Monday, 31 May 2010

Lomba Cipta Puisi Balada dan cerpen Berbahasa Indonesia

Puisi dapat didefinisikan sebagai :
“Hasil cipta manusia yang terdiri atas satu atau beberapa larik (baris) yang memperlihatkan pertalian makna dan membentuk bait. Keindahan puisi terletak pada persamaan bunyi (rima, sajak) dan iramanya” (Kamus lengkap Bahasa Indonesia, Hoetomo M.A, 2005).
Definisi puisi yang lain, silakan dilihat di sini.
Jenis puisi beraneka ragam, tergantung klasifikasinya.

Berdasarkan zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.
1. Puisi Lama
Puisi yang sifatnya masih asli, belum terpengaruh oleh Barat.
a. Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
b. Disampaikan lewat mulut ke mulut, sehingga bisa juga disebut sastra lisan.
c. Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.
2. Puisi baru
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.
Berdasarkan bentuk dan isinya, puisi lama dibedakan atas :
1. Mantra adalah ucapan-ucapan (kata-kata) yang mengandung hikmat, dan memiliki kekuatan gaib.
2. Bidal atau peribahasa, yang meliputi :
a. Pepatah : Kiasan yang dinyatakan dengan kalimat.
b. Ungkapan : kiasan yang dinyatakan dengan sepatah kata
c. Perumpamaan : mengungkapkan keadaan/kelakuan seseorang dengan mengambil perbandingan alam sekitarnya.
d. Tamsil/Ibarat : Perumpamaan yang diiringi dengan penjelasan
e. Pemeo : kata-kata/slogan yang menjadi popular karena sering diucapkan kembali, berisi dorongan semangat atau ejekan.
3. Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi.
Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/ nasihat, teka-teki dan jenaka.
Pembagian pantun menurut bentuknya :
a. Pantun biasa
b. Pantun berkait : Terdiri dari beberapa bait yang sambung-menyambung.
Disebut juga pantun berantai, atau seloka.
c. Talibun : terdiri dari 6, 8 atau 10 baris.
d. Pantun kilat (Karmina) : terdiri dari 2 baris (baris pertama sampiran, baris kedua isi). Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab (dari kata syu’ur=perasaan) yang berciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita. Menurut isinya, syair dibedakan menjadi : Syair dongeng, syair sindiran, syair hikayat, syair cerita kejadian, dan syair agama/budi pekerti.
4. Gurindam : puisi yang berisi nasehat, yang tiap bait 2 baris, bersajak a-a. Baris pertama merupakan syarat, baris kedua berisi akibat.
Berdasarkan isinya, puisi baru dibedakan menjadi:
1. Balada adalah puisi berisi kisah/cerita.
Rendra banyak sekali menulis balada tentang orang-orang tersisih, yang oleh penyairnya disebut “Orang-orang Tercinta”. Kumpulan baladanya yaitu, Balada Orang-orang Tercinta dan Blues Untuk Bonnie.
2. Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau orang yang dimuliakan
3. Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa dalam masyarakat (pahlawan).
Contohnya : “Teratai” karya Sanusi Pane, “Diponegoro” karya Chairil Anwar, dan “Ode Buat Proklamator” karya Leon Agusta.
4. Epigram, slogan,s emboyan atau sajak cetusan adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.
5. Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.
Contohnya : “Empat Kumpulan Sajak” Karya WS Rendra.
6. Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.
Misalnya “Elegi Jakarta” karya Asrul Sani yang mengungkapkan perasaan duka penyair di kota Jakarta.
7. Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik atau kecaman.
Berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi/gagasannya, puisi dibedakan menjadi:
1. Puisi Naratif
Puisi yang mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Ada puisi naratif yang sederhana, ada yang sugestif, dan ada yang kompleks. Yang termasuk puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair.
2. Puisi Lirik
Puisi yang mengungkapkan gagasan pribadi penyair (biasanya disebut juga aku lirik). Dalam puisi lirik, penyair tidak bercerita. Jenis puisi lirik, misalnya: elegi, ode, dan serenade (sajak percintaan yang bisa dinyanyikan).
3. Puisi Deskriptif
Penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan / peristiwa, benda, atau suasana dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi yang dapat diklasifikasikan dalam puisi deskriptif, misalnya puisi satire, kritik sosial (yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya), dan puisi-puisi impresionitik (yang mengungkapkan kesan penyair terhadap suatu hal).
Berdasarkan sifat dari isi yang dikemukakan (David Daiches), puisi dibedakan menjadi:
1. Puisi Fisikal
Puisi yang bersifat realistis, artinya menggambarkan kenyataan apa adanya. Yang dilukiskan adalah kenyataan dan bukan gagasan. Hal-hal yang didengar, dilihat, atau dirasakan merupakan obyek ciptaannya. Puisi-puisi naratif, balada, impresionistis, juga puisi dramatis biasanya merupakan puisi fisikal.
2. Puisi Platonik
Puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan. Puisi-puisi ide atau cita-cita, religius, ungkapan cinta pada seorang kekasih, anak pada orang tuanya dan sebaliknya, dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi puisi platonik.
3. Puisi Metafisikal
Puisi yang bersifat filosofis, mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan. Puisi religius dapat disebut sebagai puisi platonik (karena menggambarkan ide atau gagasan penyair), atau bisa juga digolongkan sebagai puisi metafisik (karena mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan Tuhan), Karya Jalaludin Rumi dapat diklasifikasikan sebagai puisi metafisikal.
Berdasarkan obyek yang menjadi sumber gagasan, puisi dibedakan menjadi:

1. Puisi Subyektif / Puisi Personal
Puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi-puisi yang ditulis kaum ekspresionis dapat diklasifikasikan sebagai puisi subyektif, karena mengungkapkan keadaan jiwa penyair sendiri. Demikian pula puisi lirik dimana aku lirik berbicara kepada pembaca.
2. Puisi Obyektif/ Puisi Impersonal
Puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri. Puisi obyektif disebut juga puisi impersonal. Puisi naratif dan deskriptif kebanyakan adalah puisi obyektif, meskipun juga ada beberapa puisi yang subyektif.
Berdasarkan kedalaman maknanya, puisi dibedakan menjadi:
1. Puisi Diafan/ Puisi polos
Puisi yang kurang memiliki pencitraan, terutama dalam hal diksi yang terlalu ‘biasa’, sehingga mirip dengan bahasa sehari-hari. Puisi diafan sangat mudah dihayati maknanya.
Biasanya, puisi anak-anak atau puisi yang ditulis oleh orang yang baru belajar menulis puisi dapat diklasifikasikan dalam puisi diafan. Kelemahan utama pada karya-karya tersebut adalah, belum adanya harmonisasi bentuk fisik dalam mengungkapkan makna.
Takaran yang dibuat untuk kiasan (metafora), lambang, simbol masih kurang tepat, baik letak maupun komposisinya. Jika puisi dibuat terlalu banyak majas, maka puisi itu menjadi gelap dan sukar ditafsirkan. Sebaliknya jika puisi itu kering akan majas dan versifikasi, maka itu akan menjadi puisi yang bersifat prosaik dan terlalu gamblang untuk diartikan sehingga diklasifikasikan sebagai puisi diafan.
2. Puisi Prismatis
Puisi yang mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna puisinya, namun tidak terlalu gelap. Pembaca tetap dapat menelusuri makna puisi itu. Namun makna itu bagaikan sinar yang keluar dari prisma.
Bisa jadi akan ada bermacam-macam makna yang muncul, karena memang bahasa puisi bersifat multi interpretable. Puisi prismatis kaya akan makna, namun tidak gelap. Makna yang aneka ragam itu dapat ditelusuri pembaca. Jika pembaca mempunyai latar belakang pengetahuan tentang penyair dan kenyataan sejarah, maka pembaca akan lebih cepat dan tepat menafsirkan makna puisi tersebut.
Penyair-penyair seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar dapat menciptakan puisi-puisi prismatis.
3. Puisi Gelap
Puisi yang sukar dimaknai. Terlampau banyak penggunaan majas, metafora, simbolisasi terkadang justru membenamkan arti/makna puisi itu sendiri. Mungkin hanya pengarangnya yang bisa membaca arti puisinya.
DASAR-DASAR ANALISIS PUISI

Lembar komunikasi Bahasa dan Sastra Indonesia
SMU Stella Duce 2 Yogyakarta
Jl. Dr. Sutomo 16 Telp. (0274) 513129 Yogyakarta
Disusun oleh Agustinus Suyoto
I. PENGERTIAN
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Sitomorang, 1980:10).
Menurut Vicil C. Coulter, kata poet berasal dari kata bahasa Gerik yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Gerik, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa-dewa atau orang yang amat suka pada dewa-dewa. Dia adalah orang yang mempunyai penglihatan yang tajam, orang suci, yang sekaligus seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi (Situmorang, 1980:10)).
Ada beberapa pengertian lain.
a. Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
b. Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
c. Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
d. William Wordsworth (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
e. Percy Byssche Shelly (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling senang dari pikiran-pikiran yang paling senang.
f. Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
g. Lescelles Abercrombie (Sitomurang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat.
I. PERBEDAAN PUISI DAN PROSA
HB. Jassin (1953:54) mengatakan bahwa untuk mendefinisikan puisi, puisi itu harus dikaitkan dengan definisi prosa. Prosa merupakan pengucapan dengan pikiran, sedangkan puisi merupakan pengucapan dengan perasaan.
Rahmanto dan Dick Hartoko (1986) mengatakan bahwa puisi merupakan lawan terhadap prosa. Ungkapan bahasa yang terikat (puisi), lawan ungkapan bahasa yang tidak terikat (prosa). Keterikatan oleh paralelisme, metrum, rima, pola bunyi, dsb. Pada sastra modern perbedaan puisi dan prosa sangat kabur.
Luxemburg (1992) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teks puisi adalah teks-teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur. Selain itu teks puisi bercirikan penyajian tipografik tertentu. Tipografik ini merupakan ciri yang paling menonjol dalam puisi. Apabila kita melihat teks yang barisnya tidak selesai secara otomatis kita menganggap bahwa teks tersebut merupakan teks puisi.
Rachmad Djoko Pradopo (1987) mengatakan bahwa dewasa ini orang mengalami kesulitan dalam membedakan puisi dan prosa hanya dari bentuk visualnya sebagai sebuah karya tertulis. Sampai-sampai sekarang ini dikatakan bahwa niat pembacalah yang menjadi ciri sastra utama.
Alterbern (dalam Pradopo, 1987) mengatakan bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama. Ada tiga unsur pokok dalam puisi yaitu pemikiran/ide/emosi, bentuk, dan kesan. Jadi puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan bahasa yang berirama.
Slametmulyana (1956:112) mengatakan bahwa ada perbedaan pokok antara prosa dan puisi. Pertama, kesatuan prosa yang pokok adalah kesatuan sintaksis, sedangkan kesatuan puisi adalah kesatuan akustis. Kedua puisi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang disebut baris sajak, sedangkan dalam prosa kesatuannya disebut paragraf. Ketiga di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir.
Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan prosa dan puisi bukan pada bahannya, melainkan pada perbedaan aktivitas kejiwaan. Puisi merupakan hasil aktivitas pemadatan, yaitu proses penciptaan dengan cara menangkap kesan-kesan lalu memadatkannya (kondensasi). Prosa merupakan aktivitas konstruktif, yaitu proses penciptaan dengan cara menyebarkan kesan-kesan dari ingatan (Djoko Pradopo, 1987).
Perbedaan lain terdapat pada sifat. Puisi merupakan aktivitas yang bersifat pencurahan jiwa yang padat, bersifat sugestif dan asosiatif. Sedangkan prosa merupakan aktivitas yang bersifat naratif, menguraikan, dan informatif (Pradopo, 1987)
Perbedaan lain yaitu puisi menyatakan sesuatu secara tidak langsung, sedangkan prosa menyatakan sesuatu secara langsung.
II. UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PUISI
Ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur pembentuk puisi. Salah satunya adalah pendapat I.A. Richard. Dia membedakan dua hal penting yang membangun sebuah puisi yaitu hakikat puisi (the nature of poetry), dan metode puisi (the method of poetry).
Hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok, yaitu
1. Sense (tema, arti)
Sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan).
2. Feling (rasa)
Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan.
3. Tone (nada)
Yang dimaksud tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.
4. Intention (tujuan)
Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair
Untuk mencapai maksud tersebut, penyair menggunakan sarana-sarana. Sarana-sarana tersebutlah yang disebut metode puisi. Metode puisi terdiri dari
1. Diction (diksi)
Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.
2. Imageri (imaji, daya bayang)
Yang dimaksud imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi.
Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Ada beberapa macam citraan, antara lain
a. citra penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan
b. Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran
c. Citra penciuman dan pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan
d. Citra intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran.
e. Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak.
f. Citra lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan
g. Citra kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan
1. The concrete word (kata-kata kongkret)
Yang dimaksud the concrete word adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Slametmulyana menyebutnya sebagai kata berjiwa, yaitu kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair, yang artinya tidak sama dengan kamus.
2. Figurative language (gaya bahasa)
Adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain
a. perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dll.
b. Metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding.
c. Perumpamaan epos (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat berturut-turut.
d. Personifikasi, ialah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia di mana benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia.
e. Metonimia, yaitu kiasan pengganti nama.
f. Sinekdoke, yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu sendiri.
g. Allegori, ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, merupakan metafora yang dilanjutkan.
1. Rhythm dan rima (irama dan sajak)
Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama dibedakan menjadi dua,
a. metrum, yaitu irama yang tetap, menurut pola tertentu.
b. Ritme, yaitu irama yang disebabkan perntentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur.
Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga,
a. dinamik, yaitu tyekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu.
b. Nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara.
c. Tempo, yaitu tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.
Rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.
Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi
a. rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
b. Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
c. Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak (suku kata sebunyi)
d. Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama.
e. Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
f. Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
g. Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
h. Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan
a. rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
b. Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi
c. Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi.
d. Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal
e. Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horisontal
f. Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
g. Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
h. Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).
i. Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa)
j. Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb)
k. Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d)
Pendapat lain dikemukakan oleh Roman Ingarden dari Polandia. Orang ini mengatakan bahwa sebenarnya karya sastra (termasuk puisi) merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis norma. Lapis norma tersebut adalah
1. Lapis bunyi (sound stratum)
2. Lapis arti (units of meaning)
3. Lapis obyek yang dikemukakan atau "dunia ciptaan"
a. Lapis implisit
b. Lapis metafisika (metaphysical qualities)
IV. PARAFRASE PUISI
Yang dimaksud parafrase adalah mengubah puisi menjadi bentuk sastra lain (prosa). Hal itu berarti bahwa puisi yang tunduk pada aturan-aturan puisi diubah menjadi prosa yang tunduk pada aturan-aturan prosa tanpa mengubah isi puisi tersebut.
Perlu diketahui bahwa parafrase merupakan metode memahami puisi, bukan metode membuat karya sastra. Dengan demikian, memparafrasekan puisi tetap dalam kerangka upaya memahami puisi.
Ada dua metode parafrase puisi, yaitu
a. Parafrase terikat, yaitu mengubah puisi menjadi prosa dengan cara menambahkan sejumlah kata pada puisi sehingga kalimat-kalimat puisi mudah dipahami. Seluruh kata dalam puisi masih tetap digunakan dalam parafrase tersebut.
b. Parafrase bebas, yaitu mengubah puisi menjadi prosa dengan kata-kata sendiri. Kata-kata yang terdapat dalam puisi dapat digunakan, dapat pula tidak digunakan. Setelah kita membaca puisi tersebut kita menafsirkan secara keseluruhan, kemudian menceritakan kembali dengan kata-kata sendiri.
V. LEMBAR KEGIATAN SISWA
LATIHAN I
PERTANYAAN
a. Citraan apa yang dominan dalam penggalan puisi di bawah ini!
b. Gaya bahasa apakah yang dominan dalam penggalan puisi di bawah ini!
c. Rima jenis manakah yang terdapat dalam penggalan puisi di bawah ini!
d. Bagaimanakah feeling dalam penggalan puisi di bawah ini?
e. Bagaimanakah tone dalam penggalan puisi di bawah ini?
f. Apakah pokok persoalan yang ingin dikemukakan pengarang dalam penggalan puisi di bawah ini?
PENGGALAN PUISI
1. laksana bintang berkilat cahaya,
di atas langit hitam kelam,
sinar berkilau cahya matamu,
menembus aku ke jiwa dalam
(Sebagai Dahulu, Aoh Kartahadimadja)
2. Dua puluh tiga matahari
Bangkit dari pundakmu
Tubuhmu menguapkan bau tanah
(Nyanyian Suto untuk Fatima, Rendra)
3. Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari benerang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini, tanah, air tidur, hilang ombak
(Senja di Pelabuhan Kecil, Chairil Anwar)
4. Betsyku bersih dan putih sekali
Lunak dan halus bagaikan karet busa.
Rambutnya merah tergerai
Bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
Dan kakinya sempurna
Singsat dan licin
Bagaikan ikan salmon
(Rick dari Corona, Rendra)
5. Engkau ibarat kolam di tengah-tengah belukar
Berteriak-teriak tenang
Membiarkan nyiur sepasang
Berderminkan diri ke dalam
Airmu …
(Engkau, Walujati)
6. Aku sudah saksikan
Senja kekecewaan dan putus asa yang bikin tuhan Juga turut tersedu
Membekukan berpuluh nabi, hilang mimpi dalam kuburnya.
(Fragment, Chairil Anwar)
7. Seruling di pasir tipis, merdu
Antara gundukan pepohonan pina
Tembang menggema di dua kaki
Burangrang – Tangkaubanperahu
(Tanah Kelahiran, Ramadhan KH)
8. Tetapi istriku terus berbiak
Seperti rumput di pekarangan mereka
Seperti lumut di tembok mereka
Seperti cendawan di roti mereka
Sebab bumu hitam milik kami.
Tambang intan milik kami
Gunung natal milik kami
(Afrika Selatan, Subagio Sastrowardjoyo)
9. Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerlu lagu
Menarik menari seluruh aku
(Sajak Putih, Chairil Anwar)
10. Maka dalam blingsatan
Ia bertingkah bagai gorilla
Gorilla tua yang bongkok
Meraung-raung
Sembari jari-jari galak di gitarnya
Mencakar dan mencakar
Menggaruki rasa gatal di sukmanya
(Blues Untuk Bonnie, Rendra)
LATIHAN II
1. Parafraseikan puisi berikut ini dengan metode parafrase terikat!
2. Parafrasekan puisi berikut ini dengan metode parafrase bebas!
CERITA BUAT DIEN TAMAELA
(Chairil Anwar)
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut.
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta pattirajawane, menjaga hutan pala.
Beta api di panta. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau …
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

BALADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO
(WS Rendra)
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
Mengepit kuat-kuat lutut menunggang perampok yang diburu
Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang
Segenap warga desa mengepung hutan itu
Dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
Berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri
Satu demi satu yang maju terhadap darahnya
Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
---Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa.
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo tegak, luka tujuh liang.
---Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya atapi masih setan ia
Menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala
Joko Pandan! Di manakah ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
Segala menyibak bagi reapnya kuda hitam
Ridla dada bagi derinya dendam yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja.
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
Pesta abulan, sorak sorai, anggur darah
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya.

Balada Terbunuhnya Atmo Karpo
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok
yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka

- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa

Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa

Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang

- Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Bedah perutnya tapi masih setan ia!
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala

- Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak, bagi derapnya kuda hitam
ridla dada, bagi derunya dendam yang tiba

Pada langkah pertama keduanya sama baja
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapaknya.

Lomba Cipta Puisi Balada dan cerpen Berbahasa Indonesia
I. Nama Kegiatan:
Lomba Cipta Cerpen Berbahasa Indonesia Siswa SMP Kabupaten Kendal Tahun 2010.
II. Maksud dan Tujuan
• Membina dan meningkatkan kreativitas siswa SMP dalam bidang sastra, khususnya cerpen;
• Menanamkan dan membina apresiasi sastra, khususnya terhadap nilai-nilai tradisi yang berakar pada budaya bangsa;
• Mengembangkan sikap kompetitif dalam diri siswa yang berwawasan global;
• Melakukan seleksi terhadap peserta untuk diikutsertakan dalam lomba di tingkat Prov. Jawa Tengah.
III. Tema
Tema lomba cipta cerpen muatan lokal berkisar pada kehidupan bermasyarakat yang mengungkapkan dan mempercakapkan nilai-nilai kehidupan tradisional (muatan lokal), seperti mitologi, legenda, fabel, kepercayaan, serta adat-istiadat daerah/etnik setempat dengan “sentuhan baru” atau teknik penyajian yang khas.
IV. Persyaratan Tulisan
• Cerpen ditulis dalam bahasa Indonesia;
• Cerpen harus asli, bukan terjemahan/saduran, dan belum pernah dilombakan/dipublikasikan;
• Isi cerpen sesuai dengan tata nilai agama dan norma kehidupan dalam masyarakat;
• Cerpen ditulis rapi dalam kertas bergaris sebanyak 1.000-1.200 kata atau 5-6 halaman;
• cerpen ditulis pada saat lomba berlangsung;
• Sampul depan diberi identitas seperti berikut ini:
1) Judul Cerpen
2) Nama siswa
3) Jenis kelamin
4) Tempat dan tanggal lahir
5) Kelas
6) Sekolah
7) Alamat sekolah, kode pos, dan telepon
8) Alamat rumah, kode pos, dan telepon
9) email
V. Peserta
Peserta lomba adalah siswa SMP, baik negeri maupun swasta, dengan syarat sebagai berikut:
• Siswa kelas VII dan atau kelas VIII saat mengikuti lomba;
• Terpilih sebagai peserta terbaik berdasarkan seleksi di tingkat sekolah.
VI. Mekanisme Lomba
• Setiap sekolah wajib mendaftarkan 2-3 peserta terbaik (laki-laki/perempuan) setelah melalui proses seleksi di tingkat sekolah;
• Pendaftaran peserta dilakukan mulai tanggal 19 s.d. 24 April 2010 melalui MGMP Seni Budaya SMP dengan membawa surat keterangan dari kepala sekolah, foto kopi rapor semester terakhir sebanyak 1 lembar yang telah dilegalisir oleh kepala sekolah, dan persyaratan lain yang telah ditentukan.
VII. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Lomba dilaksanakan pada hari Selasa, 27 April 2010 (pukul 08.00 WIB s.d. selesai) di SMP Negeri 1 Kendal.
VIII. Juri
• Dewan juri terdiri atas 3 orang (guru SMA/MA/SMK) yang dinilai memenuhi syarat, yaitu minimal sarjana pendidikan bahasa atau praktisi yang berkompeten, pernah menjadi juri sekurang-kurangnya pada tingkat rayon, dan mampu bersikap adil (independen).
IX. Penilaian
Lomba cerpen dinilai berdasarkan aspek: tokoh/penokohan, alur, latar, bahasa, isi, kreativitas, serta kesesuaian isi dengan tema seperti pada tabel berikut:
LEMBAR PENILAIAN
LOMBA CIPTA CERPEN BERBAHASA INDONESIA SISWA SMP
KAB. KENDAL TAHUN 2010
No. Aspek yang Dinilai Nilai
(10-100) Bobot Jumlah
1 Kesesuaian isi dengan tema 1
2 Tokoh/penokohan 1
3 Alur 1
4 Latar 1
5 Bahasa 2
6 Isi 1
7 Kreativitas 3
Total
X. Ketentuan Pemenang
• Ketentuan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
• Dewan juri akan menentukan 3 (tiga) pemenang terbaik. Pemenang terbaik I berhak mewakili Kab. Kendal ke tingkat Prov. Jawa Tengah.
Lomba Cipta Puisi Balada
I. Nama Kegiatan:
Lomba Cipta Puisi Balada Siswa SMP Kabupaten Kendal Tahun 2010.
• II. Maksud dan Tujuan
• Membina dan meningkatkan kreativitas siswa SMP dalam bidang sastra, khususnya puisi;
• Menanamkan dan membina apresiasi sastra, khususnya terhadap nilai-nilai tradisi yang berakar pada budaya bangsa;
• Mengembangkan sikap kompetitif dalam diri siswa yang berwawasan global;
• Melakukan seleksi terhadap peserta untuk diikutsertakan dalam lomba di tingkat Prov. Jawa Tengah.
III. Tema
Tema lomba cipta puisi balada bersifat terbuka/bebas dan disarankan untuk mengangkat nilai kejuangan dan keteladanan dari tokoh-tokoh lokal di wilayah Kabupaten Kendal.
IV. Persyaratan Tulisan
• Puisi ditulis dalam bahasa Indonesia;
• Isi tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan tata nilai dan norma kehidupan dalam masyarakat;
• Puisi harus asli, bukan terjemahan/saduran, dan belum pernah dilombakan/dipublikasikan;
• Diketik rapi dalam kertas HVS ukuran kuarto/A4 dengan jarak 1,5 spasi sebanyak 1-2 halaman atau ditulis rapi dalam kertas bergaris sebanyak 1-2 halaman;
• Sampul karangan: cap sekolah, tanda tangan kepala sekolah yang bersangkutan; sekolah boleh mengirimkan tiga karangan terbaik;
• Naskah lomba diserahkan kepada panitia paling lambat 22 April 2010 di Dinas Dikpora Kab. Kendal (Sie SMP Bidang Dikdas).
V. Peserta
Peserta lomba adalah siswa SMP, baik negeri maupun swasta, dengan syarat sebagai berikut:
• Siswa kelas VII dan atau kelas VIII saat mengikuti lomba;
• Terpilih sebagai peserta terbaik berdasarkan seleksi di tingkat sekolah.
VI. Mekanisme Lomba
• Setiap sekolah wajib mendaftarkan 2-3 peserta terbaik (laki-laki/perempuan) setelah melalui proses seleksi di tingkat sekolah;
• Pendaftaran peserta dilakukan mulai tanggal 19 s.d. 24 April 2010 melalui MGMP Seni Budaya SMP dengan membawa surat keterangan dari kepala sekolah, foto kopi rapor semester terakhir sebanyak 1 lembar yang telah dilegalisir oleh kepala sekolah, dan persyaratan lain yang telah ditentukan.
VII. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Lomba dilaksanakan pada hari Selasa, 27 April 2010 (pukul 08.00 WIB s.d. selesai) di SMP Negeri 1 Kendal.
VIII. Juri
Dewan juri terdiri atas 3 orang (guru SMA/MA/SMK) yang dinilai memenuhi syarat, yaitu minimal sarjana pendidikan bahasa atau praktisi yang berkompeten, pernah menjadi juri sekurang-kurangnya pada tingkat rayon, dan mampu bersikap adil (independen).
IX. Penilaian
Lomba puisi dinilai berdasarkan aspek: kesesuaian dengan tema, pemakaian bahasa, sarana retorika, isi/makna, dan kreativitas.
• Kesesuaian dengan tema:
• Kesesuaian isi dengan judul puisi;
• Kesesuaian isi dengan tema atau topik yang telah ditentukan.
• Pemakaian bahasa:
• Ketepatan pemilihan kata, rima, ungkapan, dan kalimat;
• Kegunaan pemilihan kata dan kalimat dalam pewujudan gagasan dan pengembangan imajinasi;
• Sarana retorika:
• Kekuatan menghidupkan imajinasi (citraan, bayangan) melalui pemakaian bahasa;
• Kesesuaian dan ketepatan pemakaian majas (metafora) atau makna spesifik yang mempunyai daya bayang bagi pembaca.
• Isi/makna:
• Kesesuaian gagasan dengan tema;
• Kewajaran pengembangan gagasan;
• Nilai-nilai kehidupan/budaya.
• Kreativitas:
• Gagasan baru (khas) dan cara pengungkapan gagasan yang dikemukakan;
• Bentuk (tipografi) dan aspek lain yang memperlihatkan adanya inovasi.
LEMBAR PENILAIAN
LOMBA CIPTA PUISI BALADA SISWA SMP
KAB. KENDAL TAHUN 2010
No. Aspek yang Dinilai Nilai
(10-100) Bobot Jumlah
1 Isi 3
5 Bahasa 3
6 Daya puitis 2
7 Penyajian 2
Total
X. Ketentuan Pemenang
• Ketentuan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
• Dewan juri akan menentukan 3 (tiga) pemenang terbaik. Pemenang terbaik I berhak mewakili Kab. Kendal ke tingkat Prov. Jawa Tengah.

Berikut ini kami informasikan hasil Lomba Cipta Puisi Balada dan Cerpen Siswa SMP Kab. Kendal Tahun 2010 yang berlangsung pada hari Selasa, 27 April 2010 di SMP 1 Kendal.
LOMBA CIPTA PUISI
No Nama Sekolah Judul
1 Dyan Suci P SMP 1 Boja Balada Kakek Wirogimin
2 Fina Rocmatul Izzah SMP 1 Brangsong Balada Seorang Wanita
3 Ririn Juli Hardianti SMP 2 Pegandon Gelombang Kasihmu Tuk Alam
4 Nur Chayati Abadiyah SMP 2 Kendal Balada Buruh Cuci
5 Anik Purnamawati SMP 2 Limbangan Balada Seorang Penyadap Karet
6 Dhita Silvia A SMP 2 Plantungan Balada Tukang Kebun

LOMBA CIPTA CERPEN
No Nama Sekolah Judul
1 Paramestri SK SMP 1 Boja Sekunir
2 Arif Kafitri SMP 1 Limbangan Makam Keramat
3 Alifah Utami AP SMP PMS Kendal Malam yang Sangat Membahayakan
4 Rita Ayu Ika Y SMP 2 Kendal Amarah Dewi Lanjar
5 Darul Laraswati P SMP 1 Boja Larangan
6 Rahmawati P SMP PMS Kendal Anugerah Terindah di Bulan Syawal
Peserta yang dinyatakan sebagai Juara I, baik Lomba Cipta Puisi Balada maupun Cerpen, berhak mewakili Kab. Kendal di tingkat Provinsi Jawa Tengah.
BALADA TANAH MERAH

Oleh: Dini Setyowati

Kenapa tanah disini merah?
Begitu aku bertanya ketika kami tiba dari Rusia..
Ayah tersenyum penuh rahasia
Inilah salju Jakarta
Tanah disini
Banyak mengandung besi
Berarti kuat dong, aku tertegun
Iya nak, kuat untuk dibangun
Lihatlah sekelilingmu
Dimana-mana generasi muda dan tua
Membawa map dan buku guna menuntut ilmu
Untuk membangun bersama
Indonesia,
repulik yang masih muda
tak peduli apakah pemuda rakyat atau hmi
yang penting kita bersama berdiri
diatas tanah merah ini.
Bahkan banyak yang rela untuk pergi
Ke luarnegeri, demi belajar serta
Rasa hormat dunia untuk pertiwi
Anakku, jangan kau lupa
Tanah airmu itu kaya
Harta karun tak terhingga
Terkandung di dalam perutnya
Dan hanya dengan ilmu
Kami simpan untuk generasimu
Demikian aku mulai hidup
Di atas tanah merah jakarta
Mencari diri dan membentuk
Seperti pemuda dimana-mana
Menempa besi menjadi baja.
Tetapi aku masih terlalu kecil
Ketika tiba-tiba terjadi
Peristiwa yang aku belum mengerti
Di suatu hari yang cerah
masih nampak biru
Warna langit pagi
Tanah menjadi lebih merah
Karena terkuak gerigi
Roda tank- tank yang menderu
Dan tanpa disangka
Kampungku Gang Rambutan
Di pinggir jalan pasar Minggu
Masuk kedalam neraka
Kakiku masih melangkah
Tak sadar ke arah sekolah..
Tetapi di kiri kanan jalanan
Oh Tuhan..
Kenapa ini boleh terjadi
Seperti mimpi yang ngeri..
Mengapa Engkau pergi
Meninggalkan tempat ini?
Sementara itu terlihat
Dari segala penjuru
Bergerombol banyak pemuda
Berbaju pencak silat
Dengan menabuh gendang
Dan berteriak Allahu Akbar!
Seketika itu suasana keruh
Rumah penduduk setempat diserbu
Gendang masih terdengar ditabuh
Kali ini tercampur teriakan pilu!
Wanita dan pria diseret keluar
Ditendang,digebuk,rambut terurai dicambuk
Rumah-rumah sudah siap dibakar
Sambil berteriak Allahu Akbar..!
Aku seperti terpaku berdiri
Tak tahu harus terus atau kembali
Tiba tiba seorang ibu berlari padaku
Tiarap! Tiarap neng, jangan tegak begitu!
Ia tutupi aku dengan selendang
Selendang yang panjang dan agak usang..
Tak tahu berapa lama kami bongkok sembunyi
Aku sempat melihat satuan PM datang
Mencoba mengembalikan ketertiban
Dari jauh terdengar tangisan bayi
Mungkin tanpa ibu, ditinggal sendiri..
Suasana jadi sangat sunyi
Dari jauh terdengar azan menyanyi
Seakan tak ada suatu terjadi
Begitu damai membelai di hati
Aku beranikan diri keluar dan lari
Lari dan lari tanpa nengok ke belakang
Kanan kiri sepanjang jalan
Nampak hanya reruntuhan
Didepan rumah orang-orang berkerumun
Hatiku terasa pilu bergetar
Dari mereka aku mendengar
Penggerebekan di sekitar kampung
Masih terus berlangsung
Penangkapan mulai terjadi
Aku nangis didada ibu
Pucat dengan rambut kusut
Airmata panas mengalir menyengat pipi
Mengapa Malam Kristal terjadi disini?
Rumah kami pula hancur
Buku campur alat dapur
Porakporanda dihalaman
Kapuk putih bagaikan salju
Bertebangan dari kuakan kasur
Orang tuaku hari itu dijemput
Bisu, gelapnya malam bagai selimut
Berhenti dua truk,seperti bayangan
Sosok-sosok bertopi baja mengepung halaman
Ibunda masih sempat berbisik mesra
Kuatlah anakku Dinusjka
Ini hanya sementara
Pasti kami pergi tak lama
Kita tak salah, kebenaran ada dipihak kita!
Tersedu susah melepas pelukan
Aku dan kakak ditinggal ditengah malam
Didepan rumah yang sudah hancur
Dengan hanya berbekal: harapan
Satu hal lagi pesan ibu
Jangan mudah membuka pintu
Kalau ada kenalan kami datang
Lebih baik kalian diam
Kini berkuasa jaman edan
Teman sendiri menjadi lawan
Dan diluar betul kata ibu
Suasana semakin tidak tentu
Tank-tank berdiri ditiap sudut jalan
Patroli PM kontrol terus jam malam
Di siang hari tank-tank menderu berang
Truk-truk penuh tentara bertopi baja
Senapan-senapan terhunus mengancam
Sambil bergelak ketawa seram
Menembak keatas, anjing dan ayam
Seolah-olah ini tanah
Masih kurang berwarna merah
Sehingga perlu ditambah
dengan
Lebih banyak tumpahan darah
Tak terasa empat bulan berlalu
Kami tetap di rumah mencoba survive
Dan tetap menunggu
Mengharap saat kembalinya ayah ibu
Tetangga banyak membantu
Kami ditampung beberapa waktu
Tukang sayur selalu datang
Dengan gratis memberi sayuran
Dan aku selalu menyesal
Aduh Bang belum ada uang..
Ngga apa Neng, gampang, bayar kapan-kapan..
Tetapi pada suatu hari
Pintu degedor bertubi-tubi
Rumah ini telah disita, kamu harus keluar segera!
Jangan coba membawa barang suatu apa,
Ini semua telah milik negara!
Begitu cetus ia menghardik
Seorang kapten bernama Basuki
Terasa matanya ciut membidik
Badanku yang belum mulai puber
Ia komando pada mereka
Yang bersesak penuh dalam truk tentara
Semua pemuda berbaju hitam
Ini masih kecil kok, nggak perlu dihantam!
Awasi saja jangan mereka bawa barang
dan jaga ketat pintu belakang!
Dan kalian, anak-anak orang PKI
Jangan kira terlepas dari kami
Komunisme, seperti syphilis
Sampai tujuh turunan harus dibasmi!

Aku terduduk lemas, harus kemanakah kami?
Sedangkan sanak famili dengan panik lari
Menjauh, tak berani, meskipun aku bisa mengerti
Tiba-tiba kami jadi paria, anak-anak penjahat
Jari telunjuk menunjuk, menusuk
Jauhi mereka, jangan dekat
Mereka telah dikutuk Tuhan!
Gara-gara ikut Komunis, ilmu setan!

Jaman memang berubah, tidak seperti dulu
Moral berjungkir balik dalam sekejap mata
Apa yang dulu baik, kini menjadi tercela
Mode ‘orang kaya baru’
merajalela
Muncul di mana-mana tante bergaya girang
Bibir bergincu merah dan berbadan sintal
Memakai celana jengki, rambut disasak tinggi
Jalan melenggang dengan bedinde belanja di pasar pagi
Om-om senang menyelusur jalanan dengan jip kantor
pada waktu kantor, ini memang moral koruptor
Matanya buas mencari mangsa
Gadis-gadis yang belum dewasa
Isteri tentara,kopral dan sersan
Mendadak kaya,bergaya nyonya besar
Isteri jendral dan overste berlomba-lomba
Membeli titel aristokrat
berdarah biru, seakan malu,
Kalau merah berarti merakyat
Tanah merah aku tetap teringat
Tanah Jakarta yang semakin padat
Makin sedikit buatnya untuk merasa bebas
Semakin sedikit ia bisa bernafas
Sampai kini kubertanya setiap hari
Mengapa tanah merah yang aku ingat
Tidak buat manusia menjadi kuat?
Kuat untuk terus semangat, mencari jatidiri
Dan tidak saling membenci dan khianat?

Amsterdam, 30 september 2007.

Balada Perompak Mando

1
Bulan purnama memantul pasi
di ombak pelan tenang bergoyang
Gerimis turun malam ini
memecah bayang yang mengambang

Mando angkat tangan kanan
empat anak buah kenakan topeng
Mando si kepala rompak mimpin kawanan
teguk minuman tepuk pipinya bopeng

Mesin perahu tengah malam meraung
laut tersibak geram, bukan senandung
pekik Mando menuju mendung
memantul jadi gaung

Kawanan rompak menyulut obor
empat lidah api menggeliat, bagai gincu menor
Dan sebotol besar minyak di tangan kiri
menanti, menanti perahu rompak henti

Babah Mehong terjaga ngeri
Pelacurnya terjengkang keluar ranjang
meringis, ikut berlari
Babah Mehong dan tiga awak kapal mengerang
Di geladak mereka saling pandang
Babah Mehong lututnya nyaris copot
kolornya melorot, juga nyalinya:
“Melawan perompak adalah percuma.
Menghindar bisa jadi sate
menurut artinya kere!”

Sahut si pelacur: “Berikan separuhnya, segera!
Jangan tunggu mereka lompat padaku!”

Dan Mando telah kenakan topeng
mencabut dua pedang. Bagai lonceng
suara bilah dan bilah saling tempa
tandanya perahu rompak mendekat
dan kawanan selincah tupai siap meloncat

Si pelacur beringsut, gemetar menuju kamar
meringkuk di kolong ranjang
merapal doa yang lama ia lupakan

Di geladak tiada doa, harap belaka
Babah Mehong dan tiga cecunguk bengong
Keempatnya melutut, dirajam takut
Tak seperti gerimis langit mencurah tipis
Mata Babah Mehong tebal menangis
Didengarnya suara kepala rompak menggelegak:
“Kau tahu apa yang diminta rompak?
Coba tebak apa dalam sebalik kain terpalmu!”

Dan perompak gendut dan perompak jangkung
membuka kain terpal tudung

Amboi! Ratusan kayu gelondong
hutan-hutan tlah jadi jerangkong!

O, Babah Mehong sepotong siput
tanpa cangkang pastilah kalut!
Dibantai gentar ia berkata:
“Bukankah sesama maling tak boleh mangsa?”

Mando menyebar seringai, siapkan tikai
“Oho! Kami bukan maling.
Malahan kami musuh para maling;
tikus-tikus pengecut mengerat jaring!”

Gemetar Babah Mehong dan awak kapal
Jawabnya: “Baik kalian ambil separuh kayu
dan biarkan kami segera laju.”

Kawanan rompak terbahak
Perompak gendut meludahkan dahak
“Dapatkah kujual lagi padamu kayu-kayu itu?”

Babah Mehong wajahnya mohon:
“Aku hanya pencuri kayu.
Maka ambillah kayuku.”

Mando sarungkan lagi pedang-pedang
tapi matanya merentang tegang
“Perompak tak merampas barang curian.
Tapi membakar kayu-kayu dalam kapalmu
kini jadi mauku.”

Wahai, Babah Mehong! Wahai, tikus ompong!
Di mana hendak kausembunyikan lolong
padahal laut tiada gorong-gorong!

Dan obor-obor teracung
Dan botol-botol minyak melambung
Maka berkobar api di tengah laut
menjadi lawan bagi mendung
menjadi sebab Babah Mehong nyaris semaput

Dari balik celah jendela kamar
pelacur melihat kawanan rompak kabur
bersama pekik sangar dalam samar
tinggalkan kapal yang bakal hancur
“Aku tahu mereka! Aku tahu mereka!”
jerit pelacur, berdiri, lalu berkelebat
menemu Babah Mehong yang digotong
awak kapal tak mau terlambat
Mereka mencebur ke laut
berbekal segelondong kayu tempat berpaut

Sambil meratap memeluk gelondong kayu
saksikan api membumbung, asap berkawan
pada mendung pada malam, yang kuyu.
“Fajar masih jauh. Derita semalaman!”
Pelacur menangis
oleh sebab tak tahu persis
arahnya nasib. Arahnya bakal menuju maut
lesap dari dunia; betapa carut marut
adalah nikmat milik ular penuh desis

Akal Babah Mehong masih koyak
tapi dendam mulai berderak
“Di sinilah kayu-kayuku mesti dijemput
dan segepok uang menyambut.”

Mendung makin tebal
kobar api tak lagi binal
bau asap bau laut
Babah Mehong lebarkan mulut
tertawa bagai raja:
“Tak sampai fajar derita terasa
kecuali Koman khianati kita!”

Pelacur mendengar suara mesin perahu
menderu cepat, masih sayup
Dan ia kan segera bagai kuncup
harap dan dendam jadi bongkah batu
“Siapa Koman?”

Perahu motor mutari Babah Mehong
Seorang lelaki berdiri di ujung perahu
bukan keris dan tombak dalam genggaman

Dialah Koman. Lelaki pegang senapan

2
Babah Mehong tak dapat uang
Koman menyimpan berang
dan Pelacur ngomong tanpa luang:
“Lima orang. Aku yakin mereka.
Minum di kedai tempat lacuran.
Yang mimpin pipinya bopeng
yang jangkung lehernya berkoreng
yang gendut suaranya cempreng.”

Sambil natap liuk api kapal bantaian
yang tenggelam pelan
Koman penuhkan kepal tangan
ada nyawa dalam genggaman!
“Tahukah kau di mana kutemukan mereka?”

3
Kawanan rompak melaju pulang
tuju seberang, pada tepi hutan rimba
Tak ada siapa di sana
cuma gubug kayu rapuh
lumut dan lintah jadi sepuh
Dari sana perompak berkuda seusai subuh
benar-benar pulang pada rumah
tapi kini fajar tak mudah ditempuh
Laut resah. Badai kambuh
Mendung kian tebal menyandera
Bulan mandul sinar meski tlah purnama
Bintang ikut khianat pula

“Kemana larinya orang macam kita?”
Kecuali Mando, mereka belalakkan mata

Tapi Mando bukan anak kecil
hati dan pikir tak mudah kecut
keberanian tak gampang surut dan kerdil
meski laut dan kesempatan tampak menciut

“Kita tahu laut tak ada batas.”
Teriak serak Mando serupa pecahan gelas

Perompak gendut menyahut cepat:
“Tapi laut tahu kita khianat
sedang kita tak tahu seberapa berat
laut telah melaknat!”

O, Mando yang perkasa!
Iblis mana bertengger dalam dada?

“Jika memang benar katamu
kenapa tak dari semula laut beri tahu?
Jika memang kita tak boleh menjamah laut
betapa debur ombak ini kumpulan pengecut!”

Mando tantang gelegak ombak
perahu motor dan badai saling tabrak
Dan Mando tahu bakalan menang

4
Semburat merah menyembul
di atas ukiran selaput mendung
pada horison pagi

Hiu, bocahnya Mando, nunggui bapaknya
masih berkuda dan lantas meloncat
begitu rupa. Begitu terpana.
“Oleh sebab apa kamu tegun di pantai?”

Ke ufuk timur telunjuk menuding
Dengan bapaknya Hiu ingin berunding:
“Dapatkah kulihat pagi dari lautan?
Dapatkah kusimak pantaiku
di tengah desah ombak kecipak sampan?”

Dan Perahu sampan menjauh
Hiu memutar kepala, berkata:
“Aku tak ingin cepat berlabuh
Betapa indah pagi. Merahnya tembaga.
Andaikan ibu tak cepat mati, Bapak.”

Selarik rindu merongrong dada
Adalah kelabu yang tebal
Kata Mando: “Kini tlah kaukenal
desah ombak, kecipak sampan
dan warna pantaimu dari kejauhan.”

Tapi Hiu belum lelah
“Betapa indah bapak, betapa indah.
Jangan dulu memutar arah!”

5
Gelak tawa dalam warung
O, malam dingin!
O, malam buih pantai!
Leleh busa bir ‘kan segera usai.

Koman datang seorang saja
“Kalian perompak jangan mengelak!”
Bukan. Bukan gertak belaka
Senjata siap dipicu
Ia tak mungkin keliru
ke arah mana peluru memburu

Perompak gendut maju. Lalu tersungkur
Yang lainnya mundur siap kabur
Tapi Mando bukan pengecut
Mendepak meja warung ia bangkit
Seorang kawan tak boleh sakit
di depannya. Apalagi mati.

O, para rompak dan pencoleng
Lihatlah Mando serupa celeng
songsong Koman tanpa tedeng!

Bulan memukul mendung
tapi langit tetap legam
Lelaki bopeng keluar warung
mendedah kelam berteriak geram:

“Koman! Koman! Koman!
terjangkan pelurumu ke dadaku!”

Maka malam menderas genting
bukan sebab dawai berdenting
tapi timah berdesing

“Koman! Koman! Koman!
terjangkan pelurumu ke dadaku!”

Maka malam berkeriap kering
bukan sebab alunan suling
tapi pekik lolong melengking

“Wahai, Perompak! Penjara menolakmu
nerakalah kemana dirimu menuju!”
Koman menatap larian bocah
yang tersedu dan bersimpuh
dan menutup pancar darah
pada dada milik sang bapak.

“Bukannya kamu membunuh perompak.
Kamu membunuh seorang bapak!”
Suara Hiu pelan datar
tapi alam turut bergetar

O, Koman! Tunggulah saja sebentar
hingga saat Hiu tak ada gentar!

Balada pak Bejo
Pak bejo membentak bininya
“hari ini sepi!
Mbok bejo tak mau kalah:
“anak-anak minta baju seragam!
Pak bejo juga:
“aku sudah keliling kota
aku sudah kerja keras
tapi kalah dengan bis kota
hari ini aku cuma dapat uang setoran
mbok bejo tak mau mendengar
mbok bejo tetap marah
mbok bejo terus ngomel!
Pak bejo kesal
nyaut sarung kabur ke warung
nenggak ciu-berkonang
minum segelas
lalu sehelas lagi
kemudian hanyut bersama gending sarung jagung
bersama pak Kromo
bersama pak Wiryo
bersama pak Kerto
njoget tertawa mabuk
benak yang sumpeg dikibaskan
lepas bebas
lupa anak lupa hutang
lupa sewa rumah
lupa bayaran sekolah
lepas bebas
lenggak-lenggok gumpalan awan
bersama bintang-bintang
ketika bulan miring
Pak bejo mendengkur didepan pintu
sampai terang pagi
lalu istrinya melotot lagi
Solo, Juli 88

Sunday, 16 May 2010

Aku Menghasilkan Tulisan karena Itu Aku Ada

Fenomena Kemiskinan dalam Sastra
Oleh : ismail kusmayadi

Banyak karya besar yang lahir dari kubangan derita dan kemiskinan. Tema-tema sosial masyarakat menyangkut kemiskinan selalu diangkat dalam beragam peristiwa. Seakan-akan kemiskinan menjadi sahabat karib para sastrawan. Bahkan ada yang berseloroh: “Kalau ingin menciptakan karya besar haruslah merasakan terlebih dahulu derita kemiskinan. Sebab, ide-ide brilian terkadang lahir dari keadaan tertekan dan hati penuh derita.”

Begitulah mungkin kenyataannya. Kita dapat membaca beberapa karya yang lahir dari kenyataan seperti itu. Misalnya, kisah Oliver Twist (1838) karya Charles Dickens. Dickens yang hidup dalam keluarga miskin dan kehidupan masa kanaknya yang suram, memberikan karakter kuat pada tokoh-tokoh dalam Oliver Twist. Begitu juga dengan J.K. Rowling. Dari kehidupannya yang serba terbatas, mampu melahirkan Harry Potter yang menyihir jutaan pembacanya. Selain Dickens dan J.K. Rowling, masih banyak lagi sastrawan lain yang lahir dan melahirkan karya dari derita kemiskinan, seperti Leo Tolstoy, O’Henry, Maxim Gorky, William Saroyan, dan Albert Camus.

Banyak pula sastrawan Indonesia yang lahir dari derita kemiskinan atau meng¬angkat tema-tema kemiskinan, orang-orang kere, dengan segala probelamatikanya. Kita bisa membaca cerpen-cerpen Joni Ariadinata yang meletup-letup dan terkadang absurd. Atau cerpen-cerpen karya Hamsad Rangkuti yang banyak mengangkat masalah sosial yang dialami oleh orang-orang pinggiran.

Kemiskinan menjadi fenomena sosial yang tidak terbantahkan. Bahkan kemis¬kin¬an menjadi potret buram dan ironisme di tengah kemajuan zaman dan perkembangan teknologi. Sehingga tidaklah mengherankan, kemiskinan menjadi tema sosial yang selalu menarik untuk diangkat menjadi tema cerita. Tujuannya bukan hanya sekadar memperlihatkan realitas objektif, melainkan mengungkap jutaan makna yang tersirat dalam kemiskinan itu sendiri.

Orang-orang miskin selalu menjadi objek penderita berbagai pihak. Bahkan tidak sedikit kemiskinan menjadi “barang dagangan” yang laku dijual saat kampanye pemilihan presiden sampai pemilihan lurah. Kemiskinan menjadi tontonan yang meng¬untungkan dalam sinetron atau aksi-aksi sosial para pejabat dan selebritis.

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup (James. C.Scott, 1981).

Bagaimana jadinya pembicaraan tentang kemiskinan ini tertuang dalam karya sastra? Apa makna yang dapat kita peroleh dari karya sastra yang mengangkat tema sosial ekonomi seperti ini?

Karya sastra tidak terwujud begitu saja. Dalam proses penciptaannya, pengarang menjalin berbagai unsur pembentuknya untuk mendukung konsep yang hendak digarapnya. Selain unsur intrinsik, pengarang pun sangat terkait dengan unsur ekstrinsik dalam menggambarkan keadaan lingkungan atau status sosial yang akan diangkat dalam cerita.

Hal itu kemudian tergambar jelas, salah satunya, dalam kumpulan cerpen Sampah Bulan Desember (Penerbit Buku Kompas, 2000). Buku yang ditulis oleh Hamsad Rangkuti ini terdiri atas 15 cerpen. Hal yang menarik perhatian adalah cepen-cerpen Hamsad bukan hanya mengangkat tema kemiskinan, melainkan mampu mengungkap sisi lain dari kemiskinan tersebut. Apa yang diungkapkan Hamsad dalam cerpen-cerpennya pada hakikatnya adalah realitas objektif masyarakat yang setiap hari terjadi dan begitu adanya. Dengan pengamatan yang jeli, kehidupan yang lumrah itu kemudian menjadi sesuatu yang menarik dan penuh makna ketika diangkat ke dalam sebuah cerpen.

Sejatinya, para pemimpin kita mau memahami kenyataan di masyarakat melalui karya sastra. Para sastrawan telah berusaha merekam dan memotret realitas objektif untuk dijadikan referensi tentang bagaimana seharusnya menyikapi hidup ini.



SASTRA DAN SENI UNTUK MEMBASMI KORUPSI
Oleh : Johan Rio Pamungkas

Masalah korupsi sesungguhnya bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia. Bukan hanya sejak Pemerintah Soeharto-Orde Baru saja yang dituduh melakukan tindak korupsi, tetapi juga jika menelusuri jauh ke masa lampau, pada periode penjajahan Belanda dengan VOC-nya, kita sudah memperoleh fakta tentang terjadinya korupsi besar-besaran dari lembaga dagang yang kemudian juga punya kuasa di bidang militer dan pemerintahan itu. Di dalam tubuh VOC, ternyata yang terjadi adalah korupsi besar-besaran. Selanjutnya yang terjadi yakni, VOC bangkrut. Lembaga yang memiliki otoritas yang demikian kuat akhirnya dilikuidasi dan Hindia Belanda kemudian diperintah oleh Pemerintah Belanda.

Penyakit korupsi VOC itu, tampaknya tidak pernah berhenti dan terus terjadi bahkan menular dan menjalar ke Orde Lama berlanjut ke Orde Baru sampai ke masa kini.

Sehingga, dapat kita saksikan sekarang korupsi telah menjadi satu entri kata yang paling terkenal di Indonesia bahkan dapat dibilang korupsi adalah legenda hidup yang masih bertahan di negeri ini. Sementara, para pelakunya sudah mati namun korupsi tidak mati hanya berpindah ke lain hati untuk merasuki hati tersebut melakukan korupsi dan membujuk hati-hati yang lain agar melakukan hal yang sama.

Korupsi telah berhasil menjadi makhluk yang seperti tidak tertandingi di negeri ini. Hanya basis agamalah yang diceritakan dapat menjadi benteng terakhir melawan korupsi. Namun, ternyata realita yang ada saat ini di tanah pertiwi kini adalah, penurunan nilai akhlak dan moralitas yang juga terkorupsi membuat benteng agama keropos jua. Sampai pada satu titik di mana kita sebagai anak-anak negara, pemuda-pemuda bangsa, mahasiswa-mahasiswa Indonesia, menyerah untuk memberantas korupsi, putus asa melawan kejahatan makhluk tersebut sehingga mahasiswa akhirnya juga ikut berteman dengan korupsi.

Tapi kawan, jangan berputus asa dulu karena ternyata harapan itu masih ada. Percayalah bahwa tabir yang memisahkan antara kita dan keberhasilan hanyalah keputusasaan. Jika harapan itu kuat dalam diri kita, maka dengan izin Tuhan kita akan bisa melawan, memberantas bahkan membasmi korupsi. Karena tidak hanya satu kekuatan bahkan ada dua kekuatan lain yang masih bisa diharapkan menjadi lawan tanding dari korupsi, yakni sastra dan seni.

Dalam berbagai cerita peradaban, hasil karya seni dan sastra seburuk apa pun, sejelek bagaimanapun bisa mendidik pengapresiasinya untuk bersikap kritis dalam menilai apa yang disajikannya. Seorang maupun sekelompok orang yang dicuci otaknya melalui moralitas karya sastra dan seni pada hakikatnya adalah sebuah investasi besar bagi bangsa dan negara untuk memperbaiki sistem. Hal inilah yang bisa disebut sebagai kekuatan dari sastra dan seni sehingga mereka dapat digunakan sebagai alat pembasmi korupsi.

Sebuah karya sastra dan seni bisa menjadi alat komunikasi. Mereka juga bisa menjadi alat pengrusakan dan penghinaan. Ada pukulan yang menyakiti dan ada kata-kata serta gambar yang lebih menyakiti. Ada pukulan yang melukai dan ada kata-kata juga gambar yang membunuh. Adalah kata-kata serta gambar yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk dan keluar dari diri kita.

Puisi berjudul “Negeri Para Bedebah” karya Adhie Massardi, yang sempat dibacakan langsung di Kantor Pemberantasan Korupsi, adalah contoh nyata bagaimana kekuatan sastra bisa memukul balik korupsi. Kemudian, dari seni kita bisa mendengarkan Grup Band Slank mendendangkan lagu “Gosip Jalanan” yang mencerminkan kenyataan banyaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat menjadi penghuni penjara akibat kasus korupsi. Lalu, kita lihat bagaimana para seniman anti korupsi melukis tentang pemerintahan yang korup, kita juga bisa menyaksikan pementasan teater tentang perjuangan Komisi Pemberantasan Korupsi menjaga idealismenya saat peringatan hari anti-korupsi 9 Desember 2009 lalu.

Dilihat dari contoh di atas, maka tak salah kiranya jika para mahasiswa Indonesia meningkatkan apresiasinya terhadap seni dan sastra, sehingga merupakan bekal untuk membasmi korupsi. Tingkat apresiasi terhadap karya seni dan sastra yang rendah di Indonesia dapat dikaitkan dengan tingginya jumlah kasus korupsi di Indonesia. Setelah agama yang dianggap sebagai benteng terakhir runtuh, maka bangunlah benteng yang baru, tidak cukup hanya satu tetapi dua yakni sastra dan seni. Karena telah dapat dibuktikan di negara-negara maju, tingkat apresiasi sastra dan seni yang tinggi bisa menekan angka korupsi karena dari sana muncul rasa menghargai dan nurani tidak menjadi mati. Dari rasa menghargai dan nurani yang tidak mati inilah akhirnya seseorang dapat memahami bahwa korupsi artinya tidak menghargai orang lain, korupsi artinya mengambil hak orang lain, korupsi artinya menyiksa orang lain kemudian dari pemahaman tersebut seseorang tidak jadi melakukan korupsi.

Berteater meningkatkan intellegensi ganda
Oleh : solihin ardy

Otak bukan hanya segumpalan materi yang dapat dibandingkan sebagai gumpalan daging yang biasa. Tetapi otak memiliki fungsi yang sangat penting untuk kita, seperti juga fungsi jantung untuk peredaran darah dalam tubuh kita. Otak manusia dewasa diperkirakan mengandung antara 12-15 miliyar sel saraf, itupun sel yang ada pada otak besar (neokorteks) belum ditambah dengan otak reptil dan mamalia, sehingga mencapai 200 miliar sel..Dan dari situlah manusia memiliki berbagai kemampuan seperti daya ingat ,berfikir,merasa dan lain sebagainya.

Dari pembagian otak tersebut, dibagi lagi menjadi dua fungsi yaitu fungsi otak kiri dan otak kanan. Dari setiap belahan otak itu mempunyai fungsi tersendiri yang diatur oleh “alat” penghubung kedua otak tersebut. Dan koordinasi dari kedua otak itu yang memaksimalkan fungsinya, .kalau penghubung itu terganggu, kedua belahan otakpun ikut terganggu. Otak kiri terkait dengan kemampuan logika, matematika, bilangan , bahasa, daya ingat dan daya analisa. Sementara belahan otak kanan banyak berfungsi dalam penguasaan bentuk dan pola, penguasaan ruang, irama, penggambaran, imajinasi dan ukuran dimensional.

Setidaknya ada tiga kemampuan yang biasa disebut orang dengan istilah kecerdasan (intelligence). Dan ke-tiga inteligensi itu diperjelas oleh Ary Ginanjar Agustian secara detil dan hubunganya dengan fungsi otak yang sangat kompleks. Sebelumnya orang mengira bahwa IQ (Intellegence Quotient) merupakan penentu kesuksesan dalam hidup. Jika IQ-nya tinggi maka, dia akan mendapatkan kesuksesan dalam belajar dan akhirnya mendapat kesuksesan dalam hidup. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar, karna banyak orang pintar dan ber-IQ tinggi pada kenyataanya dia mengalami kesulitan hidup. Artinya, bahwa perlu ada pendukung – pendukung yang lain sebagai penyeimbang, seperti EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient) pernyataan Ary Ginanjar Agustian mengenai tiga kecerdasan tersebut mendapat sambutan yang luar biasa sehingga bukunya mengenai ESQ menjadi best Seller.

Berbagai pola pelatihan teater pernah saya ikuti bahkan saya juga mengikuti berbagai workshop teater yang diperuntukkan bagi calon-calon aktor dari unsur pelajar dan mahasiswa juga beberapa orang dari komunitas independen.

Disela-sela proses latihan itu saya teringat seorang teman yang mengatakan “seorang aktor itu harus cerdas”. Ungkapan itu terus melekat di pikiran saya, apakah memang benar menjadi aktor harus cerdas dan memungkinkan menjadi cerdas. Sementara teman saya yang lain mengatakan “mau jadi apa dengan berteater ?”. Dua pendapat itu sempat membingungkan, tapi, tetap saya jalani berlatih teater bersama kawan-kawan di komunitas Independen, karna saya yakin ada banyak hal yang menarik dalam proses pelatihan itu.

Ada beberapa hal yang dapat diambil pelajaran dari workshop dan latihan teater,yang akan terungkap di sini. Pada bulan pertama kami dilatih olah vokal dan artikulasinya, juga cara pengucapanya secara staccato, vibration dan long voice. “Seorang aktor harus memiliki vocal yang baik, memiliki power, dan artikulasinya harus jelas”, ungkap instruktur kami. Ada beberapa poin yang menarik dari olah vokal ini apabila dilakukan dengan rutin, karena kecerdasan berbahasa akan berkembang dengan sendirinya. Inteligensi linguistik adalah kemampuan menggunakan dan mengolah kata-kata secara efektif, baik secara oral yang kemungkinan akan berkembang pada kemampuan menulis. Olah vokal juga dapat menambah kemampuan berbahasa dengan baik.

Selama satu bulan tersebut sebelum pelatihan dimulai kami disarankan untuk melatih vocal terlebih dahulu.kemudian baru meningkat ke sesi selanjutnya.

Masih pada satu bulan pertama, kami digembleng untuk mengolah tubuh dengan baik, fisik, kelenturan dan gesture. Pengolahan badan secara rutin sangat ideal untuk peningkatan Intelegensi kinestetis – badan. Menurut Gadner, kemampuan ini adalah kemampuan menggunakn tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan. Pada sesi ini aktor diharapkan mampu mengeksplorasikan diri dalam sebuah pementasan teater dengan baik.

Pada bulan kedua kami dilatih mengapresiasikan diri secara total,ber-interaksi dengan lawan main, bahkan juga meng-intregasikan diri pada alam (nature).pelatihan ini adalah sebuah upaya untuk mengembangkan Inteligensi inter- personal. Bagaimana seorang aktor harus memahami dengan baik aktor-aktor lain yang menjadi lawan main, secara psikologis; sikap yang dimiliki, karakter dan perasaan yang lebih dalam lagi, Kecerdasan ini untuk melatih bagaimana seorang aktor dapat mudah bekerja sama dengan orang lain, dapat berkomunikasi dengan baik,. komunikasi secara verbal atau

non - verbal. Kecerdasan ini juga melatih aktor untuk peka terhadap teman, terhadap penderitaannya, persoalan-persoalan yang dialaminya sehingga mudah berempati.

Selanjutnya, kami diberi materi tentang blocking. Bagaimana sebaiknya penempatan diri sang aktor ketika berada di panggung, dan memperhatikan hal-hal kecil yang memberi pengaruh terhadap baik tidaknya pementasan. Pementasan akan menjadi menarik ketika mempertunjukkan bisnis acting secara detil. Posisi sang aktor juga menjadi bagian yang menarik selain gesture, vocal, dan power yang baik. Kemampuan memposisikan diri (blocking) dalam pementasan teater adalah sebuah kecerdasan tersendiri yang menurut Gadner adalah Iintelignsi ruang-visual.

Seorang aktor dengan melatih bloking dan memiliki peresepsi yang baik terhadap benda-benda artistik yang ada di sebuah panggung, secara otomatis akan mengembangkan inteligensi ruang. Dan proses latihan yang terus meneruslah yang menjadi kecerdasan itu meningkat.

Sebelum memulai latihan, kami terbiasa melakukan meditasi bersama dengan harapan Energi yang terkumpul menjadi sebuah kekuatan motivasi bagi kami. Dengan berbagai macam bentuk meditasi, upaya yang ingin dicapai adalah kemampuan untuk berkonsentrasi, introspeksi, dan pada akhirnya adalah intregasi diri yang akan melahirkan sebuah kesadaran yang tinggi. Kemampuan seperti ini dalam konsep multiple intelligence adalah Inteligensi intra-personal yaitu kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri, dan kemampuan untuk bertindak secara adaftaif berdasarkan pengenalan diri, termaksud kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri. (paul suparno, 2004). Seorang aktor dituntut untuk memiliki kesadaran akan dirinya, sehingga tidak menjadi sombong dan tinggi hati terhadap aksi peranya dalalm beberapa pementasan yang sudah dilakukan.

Pada tahap selanjutnya, kami berlatih untuk berinteraksi dengan alam sekitar dan sang instruktur membawa kami ke sebuah pedesaan kecil yang terdapat alir sungai dan air mancur, kemudian kami memulai untuk bermeditasi di sekitar sungai kecil dan di bawah air terjun. Kami dituntun untuk mencoba mensenyawakan perasaan dengan suara-suara alam; benturan air pada batu, kicau burung, hembusan angin dan pancaran air terjun yang menusuk-nusuk kepala kami. Pola pelatihan seperti ini diharapkan menjadikan aktor lebih mawas diri introspeksi cinta terhadap alam dan lingkunganya. Kemampuan disebut juga dengan Inteligensi lingkungan yaitu sebuah kemampuan untuk memahami flora dan fauna dengan baik, karena dapat membuat distingsi konsekwensial lain dalam alam natural; kemampuan memahami alam, dan mempergunakan kemampuan ini dengan produktif untuk mengembangkan pengetahuan akan alam, yang selanjutnya dengan secara sadar akan mencintai lingkungan alam sekitarnya.

Potensi yang dimiliki oleh setiap orang akan berbeda-beda tingkatanya, sehingga tugas kita untuk mencari mana yang paling menonjol dan kemudian mengmbangkanya terlebih dahulu, karna tanpa sebuah prioritas-prioritas kita akan kesulitan untuk memilih dan mensistematikkan inteligensi yang ada.

Dalam pementasan sebuah teater biasanya ada alunan musik yang mengiringi, sebagai unsur penguat cerita dalam sebuah naskah. Aransemen musik dalam produksi teater harus sesuai dengan suasana naskah ketika itu, latar belakang, tokoh dan lain sebagainya, yang dapat dipahami secara logika. Kemampuan untuk mengiringi pementasan teater dengan musik pendukung adalah merupakan proses mengasah Intligensi musikal. Dengan memaksimalkan kemampuan inteligensi musikal, akan meningkatkan fungsi bahasa, seni dan kemampuan yang lain. Apabila salah satu inteligensi terkena stimulus maka layanan fungsi otak terhadap kegiatan mental tertentu akan menjadikan semua inteligensi bekerja secara bersama.(Gardner, 1990).

Setiap manusia lahir memiliki bakat (potensi) lebih dari satu, dan semuanya itu dapat digali dan dikembangkan menjadi sebuah kemampuan yang luar biasa. Karna itu perlu adanya pola pembelajaran untuk mengembangkan diri (Empowering) yang sistematik, sehingga potensi-potensi yang ada pada kita tergali secara maksimal. Beberapa inteligensi tersebut muaranya adalah pada kaspasitas otak besar, otak tengah dan otak kecil. Dan dari belahan otak besar tersebut, fungsi otak kanan dan otak kiri akan semakin bekerja secara maksimal apabila kita mampu mensenyawakan kedua fungsi otak tersebut.

Kaki Ine Dan Kesederhanaan (Ulasan Cerpen "Kaki Yang Terhormat" karya Gus tf Sakai)
Oleh : Agus Dwi Putra

"Bila ada peribahasa berkata pelihara lidah, berjalan pelihara kaki, maka Anda boleh yakin, hanya penggal terakhirlah yang penting bagi nenek saya," demikian ditulis oleh Gus tf Sakai dalam cerpen "Kaki Yang Terhormat”.

Nenek yang dikisahkan di sini sangat percaya bahwa kaki adalah penentu kehidupan dirinya, dan karenanya pula dipercayainya berlaku juga bagi setiap insan. Dikisahkan, nenek, yang biasa dipanggil dengan sapaan Ine oleh tokoh utama, sewaktu muda sering naik ke bukit. Tentu saja berjalan kaki menyusuri jalan mendaki dan berbatu. Atas motivasi apa Ine muda melakukan itu?

Kata Ine, "... karena di situlah peruntungan Ine."

Ine tidak melakukannya karena terpaksa, misalnya diperintahkan ikut mendaki untuk memotong ranting bersama saudara-saudaranya. Ine juga tidak mendaki bukit demi kesukaan belaka. Dalam kisah ini, boleh jadi Ine melakukannya untuk mengejar tujuan yang jelas: peruntungan. Bukan karena terpaksa, mengandung pengertian bahwa kegiatan itu dilakukannya dengan kehendak bebas. Bukan karena kesukaan, mengandung pengertian bahwa ia mengerti keuntungan yang akan ia peroleh dari rutinitas yang perlu dijalaninya itu.

Ini menarik untuk digali. Bukankah dalam kecenderungan itu tersirat gambaran kehendak bebas untuk mencapai tujuan? Gus tf Sakai menggunakan simbol kaki untuk merepresentasikan kuasa itu. Ine, dengan demikian, adalah sosok yang sangat percaya bahwa setiap insan memiliki kuasa membawa kehidupan masing-masing, entah ke puncak kebahagiaan atau ke dalam palung kesengsaraan. Boleh jadi pula, dengan dasar itu Ine dapat berkata, kaki adalah bagian tubuh yang paling penting. Ketika Ine "... mengangkat sebelah kaki, dengan telunjuk menukik lurus ke bawah", saya membayangkannya sedang berusaha untuk semakin menyadari besarnya potensi kuasa itu.

* * *

"Kaki Yang Terhormat", demikian judul cerpen ini. Judul yang dibuat rinci (bukan "Kaki" saja") barangkali sengaja digunakan untuk mempertegas bahwa ada juga kaki yang tidak terhormat.

Ketika Mak Etek Harun pergi kuliah ke Jakarta, Ine berujar, ”Kakilah yang menentukan hidup seseorang akan seperti apa. Dan kaki itu kini telah membawa Mak Etek kalian ke Jakarta.” Pada titik ini kehendak Mak Etek untuk melanjutkan pendidikan di ibu kota adalah sesuatu yang terpuji: kakinya terhormat.

Sampai akhirnya terdengar kabar dari seseorang di kampung sebelah yang merantau ke Jakarta: di Jakarta, Mak Etek ke mana-mana naik helikopter! Dikisahkan bahwa orang-orang takjub bukan kepalang. Namun, saat semua orang di kampung menanti kepulangannya, yang kabarnya mau membangun pabrik semen di sana, beredarlah "berita besar (yang) menghantam bagai geledek: Harun terlibat kasus korupsi." Pada bagian ini Gus tf Sakai menuntaskan penggambaran atas sosok Ine beserta pendapatnya mengenai kaki. Ia menulis:

"Kau tahu apa sebenarnya yang membuat Mak Etekmu celaka?"
Saya menarik kepala. Memandang bibir krumput nenek lalu menggeleng.
”Karena ia tak lagi menggunakan kakinya. Karena ke mana-mana hanya dengan kendaraan, di atas helikopter itu saja.”

Ungkapan itu, ungkapan ”karena ia tak lagi menggunakan kakinya, ke mana-mana hanya dengan kendaraan” menjadi penggambaran utuh tentang gagasan Ine, khususnya tentang kaki atau kuasa. Ruang pemaknaannya sangat luas, tetapi ungkapan ini setidaknya dapat menyiratkan bahwa ketika insan tidak menggunakan kuasanya untuk membendung keinginan yang beraneka rupa, mereka akan terbawa di atas keinginan-keinganannya (yang disimbolkan dengan kendaraan). Mereka niscaya akan celaka.

Kita dapat mengira bahwa sosok Ine dalam cerpen ini adalah simbol kesederhanaan. Ia tampak sengaja digambarkan melalui karakter seorang nenek untuk mengingatkan:kita: yang sederhana itu sudah menjadi semakin tua dan rapuh di zaman modern ini.

Gagasan Takdir dalam Grotta Azzura
Oleh : ismail kusmayadi

Cerita diawali dengan pertemuan Ahmad dan Janet di sebuah kapal Capri-Sorrento. Mereka sama-sama berniat liburan di Pulau Capri yang terkenal akan keindahannya itu dengan maksud untuk menghilangkan kesepian masing-masing.

Ahmad, seorang laki-laki berusia 47 tahun. Ia adalah seorang tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ia bersama kawan-kawannya dari PSI melancarkan pemberontakan terhadap Presiden Soekarno. Mereka bermaksud mendirikan pemerintahan baru, tetapi pemberontakannya gagal dan Ahmad lebih memilih lari keluar negeri. Karena letih memikirkan segala persoalan yang menimpa negerinya serta kekecewaannya atas kegagalan pemberontakannya, Ahmad memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai sekretaris di sebuah perusahaan mobil dan berniat menenangkan pikirannya dengan cara berlibur ke sebuah pulau yang indah, yaitu Pulau Capri. Di tempat wisata itu ada suatu tempat yang dinamai Grotta Azzurra (Gua Biru).

Adapun Janet Marcelin adalah seorang janda asal Perancis, berusia sekitar 35 tahun. Ia seorang yang cantik dan pandai. Janet bekerja di Museum Louvre, Paris. Janet sangat mengenal Italia, terutama segala sesuatu yang berhubungan dengan seni lukis, patung, dan sejarah lama. Pertemuannya dengan Ahmad telah mem¬berikan nuansa hidup baru. Mereka sering berdiskusi tentang seni, kebudayaan, emansipasi, seks, politik, dan segala hal yang berhubungan dengan Timur-Barat.

Begitulah, cerita dalam roman Grotta Azzurra karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berlanjut dengan serangkaian diskusi panjang tentang persoalan-persoalan yang terjadi saat itu, terutama pertentangan antara budaya Timur dan Barat. Roman ini sudah jarang kita temui di toko-toko buku. Sampai saat ini belum ada edisi cetak ulang. Bahkan para siswa sekarang sulit untuk sekadar melihat ‘sosok’ bukunya. Mungkin hal ini disebabkan oleh bobot isi cerita yang terlalu berat karena berisi ide-ide yang rumit, jumlah halaman yang cukup tebal untuk ukuran roman Indonesia saat itu (556 halaman), atau mungkin ada unsur-unsur lain yang sifatnya politis sehingga roman ini tidak dicetak lagi. Saya sendiri hanya membaca judul novel tersebut sewaktu SMU tanpa pernah melihat apalagi membacanya. Baru setelah kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, saya menemukan dan membaca novel tersebut. Terlepas dari permasalahan itu semua, ternyata roman ini tetap menarik untuk dikaji.


Tentang STA

Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dilahirkan di Natal, Tapanuli pada 11 Februari 1908. Pendidikan secara formal diawalinya di HIS (Hollands Indische School) Bengkulu tahun 1915-1921. Kemudian, dilanjutkan ke Kweeksschool di Bukit Tinggi, Lahat, Muara Enim, pada tahun 1921-1925. Setelah itu, STA melanjutkan pendidikannya ke sekolah pendidikan guru (HKS) di Bandung tahun 1925-1928 dan Hofdacte Cursus di Jakarta tahun 1931-1933.

Semangat STA untuk belajar terus menyala. Cita-citanya untuk menjadi orang yang berguna bagi bangsa yang melahirkan dan emmbesarkannya, telah mendorong STA untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Tahun 1937, STA melanjukan pendidikannya di Fakultas Hukum UI dan gelar Master in de Rechten diraihnya pada tahun 1942.

STA tidak bernah berhenti bercita-cita, apalagi memenjarakan keinginan besarnya. Setiap kesempatan ia pergunakan untuk membangun istana masa depan yang selalu diidamkannya sehingga walaupun ia sudah kuliah di Fakultas Hukum, pada saat yang sama disempatkannya pula mengikuti kuliah-kuliah ilmu bahasa umum, filsafat, dan kebudayaan Asia Timur di Fakultas Sastra.

Pengabdiannya kepada bangsa dan negara diawalinya dengan bekerja sebagai guru SD (1928-1929) di Palembang, Sumatra. Bakat besarnya di bidang sastra menjadikan STA sebagai penulis yang produktif. Pada tahun 1930-1942, STA menjadi redaktur kepala Balai Pustaka bagian Panji Pustaka dan Buku. Pada masa itu, STA bersama Amir Hamzah, dan Armin Pane mendirikan majalah Pujangga Baru, sebuah majalah yang mempunyai andil besar dalam perkem¬bangan dan pertumbuhan bahasa dan sastra Indonesia. Untuk itulah, STA dikenal sebagai pelopor angkatan Pujangga Baru.

Dalam bidang kebahasaan, STA layak dinobatkan sebagai “Bapak Bahasa Indonesia”, karena jasa-jasanya yang besar dalam menumbuhkembangkan dan memasyarakatkan bahasa Indonesia.

STA bukan hanya seorang ahli yang mengabdikan pemikiran dan ide-idenya untuk kemajuan dirinya, akan tetapi ia juga banyak merintis kegiatan yang bermanfaat bagi kemajuan masyarakat dan bangsa, Untuk itulah pada tahun 1938, STA mencetuskan pemikirannya untuk mengadakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo. STA juga menjadi pengambil inisiatif dan pemimpin konferensi bahasa-bahasa Asing tentang The Modernization of the Languages in Asia pada tahun 1967 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Karya-karya lain dalam bidang puisi antara lain Tebaran Mega (1955), Lagu Pemacu Ombak (1979), dan Perempuan di Persimpangan Zaman. Adapun dalam bidang roman atau novel antara lain Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1937), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941), Grotta Azzurra (3 jilid 1970) dan Kalah dan Menang (1978).
Grotta Azzura sebuah Novel Ide

Ketika roman Grotta Azzurra diterbitkan, banyak pengamat dan kritikus sastra yang memberi tanggapan terhadap roman tersebut. Grrota Azzurra memang roman STA yang panjang, khususnya untuk ukuran cerita dalam sastra Indonesia. Roman ini terdiri atas tiga jilid. Isinya memuat ide-ide dan pemikiran STA ten¬tang segala hal yang diungkapkan melalui tokoh-tokohnya.

Para pengamat dan kritikus sastra Indonesia menganggap bahwa roman Grotta Azzurra merupakan roman bertendens yang paling ekstrim, atau dengan kata lain roman tersebut merupakan “terompet” pengarang untuk menyampaikan ide-idenya kepada masyarakat pembacanya. Hal serupa juga dilakukan oleh STA dalam novel Layar Terkembang. Oleh karena itu, para pengamat sastra umumnya mengatakan bahwa Grotta Azzurra merupakan kelanjutan dari Layar Ter¬kembang.

Harry Aveling menilai Grotta Azzurra karya STA dengan cara membanding¬kannya dengan Layar Terkembang. Harry Aveling mengatakan bahwa “Fungsi didaktik Layar Terkembang penting sekali. Manusianya hanya dapat dibebaskan dari ikatan masyarakat kuno untuk pengikatan baru: untuk membangun manusia modern.”

Harry Aveling pun akhirnya menyamakan Grotta Azzurra dengan Layar Terkembang. Dia mengemukakan, “Pada kesan pertama, Grotta Azzurra adalah Layar Terkembang baru….” Namun, menurut Harry Aveling pula, Grotta Azzurra mempunyai kelebihan dalam hal ini (nilai-nilai yang terkandung di dalamnya). Menurut Harry, STA adalah manusia yang konsekuen dengan pendiriannya. Ia berpikir dan berkarya secara konsisten.

Grotta Azzurra memang mengundang banyak tanggapan dari kalangan pengamat sastra. Bermacam-macam kritik dilontarkan terhadap karya tersebut, tetapi muncul juga berbagai penilaian yang menilainya sebagai suatu karya yang berbobot.

Masalah ide-ide yang ditampilkan STA yang dipandang oleh Harry Aveling sebagai fungsi didaktik itu memang menarik perhatian orang banyak, termasuk Dr. Monique Zaini Lajoubert, seorang sarjana Perancis yang mengatakan bahwa “…roman ini pertama-tama adalah roman ide dan sebagian besar terdiri dari diskusi yang panjang antara kedua tokoh utama dan orang-orang yang dijumpai mereka dalam perjalanan tentang segala macam hal, yang terutama sekali bukan saja berhubungan dengan Eropa dan Amerika Serikat, melainkan dengan negara-negara berkembang termasuk Indonesia.” Lebih lanjut Dr. Monique menilai bahwa Grotta Azzurra adalah sebuah roman yang lebih mengutaman ide ketimbang jalan ceritanya.

Bahwa STA selalu konsisten dalam setiap karyanya, yakni selalu mengetengahkan ide-idenya, juga kemukakan oleh Jacob Sumardjo yang mengatakan bahwa dalam Grotta Azzurra, STA lebih mementingkan ide, isi , daripada sastra. Adapun menurut Idrus, roman Grotta Azzurra adalah roman Indonesia yang terbaik sampai sekarang. Idrus juga memuji keahlian STA dalam menggodok sejarah kuno dan ilmu jiwa wanita untuk suatu maksud tertentu (dalam STA, 1985:131).

Selain tanggapan yang berisi penilaian yang postif terhadap roman ini, muncul juga tanggapan yang cukup keras yang dikemukakan Prof. A. Teeuw dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II. Dalam tulisannya, A. Teeuw berpendapat bahwa Grotta Azzurra adalah suatu filsafat kebudayaan yang ditulis dalam bentuk novel (Teeuw, 1989:179), dan itu dianggap sebagai suatu kesalahan pokok oleh Teeuw. Menurutnya, STA selain berperan sebagai novelis, juga ingin berperan sebagai nabi dan guru sekaligus.

Dari sini terlihat perbedaan pendapat antara Teeuw dengan Aveling Aveling menganggap Grotta Azzurra sebagai Layar Terkembang baru yang sarat dengan ide. Aveling sendiri mengaku bosan membaca Layar Terkembang, tetapi ia memberikan pujian terhadap Grotta Azzurra. Sedangkan, Teeuw lebih memuji Layar Terkembang, tetapi mengkritik Grotta Azzurra. Tentang Layar Terkembang Teeuw mengatakan bahwa “Takdir membeber¬kan pemikiran itu dengan cara yang mengagumkan dalam romannya Layar Terkembang yang merupakan contoh yang baik tentang apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya sebagai Tendenz-Kunst; dan oleh sebab itu karya itu juga memperlihatkan kekuatan serta kelemahan kesusastraan jenis itu.”

Berdasarkan beberapa pendapat yang diungkapkan mengenai Grotta Azzurra telah membuktikan bahwa dalam karya-karyanya STA telah menciptakan karya yang bertendens dengan maksud untuk memodernisasikan masyarakat pembacanya. Pada dasarnya Grotta Azzurra adalah cermin idealisme STA sepenuhnya, sehingga dalam Grotta Azzurra, STA lebih mengutamakan pemunculan ide-ide dan idealismenya ketimbang keindahan sastranya.

Aku Menghasilkan Tulisan karena Itu Aku Ada
Oleh : ismail kusmayadi

Robert Scholes mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pemerhati manusia bukan karena dia berpikir, bukan juga karena dia membaca, melainkan karena dia menulis. Melalui menulis akhirnya dia bisa menghasilkan tulisan. Dengan bermain-main dengan asas filsafat Rene Descrates yang berbunyi cogito ergo sum (aku berpikir karena itu aku ada), Scholes sampai pada kesimpulan scribo ergo sum, ’aku menghasilkan tulisan karena itu aku ada”. Sampai batas tertentu dapat dikatakan akulah tulisan yang kuhasilkan, aku adalah tulisan itu sendiri.

Paragraf tersebut saya kutip dari tulisan Subagio Sastrowardoyo dalam bukunya yang berjudul Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1999). Istilah yang terkesan plesetan yang diungkapkan Robert Sholes tersebut sebetulnya bisa menjadi penyulut semangat untuk memulai menulis. Itulah asas dasar kegiatan menulis yang sesungguhnya. Menulis bukan sekadar untuk menyalurkan hobi atau bakat, atau untuk mencari tambahan secara finansial, melainkan sebagai bentuk eksistensi kita dalam kehidupan. Eksistensi yang sesungguhnya dari manusia adalah ketika keberadaannya bermakna bagi orang lain. Bisa dibayangkan jika ada dan tidak adanya kita tidak bermakna atau tidak berpengaruh bagi orang lain. Kita akan menjadi orang yang paling merugi dalam kehidupan ini.

Di negara modern, kegiatan membaca dan menulis sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Jonathan Culler merumuskan kebutuhan menulis yang sudah hakiki di dalam masyarakat modern dengan mengatakan, ”Ia yang tidak menulis akan ditulis oleh sistem itu sendiri. Ia menjadi buah produk dari kebudayaan yang tidak dikuasainya.” (dalam Sastrowardoyo, 1999: 3). Sehingga yang dirasa penting di dalam kebudayaan modern bukan saja kebutuhan untuk membaca, melainkan juga kebutuhan untuk menulis. Dalam arti mengungkapkan diri sebagai bagian dari dunia dan hidup itu sendiri.

Jika mencoba berbalik ke masa awal mula lahirnya tulisan, kita dapat mengetahui bahwa budaya tulis merupakan mediamorfosis yang kedua setelah budaya lisan. Istilah mediamorfosis diungkapkan oleh Roger Fidler (dalam Hofmann, 1999: 9) dengan merujuk pada istilah biologi ’metamorfosis’. Salah satu binatang yang bermetamorfosis adalah kupukupu. Perubahan bentuk dari ulat menjadi kepompong, kemudian lahir kupukupu merupakan perubahan yang sangat jauh berbeda. Analogi inilah yang digunakan oleh Roger Fidler untuk menunjukkan adanya perubahan peradaban manusia yang berbeda sama sekali saat belum ada bahasa dengan setelah digunakannya bahasa. Begitu pula perubahan terjadi sangat berbeda pada saat budaya tulis muncul setelah budaya lisan.

Mesir disebut-sebut sebagai bangsa pertama yang mengenal tulisan, yang disebut hieroglif. Bangsa mesir membuat tulisan hieroglif berupa gambar-gambar. Mereka menuliskannya di batu-batu atau papirus. Beberapa sumber yang menguak sejarah tentang buku menyebutkan pula bahwa buku pertama lahir di Mesir pada tahun 2400-an SM setelah orang Mesir menciptakan kertas papirus. Kertas papirus yang berisi tulisan ini digulung dan gulungan tersebut merupakan bentuk buku yang pertama.

Ada pula yang mengatakan buku sudah ada sejak zaman Sang Budha di Kamboja karena pada saat itu Sang Budha menuliskan wahyunya di atas daun dan kemudian membacanya berulang-ulang. Berabad-abad kemudian di Cina, para cendekiawan menuliskan ilmu-ilmunya di atas lidi yang diikatkan menjadi satu. Hal tersebut memengaruhi sistem penulisan di Cina di mana huruf-huruf Cina dituliskan secara vertikal, yaitu dari atas ke bawah.

Buku yang terbuat dari kertas baru ada setelah Cina berhasil menciptakan kertas pada tahun 200-an SM. Kertas membawa banyak perubahan pada dunia. Pedagang muslim membawa teknologi penciptaan kertas dari Cina ke Eropa pada awal abad 11 Masehi. Disinilah industri kertas bertambah maju. Apalagi dengan diciptakannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (Jerman) pada abad ke-15, perkembangan dan penyebaran buku mengalami revolusi. Gutenberg telah berhasil mengatasi kesulitan pembuatan buku yang dibuat dengan tulis tangan. Gutenberg menemukan cara pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang terpisah. Mesin cetak yang dibuat Gutenberg mampu menggandakan cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak.

Mentradisikan Menulis

Selain ungkapan scribo ergo sum, ada satu ungkapan penting yang diungkapkan oleh Iman Ali bin Abi Thalib, r.a., yakni ”Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Ungkapan ini memiliki arti akan pentingnya menuangkan ilmu dan pengetahuan ke dalam tulisan. Tulisan berisi pengetahuan tersebut akan dibaca, dipahami, dan diamalkan oleh setiap generasi.

Menulis juga merupakan tradisi Qu’rani. Tidak diragukan lagi sejak al-Qur’an diwahyukan kepada Rasulullah saw., menulis berkembang menjadi tradisi baru masyarakat Arab. Tradisi ini memperkuat halaqah (diskusi) ilmiah tempat para sahabat saling membaca, mengoreksi, dan menyempurnakan bacaan dan hafalan al-Qur’an. Tradisi menulis dilakukan para sahabat bukan hanya terbatas pada penulisan al-Qur’an dan sebagian hadist, tetapi juga pada aspek yang lebih luas (Abdul Mu’ti, 2003 dalam Badiatul Muchlisin, 2004: 35).

Tradisi menulis juga dikembangkan oleh para ulama dan intelektual muslim. Kita bisa menyebut beberapa ulama besar yang mentradisikan menulis, di antaranya Iman Syafi’i yang hidupnya kaya dengan karya tulis, Ibnu Taimiyyah yang produktivitas karyanya jauh lebih anyak ketimbang bilangan usianya, dan Imam Al-Ghazali. Kitab Ihya Ulumuddin yang ditulis Imam Al-Ghazali pada Abad ke-12, sampai sekarang masih dibaca dan menjadi referensi banyak orang.

Dalam bidang pengetahuan modern, para ilmuwan muslim tak kalah cerdasnya. Karya-karyanya menjadi inspirasi para ilmuwan Barat. Misalnya, dalam bidang kedokteran kita mengenal kitab Al-Qonun fi Al-Tibb karya Ibnu Sina (Aviciena).

Abu Ali al Husain ibn Abdallah ibn Sina adalah nama lengkap Ibnu Sina. Dia adalah salah seorang tokoh terbesar sepanjang zaman, seorang jenius yang mahir dalam berbagai cabang ilmu. Dialah pembuat ensiklopedi terkemuka dan pakar dalam bidang kedokteran, filsafat, logika, matematika, astronomi, musik, dan puisi. Ibnu Sina dilahirkan pada tahun 980 M/ 370 H di Afshinah, sebuah desa kecil tempat asal ibunya, di dekat Bukhara. Ayahnya, Abdullah, adalah seorang Gubernur Samanite yang kemudian ditugaskan di Bukhara. Sejak kecil ia telah memperlihatkan intelegensianya yang cemerlang dan kemajuan yang luar biasa dalam menerima pendidikan, ia telah hafal al-Qur'an pada usia 10 tahun.

Nama Ibnu Sina semakin melejit tatkala ia mampu menyembuhkan penyakit raja Bukhara, Nooh ibnu Mansoor. Saat itu ia baru berusia 17 tahun. Sebagai penghargaan, sang raja meminta Ibnu Sina menetap di istana, setidaknya sementara selama sang raja dalam proses penyembuhan. Namun Ibnu Sina menolaknya dengan halus. Sebagai imbalan ia hanya meminta izin untuk menggunakan perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Tujuannya adalah mencari berbagai referensi dasar untuk menambah ilmunya agar lebih luas dan berkembang. Kemampuan ibnu Sina yang cepat menyerap berbagai cabang ilmu pengetahuan membuatnya menguasai berbagai macam materi intelektual dari perpustakaan Kerajaan pada usia 21.

Sampai kini ilmunya yang ditulis dalam buku Al Qanun Fi al-Tibb tetap menjadi dasar bagi perkembangan ilmu kedokteran dan pengobatan dunia. Karena itu Ibnu Sina menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan ilmu kedokteran dunia. Bukunya "Al Qanun" diterjemahkan menjadi "The Cannon" oleh pihak Barat, yang kemudian menjadi rujukan banyak ilmuwan abad pertengahan. Buku itu di antaranya berisi eksiklopedia dengan jumlah jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan. Bahkan diperkenalkan penyembuhan secara sistematis dan dijadikan rujukan selama tujuh abad kemudian (sampai abad ke-17).

Berdasarkan contoh yang telah disebutkan, kita semakin memahami tentang ”pengabadian eksistensi kita” dalam karya tulis yang kita buat. Sampai detik ini para ilmuwan itu seakan-akan masih hidup dan eksistensinya dapat dirasakan. Tulisan yang dihasilkannya membuat dirinya tetap ada dan menjadi bagian dari ”sesuatu yang mampu mengubah sesuatu”.

”Mengikat ilmu dengan menuliskannya” merupakan cara agar ilmu yang dimiliki seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain. Salah satu hadist menyebutkan: ”Bila anak Adam telah mati, maka terputus semua amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mau mendoakannya.” Dengan kata lain, menuliskan ilmu yang dapat bermanfaat bagi orang lain akan menjadi sumber pahala dari Allah Swt. yang tiada terputus meskipun kita sudah meninggal dunia.

Sebagai penulis pemula terkadang saya diliputi rasa was-was dan khawatir kalau tulisan yang saya buat tidak bermutu, kurang bermanfaat, klise, ’kacangan’, sok, bahkan mungkin dianggap salah secara konsep. Perasaan itu yang kadang membuat saya menjadi tidak percaya diri, pesimistis, dan mematikan keinginan untuk menulis. Akan tetapi, ungkapan scribo ergo sum, terus-menerus terngiang-ngiang di telinga, di hati, dan di pikiran saya sehingga memacu diri saya untuk terus belajar menulis. Keinginan untuk memeroleh pahala dari Allah Swt. menjadi kekuatan yang luar biasa bagi saya untuk memulai menulis. Saya yakin tidak akan ada karya tulis yang baik jika tidak dimulai dengan menulis. Oleh karena itu, saya mengajak kepada semua orang, terutama para guru yang mempunyai perasaan yang sama dengan saya, untuk memulai menulis.

Monday, 10 May 2010

Sedikit Catatan Untuk Puisi terbaik Lomba Cipta Puisi Situseni.com-Indosat

Ada hal yang menarik dari Lomba Cipta Puisi Situseni.com yang dapat kita renungkan. Paling tidak sebuah puisi mampu hadir mewakili penulisnya untuk berbicara banyak dalam berbagai hal yang tentunya tak mampu tertampung begitu saja dalam wadah yang sering kita sebut bahasa.
Seperti yang telah disampaikan oleh panitia, bahwa Lomba Cipta Puisi Indosat telah mencapai puncaknya, yaitu Lomba Triwulan yang diikuti oleh sembilan (9) peserta yang puisi-puisinya merupakan pemenang lomba bulanan periode Januari, Februari, dan Maret. Kesembilan (9) peserta tersebut dengan puisinya masing-masing bertarung untuk mendapatkan gelar ‘Puisi Terpopuler Indosat’, Tiga (3) Puisi Terbaik Indosat, dan Puisi Utama Indosat. Seperti pernah disampaikan pada pengumuman sebelumnya bahwa satu (1) Puisi Terpopuler Indosat ditentukan oleh hasil voting dari para peserta Lomba Cipta Puisi Indosat. Sedangkan tiga (3) Puisi Terbaik Indosat dan satu (1) Puisi Utama Indosat ditentukan melalui sidang Dewan Juri Khusus.
Dewan Juri Khusus Lomba Triwulan Cipta Puisi Indosat beranggotakan, (1) Ahmadun Yosi Herfanda [HU Republika], berkedudukan sebagai Ketua; (2) Ahda Imran [HU Pikiran Rakyat], berkedudukan sebagai anggota; (3) Moh. Syarif Hidayat [Balai Bahasa], berkedudukan sebagai anggota; (4) Ari M.P. Tamba [HU Jurnal Nasional], berkedudukan sebagai anggota; (5) Doddi Ahmad Fauji [Majalah ARTI], berkedudukan sebagai anggota. Para Dewan Juri Khusus telah bersidang pada hari Minggu, 9 Mei 2010 untuk menentukan pemenang Tiga (3) Puisi Terbaik Indosat dan Puisi Utama Indosat dengan Saudara Frans Ekodhanto yang bertindak sebagai Notulen. Setelah melewati perdebatan panjang dan adu argumentasi mengenai keunggulan dan kekurangan masing-masing puisi para finalis.
Penilaian juga menurut panitia berdasarkan aspek penilaian oleh dewan juri, yang berdasarkan, pada : kedalaman dalam penggarapan tema, amanat, bunyi, suasana, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa. Serta kekentalan dalam sublimasi dan simbolisasi.

Ada beberapa catatan yang dapat dipetik. Dari kesembilan puisi yang terpilih empat diantaranya ditulis oleh penyair-penyair wanita dan lima oleh penyair-penyair pria yang tentunya kurang begitu popular di kalangan para penyair yang memiliki jam terbang yang cukup mumpuni di jagat perpuisian Indonesia. Tetapi mampu dan lihai dalam mengolah kata sarat makna.

Berikutnya adalah dari sekian banyak lomba, mungkin baru Situseni.com bersama Indosatlah yang berani mendudukkan sastra(puisi) pada kedudukan yang terhormat, yang saya yakin hal ini tentu menimbulkan banyak pro-kontra.

Terakhir, mungkin dari sekian ribu puisi tentu masih banyak puisi yang luput hanya saja keterjebakan pada criteria tak mampu dilalui dengan sempurna.Termasuk juga dominasi penyair bandung, semarang, jogjakarta (jawa)dibandingkan penyair luar jawa, seperti Sumatera utara (Medan) pada puisi PELAJARAN MEMBACA RUANG, Tina Aprida Marpaung.

Akhirnya, kelemahan disana-sini tentu ada, misalnya yang perlu dipertimbangkan adalah keabsahan voting yang mungkin juga akan mempengaruhi kenyaman penjurian dalam menentukan puisi terpopuler dan puisi utama. Pun begitu saya yakin profesionalisme dari juri tentu tak akan terpengaruh dalam menentukan para pemenang seobjektif mungkin, walau dibentengi dengan senjata keputusan juri mutlak dan tak dapat diganggu gugat. Selamat kepada penyelenggara. Selamat kepada dewan juri. Dan terutama selamat kepada para pemenang. Teruslah berkarya, sebab karya akan menjadikanmu terkenal, rendah hati akan menjadikannya abadi, sedangkan kesombongan akan menjatuhkannya perlahan. Kepada yang belum beruntung teruslah berkarya, bersikap lapang dada, sebab pemenang sejati adalah orang-orang yang terus melahirkan karyanya. Sukses untuk semua.

Salam,
M. Raudah Jambak
Direktur Komunitas Home Poetry
TBSU, Jl. Perintis kemerdekaan no. 33 Medan
Sumatera Utara


Aku Kini Menjemputmu

karya: Faisal Syahreza

tiba-tiba aku membayangkan kita adalah burung kecil yang terbang,
ketika gerimis turun mengecup langit senja. ribuan pohon-pohon
yang basah dengan terpaksa, mengusir kita. lantas kucari atap-atap teduh
di antara gedung-gedung yang menggigilkan peristiwa muasal kita.
tiang-tiang listrik yang seolah-olah ingin melesat menuju angkasa.
sementara mereka hanya tertancap dikepung kabut jalan raya.

kita memang pernah diciptakan dengan sayap gemerlapan, jauh
sebelum cahaya bersujud pada kita. dan api memilih pengkhianatannya.
kita juga tinggal di taman yang separuhnya terkena terik matahari hangat
dan separuhnya lagi terbasahi hujan –geliat semak belukar, pohon-pohon
yang menjatuhkan apel hijau ke tepian sungai. tapi aku dan kau,
telah lebih memilih cinta. lebih tergoda dengan lampu-lampu kota,
dan riak telaga berangsa. yang sesekali kita kunjungi di saat
merasa perlu meneteskan airmata.

kusayangkan semua itu pada waktu yang terus bergelora di langit jingga.
di mana gerimis memang terasa pahit bagai ujung pisau tembaga.
sebab itulah jarak kita yang kini telah kuhancurkan dalam kerinduan.
lama kunantikan, sejak engkau menetas di rahim ibumu,
dan aku kini menjemputmu. aku membayangkan lagi, bila kita mampu
menjawab pertanyaan di antara sesak iklan dan berita menggelikan.
maka aku sudah sampai pada pengembaraan adam. haruskah
memilih ruas tulang yang hilang, di kantor perusahaan, mal atau swalayan.
meskipun, sejak berabad silam, kuharapkan pertemuannya
di tepian pantai, di mana angin menyapa bersama ombak lembut.
atau paling tidak, di sebuah taman yang hangat dan dinginnya
sedikit mengingatkan pada pohon terlarang.
: dan sekarang, bukankah kini adam ada pada diriku, terpuasakan oleh cintamu.

Bandung, 2010






karya A. Ganjar Sudibyo
PUISI TENTANG ANAK-ANAK BULAN
1.
dulu, anak-anak bulan senang main origami kapal-kapalan
sewaktu penghujan melahirkan arus luapan kali menuju jalan-jalan kampung
lalu ada dolanan jamuran saat banjir tak lagi tinggal pada bulan-bulan kemarau
: di mana ibu mereka sering berdandan dengan begitu purnama

mereka bilang, kapal-kapalan jauh lebih seru dibanding
berpura-pura melingkar bergandeng-tangan menyanyikan
kidung jamuran yang jadul itu

dan bermain kapal-kapalan tak perlu mendiamkan
pura pada wajah-jujur kita.
2.
sekarang, duduk mengendapkan mata pada layar televisi
atau muka-muka kaca digital lebih jadi jaminan hiburan
tanpa perlu keluar di jalanan kampung
mempelajari mainan nenek moyang
:banjir-banjiran
kapal-kapalan
jamur-jamuran

demikian, mereka jadi tahu
tentang ibubulan yang berpindah tempat
mengungsi karena kebanjiran sepi di setiap jalan-malam.
3.
sekian lama duduk belajar memilih
mana channel yang paling baik ditonton
anak-anak bulan sadar; televisi telah mengurungnya
pada kepala mereka

sedang ibu mereka masih saja menyimpan lagu jamuran
yang siaga diajarkan untuk setiap malam
yang bangun dan lelap pada bola-mata mereka.
4.
rupanya, ada isyarat pembicaraan kecil
suatu ketika pada channel nomor satu
mulut mereka begitu nyaring
membacakan tanya dari televisi,

“hei…hei...
ada wajah siapa di muka layar itu

ada bu guru dan pak guru
yang berdemo di depan sekolah kita
juga ada alat-alat besar itu

dan mau ke mana
bangku-bangku
papan tulis kita?”

rupanya, tanya menuntun mereka
untuk kembali ke pangkuan ibubulan
supaya mimpi tak meleleh di samping nyala doa.
5.
di pinggiran jalan kampung anak-anak bulan menengadah
berhitung tentang bilangan-waktu ramalan
kapan bisa menemui ibubulan lagi

semenjak mereka rajin belajar mencari arah
tanpa kompas dan peta, ke mana namanya diketemukan
selain dalam rupa ibu yang berdandan purnama lagi

lantas bertanya mengapa kata bulan tak dinamakan, padahal
ibubulan masih setia merancang adegan permainan jujur-tawa-rindu
untuk setiap anak yang lahir dan bermain
di setiap kota-malam di setiap zaman
di setiap nyanyian anak-anak bulan;
tradisi yang membuatnya ada dan tanda!
Semarang, 2010
CATATAN
Jamuran: permainan tradisional dari Solo, Jawa Tengah
Dolanan (bahasa Jawa): permainan (bahasa Indonesia)
karya Ilham Yusardi
Rantau
maka, aku berlayar kepulau-pulau lengang, selat-selat yang menghulu haluan kapal
amboi, di manatah wajahmu dara. aku hanya mengingat jejak tarianmu di ujung semenanjung. kini di situ pulalah kaki terbenam, menjadi seorang kuli pelabuhan.
orang-orang bongkar turunkan impian dari selatan, mengapalkan goni lada, kopi
dan secebis hikayat-hikayat. tanah ini, berabad-abad dipenuhi sejarah kebabilan.
seribu punggawa telah memotret dirinya di mega yang pasi. aku melukis sketsa para sultan, mengulum rindu para sayid pada cinta nan abadi, anbiya-anbiya
yang mengunus tinggi nama tuhan
: tapi tak jua kudapati sedikit jejak rambutmu yang merbak pala di pesisir ini.

pada malam-malam yang diam, orang-orang tidur dalam hikayat ksatria
: mereka telah menjelma Hang Tuah, Hang Jebat, beradu keris acungkan kebenaran,
saat itu pulalah kubayangkan kau terduduk haru di satu sudut polis,
mengemis sejumput kasih lewat pasi dinding dingin, dengan wajah diranum garis.
sedang pun, di pertigaan simpang lain, orang-orang lengkingkan stanza
dengan muncung aroma anggur tua. ”tanah ini, tanah ini harum humusnya mengirim rindu pada negeri seberang. teruslah...,teruslah tulis hikayat kalian dengan ujung pedang”

tapi kaki merindu ayun, hendak langkah jua menemu tanah yang lain.
maka, kususuri sungai, hingga kehulu. kucari para lanun di tanah perca,
beradu niaga, bertaruh peruntungan. Aih..., apatah ini yang disebut nasib?
berkali doaku patah,
diujung
sujud.
1428-1430



karya Tina Aprida Marpaung
PELAJARAN MEMBACA RUANG
kelas rusuh sekelompok debu berebut kursi
angin tak mau kalah mengambil tempat di mana saja
seperti bias gaduh melongok gagu menyikut sendiri
ingin tak sudah tampil semangat dari tekad membaja

kursi-kursi gelisah mencatat catatan yang tersisa di papan tulis
meja-meja gemetar disetrap keadaan yang membingungkan
seperti siswa usia sekolah mengaratkan hafalan sampai tiris
membaca gambar bibir yang membekap masa depan

langit-langit ruang tak mau kalah menerjunkan kucuran hujan
menguyupkan lantai yang tak pernah selesai berdandan
seperti bantuan pendidikan yang berdiri mematung di simpang jalan
sementara arus jalanan hanya hilir mudik saling berbantahan

media pembelajaran ternganga entah harus melakukan apa
alat-alat tulis tak akrab lagi dengan hurup-hurup dan angka-angka
seperti guru-guru yang terlalu sibuk menebar fatwa-fatwa
dan siswa-siswa yang sibuk menyusun make-up dalam tasnya

"Hore bel panjang. Kita pulang!"
"Hore guru rapat. kita pulang!"
"Hore Ketua Yayasan sakit. Kita pulang!"
"Hore ada artis datang. Kita pulang!"

ah, debu lagi...
(Komunitas Home Poetry-Medan-Sumatera Utara-2010)

Karya edwar maulana
Gendang
Sampai takdir mengirim perempuan tuli ke tempat paling sepi:
tak ada lagu kayu-kayu, bunyi-bunyi besi atau suara ranting patah
menimpa genting rumah. Tak ada.

Hanya keluh penabuh dan teriak penyorak yang mengoyak telinga
hingga untuk pertama kalinya, perempuan itu pun akhirnya menangkap
dengar.

Barangkali, karena kemurahan hati atau rasa syukur yang terlanjur.

Sebut saja pengorbanan atau perampasan. Ketika kulitnya yang halus
mulus dikecup kilau bibir pisau, di tangan si ahli. Maka sempurnalah
luka-lukanya.

Ketika semuanya ditabuh, semuanya disentuh, semuanya bergemuruh.
Tinggal sepenggal luka dibawa lari sapi-sapi.

Bandung, 2010




Karya Maya Mustika
balada para dewa
begitu malam menampakkan wajahnya
orang-orang gegas merapikan langkah

“jangan ada satu jejak pun tertinggal
apalagi berkeras berdiam di sudut kegelapan
kita harus kembali pada rahim peraduan
sebelum gigil memporakporandakannya
hanya ada satu obor yang dibiarkan tetap menyala
menyambut kedatangan para dewa”, tegasnya.

ya, memang benar
kini kami mulai mendengar derap langkah itu
dari kejauhan terlihat seperti nyata, namun tak tampak
satu persatu tak tiknya berkeliaran dalam ruang tengah telinga
mengental dalam larutan keheningan
memaksa setiap pendengaran tetap bersetia
menghitung tiap detak, mengukur jejarak
sampai benar-benar tak adalagi yang berderap dan berjarak

kegelapan dan bunyi kecapi sunyi mengiringi kedatangan
harum keresahan semakin menyengat
langit-langit mata kami berubah menjadi kuning langsat
menyaksikan, mendengar balada para dewa

“kami datang membawa bebungkus doa yang kalian panjatkan sejak subuh tadi
kami datang membawa sekantong keringat dan selembar airmata yang terkoyak
di balik langit, kami datang membawa sebongkah mimpi yang tergolek di bibir senja
dan kami datang tidak untuk menggenapkan doa-doa, tapi kami datang hanya
mengambil sedikit angka dalam tubuh, kami datang memungut
sedikit nafas dari mimpi-mimpi kalian”.

siapa yang masih bertahan atau berapa yang lari dari kenyataan
semua tercatat pada tiap lelembar tanah—
sesuatu kepahitan dan keindahan yang takkan terlupakan sepanjang zaman peradaban
akan didapatkan setiap insan”, tegasnya.

demikianlah kami menutup malam setiap harinya
memersiapkan sesaji
mendengarkan balada para dewa
sambil memungut kata-kata yang bergelincatan dari bibir tuanya
barangkali berkah tak lari ke mana
sambil mengemas musim pulang

Maret, 2010





Karya kedung darma romansha
Hijib Khafi
"Di sinilah mula kematian dan kelahiran"

mimpi kita dikepung malam
terperangkap sepi yang dalam.
kita sibuk membenarkan alarm
membenahi malam yang sobek oleh hujan.
di sini kita pernah bersaksi
tentang luka tentang kata-kata
yang cerewet di genting rumah.

kitalah lelucon kata-kata
puisi yang lupa rahimnya.
mata yang palsu menerjemahkan hidup
sesudah tangis pertama meledak di telinga ibu mereka.

kita bicarakan maut
sebagaimana sebilah sajak yang akan membunuh
dan mengalamatkan kematian kita.

kemana hilangnya hari kemarin
ketika matahari membangunkan mimpi semalam?

bacalah atas nama Tuhanmu
bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu
bacalah setiap tujuh lapis hatimu

kita rasakan udara berputar di tubuh
seperti bumi dan galaksi
seperti tasbih yang kita putar setiap hari.

apa yang kita pikirkan
saat usia kita mulai bungkuk?
karena banyak menampung kisah yang basah oleh hujan
dan kemarau mengeringkan usia kita di musim lalu.

maka kita baca malam dan siang
pada tebaran cahaya dan kumpulan gelap
adalah kita bermukim di dalamnya.
serupa batu berlumut dirayapi hujan dan udara
dan cuaca yang mangkir di hati kita.

Sanggar Suto, 2007-2010
Hijib Khafi : Benteng yang disamarkan





Karya Cut Intan Auliannisa Isma
Melati-Melati Khatulistiwa

Jika embun dapat menyela di tengah gurauan dedaun
Ia akan berbicara sangat banyak
Tentang kembang-kembang yang ia singgahi bertahun-tahun
Seakan ia tidak pernah tidur nyenyak

Ia tak kuasa memeras logika untuk yang merona
Mawar-mawar lebih tak beretika terus menggoda
Perlukah ia berbalik dan dengan lantang berkata ya?
Atau tidak karena ada yang jauh lebih mempesona

Mereka putih, tidak bercahaya juga tidak banyak berbicara
Seperti putri-putri Perancis mengunci rahasia-rahasia
Berbalut semerbak parfum dewi-dewi Yunani
Menantang kaum gipsi bernyanyi-nyanyi

Mereka tangguh tanpa sedetik pun mengeluh
Seolah takdir mengikat hidup mereka dengan peluh
Dan pantaskah mereka malu jikalau ada benalu?
Tidak! Tanpa jeda mereka akan berkata ‘itu musuhku!’

Entah apa yang diajarkan khatulistiwa pada mereka
Ramuan apa yang mendarah daging menjadi batang mereka
Yang tumbuh di bawah aturannya sungguh luar biasa
Mereka berbeda, sangat berbeda, wahai dunia

Sang embun benar-benar ingin berkata
Kau harus merasa takjub sekarang
Karena apa yang kuketahui tentang mereka
Pasal kemahadahsyatan tanpa kurang

Yang dia sebut melati itu,
Mereka akan tumbuh menembus bebatuan kaku
Jika tidak diusir oleh lumut yang cemburu
Dan mereka mana suka mengganggu

Yang dia sebut melati itu,
Mereka akan merajai surga di bawah matahari
Jika tidak dicibir oleh kaktus yang iri
Dan mereka punya harga diri

Ketahuilah!
Melati-melati khatulistiwa yang tumbuh di barat
Tajam, berduri, tidak terbendung sungguh berani

Lihatlah!
Melati-melati khatulistiwa yang tumbuh di tengah
Jenaka, gemulai, tidak terkira sungguh ayu melambai

Buktikanlah!
Melati-melati khatulistiwa yang tumbuh di timur
Kuat, kokoh, badai pun menyerah memaksanya roboh

Maka sekarang beritahu mereka yang awam
Di belahan dunia manakah ada kembang sedemikian
Yang mampu membuat kumbang bahkan alam terdiam
Seakan mereka mewarisi magis ketajaman sebuah intan

Jika embun dapat menyela di tengah gurauan dedaun
Jelas dia tidak akan hanya sekedar menyela
Karena ia memuja seribu puja akan putih-putih serumpun
Yang ia ukir dalam benaknya bernama melati khatulistiwa

Yogyakarta, 23 Desember 2009




Karya evi sri rezeki
Perempuan Hujan

Perempuan itu lahir dari tetesan hujan
Tumbuh dalam rahim dedaunan
Menetes bersama embun
Serupa kelahiran

Perempuan hujan itu jatuh cinta pada angin
Membawanya ke negeri dongeng
Dimana tak ada lagi padang rumput dan kastil tua
Tak ada lagi pangeran berkuda putih dan putri tidur
Hanya menjadikan bencana sebentuk kecupan
Dan dilema sehangat cahaya pagi
Serupa kehidupan

Perempuan hujan dan angin
balutan anugerah dan kutukan
dicintai bersama kemarau
dihujat bersama badai
berlarian dalam gelap terang
serupa harapan

Pada hari kelahiran perempuan hujan
Ada tarian dan nyanyian yang diperdengarkan alam
Bumi berguncang dan kaki-kaki berhamburan
Ada lidah sungai yang menjulur hendak mencari bibirnya
Serupa kematian

Bandung, 25 Desember 2009