Damiri Mahmud
Jurnal Nasional, 21 April 2013
ADA dua peristiwa penting dalam Sastra Indonesia Modern yang saya hadiri baru-baru ini dan ikut berperan di dalamnya. Pertama, Pertemuan Pengarang Indonesia (PPI) di Makasar akhir tahun 2012. Kedua, Maklumat Hari Sastra Indonesia (HSI) di Bukittinggi, 24 Maret 2013.
Pertemuan di Makasar itu terutama membicarakan kemungkinan terbentuknya satu organisasi pengarang Indonesia yang akan memungkinkan fungsi dan kedudukan para pengarang dalam sosok yang jelas. Selama ini sangat dirasakan posisi pengarang berada dalam keadaan yang sangat lemah sehingga keberadaannya antara ada dan tidak di kalangan masyarakat dan pemerintah. Padahal karya-karya mereka dibaca oleh masyarakat, dipelajari di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Tapi kehidupan pengarangnya selalu dilupakan, bahkan mereka cenderung diremehkan. Telah menjadi mitos bahwa pengarang atau sastrawan (baca: seniman) seorang yang pemalas, acak-acakan, punya ego tinggi, dan terutama tak punya penghasilan financial.
Di mata penerbit dan pemilik koran dan majalah, para pengarang hampir tak punya posisi tawar yang jelas. Para penerbit buku hanya mau menerbitkan buku-buku yang dianggap laku dan cocok dengan selera pasar sehingga akan menjadi best-seller. Padahal buku-buku yang seperti itu belum tentu bermanfaat dan mencerdaskan masyarakat bahkan mungkin hanya menjadi racun belaka. Pada sisi lain, buku-buku yang laku tersebut belum tentu memberikan imbalan yang sepantasnya kepada si pengarang oleh karena posisi yang tidak jelas antara pengarang dan penerbit.
Untuk itu para pengarang harus berada pada posisi yang setara dengan pemerintah sehingga kedua belah pihak dapat saling isi mengisi dalam mencapai tujuan dan misi yang diharapkan. Begitu juga terhadap penerbit buku dan pemilik koran dan majalah. Kalau posisi pengarang telah kuat tentu mereka dapat berbicara secara seimbang.
Timbul pertanyaan, sosok organisasi yang bagaimanakah yang akan kita wujudkan? Belajar dari sejarah, kita telah pernah memiliki organisasi seperti Lekra, LKN, Lesbumi, dan sebagainya di mana sebagian besar pengarang ikut masuk ke dalamnya. Organisasi ini bisa kuat oleh karena disokong secara ideal dan financial oleh partai politik pada waktu itu. Tetapi setelah partai politik yang menghidupinya bermasalah atau bahkan padam — seperti Lekra yang berafiliasi ke partai Komunis Indonesia — lenyap pulalah organisasi itu.
Dalam pertemuan di Makasar itu disepakati bahwa organisasi yang akan dibentuk itu adalah sebuah organisasi profesi yang lepas dari segala ikatan dengan pemerintah dan partai politik. Oleh karena singkatnya waktu pertemuan, disepakati dibentuknya Tim Perumus yang terdiri atas tujuh orang. Mereka diberi kepercayaan oleh Sidang untuk dapat mewujudkan sosok organisasi itu di samping terus berkomunikasi dengan para peserta dan penanda tangan dalam mengambil keputusan bersama.
Pada peristiwa yang kedua, oleh Taufiq Ismail dkk, timbul pertanyaan bahwa kita belum mempunyai suatu hari yang disebut Hari Sastra Indonesia. Hal ini penting karena kita memiliki tradisi sastra yang luhur dalam mencerdaskan dan memanusiakan masyarakat kita.
Sebutlah misalnya Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Ronggowarsito, Abdoel Moeis, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Sanusi Pane, Armijn Pane, Amir Hamzah, Ali Hasjmi, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Bokor Hutasuhut, Rendra, Taufiq Ismail dan lain-lain. Mereka telah menuliskan karya-karya ke dalam bentuk naskah dan buku yang ikut berjasa membina karakter masyarakat dan bangsa kita. Lagi pula, Hari Sastra dapat dijadikan sebagai momentum supaya masyarakat dan terutama generasi muda dapat menghargai dan membaca karya sastra terus berkesinambungan sampai ke masa yang akan datang.
Maka berkumpullah sekitar 50 orang Sastrawan Indonesia yang datang dari berbagai penjuru tanah air di Rumah Puisi Taufiq Ismail, Padang Panjang, Sumatera Barat. Para peserta telah bersepakat memilih hari kelahiran Abdoel Moeis pada tanggal 3 Juli 1883 di Bukittinggi sebagai Hari Sastra Indonesia itu. Karya Abdoel Moeis yaitu Salah Asuhan (1928) diakui sebagai karya yang monumental dalam kebangkitan Sastra Indonesia Modern.
Abdoel Moeis dengan pena sastranya telah dengan tajam mengantisipasi ke depan bahwa generasi muda Indonesia yang kebarat-baratan akan mengalami disharmonisasi dan disintegrasi sehingga mengalami kegagalan dalam kehidupan. Abdoel Moeis pun sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya telah menunjukkan keselarasan dengan karya-karya yang ditulisnya. Dia komitmen, jujur dan arif dalam memperjuangkan bangsanya yang ketika itu masih dalam penjajahan.
Dia aktif dalam pergerakan Indonesia Merdeka. Sebagai intelektual pula, Abdoel Moeis yang berpendidikan Sekolah Kedokteran itu, ikut mendirikan ITB di Bandung, yang kemudian menjadi Perguruan Tinggi yang berwibawa. Dia kemudian dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno tanggal 30 Agustus 1959.
Maklumat Hari Sastra Indonesia itu telah dilaksanakan di SMA Negeri 2 Bukittinggi (dahulu gedung ini adalah Sekolah Radja atau Kweekschool), pada hari Ahad, 24 Maret 2013. Dimulai dengan upacara Nasional mengumandangkan Indonesia Raya membawa suasana yang mencekam dan diiringi dengan pembacaan Maklumat Hari Sastra Indonesia oleh penyair Upita Agustin (dia juga seorang Guru Besar dengan nama resmi: Prof. Dr. Raudha Thaib) sebagai berikut:
= Untuk menghargai karya sastra yang telah menyumbangkan makna kehidupan bagi keindonesiaan kita.
= Untuk menumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra anak bangsa.
= Memupuk silaturahim dan kreativitas antarsastrawan.
=Melanjutkan cita-cita memberi makna luhur bagi keindonesiaan kita.
Bukittinggi, 24 Maret 2013
Hari Sastra Indonesia yang jatuh pada tanggal 3 Juli itu kemudian disahkan oleh Prof. Wiendu Nuryanti, PhD, selaku Wakil Menteri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dengan mengetuk palu, di hadapan lebih dari lima puluh Sastrawan Indonesia.
Hadir dalam upacara itu Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat, beberapa walikota dan bupati se Sumbar, berbagai tokoh seperti Taufiq Abdullah, Hasan Basri Durin, Azwar Anas, dan lain-lain, sehingga Ketua DPD RI, Irman Gusman, yang hadir dan memberikan kata sambutan, berdecak kagum mengatakan bahwa ia belum pernah menghadiri suatu acara di Sumbar dengan kehadiran tokoh-tokoh masyarakat yang begitu lengkap seperti sekarang ini.
Bagi kehidupan Sastra Indonesia Modern yang masih sangat muda dan selalu redup ini, mungkin fenomena di atas menjadi lampu hijau yang menyala untuk kemudian akan melahirkan karya-karya besar.
Thursday, 25 April 2013
PUISI RAUDAH JAMBAK (RAUDAH JAMBAK'S POETRY)
SAJADAH BATU
Pada sajadah batu menempel lukisan dahiku
Dengan zikir beribu waktu
Rabbi,
Telah meretas air mataku satu satu
Namun rindu begitu kelu
Pada sajadah batu kuukir ayat ayat cinta
Dari waktu ke waktu
2007-09-15
SAJADAH KAYU
Walau rayap rayap mengerat gigil tulang
Sujudku pada-Mu
Tapi takkan pernah lapuk sajadah kayu
Yang menjelma perahu
Mengarungi lautan do'a-do'a menuju
Dermaga rindu
Ah, akukah itu
Si penebang kayu yang dahaga
Akan embun rahmat-Mu
2007-09-15
SAJADAH API
Ibrahimlah itu yang dikuyupi api api rindu
Menganyam tembikar murka
Abrahah si pengumpul kayu
"Patung besar itulah yang memenggal leher
Tuhan-tuhan mu," ujarnya berseru
Amuk Abrahah menyulut deru
Dan Ibrahimlah itu yang meng-Imami
Sujud pada sajadah api membiru
2007
SAJADAH TANAH
Sunan Kalijaga membentangkan sajadah
Tanah membasah, menggetarkan dada Syekh Siti Jenar
"Telah menyatu aku dengan Tuhanku!"
Mengutil rimah-rimah amarahnya
yang berdarah darah
O, siapakah yang memautkan
Zikir cacing pada bebal leher terpenggal
Di bujur sujud yang tersungkur?
2007
SAJADAH AIR
Digelembung zikir sajadah air, Musa
Menjambangi Khaidir sebelum menyeberangi
Laut senja, lalu kata-kata dipecah dalam
Bilah bilah
Dan perahu itu
Dan anak itu
Dan rumah itu
Pada sujud air sajadahpun air
Mengalir, membulir
2007
SAJADAH UDARA
Menapaki Haram menuju Aqsa adalah
Hijaiyah bagi hati yang resah
Lalu, memebentanglah sajadah
Pada sujud udara menjemput cinta-Nya
Telah ku salatkan dunia merantai jahiliyah
Yang tak sudah sudah Ya, Rabbi
2007
TSAISHENG
Kaulah itu yang menebar benih rezeki
Pada setiap langkah-langkah pasrah
Yang menuai segala gerah, dan
Tikus-tikus siap mengintai
di setiap lengah
7 Februari 2008
CHENZHOU
Di kota ini, para migran menembus
Gunung-gunung salju dari sejarah
Yang paling dingin
Di kota ini, cahaya temaram dalam diam
Orang-orang kerontang berebut air
Sampai tetes paling akhir
Di kota ini, tahun bersambut pada
Suasana yang paling haru, rumah-rumah
Merapat mencari hangat
2008
DI TIANJIN
Di Tianjin para tikus membangun kerajaannya
Orang-orang cemas, orang-orang gemas, sebab
Emas-emas raib dari brankas
2008
KEMBANG KERTAS
Kurayakan lunar tanpa barongsai
Dan tarian naga. Kembang kertas berjajar
Pada rumah yang merapat berbanjar
Kurayakan lunar menghempang babi tanah
Yang menyeberang gunung, menghadang
Tikus api yang menembus gudang
Dan langit, dan bumi dan manusia
Tercatat pada kelopak kembang
Begitu memesona
Hong bao
Merah warna yang penuh pada gairah
Di setiap hati para bocah
Genggam tangan dengan erat, maka
Akan kau genggam mata uang berwarna coklat
Dan beberapa potong permen pengikat
2008
LING LING NAMAKU
Lama sudah kita menjaring cerita
Tentang budaya dan perbedaan warna
Tapi, tahukah kau hanya hati yang mampu
Menyatukan segala-menyatukan rasa
Ah, apalah artinya sebuah nama katamu
Dengan canda. Tapi, bagiku nama penting adanya
Tentang sebuah harkat maupun pembuktian
Kesungguhan sebuah cinta. Jangan ragu
Aku terlahir di negeri ini
Ling Ling namaku
2008-02-07
ADA BEDA ANTARA KITA
Usah resah maupun gundah tentang sebuah
Perbedaan antara kita. Apa itu salah?
Justru itulah kebanggaan adanya kesungguhan
Bukan topeng dari cinta yang dipaksakan
Kita memang lahir dari keluarga yang berbeda
Kita memang lahir dengan warna kulit yang berbeda
Kita memang lahir pada lingkungan budaya yang berbeda
Tapi, tahukah kau bahwa kita masih punya hati
Yang menyatukan segala beda antara kita
Dengan cinta
2008
TAHUN TIKUS
Setelah kemakmuran di tahun babi tanah pergi
Tikus-tikus apipun kembali menebar rezeki
Berharap mendapatkan sebuah kursi
Untuk memimpin negeri ini
Gunung-gunungpun berubah gudang-gudang
Tanah, air dan api menyatu
Angin tergugu menunggu
Setelah tahun babi tanah pergi, maka berkuasalah
Para tikus api menebar rezeki atau korupsi
Bertubi-tubi
2008-02-07
HAPPY LUNAR NEW YEAR
Gong Xi Fa cai,
Mari samakan langkah
Membangun negeri tempat
Kita lahir dan dibesarkan
Satukan hati, singkirkan perbedaan
7 Februari 2008
BERILAH AIR DARI TANGAN KEIKHLASAN
berilah air dari tangan keikhlasan,maka
kita akan selalu dicurahkan kemudahan
sebab, kasih tanpa syarat adalah
hidup yang penuh kedamaian
pada manusia
juga Tuhan
medan,06
AKU HANYA MENITIPKAN BUNGA INI UNTUKMU, SAHABAT
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu. tanamlah ia pada vas
hatimu yang bersemu biru
sebab, hanya ia yang mampu mewarnai hidup
agar lebih indah dan merona
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu. rawatlah ia dengan
segenap kasih sayangmu
sebab, hanya ia yang mampu memberi kesegaran bagi hidup yang mengharu biru
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu, ya setangkai bunga
cinta berwarna kedamaian
medan,06
MASA DEPAN MANUSIA
masa depan manusia adalah
pucuk dedaunan di puncak pepohonan
yang menghijau
sebab energi pupuk kebersamaan
bersih dari racun curiga
dan satwasangka
masa depan manusia adalah
buah ranum di reranting pepohonan
yang rimbun
sebab siraman segar air kebersamaan
mengalir dari mata air yang bersih
dan bening
masa depan manusia adalah
angin sejuk berhembus pada
pepohonan hati kita, makhluk
penjaga sah kelestarian hidup
dan kehidupan
medan,06
KU ANYAM SEBARIS DO'A DENGAN HIASAN TAHLIL SEDERHANA
Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana,
di awal Ramadhan, pada november luka
bagi saudara-saudara yang tertimpa bencana
dan air mata membersihkan sisa-sisa cinta
yang sempat mengembang di Bukit Lawang
Pada derai air mata, aku rangkai berbagai
aneka bunga do'a, yang sempat mengangkasa
terbang di taman sajadahku bersama untaian
tasbih yang merindu
Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana bagi saudara-saudara
yang mengeram di antara gelondongan
bersama sungai bukit lawang
dalam sujud panjang yang tak berkesudahan
Medan,03-04
MUSA YANG MEMBELAH GELOMBANG
kemana lagi Musa pergi,selain membelah gelombang dengan tongkat sakti-di sini tsunami angkuh berdiri menebar duri, bersama angin yang memburu mengekalkan seringainya-dalam bayang-bayang kabutserombongan gagak memburu camar yang terbang gontai, perlahan mengintai-sementara pepohonan tafakkur, mengucap syukur - lalu membanjir derai zikir: telah menjadi suratan fir'aun terkubur takabburmenafikkan takdir di tengah laut yang terbelahsehabis ketukan do'a Musa bersama takbir yang menggemakemana lagi Musa pergi,selain membelah gelombang bersama para syuhada-di sini laut berubah raksasamelahap apa saja, bagai sihir yang menumpahkan muntahan air-menghantam beratus ribu pasir dalam sir-sementara tenggorokan tersekat bersama waktu yang sekarat:telah menjadi suratan gelombang bukanlah hujjahpara syuhada hanya hijrah, berjalan diantara pecahan resah, membius darah-dan tsunami hanyalahistilah, pintu hijrah menuju tempatyang lebih indahmaka,bangunlah wahai kekasih Sang Kekasih, sebab resahadalah miliknya orang-orang kalah, sebab kecewa adalah miliknya para pendosa,orang-orang yang tak mengerti arti mencinta, sebab nada kutuk adalah miliknya orang-orang yang pintu hatinya tak terketukmaka,kemana lagi Musa pergi, bersama umi-bersama abah,bersama inong-bersama agam, bersama geuchik-bersama teungku meunasah, bersama para syuhada yang tak mengenal arti lelah-arti menyerah, selain membelah gelombang,menuju Allah
2004
MENERAWANG PATUNG-PATUNG BERBAJU
Alangkah indahnya menerawang patung-patung berbaju
Berdiri terpaku menjelma tugu-tugu yang disekitarnya
Menjadi taman bermain-anak cucu
Alangkah anehnya orang-orang dewasa yang memandang
Takjub anak-anak berusia belia tak berbaju, lalu menghardik
Anak sendiri yang memang tidak perduli
Lantas apakah kita seperti patung-patung yang termenung
Anak-anak berusia belia tak hendak berteriak
Memandang sebuah ketelanjangan yang memang
Sebatas kebiasaan
Lantas apa bedanya kita dengan hewan
Yang berpakaian dianggap sekedar hiasan
Lalu dijadikan gurauan
Dan alangkah anehnya sebuah keindahan kesopanan
Tak mampu diukur dengan batasan
Tak mampu dicerna dalam pikiran
Atau karena memang sudah menjelma
Kebiasaan menjadi kebisaan
Medan,06
ANGAN-ANGAN DIGUYUR HUJAN DEBU MENGENDUS BATU-BATU
:mengelus uncen,memapah abepura
Entah mengapa sore ini para semut memenuhi sepanjang
Badan jalan merambat tak beraturan.rambu-rambu
Berdahan rendah ditebas tanpa balas terseret pada trotoar
Kebisuan,ketika itu angin berwarna kusam diguyur hujan debudebu
Entah mengapa sore ini para semut memadati sepanjang
Badan jalan menyeruak tak beraturan menambah pecah
Pusat-pusat kebisingan.slogan kata-kata yang tiarap direranting
Pohon, merayap ditetiang listrik hanya mampu terpaku –membisu,
Ketika itu angin bersayap buram mengendus batu-batu
Entah mengapa sore ini para semut pasrah sepanjang
Badan jalan terkapar dengan desah tertahan ditembus deru peluru,
Memperjuangkan angan-angan yang mengawan
Tak berkesudahan, diguyur hujan debudebu-mengendus batubatu
Medan,06
TELAH TERUKIR RANTING DAUN SAMPAI SEJARAH PALING AKHIR
Telah terukir ranting daun pada kelopak mataku
Akarnya meranggas menembus sampai ke kulit paling akhir
Mencari celah-menyusuri darah, dan merambat
Ke puncak otak setelah melewati danau hati
Aku tak sempat menarik napas , ketika daun-daunnya
Merimbun pada kornea yang menjingga. Butiran-butiran embun
Menyeruak di sudut-sudut daun,
Membasah resah, membaca segala
Rahimnya membuahkan berjuta aksara dari kulit paling akhir
Merenangi sungai darah, dan hanyut di hulu otak menembus batu hati
Aku tak sempat menahan isak, ketika gemuruh jantung menghentak.
Membobol waduk air mata-membanjir luka, mengugurkan daun-daun-
Membusukkan segala
Gemulai dihembus angin yang mengerang garang
Akarnya meranggas menembus kulit paling akhir
Rahimnya membuahkan berjuta aksara duka dari kulit paling akhir,
Lukanya menganga pada pedih memerah, di kulit paling akhir, sampai
Sejarah perdaban yang paling akhir
Medan,06
TANGIS GERIMIS ADALAH
Tangis gerimis adalah air mata gadis yang perih
Ketika menanak luka, mengalir di sungai-sungai nestapa,
Menderas arusnya
Tangis gerimis adalah air mata gadis yang menjelma
Butiran-butiran mutiara kaca, menggores di ruang-ruang batin
Tanpa jiwa, mendarah lukanya
Tangis gerimis adalah musik-musik jiwa yang memenuhi gua hampa,
Menggema tanpa alunan nada, yang memanah aura pesona
Tangis gerimis adalah
Luka di sungai-sungai nestapa, butiran-butiran mutiara kaca
Tanpa jiwa, atau gua hampa tanpa alunan nada
Medan,06
AKU MENJADI ANGIN
Aku menjadi angin
Yang bebas lepas menari kesanakemari
Mencium harum-mengelus daun-daun
Di taman hatimu
Medan,06
KEPOMPONG HUJANKU MENETESKAN KUPU-KUPU
Kepompong hujanku meneteskan kupu-kupu
Ulat-ulat menguap dari setiap sudut sejarah lelah
Meliuk-liuk diantara pori-pori tanah
Membasah di akar desah
Lalu, kubasuh wajah matahari
Kerontangkan rumput sepanjang savana
Membakar borok liang birahi, diantara
Kapas-kapas yang berbaring di paha
Menggeliatkan para wanita penyulam awan
Kepompong hujanku
Meneteskan kupu-kupu
Memburu bunga sepanjang savana
Menyedot madu
Medan,05
SEHABIS KHATAM HUJAN
Sehabis khatam hujan pada ayat terakhir perjalanan
Debudebu kota telahlama membatu, melafazkan
Gemertak almanak yang melangkah kaku sepanjang
Alif ba ta cinta
Lalu sepenuh daun kering menguning menyesakkan keranda
Luka di bawah deraknya pohon kamboja, dan kita bertanya
Kembali pada cuaca,”adakah kita tuliskan catatan-catatan
Surga?”
Medan,05
BAU ANYIR YANG MENGUAP
Bau anyir yang menguap dari liang ketiak dan selangkang
Mulai dari modul bayi berusia hari ini sampai labi-labi
Riwayat akhir nanti. Sekali menyulam dengkur-berdebur
Sekian rupiah. Ada yang diam-diam buang nafas
Diantara rimbunan ampas
Seorang lelaki berumah buncit bersetubuh
Dengan lubang senggama mimpinya
Dengan mulut berbusa-menganga
Sementara seekor ayam betina mengacak-acak rambut
Kemaluanku, sebelum memberi cinderamata luka
Pada seperampat perjalanan menuju kota.aku menghitung
Ketukan nada aroma disetiap tarikan nafasku, disetiap
Tetes keringatku
Bau anyir menguap
Diantara nafas kotoran
Berubah sayap pada jendela
Bogor,04
BIDADARI YANG MENARI
Aku bermimpi tentang bidadari yang sedang menari
Di antara arak awan yang menawan, dan diantara
Pelangi yang menyemai seni sari-sari
Aku bermimpi tentang bidadari yang sedang menari
Lalu mengajakku membakar birahi
Jakarta,05
BERITA TERKINI HARI INI
Berita pengumuman pegawai negeri
Yang terkini hari ini masih saja ribuan tikus menjelma
Bidadari, mengunyah-kunyah nomor uji, seperti menjerat
Kursi sidang komisi di setiap ruang rapat fraksi
Giginya yang tajam menghunjam dalam-dalam serat saraf
Menghamburkan cairan dan kotoran yang memabukkan
Berita pengumuman pegawai negeri
Yang terkini hari inimasih saja ribuan tikus menjelma
Bidadari, sementara seekor kucing hanya bisa menganga
Menjelma kuda
Medan,06
PURNAMA TELAH LAMA PECAH DALAM KEPALA
Entahlah mungkin cuaca telah belang warnanya, sebab
Kita tak mampu menghitung berapa jumlah titik rintik
Yang mengetik tuts bumi, padahal telah berkali-kali
Do’a di enter, lalu di save as secara buas
Lalu seketika saja layar monitor menebar kemarau
Dan mengutip rimah purnama yang telah lama pecah
Dalam kepala
Amboi, kita masih saja sulit membaca cuaca yang telah belang
Warnanya, membawa suara menghiba direrimbunan do’a-do’a
Dan purnama memang telah lama pecah dalam kepala.
Medan,2007
SUNYI LUKA
malam mengetuk-ketuk pintu dan jendela pada
ruang yang lengang, angin melahirkan sunyi
dari lorong-lorong tak bernama
rahimmnya berderak menerjang celah jendela kaca
purnama nyalang mata di rerimbunan pohon mangga
cahayanya menembus segala lara di malam siaga, mengenang
siang tak lama berpulang. angin masih menimang-timang
sunyi dalam gendongan bermotif bunga-bunga
ah, waktu hanya menghitung-hitung rindu di kalender cuaca
lalu satu persatu tanggal usia, angin pun semakin tua pada
pertumbuhan sunyi yang beranjak dewasa sepanjang perjalanan
do’a-do’a
medan, 2007
SEARAH PERGI BEGITU PULA KEMBALI
searah pergi begitu pula kembali
tidak ada yang berubah selain sepi
aroma luka setua usia dari stasiun yang
tak pernah sunyi
masih juga terdengar nyanyian jalanan
masih juga terdengar rintihan lapar tertahan
masih juga terdengar muslihat dan akal-akalan
searah pergi begitu pula kembali
tubuh renta itu berganti bayi tawarkan
aroma peluh dari jepitan hidup yang kisruh
mengaduh-aduh
o, adakah yang lebih sakit selain dari
jerit yang dibungkam?
Komunitas home poetry, 2009
APALAGI GUNA HUJAN TANGIS
Apalagi guna hujan tangis
pada tubuh penuh bara
sudahlah simpan saja segala rayuan
yang selalu kau hidangkan di atas meja
bersama aroma pembusukkan
komunitas home poetry, 2010
PERTI ANGIN YANG MENYISIR
seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
rasanya terlalu cepat, terlalu ringkas perjumpaan ini
padahal dada ini masih penuh dengan ungkapan rindu
masih penuh pesan-pesan harap untuk-Mu
berapa gunung yang didaki, berapa lembah yang dituruni
berapa samudra yang direnangi, rasanya baru inilah
perjumpaan kita yang pertama kali
seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
sampai juga percakapan kita, walau seperti meneguk embun
dari gelas sebesar angan yang telah lama terletak di atas
meja perjamuan sekian lama sempat tertinggal
komunitas home poetry, 2010
SEPERTI PERJUMPAAN LAUT PADA PANTAI
seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku
sedetikpun tak melupakan-Mu, walau terkadang angin
menghempaskanku ke samudera luas, tersangkut
di sela-sela karang
seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah harapku
tak ada waktu melalaikan perintah-Mu, walau terkadang riak
menggelombang ciutkan nyali yang sempat mengombak
seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku,
begitulah harapku pada-Mu, walau terkadang melambai
di tepi pantai yang landai
komunitas home poetry, 2010
DAUN-DAUN BERGUGURAN
di tepi jalan daun-daun berguguran
terhimpit debu pada langkah-langkah kaki
yang berseliweran, warnanya coklat kekuningan
melukiskan kegetiran di atas tanah yang bungkam
aku memandang geram mengunyah napsu tertahan
alamat nurani semakin mengabur, semakin terkubur
di tepi jalan daun-daun berguguran, debu-debu
bertumbangan tertikam tapak kaki yang menghunjam tajam
aku terpaku pada alamat dedaunan yang terbenam pada
tanah yang bungkam dan angin yang menampar diam-diam
komunitas home poetry, 2010
PANTAI YANG MENYIMPAN RAHASIA BADAI
begitulah pantai yang menyimpan rahasia badai
kita tak pernah jua jera berlayar pun mengumbar
setiap pulau selalu disinggahi tebarkan bau tubuh
dan tanamkan peluh-peluh membiarkan segala
penantian yang tidak pernah usai
pada dermaga kita titipkan kapal yang merumput
pada istirah lelah dan laut menari-nari pada kediaman
pulau-pulau dimana tubuh kita siap direbahkan
ah, ternyata diam-diam kita pahami juga rahasia badai
dari bibir pantai pada pulau-pulau yang terkulai
bau tubuh dan peluh-peluh pun telah tertanam jauh
lalu laut yang menari pun perlahan menawarkan
aroma nisan
komunitas home poetry, 2008
RESAH DAUN JENDELA
Pada resah daun jendela
Wajahmu bergambar duka
Sedari pagi matamu menikam langit
Sampai matahari lari bersembunyi
Yang tertinggal hanya senyap
Yang tertinggal hanya gelap
Sekadar hanya menyisakan kenangan
Tertutup debu tertahan
Pada resah daun jendela
Ada gairah yang tak kunjung
Nyala rindu bocah yang menangis
Manja
Mdn,2007
RINDUKU MENGERING
Ah, kau lagi
tak bosan-bosannya menanam
pikiranku dengan bunga-bunga
Padahal sudah kukatakan padamu
Rinduku telah lama mengering
Tersengat matahari
Baranya menyalakan kesumat
Dengan apa hendak kau suburkan?
Dengan sungai abu atau laut nafsu?
Biarkan bumiku mengadopsi taman-taman
Yang menyegarkan
Yang menentramkan
Ah, kau lagi…!
Lelaki yang senang menghidang berang
YANG MENGETUK DAUN PINTU
Selalu ada saja yang mengetuk-ketuk daun pintu
Tapi nyatanya hanya angin yang mengelus wajahku perlahan
Dan malam sekadar meninggalkan rimah-rimah kalam
Dengan setengah butir bulan
Di sebelah rumah
Anak tetangga mengaji
Merapal doa sepanjang magrib tiba
Selalu saja ada yang mengetuk-ketuk pintu
Kaukah itu atau
Jantungku yang
Bertalu-talu
Menggemuruhkan irama rindu?
Ibu…
Komunitas home poetry, 2008
TAHUN KENANGAN
tahun-tahun hanya menjaring kenangan
dalam bualan angan-angan
pagi-pagi sekali kita tidurkan mimpi
pergi menjaring matahari, berharap
sepotong bintang tak lari sembunyi
tahun-tahun hanya menjaring kenangan
dalam bius kotak meracun pikiran
enggan rasanya meninggalkan hidup
yang dirasuk mabuk , mungkin
sepotong selimut akan memeluk hangat
tahun-tahun hanya mengunyah bulan
meracun pikiran, melupakan
Tuhan
Komunitas home poetry, 209
PIKIRAN YANG GERSANG
Dalam pikiran yang gersang
Pepohonan apa yang hendak ditanam
Tak ada bunga
Apalagi buah
Kutebar bibit di bulan sabit
Kutabur harap dalam makrifat
Jerit hati yang sakit
Berharap menjaring semangat
Wahai,
Tuhan ada
Dalam adaku
Dalam tiadaku
Dalam pikiran yang gersang
Rintik membawa berkah ketenangan
Segala kesentosaan
Komunitas home poetry, 2009
PENCARIAN
Apalagi yang hendak dicari dalam hidup
Jika kita tak lagi berjiwa
Tumbuh-tumbuhan masih tetap hijau warnanya
Malam masih tetap segelap gulita
Sepi merintih sunyi
Amboi,
biarkan burung-burung menjaring
matahari
mdn, 2007
PADA PERJALANAN MATAHARI
dalam perjalanan pagi hari
matahari menyulam kepak peristiwa
yang terkadang liar terbang ke sana kemari
ahai, ia singgah ternyata sekadar mereguk
hangatnya segelas kopi
beranjak terang
matahari menggiring gemawan
yang meretas waktu perlahan
oho, ia sempatkan pula mengunyah
sepotong daging di atas meja
malam pun
pelan-pelan meninabobokkannya
di pembaringan sambil menikmati
dongeng sebelum tidur lalu mendekap
mimpi yang penuh warna warni
DENGAN SEIKAT BUNGA INI
apakah yang dapat kukatakan
selain mengungkapkannya dengan
seikat kembang atau setangkai mawar, Kekasih
atau apakah cukup rasa cinta dengan kata-kata
berbaur ucapan penghambur bermakna kabur
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti penanda hati
apakah yang dapat kulakukan
selain menyusun butir-butir rindu
menjadi segunung mengharu-membiru, Kekasih
entahlah warna cinta yang bagaimana lagi
yang patut kutorehkan di kanvas hati
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti pecinta sejati
DALAM DIAM KAU PENDAM CINTA
mungkin ini hari dan minggu yang kesekian
kau pandam cinta dalam diam, padahal kita
telah berjanji sehidup-semati
adakah luka yang begitu menganga sehingga
kau ciptakan jurang diantara kita
atau aku yang kurang pandai membaca
perjalanan cuaca?
mungkin ini pasir atau kerikil yang kesekian
kau gelincirkan cinta dalam diam, padahal kita
telah sama berjanji-sama mendaki
adakah dendam yang begitu membatu sehingga
kau pahat lereng terjal dilangkah kita
atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki
dalam perjalanan hati?
Medan,08
AKU CINTA KAU BUKAN SESIAPA
usah kau sulam segala ragu, sebab
aku cinta kau bukan sesiapa
kita bukanlah sepasang kekasih
seperti Caesar dan Cleopatra
tetapi kita adalah sepasang burung
dara yang bebas terbang kemana suka
aha, aku yakin kau hanya menimbun cemburu
di lumbung kasih-sayang yang menggelora, sebab
aku hanya cinta kau bukan sesiapa
dan kau akan menjadi ibu dari anak-anak kita
yang kelak akan menggantikan kita menjadi
pangeran dan putri dari segala kerajaan cinta
sudahlah, Kekasih
walau aku seorang pecinta, tetapi tetap
aku cinta kau bukan sesiapa
medan, 08
TATAP MATAKU DENGAN SEGALA CINTA
jangan tunduk tatap mataku dengan segala cinta
ada rahasia ada segala suka-cita, dan hanya kaulah
yang dapat membaca atau mengeja segala makna
hapus beribu ragu dengan riasan rasa
jangan menghindar tatap mataku dengan segala cinta
ada taman yang penuh dengan segala bunga berbagai warna
dan hanyalah kaulah yang dapat menikmati-memetiknya
hapus segala bau dengan berjuta aroma
medan, 2008
PELAYARAN SAJADAH
Lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan
Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah
Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa
Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak
Pernah lupa
dengan segala riwayat cerita
segala derita!
Medan, 2008
AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH
/1/ Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging
Akulah Waktu yang kehilangan makna beban
Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan Sebab ia adalah cermin buat berdandan Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah. Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak
/2/ Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi. perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara. mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta! Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan
Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba
Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa
yang berburu zikir bersama Khaidir lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!
/3/ Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah
Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian. di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak
Komunitas Home Poetry, 2008-2010
Cerpen Perempuan dan Belati
M. Raudah Jambak.
Malam. Hujan masih menitik. Genangan darah yang tadinya tidak begitu merembes, jadi menggenang. Darah dan hujan seperti sedang berkolaborasi. Ada kesan sintesis mutualisma dimana-mana, termasuk di sekujur tubuh perempuan itu. Perempuan yang sedang menggenggam belati di tangannya. Kolaborasi hujan dan darah itupun ditimpali dengan peluh dan airmata. Tak jauh dari tempatnya gundukan tanah yang baru digalinya, mengikis.
“Manando Mato!”
Berkali-kali perempuan itu berteriak. Teriakannya seperti percuma sebab kilat dan petir menambah getir.
“Manando Mato! Manando Mato!” Perempuan itu perlahan berdiri dengan rasa sakit dan batin yang perih,”Jangan lari, akan kutuntaskan dendam ini.”
Perempuan itu masih berteriak. Teriak yang tak karuan dan sesekali ditimpali tertawa kemenangan. Pandanganya tajam. Senyumnya setipis belati. Berlari kesana kemari mengumpulkan kerikil dan menumpukkannya di gundukan tanah yang terkikis hujan. Dia menyeringai, lalu tertawa lepas.
“Manando Mato! Kau lihat, telah kukuburkan benih dosamu. Kusayat-sayat sebelum dia kutanam. Hahaha...”
Hujan perlahan redam. Kilat sesakali menghunjam. Dengan napas penuh dendam, perempuan itu menghentak-hentakkan kakiknya di atas gundukan tanah berkerikil itu. Sejenak kemudian dia menangis, terduduk di atas gundukan itu.
“Maafkan ibu, Anakku. Kau tak salah. Justru ibu sangat menyayangimu. Ibu mencintaimu sepenun hati Ibu...”
Perempuan itu seolah berkisah. Sesekali menari. Bernyanyi. Belati yang tergenggam di tangannya menjelma bayi.
“Kau tau, Anakku. Awalnya, Ibu tidak begitu menginginkan kehadiranmu. Ibu harap kau mau memakluminya. Tetapi...” perempuan itu menelan diam, ”tetapi ibu sadar cintakan tidak harus memiliki.”
Tangannya gemetar. Peluhnya masih terus mengucur. Matanya berlinang, menganak sungai. Pandanganya menerawang.
“Tiga tahun lalu ibu berkenalan dengan seorang lelaki. Setamat sekolah, lelaki itu membiayai semua keperluan kuliah ibu. Tidak hanya itu, juga semua kebutuhan ibu. Lelaki itu luarbiasa. Ibu tak pernah melihatnya mengeluh.”
Suaranya terbata-bata, menceritakan awal pertemuanya dengan Manando Mato. Lelaki tampan dan penuh kharismatik. Di mata perempuan itu, dia adalah sosok lelaki yang begitu sempurna. Betapa tidak? Dari cara lelaki itu bicara dan bersikap seperti tak ada celah.
“Ketika itu, Anakku, lelaki itu begitu dibenci oleh kakek dan nenekmu. Ibu paham mungkin karena ibu adalah anak satu-satunya dan kami tidak memiliki sanak-famili, karena kami adalah pendatang di kampung ini. Ibu heran mengapa nenek dan kakekmu begitu membencinya...”
Perempuan itu tersenyum. Dia mengenang bagaimana Manando Mato berusaha melakukan pendekatan-pendekatan kepada orangtuanya. Awalnya, perempuan itu memang sempat merasa janggal. Hanya saja kejanggalan-kejanggalan itu dia tepis begitu saja.
“Lelaki itu, Anakku. Lelaki itu berusaha mencuri perhatian kakek-nenekmu. Padahal kami bukan orang kaya. Kami keluarga sangat sederhana. Ibu sempat heran mengapa lelaki itu tetap bertahan. Padahal sumpah-serapah tak berhenti berdengung di gendang telinganya. Demi melihat itu, Ibu yang iba dan perlahan muncul rasa sayang dan cinta padanya, sehingga ibupun rela dibawanya lari dari rumah...”
Perempuan itu kembali menari dan bernyanyi. Dari mulutnya terus meluncur berbagai kisah. Kadang lucu, kadang menyedihkan.
“Ibu harus berani bersikap, Anakku. Sesekali ibu teringat di saat nenekmu hendak ke pesta, kondenya lepas dan kakekmu berlari-lari mengejar sanggul yang mengelinding di tanah. Ibu rindu itu. Kembali harus ibu tepis, karena lelaki itu mampu memberikan segalanya. Dia tidak berusaha memanfaatkan ibu sedikitpun selama pelarian kami. Dia pernah melamar ibu, tetapi ibu tolak. Dia dengan lapang dada menerimanya tanpa mengurangi rasa sayang serta cintanya pada ibu. Malah semakin bertambah.”
Perempuan itu berlari-lari kecil. Belati di tanganya di acungkannya ke atas, lalu tertawa cekikikan. Berselang beberapa menit kembali terisak-isak.
“Pagi itu, Anakku. Ibu sedang menyapu halaman. Tak ada angin, tak ada hujan seseorang datang menyerahkan selembar surat untuk ibu, Ya, untuk ibu. Dada ibu berdetak kencang. Surat itu berisi tulisan tangan. Isinya singkat sekali. ‘Anakku, pulanglah orangtuamu sakit...’ Begitu isinya.... Tak ada nama. Apalagi alamat. Dan setahu ibu tak ada yang tahu keberadaan kami, selain kami berdua.”
Perempuan itu menahan isak. Perlahan dia langkahkan kakinya menuju sebilah kayu patah dari batang pohon yang tumbang. Malam semakin larut. Hujan berhenti. Jangkrik berdendang lirih.
“Lelaki telah memiliki hati ibu sepenuhnya. Ibu begitu mencintai lelaki itu. Ibu tetap bertahan, walau akhirnya mendapat kabar kedua orangtua ibu telah meninggal. Lelaki itu berhasil meyakinkan ibu. Lelaki itu berkali-kali mengatakan, dia akan selalu menjaga ibu. Malam itu, ibu ikhlaskan mahkota ibu direnggutnya. Ibu tidak sedih. Ibu bangga, akhirnya ibu mampu membuktikan rasa cinta ibu yang besar padanya.”
Perempuan itu terdiam. Matanya tajam memandang ke arah gundukan itu. Perlahan dia melangkah menuju gundukan itu.
“Ibu sayang padamu, Anakku. Ibu sayang pada lelaki itu. Walau berkali dia melamar ibu, ibu tetap menolaknya. Padahal ketika itu kandungan ibu semakin membesar. Kaulah, Anakku. Kaulah yang ada dalam kandungan Ibu. Ibu tidak tahu apakah lelaki itu kecewa, sejak kandungan ibu berusia delapan bulan, lelaki itu jadi jarang menemani ibu. Setiap ibu tanya selalu jawabannya menyejukkan perasaan ibu. Dia bekerja katanya, untuk menyambut kelahiranmu.”
Perempuan itu kembali menari. Sesekali ia bernyanyi. Imajinasinya begitu bidadari. Kadang berguling dan merayap. Tak dia perdulikan tubuhnya yang semakin kotor. Mulutnya masih terus memuntahkan kata-kata. Kembali ia terisak. Lalu berteriak.
“Manando Mato! Manando Mato! Akan kutuntaskan dendam ini,” dia menutup mulutunya dan membelai permukaan gundukan itu, ”bukan, Anakku. Ibu bukan marah padamu. Boboklah. Bobok. Ibu nyanyikan Nina Bobo, ya...”
Perempuan itu masih bernyanyi. Perih. Airmatanya kembali menganak sungai. Dengan kepedihannya, dia tunaikan keibuannya. Menepuk-nepuk lembut gundukan itu. Sesakali mengibaskan tanganya seolah sedang mengusir nyamuk. Memberi susu. Sesekali mencoba menenangkan. Kemudian berteriak.
“Sudah cukup. Tak usah menangis. Aku yang seharusnya menangis. Bukan kau!”
Mata perempuan itu liar. Ada srigala dipandanganya. Dia mendengus. Dengan sepenuh tenaga ia memukul, menendang, menginjak gundukan itu. Berlari ke sana kemari mencari batu atau kayu, lalu bertubi-tubi ia hunjamkan ke gundukan itu. Kemabli terisak-isak.
“Maafkan ibu, Anakku. Kau tidak salah. Manando Mato yang salah. Dia yang membunuh kakek dan nenekmu. Dia yang meracuni mereka. Karena dendam, katanya. Dia menuduh kakekmu, membunuh kedua orangtuanya. Dia dendam. Dia lupa masih ada aku. Hahahaha...”Perempuan itu tertawa cekikikan.
“Sengaja dia rusak aku. Dia hancurkan hidupku. Makanya, kubebaskan kau, Anakku. Kubebaskan kau dari darah busuknya. Manando Mato! Manando Mato! Jangan Lari! Akan kutuntaskan dendam ini! Bajingan!”
Perempuan itu tak menyangka, lelaki itu begitu biadabnya. Ternyata selama ini dia telah meracuni kedua orangtuanya. Dengan membelikan makanan kesuakaan mereka. Menyebarkan racun dimana-mana. Termasuk di air minum.
Lelaki itu sudah menyiapka skenario itu cukup lama. Memulai dengan berkenalan dengan perempuan itu. Masuk ke keluarga mereka. Memang ayah perempuan itu dulunya seorang pembunuh bayaran di kota J, kemudian setelah berkenalan dengan ibunya, mereka pindah ke kota M. Mencoba peruntungan dan hidup bersama. Meninggalkan dosa-dosa masa lalu.
Kebahagiaan itu semakin lengkap, setelah perempuan itu lahir. Ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik yang baik. Kebetulan, Manando Mato datang menggantikan manejer yang lama. Skenario itu begitu halusnya, sehingga Manando Mato berhasil mentupi siapa dirinya. Rahasia itu kemudian terungkap setelah Manando Mato ketahuan menaburkan bubuk di kopi perempuan itu. Terjadi pertengkaran. Manando Mato membongkar siapa dirinya. Sebelum rencananya menyebar, Manando Mato segera membawa lari perempuan itu.
Di tempat pelarian, Manando Mato tetap melaksanakan renca-rencana busuknya. Dia berahasil merenggut mahkota perempuan itu. Dia pun berkali-kali menciptakan alasan, untuk dapat meninggalkan perempuan itu. Dia berhasil. Genap kandungan perempuan itu sembilan bulan, Manando Mato pun pergi dan tak kembali. Dia sempat menuliskan surat untuk perempuan itu dan menceritakan siapa dirinya. Tentang kurir yang mengirim surat-surat kepada perempuan itu. Tentang segalanya. Demi membaca surat itu perempuan itu histeris. Dia menjerit dan menangis sejadi-jadinya.
Perempuan itu berlari. Berteriak. Menendang. Memukul. Membanting apa saja. Malam semakin larut. Isi surat itu begitu memukulnya. Hujan kembali menitik. Kilat menyambar-nyambar. Genangan darah yang tadinya sempat terhenti, kembali merembes, semakin menggenang. Darah dan hujan seperti sedang berkolaborasi. Ada kesan sintesis mutualisma dimana-mana, termasuk di sekujur tubuh perempuan itu. Perempuan yang sedang menggenggam belati di tangannya. Kolaborasi hujan dan darah itupun ditimpali dengan peluh dan airmata. Tak jauh dari tempatnya gundukan tanah yang baru digalinya, mengikis. Habis.
“Kau kejam, Manando Mato. Aku begitu mencintaimu., Ternyata ini semua tipu muslihatmu. Kau bunuh kedua orangtuaku. Kau rusak masa depanku. Maafkan ibu, Anakku. Kau tak salah. Manando Mato lah yang salah.”
Ia berdiri di atas gundukan. Mengangkat belatinya tinggi-tinggi, sambil berteriak. Menghentak langit. Dia pun menghunjamkan belatinya ke arah gundukan itu. Berkali-kali. Berdiri kembali, mengangkat belatinya tinggi-tinggi, dan menghunjamkan ke dadanya berakli-kali.
“Manando Mato! Manando Mato! Bajingan!”
Komunitas home poetry, 2013
Malam. Hujan masih menitik. Genangan darah yang tadinya tidak begitu merembes, jadi menggenang. Darah dan hujan seperti sedang berkolaborasi. Ada kesan sintesis mutualisma dimana-mana, termasuk di sekujur tubuh perempuan itu. Perempuan yang sedang menggenggam belati di tangannya. Kolaborasi hujan dan darah itupun ditimpali dengan peluh dan airmata. Tak jauh dari tempatnya gundukan tanah yang baru digalinya, mengikis.
“Manando Mato!”
Berkali-kali perempuan itu berteriak. Teriakannya seperti percuma sebab kilat dan petir menambah getir.
“Manando Mato! Manando Mato!” Perempuan itu perlahan berdiri dengan rasa sakit dan batin yang perih,”Jangan lari, akan kutuntaskan dendam ini.”
Perempuan itu masih berteriak. Teriak yang tak karuan dan sesekali ditimpali tertawa kemenangan. Pandanganya tajam. Senyumnya setipis belati. Berlari kesana kemari mengumpulkan kerikil dan menumpukkannya di gundukan tanah yang terkikis hujan. Dia menyeringai, lalu tertawa lepas.
“Manando Mato! Kau lihat, telah kukuburkan benih dosamu. Kusayat-sayat sebelum dia kutanam. Hahaha...”
Hujan perlahan redam. Kilat sesakali menghunjam. Dengan napas penuh dendam, perempuan itu menghentak-hentakkan kakiknya di atas gundukan tanah berkerikil itu. Sejenak kemudian dia menangis, terduduk di atas gundukan itu.
“Maafkan ibu, Anakku. Kau tak salah. Justru ibu sangat menyayangimu. Ibu mencintaimu sepenun hati Ibu...”
Perempuan itu seolah berkisah. Sesekali menari. Bernyanyi. Belati yang tergenggam di tangannya menjelma bayi.
“Kau tau, Anakku. Awalnya, Ibu tidak begitu menginginkan kehadiranmu. Ibu harap kau mau memakluminya. Tetapi...” perempuan itu menelan diam, ”tetapi ibu sadar cintakan tidak harus memiliki.”
Tangannya gemetar. Peluhnya masih terus mengucur. Matanya berlinang, menganak sungai. Pandanganya menerawang.
“Tiga tahun lalu ibu berkenalan dengan seorang lelaki. Setamat sekolah, lelaki itu membiayai semua keperluan kuliah ibu. Tidak hanya itu, juga semua kebutuhan ibu. Lelaki itu luarbiasa. Ibu tak pernah melihatnya mengeluh.”
Suaranya terbata-bata, menceritakan awal pertemuanya dengan Manando Mato. Lelaki tampan dan penuh kharismatik. Di mata perempuan itu, dia adalah sosok lelaki yang begitu sempurna. Betapa tidak? Dari cara lelaki itu bicara dan bersikap seperti tak ada celah.
“Ketika itu, Anakku, lelaki itu begitu dibenci oleh kakek dan nenekmu. Ibu paham mungkin karena ibu adalah anak satu-satunya dan kami tidak memiliki sanak-famili, karena kami adalah pendatang di kampung ini. Ibu heran mengapa nenek dan kakekmu begitu membencinya...”
Perempuan itu tersenyum. Dia mengenang bagaimana Manando Mato berusaha melakukan pendekatan-pendekatan kepada orangtuanya. Awalnya, perempuan itu memang sempat merasa janggal. Hanya saja kejanggalan-kejanggalan itu dia tepis begitu saja.
“Lelaki itu, Anakku. Lelaki itu berusaha mencuri perhatian kakek-nenekmu. Padahal kami bukan orang kaya. Kami keluarga sangat sederhana. Ibu sempat heran mengapa lelaki itu tetap bertahan. Padahal sumpah-serapah tak berhenti berdengung di gendang telinganya. Demi melihat itu, Ibu yang iba dan perlahan muncul rasa sayang dan cinta padanya, sehingga ibupun rela dibawanya lari dari rumah...”
Perempuan itu kembali menari dan bernyanyi. Dari mulutnya terus meluncur berbagai kisah. Kadang lucu, kadang menyedihkan.
“Ibu harus berani bersikap, Anakku. Sesekali ibu teringat di saat nenekmu hendak ke pesta, kondenya lepas dan kakekmu berlari-lari mengejar sanggul yang mengelinding di tanah. Ibu rindu itu. Kembali harus ibu tepis, karena lelaki itu mampu memberikan segalanya. Dia tidak berusaha memanfaatkan ibu sedikitpun selama pelarian kami. Dia pernah melamar ibu, tetapi ibu tolak. Dia dengan lapang dada menerimanya tanpa mengurangi rasa sayang serta cintanya pada ibu. Malah semakin bertambah.”
Perempuan itu berlari-lari kecil. Belati di tanganya di acungkannya ke atas, lalu tertawa cekikikan. Berselang beberapa menit kembali terisak-isak.
“Pagi itu, Anakku. Ibu sedang menyapu halaman. Tak ada angin, tak ada hujan seseorang datang menyerahkan selembar surat untuk ibu, Ya, untuk ibu. Dada ibu berdetak kencang. Surat itu berisi tulisan tangan. Isinya singkat sekali. ‘Anakku, pulanglah orangtuamu sakit...’ Begitu isinya.... Tak ada nama. Apalagi alamat. Dan setahu ibu tak ada yang tahu keberadaan kami, selain kami berdua.”
Perempuan itu menahan isak. Perlahan dia langkahkan kakinya menuju sebilah kayu patah dari batang pohon yang tumbang. Malam semakin larut. Hujan berhenti. Jangkrik berdendang lirih.
“Lelaki telah memiliki hati ibu sepenuhnya. Ibu begitu mencintai lelaki itu. Ibu tetap bertahan, walau akhirnya mendapat kabar kedua orangtua ibu telah meninggal. Lelaki itu berhasil meyakinkan ibu. Lelaki itu berkali-kali mengatakan, dia akan selalu menjaga ibu. Malam itu, ibu ikhlaskan mahkota ibu direnggutnya. Ibu tidak sedih. Ibu bangga, akhirnya ibu mampu membuktikan rasa cinta ibu yang besar padanya.”
Perempuan itu terdiam. Matanya tajam memandang ke arah gundukan itu. Perlahan dia melangkah menuju gundukan itu.
“Ibu sayang padamu, Anakku. Ibu sayang pada lelaki itu. Walau berkali dia melamar ibu, ibu tetap menolaknya. Padahal ketika itu kandungan ibu semakin membesar. Kaulah, Anakku. Kaulah yang ada dalam kandungan Ibu. Ibu tidak tahu apakah lelaki itu kecewa, sejak kandungan ibu berusia delapan bulan, lelaki itu jadi jarang menemani ibu. Setiap ibu tanya selalu jawabannya menyejukkan perasaan ibu. Dia bekerja katanya, untuk menyambut kelahiranmu.”
Perempuan itu kembali menari. Sesekali ia bernyanyi. Imajinasinya begitu bidadari. Kadang berguling dan merayap. Tak dia perdulikan tubuhnya yang semakin kotor. Mulutnya masih terus memuntahkan kata-kata. Kembali ia terisak. Lalu berteriak.
“Manando Mato! Manando Mato! Akan kutuntaskan dendam ini,” dia menutup mulutunya dan membelai permukaan gundukan itu, ”bukan, Anakku. Ibu bukan marah padamu. Boboklah. Bobok. Ibu nyanyikan Nina Bobo, ya...”
Perempuan itu masih bernyanyi. Perih. Airmatanya kembali menganak sungai. Dengan kepedihannya, dia tunaikan keibuannya. Menepuk-nepuk lembut gundukan itu. Sesakali mengibaskan tanganya seolah sedang mengusir nyamuk. Memberi susu. Sesekali mencoba menenangkan. Kemudian berteriak.
“Sudah cukup. Tak usah menangis. Aku yang seharusnya menangis. Bukan kau!”
Mata perempuan itu liar. Ada srigala dipandanganya. Dia mendengus. Dengan sepenuh tenaga ia memukul, menendang, menginjak gundukan itu. Berlari ke sana kemari mencari batu atau kayu, lalu bertubi-tubi ia hunjamkan ke gundukan itu. Kemabli terisak-isak.
“Maafkan ibu, Anakku. Kau tidak salah. Manando Mato yang salah. Dia yang membunuh kakek dan nenekmu. Dia yang meracuni mereka. Karena dendam, katanya. Dia menuduh kakekmu, membunuh kedua orangtuanya. Dia dendam. Dia lupa masih ada aku. Hahahaha...”Perempuan itu tertawa cekikikan.
“Sengaja dia rusak aku. Dia hancurkan hidupku. Makanya, kubebaskan kau, Anakku. Kubebaskan kau dari darah busuknya. Manando Mato! Manando Mato! Jangan Lari! Akan kutuntaskan dendam ini! Bajingan!”
Perempuan itu tak menyangka, lelaki itu begitu biadabnya. Ternyata selama ini dia telah meracuni kedua orangtuanya. Dengan membelikan makanan kesuakaan mereka. Menyebarkan racun dimana-mana. Termasuk di air minum.
Lelaki itu sudah menyiapka skenario itu cukup lama. Memulai dengan berkenalan dengan perempuan itu. Masuk ke keluarga mereka. Memang ayah perempuan itu dulunya seorang pembunuh bayaran di kota J, kemudian setelah berkenalan dengan ibunya, mereka pindah ke kota M. Mencoba peruntungan dan hidup bersama. Meninggalkan dosa-dosa masa lalu.
Kebahagiaan itu semakin lengkap, setelah perempuan itu lahir. Ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik yang baik. Kebetulan, Manando Mato datang menggantikan manejer yang lama. Skenario itu begitu halusnya, sehingga Manando Mato berhasil mentupi siapa dirinya. Rahasia itu kemudian terungkap setelah Manando Mato ketahuan menaburkan bubuk di kopi perempuan itu. Terjadi pertengkaran. Manando Mato membongkar siapa dirinya. Sebelum rencananya menyebar, Manando Mato segera membawa lari perempuan itu.
Di tempat pelarian, Manando Mato tetap melaksanakan renca-rencana busuknya. Dia berahasil merenggut mahkota perempuan itu. Dia pun berkali-kali menciptakan alasan, untuk dapat meninggalkan perempuan itu. Dia berhasil. Genap kandungan perempuan itu sembilan bulan, Manando Mato pun pergi dan tak kembali. Dia sempat menuliskan surat untuk perempuan itu dan menceritakan siapa dirinya. Tentang kurir yang mengirim surat-surat kepada perempuan itu. Tentang segalanya. Demi membaca surat itu perempuan itu histeris. Dia menjerit dan menangis sejadi-jadinya.
Perempuan itu berlari. Berteriak. Menendang. Memukul. Membanting apa saja. Malam semakin larut. Isi surat itu begitu memukulnya. Hujan kembali menitik. Kilat menyambar-nyambar. Genangan darah yang tadinya sempat terhenti, kembali merembes, semakin menggenang. Darah dan hujan seperti sedang berkolaborasi. Ada kesan sintesis mutualisma dimana-mana, termasuk di sekujur tubuh perempuan itu. Perempuan yang sedang menggenggam belati di tangannya. Kolaborasi hujan dan darah itupun ditimpali dengan peluh dan airmata. Tak jauh dari tempatnya gundukan tanah yang baru digalinya, mengikis. Habis.
“Kau kejam, Manando Mato. Aku begitu mencintaimu., Ternyata ini semua tipu muslihatmu. Kau bunuh kedua orangtuaku. Kau rusak masa depanku. Maafkan ibu, Anakku. Kau tak salah. Manando Mato lah yang salah.”
Ia berdiri di atas gundukan. Mengangkat belatinya tinggi-tinggi, sambil berteriak. Menghentak langit. Dia pun menghunjamkan belatinya ke arah gundukan itu. Berkali-kali. Berdiri kembali, mengangkat belatinya tinggi-tinggi, dan menghunjamkan ke dadanya berakli-kali.
“Manando Mato! Manando Mato! Bajingan!”
Komunitas home poetry, 2013
SUMBI PADA SUATU HARI
Oleh: M. Raudah Jambak
(Harian Analisa, Minggu 29 April 2012)
Malam pekat. Bulan masih sembunyi di bilik awan. Laju kendaraan meluncur satu-satu. Perempuan itu masih berdiri, bersandar pada tiang traffic light. Samar-samar, dia masih mendengarkan suara orang mengaji dari puncak menara masjid. Ada pedih yang tergores di dadanya. Masih terngiang jerit tertahan anaknya yang melihat kepergiannya. Meronta dari pelukan Sumiati, ibu kosnya. Sesak dadanya, tapi dia harus pergi. Dia harus bekerja. Sudah tiga hari anaknya tidak menikmati susu.
Tadi pagi suhu tubuh anaknya memanas. Sampai terakhir tadi sebelum kepergiannya, suhu tubuh anaknya tidak juga turun. Malah cenderung naik. Dia tetap memutuskan untuk pergi.
Jika sudah seperti itu, acap kali dia memaki dirinya sendiri. Tidak pernah sekalipun terpikirkan olehnya akan menjadi seperti ini. Tidak pernah sekalipun dia bercita-cita menjadi seorang pelacur. Puih! Apalagi ketika wajah seorang lelaki yang pernah dicintainya, melintas begitu saja.
Kalau tidak karena lelaki itu, mungkin dia sudah menjadi direktris pada salah satu perusahaan cabang milik ayahnya. Kalau saja lelaki itu tidak membuat ulah, mungkin ayahnya juga akan menyerahkan perusahaan yang lain kepadanya. Apa daya dia terlanjur salah langkah. Dia lebih memilih lelaki itu daripada ayahnya.
"Kau harus tahu, Anakku," ujar ayahnya,"Rizal tidak sepadan untukmu. Kau anak orang terhormat, sedangkan Rizal?"
"Aku sangat mencintainya, Ayah."
"Lelaki yang selalu mengganggu rumah tangga orang lain. Lelaki yang selalu mengumbar nafsunya pada orang lain. Lelaki yang menghancurkan perusahaan kita, keluarga kita. Lelaki seperti itu yang kau pilih?!"
"Aku sudah membuat keputusan, Ayah."
"Baik. Kalau memang itu sudah tekadmu. Ayah juga akan membuat keputusan!"
Ayahnya tepaksa membuat keputusan. Dengan suara berat dan berwibawa, ayahnya terpaksa memberikan pilihan yang sulit. Memenjarakan lelaki itu, yang menghancurkan perusahaan ayahnya atau tetap menjadi bagian dari keluarga besar Sudirman, ayahnya. Apa, lacur. Dia lebih memilih lelaki yang jelas-jelas telah menghancurkan keluarganya. Sejak saat itu ayahnyapun secara tegas tidak lagi mengakuinya sebagai seorang anak. Dia tetap memutuskan untuk pergi.
Pernah sekali waktu, dia mengunjungi ayahnya yang sedang keadaan sakit keras. Itupun karena ibunya berkali-kali meneleponnya, memintanya untuk pulang. Ayahnya selalu mengigau menyebut namanya. Begitu ia sampai, bukan kerinduan yang dia rasakan, justru makian bertubi-tubi yang dia dapatkan. Padahal, dia telah menghiba-hiba bermohon untuk dimaafkan. Demi melihat kondisi kesehatan ayahnya yang semakin parah melihat kehadirannya, dia memutuskan untuk pergi. Dia pergi ditingkahi suara tangis ibunya yang memintanya untuk tetap bertahan. Dia memutuskan untuk tetap pergi.
Memang ada penyesalan mendalam. Hanya saja, tekadnya sudah bulat. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Sepanjang perjalanan, dia renungi segalanya. Semua terasa gelap. Dia tidak menemukan jalan keluar. Persis seperti kelengangan jalan. Persis seperti kepekatan malam. Dia memutuskan untuk hidup bersama tanpa ikatan bersama Rizal, kekasihnya. Itupun karena janji Rizal akan menikahinya secara resmi, jika dia sudah mendapatkan pekerjaan.
Bersama Rizal, dia menyewa sebuah rumah sederhana. Dia bisa menerima. Selama menunggu Rizal mendapatkan pekerjaan, dia yang mengatasi uang sewa rumah. Termasuk segala kebutuhan hidup mereka berdua. Juga segala kebutuhan Rizal. Untunglah tabungannya lebih dari cukup. Ayahnya selalu memberikan apa yang dia inginkan. Sejak memutuskan hubungan keluarga ayahnya juga memutuskan segalanya. Termasuk urusan uang.
Hampir setahun mereka hidup bersama. Keresahan dan kebahagiaan semakin terasa tipis batasannya. Terutama ketika dia menyampaikan kabar gembira, dia sudah telat bulan. Sudah satu bulan mengandung calon anak mereka. Rizal terdiam. Rizal malah menyarankan, menggugurkan kandungan itu. Dia bertahan, sebab dia merasa bahagia. Rizal memberi solusi lain. Rizal meminjam uang lima puluh juta, untuk dibayarkan kepada sebuah perusahaan yang akan menerimanya bekerja, jika Rizal bisa menyetor uang sejumlah lima puluh juta.
Perempuan itu ragu, tetapi Rizal mampu meyakinkannya. Akhirnya, isi tabungan perempuan itu hanya menyisakan lima juta. Selebihnya berpindahtangan ke Rizal. Tak berpanjang kalam, Rizalpun segera meluncur ke perusahaan yang dia maksud. Dengan segala cinta dan doa, perempuan itu melepas Rizal. Entah karena waktu meluncur terlalu cepat atau karena hasrat yang tak terbendungkan, perempuan itu seperti tak sabar menunggu kabar berita dari Rizal.
Belum berbilang minggu, kabar tentang Rizalpun terdengar. Tubuhnya seperti hancur, sehancur-hancurnya. Lelaki yang melebihi segala hatinya, telah menikah dengan perempuan lain. Dengan seorang menejer perusahaan tempat rencana Rizal bekerja. Dia harus bertahan. Dia bertekad harus tetap bertahan hidup. Itu filosofi yang diajarkan oleh ayahnya. Bertahan hidup.
Malam pekat. Bulan masih sembunyi di bilik malam. Perempuan itu masih bersandar di tiang traffic light. Suara orang mengaji dari menara masjid, masih terdengar samar ditingkahi laju kendaraan yang meluncur satu-satu. Kebahagiaannya sempat membuncah ketika jerit lengking si bayi mungil di pelukannya. Sepeninggal Rizal, dia pindah dari kota J ke kota M. Bekerja di sebuah pabrik. Memutuskan cuti melahirkan. Menganggur menghabiskan simpanan setelah pabrik tempat dia bekerja tidak menerimanya lagi, dengan alasan yang tak jelas. Menghabiskan simpanan, setelah semua tempat menolak lamarannya. Mengatur semua kebutuhan dia dan anaknya.
Dia tidak pernah bercita-cita ingin seperti ini. Dia tidak pernah sekalipun berharap menjadi seorang pelacur. Puih! Karena lelaki itu. Bukan. Bukan karena lelaki itu. Demi anaknya, yang kini terbaring sakit. Anaknya yang menjerit tertahan melihat kepergiaannya. Dia harus pergi. Memutuskan untuk pergi.
Jujur, dia kikuk, ragu. Dia hanya memberanikan diri. Selama ini, dia masih tetap bisa bertahan walau mandor pabrik tempat dia bekerja dulu sempat memintanya menjadi istri simpanan. Memaksanya menikah siri. Memaksanya menjadi istri dengan janji menceraikan istri sahnya. Termasuk bertahan ketika sang mandor berusaha memperkosanya. Dia meyakinkan dirinya, Tuhan tak akan pernah meninggalkannya. Yakin Tuhan akan selalu menjaga dia dan anaknya.
Malam sepekat ini. Keyakinannya seakan buyar. Pertahanannya seakan ditembus peluru keraguan. Dia merasa Tuhan seakan membiarkannya. Sesamar suara orang mengaji dari menara masjid di ujung jalan sana. Segelap malam yang pekat. Sesunyi laju kendaraan yang meluncur satu-satu. Sepedih hatinya yang koyakmoyak. Sepanas suhu tubuh anaknya yang terbaring sakit. Dia lapar, haus. Tubuhnya gemetar.
Dalam beberapa kesempatan, dia belum juga memberanikan diri menawarkan diri. Mulai dari anak jalanan sampai lelaki hidung belang. Mulai dari penarik becak sampai pembawa gerobak. Dia juga belum berani mengiyakan beberapa tawaran dari laki-laki yang hobi jajan. Termasuk segerombolan lelaki yang berusaha memaksakan hasratnya.
Perempuan itu meronta. Perempuan itu memberontak. Gerombolan lelaki itu berusaha mendekap. Berusaha membekapnya. Dengan beringas gerombolan lelaki itu melucuti pakaian perempuan itu satu persatu, sampai akhirnya polos tanpa sehelai benangpun. Perempuan itu pasrah. Samar-samar dia masih mendengar suara mengaji dari menara masjid. Samar-samar terbayang wajah bayinya yang menjerit, ditingkahi suara tertawa penuh nafsu gerombolan laki-laki itu. Samar-samar wajah gerombolan lelaki itu tak lagi tampak olehnya. Yang ada hanya gelap pekat. Terdengar seperti suara letusan senjata api menggema di udara diselingi samar-samar suara orang mengaji dari puncak menara masjid di ujung jalan sana. Mung kin Tuhan belum sempat menjenguknya.
Perempuan itu tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Perempuan itu hanya tahu, dia sekarang berada di sebuah ruangan yang sangat menyenangkan. Serba putih. Aromanya begitu semerbak. Dia berada di atas sebuah tempat tidur yang begitu lembut dan bersih. Di sebelah kanan atas sebuah pesawat telepon. Tidak jauh dari arah kakinya di atas sebuah bufet, sebuah pesawat televisi. Perabotan lain yang berada dalam ruangan itu. Lengkap sangat lengkap.
Belum hilang keterkejutannya dengan suasana ruangan yang begitu nyaman. Dia terpesona dan takjub ketika melihat ke arah cermin. Seolah seorang putri tengah menatapnya. Ada perasaan malu bukan kepalang. Apalagi dibandingkan dengan kondisinya saat ini. Ketika dia melihat, ternyata perempuan dalam cermin itu adalah dirinya. Da lebih terkejut lagi. Ada rasa bahagia sekaligus sedih bersamaan. Bahagia karena akhirnya dia menjadi seorang putri. Sedih karena dia teringat anaknya. Perempuan itu merasa Tuhan telah menjeputnya. Tuhan telah menempatkannya di Surga.
Dia menari gembira di depan cermin. Dia berjanji suatu waktu nanti, dia akan mengunjungi anaknya. Belum sempat dia meluapkan kegembiraannya, sebuah ketukan keras di pintu mengejutkannya. Begitu dia bergerak hendak membuka pintu, seseorang telah masuk begitu saja. Sebelum dia mengeluarkan pertanyaan, dia mendengar sebuah perintah mengejutkan.
"Persiapkan dirimu. Layani Bos dengan baik!"
Perempuan itu tersentak, begitu dia menyadari situasinya, dia menangis sejadi-jadinya. Dia menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Telungkup. Terisak. Menghardik Tuhan. Memanggil nama anaknya. Memanggil nama ibunya. Memanggil nama ayahnya. Berteriak histeris. Aliran ketakutan seketika menjalar di nadinya. Terdiam tertahan, ketika sebuah bentakan seolah memecahkan telinganya.
"Diam!" nafas lelaki itu terdengar memburu,"Tak ada gunanya kau menangis. Kau milikku sepenuhnya. Tugasmu melayaniku. Tugasku merasakan kepuasan darimu..."
Perempuan itu terdiam. Dia merasakan aura penuh nafsu dari nafas lelaki itu. Di balik itu, dia begitu mengenal suara berat dan berwibawa dari laki-laki itu. Suara yang begitu dikenalnya selama bertahun-tahun. Mirip suara dari orang yang begitu melindungi dan menyayanginya. Mirip suara orang yang begitu menjunjung tinggi kehormatan. Segera dia membalikkan badan. Perempuan itu terkejut begitu mengetahui lelaki separuh baya yang ada di hadapannya. Bersamaan dengan itu, lelaki separuh baya yang nyaris bugil itu, lebih terkejut lagi.
"Sumbi?!" (*)
Komunitas Home Poetry, 2011
(Harian Analisa, Minggu 29 April 2012)
Malam pekat. Bulan masih sembunyi di bilik awan. Laju kendaraan meluncur satu-satu. Perempuan itu masih berdiri, bersandar pada tiang traffic light. Samar-samar, dia masih mendengarkan suara orang mengaji dari puncak menara masjid. Ada pedih yang tergores di dadanya. Masih terngiang jerit tertahan anaknya yang melihat kepergiannya. Meronta dari pelukan Sumiati, ibu kosnya. Sesak dadanya, tapi dia harus pergi. Dia harus bekerja. Sudah tiga hari anaknya tidak menikmati susu.
Tadi pagi suhu tubuh anaknya memanas. Sampai terakhir tadi sebelum kepergiannya, suhu tubuh anaknya tidak juga turun. Malah cenderung naik. Dia tetap memutuskan untuk pergi.
Jika sudah seperti itu, acap kali dia memaki dirinya sendiri. Tidak pernah sekalipun terpikirkan olehnya akan menjadi seperti ini. Tidak pernah sekalipun dia bercita-cita menjadi seorang pelacur. Puih! Apalagi ketika wajah seorang lelaki yang pernah dicintainya, melintas begitu saja.
Kalau tidak karena lelaki itu, mungkin dia sudah menjadi direktris pada salah satu perusahaan cabang milik ayahnya. Kalau saja lelaki itu tidak membuat ulah, mungkin ayahnya juga akan menyerahkan perusahaan yang lain kepadanya. Apa daya dia terlanjur salah langkah. Dia lebih memilih lelaki itu daripada ayahnya.
"Kau harus tahu, Anakku," ujar ayahnya,"Rizal tidak sepadan untukmu. Kau anak orang terhormat, sedangkan Rizal?"
"Aku sangat mencintainya, Ayah."
"Lelaki yang selalu mengganggu rumah tangga orang lain. Lelaki yang selalu mengumbar nafsunya pada orang lain. Lelaki yang menghancurkan perusahaan kita, keluarga kita. Lelaki seperti itu yang kau pilih?!"
"Aku sudah membuat keputusan, Ayah."
"Baik. Kalau memang itu sudah tekadmu. Ayah juga akan membuat keputusan!"
Ayahnya tepaksa membuat keputusan. Dengan suara berat dan berwibawa, ayahnya terpaksa memberikan pilihan yang sulit. Memenjarakan lelaki itu, yang menghancurkan perusahaan ayahnya atau tetap menjadi bagian dari keluarga besar Sudirman, ayahnya. Apa, lacur. Dia lebih memilih lelaki yang jelas-jelas telah menghancurkan keluarganya. Sejak saat itu ayahnyapun secara tegas tidak lagi mengakuinya sebagai seorang anak. Dia tetap memutuskan untuk pergi.
Pernah sekali waktu, dia mengunjungi ayahnya yang sedang keadaan sakit keras. Itupun karena ibunya berkali-kali meneleponnya, memintanya untuk pulang. Ayahnya selalu mengigau menyebut namanya. Begitu ia sampai, bukan kerinduan yang dia rasakan, justru makian bertubi-tubi yang dia dapatkan. Padahal, dia telah menghiba-hiba bermohon untuk dimaafkan. Demi melihat kondisi kesehatan ayahnya yang semakin parah melihat kehadirannya, dia memutuskan untuk pergi. Dia pergi ditingkahi suara tangis ibunya yang memintanya untuk tetap bertahan. Dia memutuskan untuk tetap pergi.
Memang ada penyesalan mendalam. Hanya saja, tekadnya sudah bulat. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Sepanjang perjalanan, dia renungi segalanya. Semua terasa gelap. Dia tidak menemukan jalan keluar. Persis seperti kelengangan jalan. Persis seperti kepekatan malam. Dia memutuskan untuk hidup bersama tanpa ikatan bersama Rizal, kekasihnya. Itupun karena janji Rizal akan menikahinya secara resmi, jika dia sudah mendapatkan pekerjaan.
Bersama Rizal, dia menyewa sebuah rumah sederhana. Dia bisa menerima. Selama menunggu Rizal mendapatkan pekerjaan, dia yang mengatasi uang sewa rumah. Termasuk segala kebutuhan hidup mereka berdua. Juga segala kebutuhan Rizal. Untunglah tabungannya lebih dari cukup. Ayahnya selalu memberikan apa yang dia inginkan. Sejak memutuskan hubungan keluarga ayahnya juga memutuskan segalanya. Termasuk urusan uang.
Hampir setahun mereka hidup bersama. Keresahan dan kebahagiaan semakin terasa tipis batasannya. Terutama ketika dia menyampaikan kabar gembira, dia sudah telat bulan. Sudah satu bulan mengandung calon anak mereka. Rizal terdiam. Rizal malah menyarankan, menggugurkan kandungan itu. Dia bertahan, sebab dia merasa bahagia. Rizal memberi solusi lain. Rizal meminjam uang lima puluh juta, untuk dibayarkan kepada sebuah perusahaan yang akan menerimanya bekerja, jika Rizal bisa menyetor uang sejumlah lima puluh juta.
Perempuan itu ragu, tetapi Rizal mampu meyakinkannya. Akhirnya, isi tabungan perempuan itu hanya menyisakan lima juta. Selebihnya berpindahtangan ke Rizal. Tak berpanjang kalam, Rizalpun segera meluncur ke perusahaan yang dia maksud. Dengan segala cinta dan doa, perempuan itu melepas Rizal. Entah karena waktu meluncur terlalu cepat atau karena hasrat yang tak terbendungkan, perempuan itu seperti tak sabar menunggu kabar berita dari Rizal.
Belum berbilang minggu, kabar tentang Rizalpun terdengar. Tubuhnya seperti hancur, sehancur-hancurnya. Lelaki yang melebihi segala hatinya, telah menikah dengan perempuan lain. Dengan seorang menejer perusahaan tempat rencana Rizal bekerja. Dia harus bertahan. Dia bertekad harus tetap bertahan hidup. Itu filosofi yang diajarkan oleh ayahnya. Bertahan hidup.
Malam pekat. Bulan masih sembunyi di bilik malam. Perempuan itu masih bersandar di tiang traffic light. Suara orang mengaji dari menara masjid, masih terdengar samar ditingkahi laju kendaraan yang meluncur satu-satu. Kebahagiaannya sempat membuncah ketika jerit lengking si bayi mungil di pelukannya. Sepeninggal Rizal, dia pindah dari kota J ke kota M. Bekerja di sebuah pabrik. Memutuskan cuti melahirkan. Menganggur menghabiskan simpanan setelah pabrik tempat dia bekerja tidak menerimanya lagi, dengan alasan yang tak jelas. Menghabiskan simpanan, setelah semua tempat menolak lamarannya. Mengatur semua kebutuhan dia dan anaknya.
Dia tidak pernah bercita-cita ingin seperti ini. Dia tidak pernah sekalipun berharap menjadi seorang pelacur. Puih! Karena lelaki itu. Bukan. Bukan karena lelaki itu. Demi anaknya, yang kini terbaring sakit. Anaknya yang menjerit tertahan melihat kepergiaannya. Dia harus pergi. Memutuskan untuk pergi.
Jujur, dia kikuk, ragu. Dia hanya memberanikan diri. Selama ini, dia masih tetap bisa bertahan walau mandor pabrik tempat dia bekerja dulu sempat memintanya menjadi istri simpanan. Memaksanya menikah siri. Memaksanya menjadi istri dengan janji menceraikan istri sahnya. Termasuk bertahan ketika sang mandor berusaha memperkosanya. Dia meyakinkan dirinya, Tuhan tak akan pernah meninggalkannya. Yakin Tuhan akan selalu menjaga dia dan anaknya.
Malam sepekat ini. Keyakinannya seakan buyar. Pertahanannya seakan ditembus peluru keraguan. Dia merasa Tuhan seakan membiarkannya. Sesamar suara orang mengaji dari menara masjid di ujung jalan sana. Segelap malam yang pekat. Sesunyi laju kendaraan yang meluncur satu-satu. Sepedih hatinya yang koyakmoyak. Sepanas suhu tubuh anaknya yang terbaring sakit. Dia lapar, haus. Tubuhnya gemetar.
Dalam beberapa kesempatan, dia belum juga memberanikan diri menawarkan diri. Mulai dari anak jalanan sampai lelaki hidung belang. Mulai dari penarik becak sampai pembawa gerobak. Dia juga belum berani mengiyakan beberapa tawaran dari laki-laki yang hobi jajan. Termasuk segerombolan lelaki yang berusaha memaksakan hasratnya.
Perempuan itu meronta. Perempuan itu memberontak. Gerombolan lelaki itu berusaha mendekap. Berusaha membekapnya. Dengan beringas gerombolan lelaki itu melucuti pakaian perempuan itu satu persatu, sampai akhirnya polos tanpa sehelai benangpun. Perempuan itu pasrah. Samar-samar dia masih mendengar suara mengaji dari menara masjid. Samar-samar terbayang wajah bayinya yang menjerit, ditingkahi suara tertawa penuh nafsu gerombolan laki-laki itu. Samar-samar wajah gerombolan lelaki itu tak lagi tampak olehnya. Yang ada hanya gelap pekat. Terdengar seperti suara letusan senjata api menggema di udara diselingi samar-samar suara orang mengaji dari puncak menara masjid di ujung jalan sana. Mung kin Tuhan belum sempat menjenguknya.
Perempuan itu tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Perempuan itu hanya tahu, dia sekarang berada di sebuah ruangan yang sangat menyenangkan. Serba putih. Aromanya begitu semerbak. Dia berada di atas sebuah tempat tidur yang begitu lembut dan bersih. Di sebelah kanan atas sebuah pesawat telepon. Tidak jauh dari arah kakinya di atas sebuah bufet, sebuah pesawat televisi. Perabotan lain yang berada dalam ruangan itu. Lengkap sangat lengkap.
Belum hilang keterkejutannya dengan suasana ruangan yang begitu nyaman. Dia terpesona dan takjub ketika melihat ke arah cermin. Seolah seorang putri tengah menatapnya. Ada perasaan malu bukan kepalang. Apalagi dibandingkan dengan kondisinya saat ini. Ketika dia melihat, ternyata perempuan dalam cermin itu adalah dirinya. Da lebih terkejut lagi. Ada rasa bahagia sekaligus sedih bersamaan. Bahagia karena akhirnya dia menjadi seorang putri. Sedih karena dia teringat anaknya. Perempuan itu merasa Tuhan telah menjeputnya. Tuhan telah menempatkannya di Surga.
Dia menari gembira di depan cermin. Dia berjanji suatu waktu nanti, dia akan mengunjungi anaknya. Belum sempat dia meluapkan kegembiraannya, sebuah ketukan keras di pintu mengejutkannya. Begitu dia bergerak hendak membuka pintu, seseorang telah masuk begitu saja. Sebelum dia mengeluarkan pertanyaan, dia mendengar sebuah perintah mengejutkan.
"Persiapkan dirimu. Layani Bos dengan baik!"
Perempuan itu tersentak, begitu dia menyadari situasinya, dia menangis sejadi-jadinya. Dia menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Telungkup. Terisak. Menghardik Tuhan. Memanggil nama anaknya. Memanggil nama ibunya. Memanggil nama ayahnya. Berteriak histeris. Aliran ketakutan seketika menjalar di nadinya. Terdiam tertahan, ketika sebuah bentakan seolah memecahkan telinganya.
"Diam!" nafas lelaki itu terdengar memburu,"Tak ada gunanya kau menangis. Kau milikku sepenuhnya. Tugasmu melayaniku. Tugasku merasakan kepuasan darimu..."
Perempuan itu terdiam. Dia merasakan aura penuh nafsu dari nafas lelaki itu. Di balik itu, dia begitu mengenal suara berat dan berwibawa dari laki-laki itu. Suara yang begitu dikenalnya selama bertahun-tahun. Mirip suara dari orang yang begitu melindungi dan menyayanginya. Mirip suara orang yang begitu menjunjung tinggi kehormatan. Segera dia membalikkan badan. Perempuan itu terkejut begitu mengetahui lelaki separuh baya yang ada di hadapannya. Bersamaan dengan itu, lelaki separuh baya yang nyaris bugil itu, lebih terkejut lagi.
"Sumbi?!" (*)
Komunitas Home Poetry, 2011
Jenis Karya Sastra Indonesia
Jenis karya sastra di Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu drama, prosa, dan puisi
Drama
Istilah drama berasal dari kata drame, sebuah kata dari Bahasa Perancis yang
diambil untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas
menengah di Perancis.
Dalam buku Webster’s New Collegiate Dictionary, dinyatakan bahwa drama
merupakan karangan berbentuk prosa atau puisi yang direncanakan bagi
pertunjukkan teater (Henry Guntur, 1984). Drama (Yunani) merupakan
jenis karya sastra yang ada bagian tertentu yang diperankan oleh aktor/aktris.
Definisi drama
1. Drama adalah kualitas komunikasi. Situasi, dan action
2. Drama menurut Moulton adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak
(life presented in action)
3. Drama menurut Brander Mathews adalah konflik dari sifat manusia
merupakan sumber pokok drama
4. Drama menurut Ferdinand Brunetierre adalah melahirkan kehendak
manusia lewat action.
5. Drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang
diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action di
hadapan penonton (audience).
Teori Asal Mula Drama menurut Brockett :
Drama berkembang dari upacara religius primitive yang dipentaskan untuk minta pertolongan dewa
Hymne pujian yang dinyanyikan bersama di depan makam seorang pahlawan. Pembicara memisahkan diri dari koor dan memperagakan perbuatan dalam kehidupan almarhum pahlawan itu.
Drama tumbuh dari kecintaan manusia untuk bercerita. Kisah tentang perburuan/peperangan atau perbuatan yang luar biasa seseorang pahlawan yang telah gugur.
Dalam pementasan sebuah drama, ada tiga unsur yang penting yang
mempengaruhi keberhasilan pementasan. Tiga unsur tersebut adalah sutradara,
pemain, dan penonton.
Pementasa drama dapat menggunakan berbagai media seperti panggung, film,
atau televisi. Kadang pementasannya dikombinasikan dengan musik dan tarian.
Naskah
Naskah lakon sebenarnya juga memiliki kekayaan tersembunyi untuk dianalisis
baik untuk kepentingan panggung (teater), maupun kepentingan sastra. Menurut
A. Teeuw (Pengamat sastra modern kita yang berasal dari Belanda /1984),
menggunakan analisis struktural guna membongkar dan memaparkan secara
cermat, teliti, detail aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh.
Penulis Drama di Indonesia
Para penulis drama Indonesia antara lain, Asrul Sani (satu diantara “Tiga Menguak
Takdir “). Selain Asrul Sani anggota Tiga Menguak takdir adalah Chairil Anwar
dan Rivai Apin. Asrul Sani hanya tampil sebagai sutradara panggung dan
penyusun naskah terjemahan dari Jean Paul Sartre atau Lorca. Asrul Sani
merupakan pelopor sastra angkatan 45. Penulis sastra lainnya adalah WS Rendra
dengan karyanya Kereta Kencana “ Eugene Ionesco atau Oedipus dari Sophokles),
Riantarno, Arifin C Noer, Iwan Simatupang, Utuy T Sontani, Motinggo Boesje, Sitor
Situmorang, Wisran Hadi (Malin Kundang).
Perbedaan Drama dan Teater
Drama adalah kisah kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas,
didasarkan pada naskah yang tertulis dengan atau tanpa musik, nyanyian atau
Tarian.
Teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak.
Misalnya teater, wayang orang, ketoprak,ludrug, topeng, lenong, sulap dll .
PROSA
Prosa adalah suatu jenis tulisan yang berbeda dengan puisi karena variasi ritme
(rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan
arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin " prosa" yang artinya "terus
terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu
fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah,
novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya. Prosa biasanya
dibagi menjadi empat jenis: prosa naratif, prosa deskriptif, prosa eksposisi, dan
prosa argumentatif.
Prosa dibagi menjadi dua, yaitu Roman dan Novel.
Roman adalah cerita yang mengisahkan tokoh sejak lahir sampai meninggal,
Sedangkan novel hanya mengisahkan sebagian kehidupan tokoh yang mengubah
nasibnya.
Istilah roman mulai berkembang sejalan dengan munculnya karya sastra
Indonesia modern sejak Balai Pustaka. Pada periode tersebut, terbit karya-karya
sastra yang monumental seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa
Nikmat, dan sebagainya. Karya-karya prosa itu disebut roman-roman periode
Balai Pustaka. Pada periode selanjutnya yaitu periode Pujangga Baru, muncul
pula karya sastra prosa yang disebut roman seperti Layat Terkembang, Belenggu,
dan sebagainya.
Pada saat itu, istilah novel belum popular. Bahkan, karya-karya Hamka pun
seperti Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya kapal Van der Wijk yang terbit
setelah periode 1945 masih digolongkan ke dalam roman meskipun saat itu
istilah novel mulai dikenal. Buku-buku yang menggunakan istilah roman di
antaranya Roman dalam Masa Pertumbuhan Kesusastraan Indonesia Modern
karangan Aning Retnaningsih, Ikhtisar Sejalan Sastra Indonesia karya Ajip Rosidi,
Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi karangan Liberatus Tengsoe
Tjahyono. Sedangkan novel mulai banyak dibicarakan sekitar tahun 50-an.
Ciri Novel yang membedakannya dengan karya sastra lainnya :
1. Novel adalah karya sastra berjenis narasi.
2. Novel adalah karya sastra berbentuk prosa.
3. Novel adalah karya sastra yang bersifat realis, artinya menceritakan kehidupan
tokoh secara nyata, tanpa disertai peristiwa-peristiwa yang gaib dan ajaib.
Umumnya novel merupakan tanggapan pengarang terhadap lingkungan sosial
budaya sekelilingnya.
4. Novel adalah karya sastra yang berfungsi sebagai tempat menuangkan
pemikiran pengarangnya sebagai reaksinya atas keadaan sekitarnya. Dalam
aliran imprisionisme, pengarang menempatkan dirinya dalam kehidupan yang
diceritakan. Perenungan-perenungan pembaca setelah membaca sebuah novel
akan tiba pada sebuah pemikiran baru tentang makna hidup
PUISI
Adalah tulisan atau salah satu hasil karya sastra yang berisi pesan yang
memiliki arti yang luas. Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam
sebuah puisi, seseorang perlu mengartikan dan memahami betul secara detil
maksud kata-kata yang ada dalam bait-bait puisi.
Subscribe to:
Posts (Atom)