Thursday, 25 August 2016

KONSEP DASAR TENTANG DRAMA



KONSEP DASAR TENTANG DRAMA

Berbicara masalah drama, kita akan dihadapkan kepada dua pemikiran. Pada satu segi kita teringat kepada jenis pertunjukan yang mengasyikkan atau menjemukan. Pada segi lain kita berpikir tentang sebuah naskah yang dikarang atau ditulis dalam bentuk dialog-dialog (merupakan karya sastra).

Kerangka pemikiran kita yang seperti ini dapat dijelaskan dalam suatu konsep pikiran yang jelas dan utuh sehingga kita dapat memahami mana yang dikatakan drama sebagai pemikiran yang pertama dan mana yang pemikiran kedua. Maksudnya di sini adalah, kita sanggup membedakan antara kedua pemikiran di atas dan dapat melihat hubungan antara keduanya.

Menurut Tarigan (1984:73), ada dua pengertian drama, yaitu: (1) drama sebagai text play atau reportair, dan (2) drama sebagai theatre atau performance. Hubungan keduanya sangat erat. Dengan kata lain: setiap lakon atau pertunjukan harus mempunyai naskah yang akan dipentaskan. Sebaliknya tidaklah otomatis setiap naskah merupakan teater, sebab ada saja kemungkinan naskah yang seperti itu hanyalah berfungsi sebagai bahan bacaan saja, bukan untuk pertunjukan. Jadi, ada naskah yang dapat dipentaskan dan ada yang tidak, misalnya drama "Awal dan Mira" karya Utuy Tatang Sontani. Drama ini sulit untuk dipentaskan tetapi enak untuk dibaca (lihat Rosidi, 1982:114).

Memahami penjelasan diatas, dapat diambil suatu perbedaan nyata dari keduanya. Perbedaan itu adalah:

1. Drama sebagai text-play atau naskah adalah hasil sastra 'milik pribadi', yaitu milik penulis drama tersebut, sedangkan drama sebagai teater adalah seni kolektif.
2. Text-play masih memerlukan pembaca soliter (pembaca yang mempunyai perasaan bersatu), sedangkan teater memerlukan penonton kolektif dan penonton ini sangat penting.
3. Text-play masih memerlukan penggarapan yang baik dan teliti baru dapat dipanggungkan sebagai teater dan ia menjadi seni kolektif.
4. Text-play adalah bacaan, sedangkan teater adalah pertunjukan atau tontonan.

Berdasarkan hal di atas, antara keduanya harus dibedakan secara tegas, walaupun pada umumnya penulisan naskah drama itu bertujuan untuk dipentaskan atau dilakonkan. Teori-teori dari beberapa orang ahlipun memperlihatkan bahwa pembahasan aspek-aspek drama dalam dua pengertian drama di atas berbeda.

Aspek yang dibahas atau materi utama pada text-play adalah: a) premis (tema), b) watak, dan c) plot, sedangkan pada pementasan adalah: a) naskah, b) pelaku, c) pentas, d) perlengkapan pentas, e) tata busana (pakaian), f) tata rias, g) cahaya, h) dekorasi, dan i) musik (bandingkan dengan Syam, 1984:17).

Rumusan tentang perbedaan kedua pemikiran di atas dapat juga dibandingkan dengan pendapat Martoko (1984:158) yaitu dalam pembatasannya tentang pengertian pementasan. Ia menyatakan "pementasan itu merupakan sebuah sintesa dan mengimbau pada beberapa indera sekaligus".

Mengapresiasi Drama sebagai Karya Sastra

Seperti halnya puisi dan prosa, drama sebagai karya sastra perlu diapresiasikan lewat pembacaan terhadap naskahnya. Pengertian apresiasi dalam drama sama dengan apresiasi sastra lainnya, yaitu merupakan penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar, serta kritis.

Kalau demikian halnya, layaklah drama sebagai karya sastra merupakan hal yang utama untuk didekati, dipahami, ditelaah, dan diapresiasi. Dari pengapresiasian naskah yang dilakukan akan diperoleh pengalaman. Pengalaman inilah yang akhirnya kita hubungkan dengan keadaan sebenarnya di luar drama. Akhirnya ditemukanlah suatu perubahan nilai-nilai dalam diri. Pementasan tidak lagi diterima sebagai penentu nilai sebuah drama. Yang menentukan adalah proses apresiasi sendiri sebagai pembaca. Dalam hal ini menurut Damono (1983:150) adalah:

Kita bisa saja mendapatkan pengalaman dengan hanya membaca drama; ... Dan kita juga berhak berbicara tentang drama sebagai karya sastra. Itulah alasan mengapa drama diedarkan dalam bentuk buku, mengapa Martin Esslin menulis tentang drama absurd, Francis Fergusson menulis "The Human Image in Dramatic Literature." Helen Cardner membicarakan "Murder in the Cathederal." T.S. Elliot dalam "The Art of T.S. Elliot," dan seterusnya.

Sampainya seseorang dalam mengapresiasikan naskah drama memerlukan suatu proses. Proses ini membutuhkan seperangkat perlengkapan. Ini dibutuhkan bukan saja untuk memahami maksud dan pesan pengarang, tetapi juga untuk memahami bagaimana pengarang secara estetik menyampaikan maksud dan pesannya itu.

Berbagai teori digunakan untuk mengapresiasikan karya sastra drama itu. Kita kenal struktur dramatik Aristoteles. Titik pangkalnya adalah rumusan tentang karya sastra drama yang baik biasanya memiliki alur cerita yang berbentuk piramida, diawali dengan unsur eksposisi, dilanjutkan dengan komplikasi, memuncak pada klimaks, menurut kembali pada resolusi, dan berakhir pada konklusi.

Teori lain adalah yang bertitik-tolak dari tokoh utama cerita atau ada juga yang menggunakan teori strukturalistik yang dikembangkan oleh Etienne Sourlau. Teori ini mendekati karya sastra drama dari sisi fungsi-fungsi yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, karena drama adalah bagian dari seni sastra dan seni peran maka proses apresiasinya bertolak dari intuitif. Dalam hal ini Saini K.M. (1965:55) berpendapat:

Pada dasarnya semua karya seni adalah pengetahuan intuitif. Makna karya seni hanya dapat dipahami melalui pikiran, perasaan, dan khayalan sekaligus, dengan kata lain, dengan intuisi. Namun di dalam upaya memahami makna karya seni, kegiatan pikiran (intelek, rasio), perasaan (emosi), daya khayal (imajinasi) tidak senantiasa seimbang. Kadang-kadang pikiran menonjol perannya, kadang-kadang perasaan, kadang-kadang khayal. Di dalam menghadapi karya sastra drama dari gaya realisme, misalnya, intelek kita lebih banyak bekerja dibanding dengan khayal; di dalam jenis melodrama, perasaan cenderung lebih dipancing untuk giat oleh sastrawannya.

Menyikapi pendapat di atas, sebagai seni peran atau teater, sastra drama telah melalui proses intuitif dari sutradara. Sastra drama itu telah diolah dalam bentuk penafsiran, pemotongan cerita yang kurang menunjang, atau penambahan dialog yang mungkin relevan dan tidak menyimpang dari ide cerita. Hal inilah yang membedakannya dengan apresiasi sastra drama sebagai bentuk tersendiri yang bukan untuk tujuan pementasan atau teater. Sebagai karya sastra drama betul-betul dihadapi dalam keutuhan dan keseluruhan simbol-simbol bahasa yang ada dalam naskah. Ia tidak bisa dihilangkan atau ditambah.

Pendekatan dalam Mengapresiasi Sastra Drama

Berdasarkan teori-teori yang dijelaskan sebelumnya untuk mengapresiasi sastra drama, ada beberapa pendapat yang dapat dilakukan untuk mengapresiasi sastra drama. Menurut Hamidy (1984:15) pendekatan tersebut dapat dilakukan dalam segi:

1. Pendekatan dari segi fungsi. Hal ini biasanya dihubungkan dengan peranan yang dapat dimainkan oleh drama dalam masyarakat.
2. Pendekatan derajat peristiwa. Pembahasan ini berhubungan dengan alur, yaitu dalam bentuk bagaimana derajat peristiwa seperti eksposisi, komplikasi, krisis, sampai kepada penyelesaian.
3. Pendekatan terhadap tema. Dalam hal ini kita dihadapkan kepada perbandingan tiap-tiap kesatuan peristiwa sehingga sampai kepada suatu logika (kesimpulan) bagaimana citra atau ide yang hendak disampaikan.
4. Pendekatan terhadap drama yang berkaitan dengan segi aliran karya sastra, misalnya realisme, naturalisme, dan ekspresionisme.
5. Pendekatan dari sudut gaya. Pembahasan ini menyangkut bagaimana perkembangan sistematika bangun drama itu dengan kaitannya terhadap pantulan gaya yang hendak diperlihatkan kepada pembaca.

Lima pendekatan di atas sebenarnya merupakan satu alternatif saja dari cara lain atau pendekatan lain yang mungkin dapat dilakukan dalam mengapresiasi sastra drama. Persoalan penting yang seharusnya dipahami adalah bagaimana agar kedudukan drama sebagai apresiasi sastra seimbang dengan pembicaraan atau apresiasi sastra lainnya. Harapan ini muncul agar drama sebagai karya sastra tidak terlepas dari bahasa sastra Indonesia.

Tingkat-tingkat Apresiasi Sastra Drama

Tingkat apresiasi dalam pengertian ini dilihat dari daya tanggap, pemahaman, pengkhayalan, dan ketrampilan. Dengan demikian menyangkut pula pengertian tingkat kesiapan dalam menanggapi, memahami, menghayati, dan keterampilan dalam tingkat apresiasi sastra. Menurut Mio (1991:19) tingkat-tingkat apresiasi sastra drama, khususnya pembacaan drama dan prosa dapat dibagi atas empat, yaitu:

1. Pembaca yang telah dapat merasakan karya sastra itu sesuatu yang hidup, dengan pelaku-pelakunya yang mengagumkan. Mereka telah dapat terbawa dalam cerita atau drama yang sedang dibacanya, yang sering diiringi oleh ketawa, menangis, membenci seorang pelaku, dan sebagainya.
2. Pembaca yang telah dapat melihat dalamnya perasaan atau jika mereka telah dapat mengungkapkan rahasia kepribadian para pelaku satu drama berarti selangkah lebih maju dari pembaca di atas, Pada tingkat ini pembaca drama tidak saja menikmati kejadian-kejadian dalam drama secara badaniah, tetapi lebih banyak pada apa yang terjadi dalam pikiran pelaku.
3. Pembaca drama yang telah dapat membandingkan satu drama dengan yang lain dan dapat memberikan pendapatnya mengenai satu karya, juga telah dapat membaca karya yang lebih sukar dengan kenikmatan.
4. Pembaca yang telah dapat melihat keindahan susunan dialog, setting simbolis, pemakaian kata-kata yang berirana yang disajikan oleh sastrawan, telah mampu memberi respons pada daya sastra yang merangsang mereka berpikir dan memberi respons pada seni yang disajikan sastrawan.

Penutup

Kegiatan menggauli cipta sastra seperti yang dikenal dalam apresiasi sastra adalah kegiatan yang membutuhkan pelibatan hati secara serius terhadap objek yang dinikmati, yakni dalam bentuk bahasa tulis. Seorang penikmat sastra haruslah betul-betul dapat menghadirkan pikirannya ke dalam cipta sastra yang sedang diapresiasinya. Pekerjaan apresiasi ini bukanlah pekerjaan main-main.

Usaha untuk menumbuhkan keseriusan dan pemahaman dalam mengapresiasi sebuah karya sastra adalah dengan jalan menikmati, memberikan sikap positif, dan menganggapnya sebagai suatu kerja yang menyenangkan. Paling kurang ada rasa ingin mengetahui terhadap apa yang terselubung di dalam keunikan karya sastra itu.

Setelah sikap dan keinginan itu dipupuk terus, lahirlah semacam penilaian buruk atau baik dan akhirnya dapat diterima sebagai suatu yang punya arti atau tidak terhadap perkembangan jiwa kita sebagai pembaca. Usaha untuk memberikan penilaian buruk atau baik inilah yang merupakan usaha dalam suatu proses apresiasi sastra.

Drama sebagai salah satu jenis dari sastra yang patut atau wajar diapresiasikan dan dikembangkan. Dikatakan demikian sesuai dengan kedudukan drama itu dalam karya kepribadian seseorang. Melalui drama yang dibaca, selain orang itu dapat mempelajari dan menikmati isinya, ia juga dapat memahami masalah apa yang disampaikan dalam cerita. Dari proses ini mereka atau pembaca akan diantarkan kepada pertimbangan dan pemikiran terhadap kebenaran dan kemungkinan hal yang terjadi dalam cerita dengan kenyataan yang ada di luar cerita. Apabila telah sampai ke tingkat ini akhirnya dapat memcapai tingkat apresiasi yang baik.

Individu yang terlibat dalam kerja apresiasi sastra drama itu merupakan manusia yang berbeda-beda tingkat inteligensi, minat, bakat, dan sikapnya dalam menanggapi sesuatu hal. Untuk itu, mereka juga mempunyai perbedaan dalam kegiatan mengapresiasi sastra drama. Dalam hal ini ada dua penyebabnya, yaitu faktor dari dalam diri dan luar diri. Faktor dari dalam diri, contoh: minat, bakat, dan sikap, sedangkan faktor dari luar diri di antaranya adalah faktor sosial.

Jelas kiranya bahwa mengapresiasi drama dapat dilakukan dalam dua cara. Pertama, dari sisi drama sebagai karya sastra, yakni naskahnya. Kedua dari sisi teater atau pementasannya. Pementasan dalam pengertian di sisi adalah memberikan penafsiran kedua kepada naskah drama.

Apabila seseorang telah mampu membedakan apa yang semestinya dilakukan ketika ia ingin mengapresiasi drama sebagai karya sastra atau drama sebagai suatu pementasan berarti ia telah sanggup menentukan keberadaan drama dalam kehidupannya. Berarti, ia juga telah dapat menerima sastra itu sebagai suatu yang memukau, penuh imajinasi, dan perlu dipahami sebagai bagian dari proses kehidupan.

Daftar Pustaka

Brahim. 1968. Drama dalam Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.

Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia.

Esten, Mursal. 1978. Kesusasteraan: Pengajaran Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

Hamidy, U.U. 1984. Pengantar Kajian Drama. Pekanbaru: Bumi Pustaka.

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra : Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Martoko, Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

M. Saini K. 1985. Dramawan dan Karyanya. Bandung: Angkasa.

Munir, Emha Syamsul. 1983. "Mengenal Teater". Dalam Majalah Sahabat Pena, No. 143. Jakarta.

Nio, Bo Kim Hoa. 1981. Pengajaran Apresiasi Drama. Jakarta: Penataran Lokakarya Tahap II. P3G. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rendra. W.S. 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia.

Rosidi, Ajip. 1982. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

Semi, M. Ater. 1984. Materi Sastra. Padang: Sridarma.

Sutardjo, U.M. 1987. Bagi Masa Depan Teater Indonesia. Bandung: Gramedia.

Syam, Syahlinar. 1984. Bina Drama. Bandung: Jurusan Sendra Tasik FPBS IKIP Padang.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.