersalah (dosa) kepada Allah SWT boleh-boleh saja. Makanya dibukakan pintu minta ampun, pintu tobat.
Apalagi, ya apalagi, kalau belajar menulis, baru penulis pemula. Saya pikir, semua penulis pernah melakukan kesalahan. Tetapi, jangan dituduh semua penulis bersalah. Itu lain lagi maknanya. Dari kesalahan itu belajar dengan mantap. Kenapa harus malu? Salah dan kesalahan dipahami agar tidak bersalah pada kesempatan berikutnya.
Hanya mereka yang sok perfeksionis saja yang tidak menoleransi salah, apalagi pada awal belajar. Baru belajar saja sombong, sok hebat. Tapi, kalau menulis untuk lomba, kompetisi, atau karya keilmuan atau sederajatnya, ya tidak mungkin ditolerir. Pada hal sedemikian kualitas prima yang dipertaruhkan.
Dengan kata lain, turunkan kadar kesombongan. Salah, biar saja. Namanya juga belajar. Baru belajar menulis tulisan disepadankan dengan karya Sitor Situmorang, yo opo rek.
Mari lawan takut salah dengan mempublikasikan tulisan, dan dari situ belajar, menapak tulisan agar tidak salah. Salah adalah jalan menuju betul. Mari lakukan, dan dari situ tancapkan percaya diri alias PD. Tidak PD kok dipelihara dengan bangga. Aya-aya wae.
Subscribe to:
Posts (Atom)