Sunday, 16 May 2010

Aku Menghasilkan Tulisan karena Itu Aku Ada

Fenomena Kemiskinan dalam Sastra
Oleh : ismail kusmayadi

Banyak karya besar yang lahir dari kubangan derita dan kemiskinan. Tema-tema sosial masyarakat menyangkut kemiskinan selalu diangkat dalam beragam peristiwa. Seakan-akan kemiskinan menjadi sahabat karib para sastrawan. Bahkan ada yang berseloroh: “Kalau ingin menciptakan karya besar haruslah merasakan terlebih dahulu derita kemiskinan. Sebab, ide-ide brilian terkadang lahir dari keadaan tertekan dan hati penuh derita.”

Begitulah mungkin kenyataannya. Kita dapat membaca beberapa karya yang lahir dari kenyataan seperti itu. Misalnya, kisah Oliver Twist (1838) karya Charles Dickens. Dickens yang hidup dalam keluarga miskin dan kehidupan masa kanaknya yang suram, memberikan karakter kuat pada tokoh-tokoh dalam Oliver Twist. Begitu juga dengan J.K. Rowling. Dari kehidupannya yang serba terbatas, mampu melahirkan Harry Potter yang menyihir jutaan pembacanya. Selain Dickens dan J.K. Rowling, masih banyak lagi sastrawan lain yang lahir dan melahirkan karya dari derita kemiskinan, seperti Leo Tolstoy, O’Henry, Maxim Gorky, William Saroyan, dan Albert Camus.

Banyak pula sastrawan Indonesia yang lahir dari derita kemiskinan atau meng¬angkat tema-tema kemiskinan, orang-orang kere, dengan segala probelamatikanya. Kita bisa membaca cerpen-cerpen Joni Ariadinata yang meletup-letup dan terkadang absurd. Atau cerpen-cerpen karya Hamsad Rangkuti yang banyak mengangkat masalah sosial yang dialami oleh orang-orang pinggiran.

Kemiskinan menjadi fenomena sosial yang tidak terbantahkan. Bahkan kemis¬kin¬an menjadi potret buram dan ironisme di tengah kemajuan zaman dan perkembangan teknologi. Sehingga tidaklah mengherankan, kemiskinan menjadi tema sosial yang selalu menarik untuk diangkat menjadi tema cerita. Tujuannya bukan hanya sekadar memperlihatkan realitas objektif, melainkan mengungkap jutaan makna yang tersirat dalam kemiskinan itu sendiri.

Orang-orang miskin selalu menjadi objek penderita berbagai pihak. Bahkan tidak sedikit kemiskinan menjadi “barang dagangan” yang laku dijual saat kampanye pemilihan presiden sampai pemilihan lurah. Kemiskinan menjadi tontonan yang meng¬untungkan dalam sinetron atau aksi-aksi sosial para pejabat dan selebritis.

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup (James. C.Scott, 1981).

Bagaimana jadinya pembicaraan tentang kemiskinan ini tertuang dalam karya sastra? Apa makna yang dapat kita peroleh dari karya sastra yang mengangkat tema sosial ekonomi seperti ini?

Karya sastra tidak terwujud begitu saja. Dalam proses penciptaannya, pengarang menjalin berbagai unsur pembentuknya untuk mendukung konsep yang hendak digarapnya. Selain unsur intrinsik, pengarang pun sangat terkait dengan unsur ekstrinsik dalam menggambarkan keadaan lingkungan atau status sosial yang akan diangkat dalam cerita.

Hal itu kemudian tergambar jelas, salah satunya, dalam kumpulan cerpen Sampah Bulan Desember (Penerbit Buku Kompas, 2000). Buku yang ditulis oleh Hamsad Rangkuti ini terdiri atas 15 cerpen. Hal yang menarik perhatian adalah cepen-cerpen Hamsad bukan hanya mengangkat tema kemiskinan, melainkan mampu mengungkap sisi lain dari kemiskinan tersebut. Apa yang diungkapkan Hamsad dalam cerpen-cerpennya pada hakikatnya adalah realitas objektif masyarakat yang setiap hari terjadi dan begitu adanya. Dengan pengamatan yang jeli, kehidupan yang lumrah itu kemudian menjadi sesuatu yang menarik dan penuh makna ketika diangkat ke dalam sebuah cerpen.

Sejatinya, para pemimpin kita mau memahami kenyataan di masyarakat melalui karya sastra. Para sastrawan telah berusaha merekam dan memotret realitas objektif untuk dijadikan referensi tentang bagaimana seharusnya menyikapi hidup ini.



SASTRA DAN SENI UNTUK MEMBASMI KORUPSI
Oleh : Johan Rio Pamungkas

Masalah korupsi sesungguhnya bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia. Bukan hanya sejak Pemerintah Soeharto-Orde Baru saja yang dituduh melakukan tindak korupsi, tetapi juga jika menelusuri jauh ke masa lampau, pada periode penjajahan Belanda dengan VOC-nya, kita sudah memperoleh fakta tentang terjadinya korupsi besar-besaran dari lembaga dagang yang kemudian juga punya kuasa di bidang militer dan pemerintahan itu. Di dalam tubuh VOC, ternyata yang terjadi adalah korupsi besar-besaran. Selanjutnya yang terjadi yakni, VOC bangkrut. Lembaga yang memiliki otoritas yang demikian kuat akhirnya dilikuidasi dan Hindia Belanda kemudian diperintah oleh Pemerintah Belanda.

Penyakit korupsi VOC itu, tampaknya tidak pernah berhenti dan terus terjadi bahkan menular dan menjalar ke Orde Lama berlanjut ke Orde Baru sampai ke masa kini.

Sehingga, dapat kita saksikan sekarang korupsi telah menjadi satu entri kata yang paling terkenal di Indonesia bahkan dapat dibilang korupsi adalah legenda hidup yang masih bertahan di negeri ini. Sementara, para pelakunya sudah mati namun korupsi tidak mati hanya berpindah ke lain hati untuk merasuki hati tersebut melakukan korupsi dan membujuk hati-hati yang lain agar melakukan hal yang sama.

Korupsi telah berhasil menjadi makhluk yang seperti tidak tertandingi di negeri ini. Hanya basis agamalah yang diceritakan dapat menjadi benteng terakhir melawan korupsi. Namun, ternyata realita yang ada saat ini di tanah pertiwi kini adalah, penurunan nilai akhlak dan moralitas yang juga terkorupsi membuat benteng agama keropos jua. Sampai pada satu titik di mana kita sebagai anak-anak negara, pemuda-pemuda bangsa, mahasiswa-mahasiswa Indonesia, menyerah untuk memberantas korupsi, putus asa melawan kejahatan makhluk tersebut sehingga mahasiswa akhirnya juga ikut berteman dengan korupsi.

Tapi kawan, jangan berputus asa dulu karena ternyata harapan itu masih ada. Percayalah bahwa tabir yang memisahkan antara kita dan keberhasilan hanyalah keputusasaan. Jika harapan itu kuat dalam diri kita, maka dengan izin Tuhan kita akan bisa melawan, memberantas bahkan membasmi korupsi. Karena tidak hanya satu kekuatan bahkan ada dua kekuatan lain yang masih bisa diharapkan menjadi lawan tanding dari korupsi, yakni sastra dan seni.

Dalam berbagai cerita peradaban, hasil karya seni dan sastra seburuk apa pun, sejelek bagaimanapun bisa mendidik pengapresiasinya untuk bersikap kritis dalam menilai apa yang disajikannya. Seorang maupun sekelompok orang yang dicuci otaknya melalui moralitas karya sastra dan seni pada hakikatnya adalah sebuah investasi besar bagi bangsa dan negara untuk memperbaiki sistem. Hal inilah yang bisa disebut sebagai kekuatan dari sastra dan seni sehingga mereka dapat digunakan sebagai alat pembasmi korupsi.

Sebuah karya sastra dan seni bisa menjadi alat komunikasi. Mereka juga bisa menjadi alat pengrusakan dan penghinaan. Ada pukulan yang menyakiti dan ada kata-kata serta gambar yang lebih menyakiti. Ada pukulan yang melukai dan ada kata-kata juga gambar yang membunuh. Adalah kata-kata serta gambar yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk dan keluar dari diri kita.

Puisi berjudul “Negeri Para Bedebah” karya Adhie Massardi, yang sempat dibacakan langsung di Kantor Pemberantasan Korupsi, adalah contoh nyata bagaimana kekuatan sastra bisa memukul balik korupsi. Kemudian, dari seni kita bisa mendengarkan Grup Band Slank mendendangkan lagu “Gosip Jalanan” yang mencerminkan kenyataan banyaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat menjadi penghuni penjara akibat kasus korupsi. Lalu, kita lihat bagaimana para seniman anti korupsi melukis tentang pemerintahan yang korup, kita juga bisa menyaksikan pementasan teater tentang perjuangan Komisi Pemberantasan Korupsi menjaga idealismenya saat peringatan hari anti-korupsi 9 Desember 2009 lalu.

Dilihat dari contoh di atas, maka tak salah kiranya jika para mahasiswa Indonesia meningkatkan apresiasinya terhadap seni dan sastra, sehingga merupakan bekal untuk membasmi korupsi. Tingkat apresiasi terhadap karya seni dan sastra yang rendah di Indonesia dapat dikaitkan dengan tingginya jumlah kasus korupsi di Indonesia. Setelah agama yang dianggap sebagai benteng terakhir runtuh, maka bangunlah benteng yang baru, tidak cukup hanya satu tetapi dua yakni sastra dan seni. Karena telah dapat dibuktikan di negara-negara maju, tingkat apresiasi sastra dan seni yang tinggi bisa menekan angka korupsi karena dari sana muncul rasa menghargai dan nurani tidak menjadi mati. Dari rasa menghargai dan nurani yang tidak mati inilah akhirnya seseorang dapat memahami bahwa korupsi artinya tidak menghargai orang lain, korupsi artinya mengambil hak orang lain, korupsi artinya menyiksa orang lain kemudian dari pemahaman tersebut seseorang tidak jadi melakukan korupsi.

Berteater meningkatkan intellegensi ganda
Oleh : solihin ardy

Otak bukan hanya segumpalan materi yang dapat dibandingkan sebagai gumpalan daging yang biasa. Tetapi otak memiliki fungsi yang sangat penting untuk kita, seperti juga fungsi jantung untuk peredaran darah dalam tubuh kita. Otak manusia dewasa diperkirakan mengandung antara 12-15 miliyar sel saraf, itupun sel yang ada pada otak besar (neokorteks) belum ditambah dengan otak reptil dan mamalia, sehingga mencapai 200 miliar sel..Dan dari situlah manusia memiliki berbagai kemampuan seperti daya ingat ,berfikir,merasa dan lain sebagainya.

Dari pembagian otak tersebut, dibagi lagi menjadi dua fungsi yaitu fungsi otak kiri dan otak kanan. Dari setiap belahan otak itu mempunyai fungsi tersendiri yang diatur oleh “alat” penghubung kedua otak tersebut. Dan koordinasi dari kedua otak itu yang memaksimalkan fungsinya, .kalau penghubung itu terganggu, kedua belahan otakpun ikut terganggu. Otak kiri terkait dengan kemampuan logika, matematika, bilangan , bahasa, daya ingat dan daya analisa. Sementara belahan otak kanan banyak berfungsi dalam penguasaan bentuk dan pola, penguasaan ruang, irama, penggambaran, imajinasi dan ukuran dimensional.

Setidaknya ada tiga kemampuan yang biasa disebut orang dengan istilah kecerdasan (intelligence). Dan ke-tiga inteligensi itu diperjelas oleh Ary Ginanjar Agustian secara detil dan hubunganya dengan fungsi otak yang sangat kompleks. Sebelumnya orang mengira bahwa IQ (Intellegence Quotient) merupakan penentu kesuksesan dalam hidup. Jika IQ-nya tinggi maka, dia akan mendapatkan kesuksesan dalam belajar dan akhirnya mendapat kesuksesan dalam hidup. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar, karna banyak orang pintar dan ber-IQ tinggi pada kenyataanya dia mengalami kesulitan hidup. Artinya, bahwa perlu ada pendukung – pendukung yang lain sebagai penyeimbang, seperti EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient) pernyataan Ary Ginanjar Agustian mengenai tiga kecerdasan tersebut mendapat sambutan yang luar biasa sehingga bukunya mengenai ESQ menjadi best Seller.

Berbagai pola pelatihan teater pernah saya ikuti bahkan saya juga mengikuti berbagai workshop teater yang diperuntukkan bagi calon-calon aktor dari unsur pelajar dan mahasiswa juga beberapa orang dari komunitas independen.

Disela-sela proses latihan itu saya teringat seorang teman yang mengatakan “seorang aktor itu harus cerdas”. Ungkapan itu terus melekat di pikiran saya, apakah memang benar menjadi aktor harus cerdas dan memungkinkan menjadi cerdas. Sementara teman saya yang lain mengatakan “mau jadi apa dengan berteater ?”. Dua pendapat itu sempat membingungkan, tapi, tetap saya jalani berlatih teater bersama kawan-kawan di komunitas Independen, karna saya yakin ada banyak hal yang menarik dalam proses pelatihan itu.

Ada beberapa hal yang dapat diambil pelajaran dari workshop dan latihan teater,yang akan terungkap di sini. Pada bulan pertama kami dilatih olah vokal dan artikulasinya, juga cara pengucapanya secara staccato, vibration dan long voice. “Seorang aktor harus memiliki vocal yang baik, memiliki power, dan artikulasinya harus jelas”, ungkap instruktur kami. Ada beberapa poin yang menarik dari olah vokal ini apabila dilakukan dengan rutin, karena kecerdasan berbahasa akan berkembang dengan sendirinya. Inteligensi linguistik adalah kemampuan menggunakan dan mengolah kata-kata secara efektif, baik secara oral yang kemungkinan akan berkembang pada kemampuan menulis. Olah vokal juga dapat menambah kemampuan berbahasa dengan baik.

Selama satu bulan tersebut sebelum pelatihan dimulai kami disarankan untuk melatih vocal terlebih dahulu.kemudian baru meningkat ke sesi selanjutnya.

Masih pada satu bulan pertama, kami digembleng untuk mengolah tubuh dengan baik, fisik, kelenturan dan gesture. Pengolahan badan secara rutin sangat ideal untuk peningkatan Intelegensi kinestetis – badan. Menurut Gadner, kemampuan ini adalah kemampuan menggunakn tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan. Pada sesi ini aktor diharapkan mampu mengeksplorasikan diri dalam sebuah pementasan teater dengan baik.

Pada bulan kedua kami dilatih mengapresiasikan diri secara total,ber-interaksi dengan lawan main, bahkan juga meng-intregasikan diri pada alam (nature).pelatihan ini adalah sebuah upaya untuk mengembangkan Inteligensi inter- personal. Bagaimana seorang aktor harus memahami dengan baik aktor-aktor lain yang menjadi lawan main, secara psikologis; sikap yang dimiliki, karakter dan perasaan yang lebih dalam lagi, Kecerdasan ini untuk melatih bagaimana seorang aktor dapat mudah bekerja sama dengan orang lain, dapat berkomunikasi dengan baik,. komunikasi secara verbal atau

non - verbal. Kecerdasan ini juga melatih aktor untuk peka terhadap teman, terhadap penderitaannya, persoalan-persoalan yang dialaminya sehingga mudah berempati.

Selanjutnya, kami diberi materi tentang blocking. Bagaimana sebaiknya penempatan diri sang aktor ketika berada di panggung, dan memperhatikan hal-hal kecil yang memberi pengaruh terhadap baik tidaknya pementasan. Pementasan akan menjadi menarik ketika mempertunjukkan bisnis acting secara detil. Posisi sang aktor juga menjadi bagian yang menarik selain gesture, vocal, dan power yang baik. Kemampuan memposisikan diri (blocking) dalam pementasan teater adalah sebuah kecerdasan tersendiri yang menurut Gadner adalah Iintelignsi ruang-visual.

Seorang aktor dengan melatih bloking dan memiliki peresepsi yang baik terhadap benda-benda artistik yang ada di sebuah panggung, secara otomatis akan mengembangkan inteligensi ruang. Dan proses latihan yang terus meneruslah yang menjadi kecerdasan itu meningkat.

Sebelum memulai latihan, kami terbiasa melakukan meditasi bersama dengan harapan Energi yang terkumpul menjadi sebuah kekuatan motivasi bagi kami. Dengan berbagai macam bentuk meditasi, upaya yang ingin dicapai adalah kemampuan untuk berkonsentrasi, introspeksi, dan pada akhirnya adalah intregasi diri yang akan melahirkan sebuah kesadaran yang tinggi. Kemampuan seperti ini dalam konsep multiple intelligence adalah Inteligensi intra-personal yaitu kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri, dan kemampuan untuk bertindak secara adaftaif berdasarkan pengenalan diri, termaksud kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri. (paul suparno, 2004). Seorang aktor dituntut untuk memiliki kesadaran akan dirinya, sehingga tidak menjadi sombong dan tinggi hati terhadap aksi peranya dalalm beberapa pementasan yang sudah dilakukan.

Pada tahap selanjutnya, kami berlatih untuk berinteraksi dengan alam sekitar dan sang instruktur membawa kami ke sebuah pedesaan kecil yang terdapat alir sungai dan air mancur, kemudian kami memulai untuk bermeditasi di sekitar sungai kecil dan di bawah air terjun. Kami dituntun untuk mencoba mensenyawakan perasaan dengan suara-suara alam; benturan air pada batu, kicau burung, hembusan angin dan pancaran air terjun yang menusuk-nusuk kepala kami. Pola pelatihan seperti ini diharapkan menjadikan aktor lebih mawas diri introspeksi cinta terhadap alam dan lingkunganya. Kemampuan disebut juga dengan Inteligensi lingkungan yaitu sebuah kemampuan untuk memahami flora dan fauna dengan baik, karena dapat membuat distingsi konsekwensial lain dalam alam natural; kemampuan memahami alam, dan mempergunakan kemampuan ini dengan produktif untuk mengembangkan pengetahuan akan alam, yang selanjutnya dengan secara sadar akan mencintai lingkungan alam sekitarnya.

Potensi yang dimiliki oleh setiap orang akan berbeda-beda tingkatanya, sehingga tugas kita untuk mencari mana yang paling menonjol dan kemudian mengmbangkanya terlebih dahulu, karna tanpa sebuah prioritas-prioritas kita akan kesulitan untuk memilih dan mensistematikkan inteligensi yang ada.

Dalam pementasan sebuah teater biasanya ada alunan musik yang mengiringi, sebagai unsur penguat cerita dalam sebuah naskah. Aransemen musik dalam produksi teater harus sesuai dengan suasana naskah ketika itu, latar belakang, tokoh dan lain sebagainya, yang dapat dipahami secara logika. Kemampuan untuk mengiringi pementasan teater dengan musik pendukung adalah merupakan proses mengasah Intligensi musikal. Dengan memaksimalkan kemampuan inteligensi musikal, akan meningkatkan fungsi bahasa, seni dan kemampuan yang lain. Apabila salah satu inteligensi terkena stimulus maka layanan fungsi otak terhadap kegiatan mental tertentu akan menjadikan semua inteligensi bekerja secara bersama.(Gardner, 1990).

Setiap manusia lahir memiliki bakat (potensi) lebih dari satu, dan semuanya itu dapat digali dan dikembangkan menjadi sebuah kemampuan yang luar biasa. Karna itu perlu adanya pola pembelajaran untuk mengembangkan diri (Empowering) yang sistematik, sehingga potensi-potensi yang ada pada kita tergali secara maksimal. Beberapa inteligensi tersebut muaranya adalah pada kaspasitas otak besar, otak tengah dan otak kecil. Dan dari belahan otak besar tersebut, fungsi otak kanan dan otak kiri akan semakin bekerja secara maksimal apabila kita mampu mensenyawakan kedua fungsi otak tersebut.

Kaki Ine Dan Kesederhanaan (Ulasan Cerpen "Kaki Yang Terhormat" karya Gus tf Sakai)
Oleh : Agus Dwi Putra

"Bila ada peribahasa berkata pelihara lidah, berjalan pelihara kaki, maka Anda boleh yakin, hanya penggal terakhirlah yang penting bagi nenek saya," demikian ditulis oleh Gus tf Sakai dalam cerpen "Kaki Yang Terhormat”.

Nenek yang dikisahkan di sini sangat percaya bahwa kaki adalah penentu kehidupan dirinya, dan karenanya pula dipercayainya berlaku juga bagi setiap insan. Dikisahkan, nenek, yang biasa dipanggil dengan sapaan Ine oleh tokoh utama, sewaktu muda sering naik ke bukit. Tentu saja berjalan kaki menyusuri jalan mendaki dan berbatu. Atas motivasi apa Ine muda melakukan itu?

Kata Ine, "... karena di situlah peruntungan Ine."

Ine tidak melakukannya karena terpaksa, misalnya diperintahkan ikut mendaki untuk memotong ranting bersama saudara-saudaranya. Ine juga tidak mendaki bukit demi kesukaan belaka. Dalam kisah ini, boleh jadi Ine melakukannya untuk mengejar tujuan yang jelas: peruntungan. Bukan karena terpaksa, mengandung pengertian bahwa kegiatan itu dilakukannya dengan kehendak bebas. Bukan karena kesukaan, mengandung pengertian bahwa ia mengerti keuntungan yang akan ia peroleh dari rutinitas yang perlu dijalaninya itu.

Ini menarik untuk digali. Bukankah dalam kecenderungan itu tersirat gambaran kehendak bebas untuk mencapai tujuan? Gus tf Sakai menggunakan simbol kaki untuk merepresentasikan kuasa itu. Ine, dengan demikian, adalah sosok yang sangat percaya bahwa setiap insan memiliki kuasa membawa kehidupan masing-masing, entah ke puncak kebahagiaan atau ke dalam palung kesengsaraan. Boleh jadi pula, dengan dasar itu Ine dapat berkata, kaki adalah bagian tubuh yang paling penting. Ketika Ine "... mengangkat sebelah kaki, dengan telunjuk menukik lurus ke bawah", saya membayangkannya sedang berusaha untuk semakin menyadari besarnya potensi kuasa itu.

* * *

"Kaki Yang Terhormat", demikian judul cerpen ini. Judul yang dibuat rinci (bukan "Kaki" saja") barangkali sengaja digunakan untuk mempertegas bahwa ada juga kaki yang tidak terhormat.

Ketika Mak Etek Harun pergi kuliah ke Jakarta, Ine berujar, ”Kakilah yang menentukan hidup seseorang akan seperti apa. Dan kaki itu kini telah membawa Mak Etek kalian ke Jakarta.” Pada titik ini kehendak Mak Etek untuk melanjutkan pendidikan di ibu kota adalah sesuatu yang terpuji: kakinya terhormat.

Sampai akhirnya terdengar kabar dari seseorang di kampung sebelah yang merantau ke Jakarta: di Jakarta, Mak Etek ke mana-mana naik helikopter! Dikisahkan bahwa orang-orang takjub bukan kepalang. Namun, saat semua orang di kampung menanti kepulangannya, yang kabarnya mau membangun pabrik semen di sana, beredarlah "berita besar (yang) menghantam bagai geledek: Harun terlibat kasus korupsi." Pada bagian ini Gus tf Sakai menuntaskan penggambaran atas sosok Ine beserta pendapatnya mengenai kaki. Ia menulis:

"Kau tahu apa sebenarnya yang membuat Mak Etekmu celaka?"
Saya menarik kepala. Memandang bibir krumput nenek lalu menggeleng.
”Karena ia tak lagi menggunakan kakinya. Karena ke mana-mana hanya dengan kendaraan, di atas helikopter itu saja.”

Ungkapan itu, ungkapan ”karena ia tak lagi menggunakan kakinya, ke mana-mana hanya dengan kendaraan” menjadi penggambaran utuh tentang gagasan Ine, khususnya tentang kaki atau kuasa. Ruang pemaknaannya sangat luas, tetapi ungkapan ini setidaknya dapat menyiratkan bahwa ketika insan tidak menggunakan kuasanya untuk membendung keinginan yang beraneka rupa, mereka akan terbawa di atas keinginan-keinganannya (yang disimbolkan dengan kendaraan). Mereka niscaya akan celaka.

Kita dapat mengira bahwa sosok Ine dalam cerpen ini adalah simbol kesederhanaan. Ia tampak sengaja digambarkan melalui karakter seorang nenek untuk mengingatkan:kita: yang sederhana itu sudah menjadi semakin tua dan rapuh di zaman modern ini.

Gagasan Takdir dalam Grotta Azzura
Oleh : ismail kusmayadi

Cerita diawali dengan pertemuan Ahmad dan Janet di sebuah kapal Capri-Sorrento. Mereka sama-sama berniat liburan di Pulau Capri yang terkenal akan keindahannya itu dengan maksud untuk menghilangkan kesepian masing-masing.

Ahmad, seorang laki-laki berusia 47 tahun. Ia adalah seorang tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ia bersama kawan-kawannya dari PSI melancarkan pemberontakan terhadap Presiden Soekarno. Mereka bermaksud mendirikan pemerintahan baru, tetapi pemberontakannya gagal dan Ahmad lebih memilih lari keluar negeri. Karena letih memikirkan segala persoalan yang menimpa negerinya serta kekecewaannya atas kegagalan pemberontakannya, Ahmad memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai sekretaris di sebuah perusahaan mobil dan berniat menenangkan pikirannya dengan cara berlibur ke sebuah pulau yang indah, yaitu Pulau Capri. Di tempat wisata itu ada suatu tempat yang dinamai Grotta Azzurra (Gua Biru).

Adapun Janet Marcelin adalah seorang janda asal Perancis, berusia sekitar 35 tahun. Ia seorang yang cantik dan pandai. Janet bekerja di Museum Louvre, Paris. Janet sangat mengenal Italia, terutama segala sesuatu yang berhubungan dengan seni lukis, patung, dan sejarah lama. Pertemuannya dengan Ahmad telah mem¬berikan nuansa hidup baru. Mereka sering berdiskusi tentang seni, kebudayaan, emansipasi, seks, politik, dan segala hal yang berhubungan dengan Timur-Barat.

Begitulah, cerita dalam roman Grotta Azzurra karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berlanjut dengan serangkaian diskusi panjang tentang persoalan-persoalan yang terjadi saat itu, terutama pertentangan antara budaya Timur dan Barat. Roman ini sudah jarang kita temui di toko-toko buku. Sampai saat ini belum ada edisi cetak ulang. Bahkan para siswa sekarang sulit untuk sekadar melihat ‘sosok’ bukunya. Mungkin hal ini disebabkan oleh bobot isi cerita yang terlalu berat karena berisi ide-ide yang rumit, jumlah halaman yang cukup tebal untuk ukuran roman Indonesia saat itu (556 halaman), atau mungkin ada unsur-unsur lain yang sifatnya politis sehingga roman ini tidak dicetak lagi. Saya sendiri hanya membaca judul novel tersebut sewaktu SMU tanpa pernah melihat apalagi membacanya. Baru setelah kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, saya menemukan dan membaca novel tersebut. Terlepas dari permasalahan itu semua, ternyata roman ini tetap menarik untuk dikaji.


Tentang STA

Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dilahirkan di Natal, Tapanuli pada 11 Februari 1908. Pendidikan secara formal diawalinya di HIS (Hollands Indische School) Bengkulu tahun 1915-1921. Kemudian, dilanjutkan ke Kweeksschool di Bukit Tinggi, Lahat, Muara Enim, pada tahun 1921-1925. Setelah itu, STA melanjutkan pendidikannya ke sekolah pendidikan guru (HKS) di Bandung tahun 1925-1928 dan Hofdacte Cursus di Jakarta tahun 1931-1933.

Semangat STA untuk belajar terus menyala. Cita-citanya untuk menjadi orang yang berguna bagi bangsa yang melahirkan dan emmbesarkannya, telah mendorong STA untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Tahun 1937, STA melanjukan pendidikannya di Fakultas Hukum UI dan gelar Master in de Rechten diraihnya pada tahun 1942.

STA tidak bernah berhenti bercita-cita, apalagi memenjarakan keinginan besarnya. Setiap kesempatan ia pergunakan untuk membangun istana masa depan yang selalu diidamkannya sehingga walaupun ia sudah kuliah di Fakultas Hukum, pada saat yang sama disempatkannya pula mengikuti kuliah-kuliah ilmu bahasa umum, filsafat, dan kebudayaan Asia Timur di Fakultas Sastra.

Pengabdiannya kepada bangsa dan negara diawalinya dengan bekerja sebagai guru SD (1928-1929) di Palembang, Sumatra. Bakat besarnya di bidang sastra menjadikan STA sebagai penulis yang produktif. Pada tahun 1930-1942, STA menjadi redaktur kepala Balai Pustaka bagian Panji Pustaka dan Buku. Pada masa itu, STA bersama Amir Hamzah, dan Armin Pane mendirikan majalah Pujangga Baru, sebuah majalah yang mempunyai andil besar dalam perkem¬bangan dan pertumbuhan bahasa dan sastra Indonesia. Untuk itulah, STA dikenal sebagai pelopor angkatan Pujangga Baru.

Dalam bidang kebahasaan, STA layak dinobatkan sebagai “Bapak Bahasa Indonesia”, karena jasa-jasanya yang besar dalam menumbuhkembangkan dan memasyarakatkan bahasa Indonesia.

STA bukan hanya seorang ahli yang mengabdikan pemikiran dan ide-idenya untuk kemajuan dirinya, akan tetapi ia juga banyak merintis kegiatan yang bermanfaat bagi kemajuan masyarakat dan bangsa, Untuk itulah pada tahun 1938, STA mencetuskan pemikirannya untuk mengadakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo. STA juga menjadi pengambil inisiatif dan pemimpin konferensi bahasa-bahasa Asing tentang The Modernization of the Languages in Asia pada tahun 1967 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Karya-karya lain dalam bidang puisi antara lain Tebaran Mega (1955), Lagu Pemacu Ombak (1979), dan Perempuan di Persimpangan Zaman. Adapun dalam bidang roman atau novel antara lain Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1937), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941), Grotta Azzurra (3 jilid 1970) dan Kalah dan Menang (1978).
Grotta Azzura sebuah Novel Ide

Ketika roman Grotta Azzurra diterbitkan, banyak pengamat dan kritikus sastra yang memberi tanggapan terhadap roman tersebut. Grrota Azzurra memang roman STA yang panjang, khususnya untuk ukuran cerita dalam sastra Indonesia. Roman ini terdiri atas tiga jilid. Isinya memuat ide-ide dan pemikiran STA ten¬tang segala hal yang diungkapkan melalui tokoh-tokohnya.

Para pengamat dan kritikus sastra Indonesia menganggap bahwa roman Grotta Azzurra merupakan roman bertendens yang paling ekstrim, atau dengan kata lain roman tersebut merupakan “terompet” pengarang untuk menyampaikan ide-idenya kepada masyarakat pembacanya. Hal serupa juga dilakukan oleh STA dalam novel Layar Terkembang. Oleh karena itu, para pengamat sastra umumnya mengatakan bahwa Grotta Azzurra merupakan kelanjutan dari Layar Ter¬kembang.

Harry Aveling menilai Grotta Azzurra karya STA dengan cara membanding¬kannya dengan Layar Terkembang. Harry Aveling mengatakan bahwa “Fungsi didaktik Layar Terkembang penting sekali. Manusianya hanya dapat dibebaskan dari ikatan masyarakat kuno untuk pengikatan baru: untuk membangun manusia modern.”

Harry Aveling pun akhirnya menyamakan Grotta Azzurra dengan Layar Terkembang. Dia mengemukakan, “Pada kesan pertama, Grotta Azzurra adalah Layar Terkembang baru….” Namun, menurut Harry Aveling pula, Grotta Azzurra mempunyai kelebihan dalam hal ini (nilai-nilai yang terkandung di dalamnya). Menurut Harry, STA adalah manusia yang konsekuen dengan pendiriannya. Ia berpikir dan berkarya secara konsisten.

Grotta Azzurra memang mengundang banyak tanggapan dari kalangan pengamat sastra. Bermacam-macam kritik dilontarkan terhadap karya tersebut, tetapi muncul juga berbagai penilaian yang menilainya sebagai suatu karya yang berbobot.

Masalah ide-ide yang ditampilkan STA yang dipandang oleh Harry Aveling sebagai fungsi didaktik itu memang menarik perhatian orang banyak, termasuk Dr. Monique Zaini Lajoubert, seorang sarjana Perancis yang mengatakan bahwa “…roman ini pertama-tama adalah roman ide dan sebagian besar terdiri dari diskusi yang panjang antara kedua tokoh utama dan orang-orang yang dijumpai mereka dalam perjalanan tentang segala macam hal, yang terutama sekali bukan saja berhubungan dengan Eropa dan Amerika Serikat, melainkan dengan negara-negara berkembang termasuk Indonesia.” Lebih lanjut Dr. Monique menilai bahwa Grotta Azzurra adalah sebuah roman yang lebih mengutaman ide ketimbang jalan ceritanya.

Bahwa STA selalu konsisten dalam setiap karyanya, yakni selalu mengetengahkan ide-idenya, juga kemukakan oleh Jacob Sumardjo yang mengatakan bahwa dalam Grotta Azzurra, STA lebih mementingkan ide, isi , daripada sastra. Adapun menurut Idrus, roman Grotta Azzurra adalah roman Indonesia yang terbaik sampai sekarang. Idrus juga memuji keahlian STA dalam menggodok sejarah kuno dan ilmu jiwa wanita untuk suatu maksud tertentu (dalam STA, 1985:131).

Selain tanggapan yang berisi penilaian yang postif terhadap roman ini, muncul juga tanggapan yang cukup keras yang dikemukakan Prof. A. Teeuw dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II. Dalam tulisannya, A. Teeuw berpendapat bahwa Grotta Azzurra adalah suatu filsafat kebudayaan yang ditulis dalam bentuk novel (Teeuw, 1989:179), dan itu dianggap sebagai suatu kesalahan pokok oleh Teeuw. Menurutnya, STA selain berperan sebagai novelis, juga ingin berperan sebagai nabi dan guru sekaligus.

Dari sini terlihat perbedaan pendapat antara Teeuw dengan Aveling Aveling menganggap Grotta Azzurra sebagai Layar Terkembang baru yang sarat dengan ide. Aveling sendiri mengaku bosan membaca Layar Terkembang, tetapi ia memberikan pujian terhadap Grotta Azzurra. Sedangkan, Teeuw lebih memuji Layar Terkembang, tetapi mengkritik Grotta Azzurra. Tentang Layar Terkembang Teeuw mengatakan bahwa “Takdir membeber¬kan pemikiran itu dengan cara yang mengagumkan dalam romannya Layar Terkembang yang merupakan contoh yang baik tentang apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya sebagai Tendenz-Kunst; dan oleh sebab itu karya itu juga memperlihatkan kekuatan serta kelemahan kesusastraan jenis itu.”

Berdasarkan beberapa pendapat yang diungkapkan mengenai Grotta Azzurra telah membuktikan bahwa dalam karya-karyanya STA telah menciptakan karya yang bertendens dengan maksud untuk memodernisasikan masyarakat pembacanya. Pada dasarnya Grotta Azzurra adalah cermin idealisme STA sepenuhnya, sehingga dalam Grotta Azzurra, STA lebih mengutamakan pemunculan ide-ide dan idealismenya ketimbang keindahan sastranya.

Aku Menghasilkan Tulisan karena Itu Aku Ada
Oleh : ismail kusmayadi

Robert Scholes mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pemerhati manusia bukan karena dia berpikir, bukan juga karena dia membaca, melainkan karena dia menulis. Melalui menulis akhirnya dia bisa menghasilkan tulisan. Dengan bermain-main dengan asas filsafat Rene Descrates yang berbunyi cogito ergo sum (aku berpikir karena itu aku ada), Scholes sampai pada kesimpulan scribo ergo sum, ’aku menghasilkan tulisan karena itu aku ada”. Sampai batas tertentu dapat dikatakan akulah tulisan yang kuhasilkan, aku adalah tulisan itu sendiri.

Paragraf tersebut saya kutip dari tulisan Subagio Sastrowardoyo dalam bukunya yang berjudul Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1999). Istilah yang terkesan plesetan yang diungkapkan Robert Sholes tersebut sebetulnya bisa menjadi penyulut semangat untuk memulai menulis. Itulah asas dasar kegiatan menulis yang sesungguhnya. Menulis bukan sekadar untuk menyalurkan hobi atau bakat, atau untuk mencari tambahan secara finansial, melainkan sebagai bentuk eksistensi kita dalam kehidupan. Eksistensi yang sesungguhnya dari manusia adalah ketika keberadaannya bermakna bagi orang lain. Bisa dibayangkan jika ada dan tidak adanya kita tidak bermakna atau tidak berpengaruh bagi orang lain. Kita akan menjadi orang yang paling merugi dalam kehidupan ini.

Di negara modern, kegiatan membaca dan menulis sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Jonathan Culler merumuskan kebutuhan menulis yang sudah hakiki di dalam masyarakat modern dengan mengatakan, ”Ia yang tidak menulis akan ditulis oleh sistem itu sendiri. Ia menjadi buah produk dari kebudayaan yang tidak dikuasainya.” (dalam Sastrowardoyo, 1999: 3). Sehingga yang dirasa penting di dalam kebudayaan modern bukan saja kebutuhan untuk membaca, melainkan juga kebutuhan untuk menulis. Dalam arti mengungkapkan diri sebagai bagian dari dunia dan hidup itu sendiri.

Jika mencoba berbalik ke masa awal mula lahirnya tulisan, kita dapat mengetahui bahwa budaya tulis merupakan mediamorfosis yang kedua setelah budaya lisan. Istilah mediamorfosis diungkapkan oleh Roger Fidler (dalam Hofmann, 1999: 9) dengan merujuk pada istilah biologi ’metamorfosis’. Salah satu binatang yang bermetamorfosis adalah kupukupu. Perubahan bentuk dari ulat menjadi kepompong, kemudian lahir kupukupu merupakan perubahan yang sangat jauh berbeda. Analogi inilah yang digunakan oleh Roger Fidler untuk menunjukkan adanya perubahan peradaban manusia yang berbeda sama sekali saat belum ada bahasa dengan setelah digunakannya bahasa. Begitu pula perubahan terjadi sangat berbeda pada saat budaya tulis muncul setelah budaya lisan.

Mesir disebut-sebut sebagai bangsa pertama yang mengenal tulisan, yang disebut hieroglif. Bangsa mesir membuat tulisan hieroglif berupa gambar-gambar. Mereka menuliskannya di batu-batu atau papirus. Beberapa sumber yang menguak sejarah tentang buku menyebutkan pula bahwa buku pertama lahir di Mesir pada tahun 2400-an SM setelah orang Mesir menciptakan kertas papirus. Kertas papirus yang berisi tulisan ini digulung dan gulungan tersebut merupakan bentuk buku yang pertama.

Ada pula yang mengatakan buku sudah ada sejak zaman Sang Budha di Kamboja karena pada saat itu Sang Budha menuliskan wahyunya di atas daun dan kemudian membacanya berulang-ulang. Berabad-abad kemudian di Cina, para cendekiawan menuliskan ilmu-ilmunya di atas lidi yang diikatkan menjadi satu. Hal tersebut memengaruhi sistem penulisan di Cina di mana huruf-huruf Cina dituliskan secara vertikal, yaitu dari atas ke bawah.

Buku yang terbuat dari kertas baru ada setelah Cina berhasil menciptakan kertas pada tahun 200-an SM. Kertas membawa banyak perubahan pada dunia. Pedagang muslim membawa teknologi penciptaan kertas dari Cina ke Eropa pada awal abad 11 Masehi. Disinilah industri kertas bertambah maju. Apalagi dengan diciptakannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (Jerman) pada abad ke-15, perkembangan dan penyebaran buku mengalami revolusi. Gutenberg telah berhasil mengatasi kesulitan pembuatan buku yang dibuat dengan tulis tangan. Gutenberg menemukan cara pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang terpisah. Mesin cetak yang dibuat Gutenberg mampu menggandakan cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak.

Mentradisikan Menulis

Selain ungkapan scribo ergo sum, ada satu ungkapan penting yang diungkapkan oleh Iman Ali bin Abi Thalib, r.a., yakni ”Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Ungkapan ini memiliki arti akan pentingnya menuangkan ilmu dan pengetahuan ke dalam tulisan. Tulisan berisi pengetahuan tersebut akan dibaca, dipahami, dan diamalkan oleh setiap generasi.

Menulis juga merupakan tradisi Qu’rani. Tidak diragukan lagi sejak al-Qur’an diwahyukan kepada Rasulullah saw., menulis berkembang menjadi tradisi baru masyarakat Arab. Tradisi ini memperkuat halaqah (diskusi) ilmiah tempat para sahabat saling membaca, mengoreksi, dan menyempurnakan bacaan dan hafalan al-Qur’an. Tradisi menulis dilakukan para sahabat bukan hanya terbatas pada penulisan al-Qur’an dan sebagian hadist, tetapi juga pada aspek yang lebih luas (Abdul Mu’ti, 2003 dalam Badiatul Muchlisin, 2004: 35).

Tradisi menulis juga dikembangkan oleh para ulama dan intelektual muslim. Kita bisa menyebut beberapa ulama besar yang mentradisikan menulis, di antaranya Iman Syafi’i yang hidupnya kaya dengan karya tulis, Ibnu Taimiyyah yang produktivitas karyanya jauh lebih anyak ketimbang bilangan usianya, dan Imam Al-Ghazali. Kitab Ihya Ulumuddin yang ditulis Imam Al-Ghazali pada Abad ke-12, sampai sekarang masih dibaca dan menjadi referensi banyak orang.

Dalam bidang pengetahuan modern, para ilmuwan muslim tak kalah cerdasnya. Karya-karyanya menjadi inspirasi para ilmuwan Barat. Misalnya, dalam bidang kedokteran kita mengenal kitab Al-Qonun fi Al-Tibb karya Ibnu Sina (Aviciena).

Abu Ali al Husain ibn Abdallah ibn Sina adalah nama lengkap Ibnu Sina. Dia adalah salah seorang tokoh terbesar sepanjang zaman, seorang jenius yang mahir dalam berbagai cabang ilmu. Dialah pembuat ensiklopedi terkemuka dan pakar dalam bidang kedokteran, filsafat, logika, matematika, astronomi, musik, dan puisi. Ibnu Sina dilahirkan pada tahun 980 M/ 370 H di Afshinah, sebuah desa kecil tempat asal ibunya, di dekat Bukhara. Ayahnya, Abdullah, adalah seorang Gubernur Samanite yang kemudian ditugaskan di Bukhara. Sejak kecil ia telah memperlihatkan intelegensianya yang cemerlang dan kemajuan yang luar biasa dalam menerima pendidikan, ia telah hafal al-Qur'an pada usia 10 tahun.

Nama Ibnu Sina semakin melejit tatkala ia mampu menyembuhkan penyakit raja Bukhara, Nooh ibnu Mansoor. Saat itu ia baru berusia 17 tahun. Sebagai penghargaan, sang raja meminta Ibnu Sina menetap di istana, setidaknya sementara selama sang raja dalam proses penyembuhan. Namun Ibnu Sina menolaknya dengan halus. Sebagai imbalan ia hanya meminta izin untuk menggunakan perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Tujuannya adalah mencari berbagai referensi dasar untuk menambah ilmunya agar lebih luas dan berkembang. Kemampuan ibnu Sina yang cepat menyerap berbagai cabang ilmu pengetahuan membuatnya menguasai berbagai macam materi intelektual dari perpustakaan Kerajaan pada usia 21.

Sampai kini ilmunya yang ditulis dalam buku Al Qanun Fi al-Tibb tetap menjadi dasar bagi perkembangan ilmu kedokteran dan pengobatan dunia. Karena itu Ibnu Sina menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan ilmu kedokteran dunia. Bukunya "Al Qanun" diterjemahkan menjadi "The Cannon" oleh pihak Barat, yang kemudian menjadi rujukan banyak ilmuwan abad pertengahan. Buku itu di antaranya berisi eksiklopedia dengan jumlah jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan. Bahkan diperkenalkan penyembuhan secara sistematis dan dijadikan rujukan selama tujuh abad kemudian (sampai abad ke-17).

Berdasarkan contoh yang telah disebutkan, kita semakin memahami tentang ”pengabadian eksistensi kita” dalam karya tulis yang kita buat. Sampai detik ini para ilmuwan itu seakan-akan masih hidup dan eksistensinya dapat dirasakan. Tulisan yang dihasilkannya membuat dirinya tetap ada dan menjadi bagian dari ”sesuatu yang mampu mengubah sesuatu”.

”Mengikat ilmu dengan menuliskannya” merupakan cara agar ilmu yang dimiliki seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain. Salah satu hadist menyebutkan: ”Bila anak Adam telah mati, maka terputus semua amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mau mendoakannya.” Dengan kata lain, menuliskan ilmu yang dapat bermanfaat bagi orang lain akan menjadi sumber pahala dari Allah Swt. yang tiada terputus meskipun kita sudah meninggal dunia.

Sebagai penulis pemula terkadang saya diliputi rasa was-was dan khawatir kalau tulisan yang saya buat tidak bermutu, kurang bermanfaat, klise, ’kacangan’, sok, bahkan mungkin dianggap salah secara konsep. Perasaan itu yang kadang membuat saya menjadi tidak percaya diri, pesimistis, dan mematikan keinginan untuk menulis. Akan tetapi, ungkapan scribo ergo sum, terus-menerus terngiang-ngiang di telinga, di hati, dan di pikiran saya sehingga memacu diri saya untuk terus belajar menulis. Keinginan untuk memeroleh pahala dari Allah Swt. menjadi kekuatan yang luar biasa bagi saya untuk memulai menulis. Saya yakin tidak akan ada karya tulis yang baik jika tidak dimulai dengan menulis. Oleh karena itu, saya mengajak kepada semua orang, terutama para guru yang mempunyai perasaan yang sama dengan saya, untuk memulai menulis.

No comments: