BATU, LUKA DAN DERITA
maka sekalian saja menjadi batu kalau musti kunyatakan ini sendu sejak lalu gemuruh tangis di dada tidak kulabuhkan di kopak mata
perjalanan tidak dituntun garis tangan apalagi tunduk pada petunjuk ramalan sebab semua urusan Tuhan tentang itu jangan campur tangan!
ini luka adalah luka tidak musti kueja : derita!
Medan, 2003
TELEGRAM BUAT JAKARTA
kami sedang dahaga luar biasa maka tolong kirimkan secawan cinta segera!
Medan, 2004
TENTANG SENJA DAN PAGI
kau selalu bangga dengan penjelajahanmu, seperti aku yang juga mengagungkan petualanganku.
Hujan, Melon, dan Alkisah Cinta
aku membayangkan daun-daun
yang bersimbah hujan
semacam irisan melon
di dalam kulkas: malu-malu
tapi menebar kerling ke penjuru dada
menagih hangat rahang dan kerongkongan
serupa kau?
aku terkenang ketika kau pernah tiba
dengan pisau cinta yang ditumpulkan lelaki
di masa silam: riwayat cinta
yang senantiasa menetaskan telur-telur luka
tak lebih dari selingkar janji yang mengingkar jari
siapa kau?
aku tak menyimpan segenggam pelipur duka
karena tanganku pun berdarah
oleh duri mawar: kelopak bunga
cuma mampu menyelubungkan noda
tapi tak kuasa sewangi sorga
pergi kau! Medan, 2008
*
Sebuah Malam, Kasih Tak Sampai
ini tiang perahu patah didobrak angin
tombak badai melukai jantung layar
lenteraku kunang-kunang yang kelelahan
sepasang dayungku lengan-lengan
yang kedinginan
sedang laut adalah jalan
yang menanjak dan berliku
karang ialah perangkap berhati batu
dan ai, malam tak juga tergenggam tangan
pula ia laksana kerajaan pitam
itu bulan hanya cahaya angan-angan
itu bintang cuma kerling kunang-kunang
aku kini semakin paham
perahuku menuju ke alamat karam
ih, aku tak sampai pada pantai
yang semampai
ah, aku tak tiba pada dermaga yang jelita.
Medan, 2008
*
Sajak Cinta di Dermaga
angin laut memantul di tiang-tiang kapal
parau dan letih
napas garam adalah musafir
yang berputar-putar
langit menjelma gadis yang pendiam!
sedang nyala lampu-lampu dermaga
adakah semacam lelaki kumal yang kesepian?
sebatas mengabarkan matahari segera karam
ke dasar malam
demikianlah, sejak lampau aku ingin meniru ketabahan
jangkar kapal; patuh dalam tualang
setia dipanggil pulang
tapi hai, tubuhku masih juga dipahat dari alur api
menghanguskan kenangan di pencil kepala
memusnahkan asa di haribaan dada
adakah riwayat diri tinggal sekerat hari
atau sejengkal tali?
perempuan adalah pengacau hidup, kataku
lelaki cuma budak kelamin, balasmu
aku kutuk kalian sebagai tugu pertengkaran,
sindir camar
alah, perahu rinduku senantiasa terperangkap
di antara cinta dan dendam
terombang, gamang
seperti ombak yang acap ditolak
pundak dermaga
ke rahim samudera. Medan, 2008
*
Sajak Pertengkaran
engkau bertampang jelita
tapi bermata curiga
maka sebut saja itu angin malam
lebih lihai menjelajahi hatimu tinimbang diriku
bangku taman pemangku yang gemulai
aku perayu yang kaku
engkau bersenyum permata
tapi berlidah cuka
lantas katakan saja, aku pengkhianat kecil
pada tualang kasih, pada arung cinta
aku pecundang di tubuh rindu
di kujur janji. Medan, 07-08
Rindu|1
kekasih, dengan apa aku-kau mengukur jarak
selain dengan rindu?
aku terkenang saat langit jingga pernah menanggalkan
gerimis merah jambu
kita kehilangan setangkai payung
tubuh sewarna pudar
tapi degup cinta di celah dada
senyala saga
benar, tak pernah aku-kau mampu menebak
kapan secengkram jarak menyeret kita
dari bangku taman
uh, usia pertemuan tak lebih dari sepagut ciuman
yang tergesa
dan tak bergaram
kau tahu, betapa menakutkan tersuruk
di beranda rindu
tiada kibas lampu
tiada telunjuk waktu
siut daun akasia menjelma kelebat
sembilu
mengelupas kenangan dan cinta aku-kau
yang belum rampung
o, mengapa bulan sabit di langit malam
seperti lengkung senyum yang kecut
dingin dan menjengkelkan
ah, aku terperangkap di rimbun sepi
senantiasa
semacam candu
tak berpenawar
tak tertakar
kekasih, dengan apa aku-kau mengukur rindu
selain dengan jarak?
Medan, 2007
*
Rindu|2
pada tembok kenangan kita tak mampu
menggurat sekerat alamat-lihat, surat-surat cinta
terlantar, menjelma hujan
menjelma lumut
ah, aku sering merinding, menggelepar
dengar, lolong rinduku memanjang
dari dada yang berlubang
seperti sayup sayatan
semacam seretan luka
kekasih, kau tahu, kabut rindu kian menebal
jalan menuju bukit janji-masa bersua
menerjal, melulu batu
melulu ngarai
maka ketika derit engsel mengabarkan kecemasan
ke punggung pintu
aku paham mengapa ladang cinta
dipenuhi ilalang
juga bangkai belalang
begitulah kekasih, aku kini tugu rindu yang terbengkalai
pula kau adalah penziarah
yang dikhianati arah
yang ditinggalkan langkah!
Medan, 2007-2008
*
Rindu|3
demikianlah kekasih,
pada pusaran rindu yang kian memabukkan
aku senantiasa
menggigil
memanggil-manggil namamu
mengail-ngail
cintamu
melekacak-lacak wangi tubuhmu
cuma kenangan durhaka
yang tidak melahirkan kerinduan!
maka, hei, aku terkenang sepojok taman usang
di belakang kota
kursi-kursi gelisah, bunga-bunga basah
aku-kau lelah
menerjemahkan kerumitan cinta
dan betapa getir secangkir air mata
tapi dari mana muasal suara pecahan kaca
kalau tidak dari lorong dada?
dan ketika hujan kembali berderai
melerai pertengkaran
tanah-batu berpagut, rerumput bersidekap
aku-kau bergegas
menyingkirkan serpih kenangan
yang pernah mengoyak telapak kaki
tapi mengapa selekas itu matahari
menyalip hujan?
maka kekasih, pada kelokan
rindu yang makin licin
aku sering terjerembab
menafsir-nafsir
degup dadamu
menaksir-naksir
keranjang cintamu
menggapai-ngapai
lambai tanganmu.
Medan, 2007-2008
Rindu|4
demi air mata yang tergelincir malam ini, tolong
pulangkan saputangan ke sepintal benang
sebab isak ibarat puisi yang sedang menggali makna
lantas tinggal menunggu, seberapa tangguh aku-kau
menanggungkan tombak rindu yang menancap
di dada kelabu
kabut telah menjelma tungku
bulan seperti gorden yang camping
tidak semestinya aku-kau terperangkap dalam kebekuan
semacam ini. mulut jangan tertambat
bayangkan kau adalah sekerat kata yang terluka
betapa pedih terkunci di lembab laci
kau tahu, sepasang telingaku adalah dua goa
yang setia merangkul rahasia
percakapan musti mengangkut segala kalimat
meski tanpa titik koma
dan kekasih, bersegeralah aku-kau meracik
sebuah malam menjadi sungai rindu?
penuh kelok dan kicau air
kelak aku-kau mencebur diri, mandi kenangan
sambil menyaksikan lelehan hujan kabut
dan batu-batu yang berciuman.
Medan, 2008
BURUH 3
"sesungguhnya kamilah deru mesin itu yang menderu dari sabtu ke sabtu menyepuh ngilu!"
otot tulang yang soak adalah otot tulang kami nadi daging yang koyak adalah nadi daging kami puih resah yang serak adalah puih resah kami tapi sungut takut yang degup bukanlah sungut takut kami
ei, selalu kami dulang suara-suara yang segantang menjadi aum yang lantang namun selalu pula kami bernama: harimau tandus gigi puntung kaki!
lalu kami sebenar tahu sejauh mana pun kami kobarkan amarah perlawanan pasti pulang juga ke pantai almanak hampar pasir angka-angka seperti ribuan tadah tangan yang merogoh ceruk rompal saku sampai tandas, sampai kandas!
iya, setinggi apapun kami kibarkan slogan-slogan pasti terjungkal juga ke sangar kedai ada saja macam racau yang menagih segala tumpuk utang: tiga bulan sewa kontrakan entah berapa mok beras berbatu dan berantang lauk masam tak terbayar oi, rokok basi dan jamu pegalinu, berapa bungkus yang belum lunas?
tapi tidak, terus lantak tonggak zalim musti dirubuhkan ombak sewenang musti ditaklukkan sampai padam tungku badan sampai tumbang batang tubuh menuju ke hilang: segala penat perih berpulang
"sesungguhnya kamilah derak mesin itu yang berseru dari waktu ke waktu tapi acap dipaksa bisu!"
Medan, 2006
Ghaza
▪ Sitok Srengenge
Begitu gema rudal itu sampai padaku, segera kukirim email, menanyakan kabarmu. Seminggu kemudian, ketika kian banyak korban berjatuhan, kukirim lagi surat yang lebih cemas. Keduanya, hingga kini, tak kaubalas.
Aku berharap kau sedang tidak berada di kota itu, Ghaza. Seperti tahun lalu, ketika berkali-kali aku mengontakmu, hanya sekretarismu yang selalu menjawab santun, mengabarkan bahwa kau sedang melakukan perjalanan di sebuah gurun. Tapi, ketika lebih dari tujuh ratus jiwa telah melayang sebagai korban kekejian, alangkah muskil berandai-andai bahwa kau sedang jauh dari kota kecintaan. Setiap kali kusaksikan seseorang tewas atau terluka dalam kecamuk perang tak seimbang itu, aku kembali teringat kamu. Entah mengapa. Barangkali lantaran perasaan, sedih atau senang, senantiasa membutuhkan nama.
Dan aku terkenang bagaimana pertama kali kauperkenalkan namamu. Ketika itu musim sedang gugur di Midwest, Amerika. Tiga puluh penulis dari dua puluh empat negara berkumpul di sebuah ruang bernama Common Ground, bagian dari hotel apik di pusat negara bagian Iowa. Pada dinding ruang itu terpampang peta dunia berukuran besar, agar para peserta dapat mengenalkan diri sambil menunjukkan di mana letak negeri mereka. Seorang demi seorang maju dan selalu berakhir dengan gemuruh tepuk tangan. Sampai pembawa acara memanggilmu. Oh, bukan. Ia memanggil seorang peserta dari West Bank, nama wilayah sebagaimana tercantum di kertasnya dan di peta dunia versi Amerika.
Kau beranjak ke bagian depan ruang dan berkata, “Kalian bisa memanggilku Ghaza, cara lebih mudah dibanding melafalkan nama lengkapku: Ghassan Zaqtan.” Setelah menyebut dirimu penyair, kau pun meralat penamaan yang keliru untuk tanah airmu. “Aku tidak berasal dari West Bank. Tanah airku bernama Palestina!”
Digerakkan oleh ikatan emosional, simpul gaib yang juga menautkan batin begitu banyak orang muslim di negeriku dengan warga negaramu, aku pun maju mendahuluimu mendekati peta di dinding itu. Dengan spidol merah, aku coret kata West Bank dan menggantinya dengan Palestine. Orang-orang serentak bertempik sambil tertawa. Kau memeluk dan memanggilku saudara.
Bahkan sesuatu yang tak kita bayangkan terjadi. Etgar Keret, peramu cerita dan pembuat film dari Israel, mengacungkan tangan dan mendukungmu. “Ghaza benar!” serunya. “Kita harus mengakui keberadaan negara Palestina.” Sejumlah orang Amerika yang hadir di ruangan itu seolah tak berdaya. Tak seorang pun menyanggah ketika Etgar maju berkeluh-kesah. “Politik,” katanya, “telah mengubah kedamaian di benak warga Palestina dan Israel menjadi konflik yang kian pelik.” Lalu, ia pun bercerita.
Di masa kanak dulu, sempat ia nikmati suasana damai itu. Di kotanya, Hebron, orang Arab dan orang Yahudi berhubungan layaknya handaitaulan. Di kelas ia pun belajar Quran dan bahasa Arab. Tapi, “Sekarang tidak lagi. Di banyak sekolah diajarkan bahwa orang Palestina adalah musuh, dan kami hanya boleh menggunakan bahasa Ibrani.”
Saat itu aku seakan melihat percik harapan. Kelak, ketika orang berpikir kritis tentang ajaran Hasan Al-Banna, tak lagi memuji patriotisme Amin Al-Husseini, mungkin mereka tak akan mudah terhasut oleh radikalisme Hamas, tak hanyut dalam haluan politik Benjamin Netanyahu atau Ariel Sharon yang ganas. Diperlukan seratus atau lebih banyak lagi Etgar Keret di Israel, juga seratus atau lebih banyak lagi Ghassan Zaqtan di Palestina, untuk memulihkan kerukunan cucu-cicit Ibrahim.
Tapi barangkali benar keyakinanmu, Ghaza, seteru bebuyutan itu tak mudah disudahi dengan sekian perjanjian dan genjatan senjata. “Gairah perang terus mengarus di urat nadi kami. Secara genetik gairah itu akan menurun ke sel-sel syaraf anak-cucu kami.” Dan kau pun berkisah tentang perlawanan Intifadah. Anak-anak belia Palestina yang, dengan bebutir batu dalam genggaman, gagah menghadang tank-tank Israel yang digerakkan oleh amarah dan kekejian.
“Kami adalah bangsa yang tak kunjung usai mengalami proses mimikri,” tuturmu lagi. Dulu, lanjutmu, Daud—moyang bangsa Israel—melawan raksasa Goliath seolah tanpa takut. Kini Israel telah menjelma Goliath yang lebih kuat dan orang Palestina mengandaikan diri sebagai Daud. Perang, katamu, tak melulu perkara kalah-menang, melainkan terkait erat dengan keyakinan dan harga diri—apa pun tafsir kita tentang keyakinan dan harga diri itu.
“Seperti rabuk, setiap pejuang yang gugur akan merangsang tunas-tunas baru tumbuh subur.” Tapi, sebagaimana kautulis dalam sajakmu, perang juga kenangan kelam yang muskil kaulupa.
Aku ingin mengenangmu
seperti lagu yang kuhafal di sekolah dasar dulu
lagu yang kuhafal secara lengkap tanpa kesalahan
cadel, kepala condong, sumbang
kaki-kaki kecil penuh semangat menapaki jalanan bersemen
tangan-tangan terbuka yang menepuki bangku-bangku
Mereka semua tewas dalam perang,
sahabat-sahabat dan teman-teman sekelasku
kaki-kaki kecil mereka/ tangan-tangan lincah mereka.
Mereka masih menapaki lantai setiap ruangan
menepuki meja-meja
dan masih menapaki trotoar-trotoar jalan,
menepuki punggung orang-orang lewat, pundak-pundak mereka
Ke mana pun aku pergi
aku masih mendengar mereka
aku masih melihat mereka
Di lain kesempatan, kutemukan kau tercenung di kamar hotelmu. Sebetik berita buruk baru saja kauterima. Rumah dan kantormu di Ghaza dihancurkan serdadu Israel dengan serbuan udara. “Aku sedang membangun rumah di Ramallah.”
Di atas mejaku di Ramallah
surat-surat yang belum selesai
dan foto teman-teman lamaku,
tulisan tangan seorang penyair muda dari Ghaza,
jam pasir
Larik pembuka yang mengepak di kepalaku seperti sayap
“Saya sampaikan hormat dan terima kasih atas simpati dan solidaritas kaum muslim di negerimu,” katamu. “Tapi, katakan kepada mereka, perang kami bukan perang agama. Di Palestina, orang Islam berjuang bersama orang Kristen, bahkan mereka yang ateis; melawan Israel.”
Andai kausampaikan kalimat itu sekarang. Andai kau mengabarkan keadaanmu, juga aktivitasmu, dalam bengis perang itu. Ah. Aku hanya bisa berharap kau selamat. Kubayangkan saat ini kau sedang gelisah di sebuah bukit di Ramallah, di rumah barumu yang katamu punya panggung kecil, di mana suatu waktu, ketika dunia damai, kau ingin mengundangku membaca sajak sambil memandang ke arah lembah.
Rumah Seorang Perempuan
JIMMY MARULI ALFIAN
perempuan yang baru memotong rambutnya
ingin berumah dalam sajak-sajakku
katanya ia sudah tak betah
oleh rambut panjang
dan ruang tunggu pelabuhan yang membuatnya gerah
maka kubiarkan saja ia membawa televisi,
kipas angin
dan matahari sendiri
tak lupa
ia menyempatkan membeli bibit palma
dan sebuah bel
yang akan memanggilnya ke halaman setiap senja
tapi ia terkejut
betapa gelapnya ruangan dalam kalimat-kalimatku:
tak ada tiang listrik
ataupun pijar lampu taman plastik
namun lihatlah,
sebuah kata menyala dalam kamar
merupa cahaya yang menarik tubuhnya menjauhi hingar bingar
2003
Perempuan Terluka
KRISHNA PABICHARA
perempuan itu baru saja belajar mencinta.
aku letih menjadi sarang luka, katanya.
petaka tak memberinya jeda.
ceruk di matanya menjelma telaga,
tempat nestapa riuh berdansa. oi, ingin
sekali aku menghiburnya dengan lagu
paling jenaka. sayang, dia sudah lupa
bagaimana caranya tertawa.
sudah, bersandarlah di bahuku!
Bogor, Januari 2009
Batu Penanda
aku ingin berlari ke puncak sajak. melipat jalan setapak di matamu yang berkabung. merentang telaga lengang: biar ikan-ikan dan nestapa berenang dengan bebas. menanti perempuan penyair berambut kabut, yang selalu berselisih dengan waktu, berusaha menemu bahasa suasana paling bisu. kita pernah jadi nelayan di laut itu. berenang meninggalkan semenanjung kata: tempat kita merancang istana riang.
ayo, perempuanku, kita ziarah ke makam pantun. mata kita basah mencium hujan berkali-kali. lihatlah, perempuanku, lihat: kayu nisan, huruf-huruf dan nyeri itu makin biru. sudah lama kita ingin berguru bagaimana bisa menahan gelinjang rindu, sambil memanggil masa-masa haru dan tersedu dengan pilu. sungguh, perempuanku, sungguh. tak perlu keluh-kesah. kita harus mencari penanda cinta: dalam kata, dalam makna.
Bogor, Januari 2009
Kepada Lelaki yang Mengucapkan Da
bagi Hasan Al Banna
SAJAK ILHAM WAHYUDI
Penjahit
ternyata, o, ternyata. Tak mampu kujahit ia. Baik yang baik.
Baik yang buruk sekalipun. "Mungkin harus lebih sungguh-sungguh,"
kata mereka. Adakah yang lebih sederhana dari sungguh-sungguh?
Agar mulai kujahit yang kupikir pernah kujahit.
O, betapa sakit menjadi penjahit ini!
Medan. 2010
Yang Selalu Sakit
Sakit memang sakit, memang! Sebab itu ia gulai pedih dalam
kuali waktu. Saban terus saban kali ia putar otak di kaki; kaki di otak.
Begitu pun ternyata si peramu pedih pula yang merengek-rengek
menyedihkan, minta minyak wangi, katanya. "Minyak wangi dari lubang
buaya katanya harum," kata salah satunya. "Tidak itu Cuma mitos!"
Kata satunya lagi penuh siasat.
O, tidakkah yang pedih juga yang ‘kan menanggungnya? Lalu
kemanakah perginya si peramu pedih…
Medan. 2010
Prajurit Hujan
Prajurit hujan
Datang dalam bimbang
Dalam kemurungan
Pagi
O, aku sakit
Adakah yang mahir menerjemahkan sakit
Semahir ia menerjemahkan kebahagian?
O, aku kehilangan
Adakah yang lebih menyedihkan
Melebihi kehilangan?
Prajurit hujan
Datang tibatiba
Tibatiba hilang
Seketika
Medan. 2010
Hati
ambillah pisau; belah!
iris setipis gerimis
cuci sebersih sprei pengantin
hidangkan pagipagi.
Medan, 2010
Beri Aku Sajakmu
beri aku sajakmu
rerimbun daun
butir hujan
kesegaran hidup
yang di dalamnya ribuan
planet saling memandang
jutaan bintang
saling berbincang
Medan. 2009
secarik fotomu ingin kubasuh
air kenangan yang mengenang
sajakku terbang menyunting bulan
sepanjang musim yang terus berulang
ini rindu ‘dah macam hantu
melintang panjang di jalan pulang
lutut bergetar tercemar kabar
tentang pujaan seberang angan
wahai kau pejalan sunyi
sudikah mengulang pora
selamat datang?
Medan, 2009
Suatu Malam
Di puncak kecemasan kutemui wajahmu yang basah. Yang mengajakku berlari menyusuri ceruk sepi. Angin sepoi yang menyamar kemudian menyusup di dinding-dinding batinku yang berkarat setelah terbenam sekian ribu tahun adalah bau tubuhmu, perempuanku. Bau yang terus memaksaku menerjemahkanmu ke dalam sebentuk sajak yang ganjil deretannya. Tapi sajak, sayangku, sungguh telah lama meninabobokkanku kepada persoalan-persoalan yang terus-menerus semakin tak menentu. Dan kembali hanya kecemasanlah yang setia menyelimuti tidurku malam ini. Seperti liur yang berkarat di kasur. Seperti senyummu yang memanu di bibirku.
Medan, 2009
Bola
Mungkin aku adalah bola kulit yang licin. Aku menggelinding menuju
cerukmu. Meraba kemungkinan-kemungkinan seraya bermunajat,
“Semoga hujan hanya numpang lewat.” Tapi jendelamu terlalu lebar terbuka
dan angin terlalu polos menyampaikan rahasia malam. Sebenarnya
aku ingin lebih lama lagi di sana. Tapi tidak untuk tertidur atau menelurkan
cemas ini sekejap. Tidak untuk mabuk atau mandi bunga mawar. Aku hanya
ingin berkunjung. Ya, berkunjung saja. Esok bila aku menggelinding kembali
maukah kau menari untukku dan menepikan biji pasir ini?
Medan, 2009
Sepanjang Jalan
“bersumpahlah untuk tetap menungguku kembali!” katamu
sedikit serak saat bus antarkota itu memisahkan bau mulutmu
dengan hidungku.
dan sejak itu, ya sejak itu! tak ada lagi yang menggodaku
bergelut dirapatnya gigi putihmu atau sekadar menumpahkan
kopi di kaos kutangku yang menguning.
mungkin kita terlalu buru-buru bertemu sehingga semua
menjadi terlalu lama mengendap. atau mungkin kau memang
sengaja meminangku dengan rindu tetapi kau lupa kapan
mempersetubuh hatiku.
dadaku terasa makin dingin. suara-suara ganjil memenuhi
lambungku; asam sekaligus pahit. kaukah yang mencangkulnya?
kemudian mencungkilnya pula?
seperti pemabuk, tak ada lagi yang bisa aku tuangkan
dalam kecemasan ini. “o, anggurku yang diteguk bulan,”
teriak rohku sepanjang jalan yang malam, sumpah!
Medan, 2009
Suatu Sore yang Setelahnya Gerimis Berhamburan
Aku teringat kau, perempuanku:
suatu sore yang setelahnya gerimis berhamburan
serupa serbuk sari yang di terbangkan angin: hidungku
pucat kau todongkan segelas kopi; baunya memenuhi selasar,
seketika huruf-huruf dalam kolom olahraga menjelma
baris-baris sajak yang aneh.
“Bagaimana jika aku tak kembali?” Bisikmu mengejutkanku;
buru-buru kubersihkan tumpahan kopi di koran; pelan-pelan
kuhapus juga sesuatu; kubuang jauh jauh.
“Apakah kau tetap akan menungguku?” tanyamu curiga;
aku meraba-raba nomor telepon biro perjalanan; diam-diam aku
hafal angka-angka ganjil yang berenang di mataku.
Ahk, aku megap menghabiskan kopi ini sendirian, perempuanku;
mabuk menelan huruf-huruf yang berbisik-bisik menggoda;
merayuku untuk menuliskan sesuatu untukmu yang jauh.
Aku teringat kau, perempuanku.
Berulang kali kutelepon nomor biro perjalanan itu;
Maaf, nomor yang anda tuju belum terpasang!
entahlah, apakah aku yang salah menghafal
atau aku yang keliru memencetnya?
Aku teringat kau, perempuanku:
suatu sore yang setelahnya gerimis berhamburan.
Sungguh!
Medan, 2009
——–
Ilham Wahyudi, lahir di Medan, Sumatera Utara, 22 November 1983. Alumnus FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Saat ini bergiat di Komunitas Hape (Home Poetry) dan Komunitas Kun. Aktif menulis puisi, cerpen, esai di beberapa media. Puisinya termaktup dalam antologi Penyair Muda Malaysia-Indonesia(2009).
Sajak M. Raudah Jambak
SUNGAI PENGEMIS
1.
Seorang pengemis duduk di pusat kota
menggenggam terompet yang dibuang
oleh pemiliknya. Jalanan mulai sunyi.
Seorang pengemis duduk di simpang kota
meniup terompet yang basah terimbas
air hujan. Suaranya tersekat.
Seorang pengemis duduk di tiang
lampu jalan raya yang mati arusnya,
pengendara satu-satu. Bibirnya membiru.
2.
Pada malam tahun baru ini, para pengemis
mengais rezeki dari sisa terompet yang ditinggalkan
para pejalan kaki. Hujan baru saja reda, meninggalkan
segala sisa.
sepanjang malam pengemis itu menahan
gigil tulang, memungut segala bekas di jalanan.
Pesta baru saja usai, menjejakkan segala mimpi
yang terburai.
Lalu perlahan ia pergi meninggalkan sisa nasib
yang tak sempat dikutip. Di simpang jalan,
lampu merah tak jua padam di antara langkah
yang tertahan
3.
dan perlahan suara malam senyap
meninabobokkan bulan di peraduan.
Suara terompet dan jerit petasan sedari
tadi telah dibungkam.
Menjelang pagi seorang pengemis
membangun kepingan mimpi. Bersama
tumpukan sisa hujan yang perlahan
meninggalkannya di sepanjang selokan
4.
Di antara pagi
Pengemis kecil duduk sendiri
Mendekap sisa hujan
Di dadanya
Sementara waktu terus berpacu
Kendaraan terus melaju
Satu per satu
Pengemis kecil duduk sendiri
menumpukkan sisa nasib
mengumpulkan kepingan mimpi
dalam nyenyak tidurnya
5.
Pulanglah, Dik
Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu
Membawa kepada segala kenistaan
Dan persekongkolan
Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah
Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu
Di kepalamu yang murni
Pulanglah, Dik
Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam
Wajah burammu menjadi senyuman
6.
Pengemis kecil bertubuh dekil
menyanyikan senandung sunyi
lagu dari segala kepedihan
Berhenti di traffic-light
Simpang jalan raya
Kencringan di tangan kanan
Merangkai harapan
Pengemis kecil bertubuh dekil
Menghalau masa lampau
Tentang bulan dan matahari
Terjebak arus pikiran belia
Yang terbang bersama debu
Sepanjang jalan raya
7.
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu rindu
Sisa mati lampu dan deru segala hujan
Entah tanggal yang ke berapa
Zikir mengalir
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu ragu
Pada pilu hati yang kuyu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
8.
Di jalan ini
Pasir menyisir pagi
Menyemai gigil kerikil
Ah, betapa angin mengganggu pintu-pintu
Tak berdaun dalam bangunan pikiran
Pada sudut rumah daun-daun berguguran
Bunga-bunga telahpun melayu
Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan
Di setiap titik peron-peron lengang
Dan daun-daun yang melayang berpeluh
Pada jejak-jejak perjalanan
9.
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengumpulkan sampah
Yang ditinggalkan peradaban kata-kata
Entah muntahan yang ke berapa
Serapah yang ia rasakan
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengutip sampah kata
Pada pilu hati yang kuyu, lugu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
MENYUSURI KOTA KOTA SUNGAI
1.
Menyusuri sungai, ketekketek bersin
Menggeram pada isak gemuruh mesin
riakriaknya menari pada perih segala sedih
rindu muara penawar tubuh segala ringkih
di gemuruh hati yang gaduh ada luka membawa cerita
di sepanjang alirannya ada sesuatu yang belum terbaca
tentang sebuah pemandian putriputri raja yang menari
melintasi perkampungan dan pabrikpabrik yang berdiri
bagai raksasa pada tepiannya, serta sejarah terkubur
yang tersusun sempurna menutupi kubangan lumpur
di bawah kayukayu penyangga dari kidung buaian
ah, apakah dayangdayang tengah menarikan tarian
selamat datang atau sekelebat ibuibu yang tengah mencuci
di depan jamban kayu sepanjang tepian perigi segala sepi
Eit, sepasang camar saling bertatap mesra, di atas sampan
yang melintas pelan. Wajah mereka terlihat kelelahan.
Angin berhembus sangat lamban mengantar ke sebuah kota
yang bernama kenangan setua usia benda-benda purbakala
Sambil meneguk setetes air membawa ingatan tertahan
dari sebuah perjalanan pergi dan kembali sebuah kenangan
sepanjang hari awan merangkak pelan
mengabarkan permulaan salam perjumpaan
2.
Menyusuri sungai, terbayang segala kenang
tongkang menerjang. Berlari kencang garang
Permukaannya membelah memberi jalan Musa
dari kejaran raja Fir'aun yang memendam luka
Pada peta hayalku yang aduh terdaftar ragam cinderamata
Serta hadiah perpisahan upah sebuah pelukan sepanjang kota
Warnanya menggambar sebuah kecemasan juga
rahasia yang belum sempat terpecahkan semesta
laksana kendaraan Musa, lajunya menikam-tikam
terjebak monopoli minyak Fir'aun sepenuh dendam
yang usianya melampaui batas keserakahan
tentang sebuah keimanan dan keyakinan
anak angkat kepada Tuhan yang terpendam nyaman
kerakusan ayah angkat yang ingin melampaui kekuasaan
saat gelombang terbawa pulang. Riaknya yang tenang
begitu meninabobokkan. Di depan terpampang kenang
sebuah kanvas perjalanan yang kita susuri
yang bergoyang kita seolah diajak menari
3.
Menyusuri sungai, pengeruk klutuk pasir menyisir
Laiknya seorang gadis yang menunggu penyair
permukaanya menggelombang sesekali
di tepiannya bocahbocah telanjang menari
Menyusuri sungai, kota-kota seolah menyendiri
Menyusuri sungai, kota-kota seperti sepi
SUARA MENYERUAK DARI DASAR SUNGAI
1.
pada aliran sungai bangkai melintasi bebatu
tak kuharap kau senandungkan debu-debu
pun mungkin ceracau bajaj yang berlari
hiruplah aroma kesumat birahi ini
di hirukpikuk pengendara
atau pengguna jalan raya
2.
disesaki asongan dan gelandang
kau bukanlah pemakaman tanpa kenang
hanya saja kau selalu hembuskan aroma bangkai pada air menggenang
aku haru pada pekat airmu, haru pada senandung lapar zikir terbuang
menarikan sampan sampah bersama goyang riak pelepah
yang menghanyutkan suara-suara dari mulut penuh serapah
3.
dan rauplah cuka
lalulalang aroma
segala pembusukkan
segala pembusukkan
2008
UJUNG PENA SUNGAI TINTA
1.
Sepenuh musim kugali kata dari ujung pena sungai tinta.
Sepanjang musim itu pula kusemai lembar kota,
menusuk--merasuk di rampak tik tak tik tak jarum jam
yang berdetak. Seutuh musim ke musim mewarta dendam
peta sengketa, menceracau bak pemabuk berdiplomasi.
Menguras sumur alkisah dengan segala menu basi,
berakhir suka atau duka. Seluas musim- musim melayarkan
perahu galau, pulau demi pulau, bersama kemudi kecemasan.
Menembus segala musim membebas ruang kuli tinta,
menggali sumur kata-kata pengab rahasia.
dan, di titik penentuan, beragam ujung pena-
musafir, mereguk cinta dari sumur kata-kata.
2.
Setelahnya prosesi sunyi. Kemudian kehadiranmu persis
sekadar kemunculan yang tak beraturan di setiap desis
Menunggumu pun tercipta ritual ujung pena.
sebuah pesta dari segala napas peristiwa
cahaya matahari menghadirkan madu makna
menetes dari mata air jiwa dan para kuli tinta
terus menguras sumur kata pada lembah segala wacana,
menyisir-ranjaunya di setiap titik perhentian langkah pena
Yang tertinggal mungkin tapak-tapak kaki juru bicara,
bertopengkan segala wawancara para dasamuka
Pun lenyapkan segala jejak tapak-tapak para musafir gagak
yang berwajah kuda berbulu serigala. Lesapkan segala gerak
3.
langkah yang mengonak Pada tubuh, peluh mulai terasa
membasuh lesatkan aroma sesak segala muak ke udara.
Lalu orkestra zaman menggumuli musim berkali,
meninabobokkan sepenuh istirah. Lalu sunyi,
lalu sepi, menutup diri. Bibirpun meloncatkan segala
rahasia sumur kata, ladang menggemuruh-hutan belantara
Para pemburu sempat kehilangan panah dan busurnya,
memburu di setiap perhentian kata menggumulinya
untuk kemudian dilahirkan pada cerita
gerbang penghabisan para jagal maupun casanova.
Pada ujung pena kuli tinta menggali sumur kata-kata.
Ada mata air yang terus melimpahkan peristiwa.
4.
Pada limpahan peristiwa, orasi kata menghambur makna.
Sumur kata-kata adalah petanya. Menetapkan warta
Kita pun dapat memahat atau mengukir wajah kita,
mengukur seberapa bersihnya. Di pisau bedah, kata
Juru bicara pun mengukir abadi rasa, membulat harap
pada keyakinan menyimpannya-menumpuk dekap
di etalase kaca bersama sekumpulan perompak yang lupa
membajak, ketika kita membaca rahasia cuaca.
Cermin-cermin retak merupakan sekumpulan arak-arakan
yang melontar, menghunus, menghujat dan meninabobokkan
Yakinku mewarna rindu, bersimpul pena, para kuli tinta
Dengan ujung pena, para kuli tinta menggali sumur kata-kata,
Mewarta segala peristiwa.
Mewarta segala cuaca
2008
DOA SUNGAI KESEPIAN
1.
Di dalam ruang dadaku ada irama degup
yang menarikan jantung dengan irama tertahan.
Mendesah seperti tangkai ranting patah.
Irama itu kadang naik-kadang turun
menembus lorong-lorong di ujung telinga
mengiringi larik terakhir sebelum senandung
yang lesap terbawa angin.
Irama itu berhamburan pada sesak irama
pada degup dada yang menembus lorong
di ujung telinga yang berseberangan. Ada
isak yang mendesak butir embun jatuh
pada lembar waktu dan cucaca.
Lalu suhu udara yang berbeda membawa
irama itu seolah nyanyian nina-bobo yang
akan mengantarkanmu pada alam, alam
yang sulit kau baca.
Dan akhirnya seperti yang telah kau duga
sebelumnya irama itu adalah lagu
dengan irama tembang kenangan
sebagai sebuah salam perpisahan.
2.
Aku tersedak dadaku menafsirkan detak
seluruh irama dari degup yang berbeda
menyatukan irama debar pada tembang
yang hampir tak terbaca
Aku tersedak merindukan lagu sukacita
memenuhi segala rasa bahagia yang pernah
dipenuhi irama dari degup yang tertahan. Dan
aku ingin membisikkan sesuatu, tapi irama
kelumu menghardik harapku,
aku ingin membisikkan ke telingamu, tapi
mulutku begitu kaku.
Aku hilang suara. Aku hilang cahaya.
3.
Tubuhku tak berasa, udara dingin yang kau
kabarkan seperti sekawanan daun
yang gugur ke bumi.
udara dingin itu melahirkan beribu gunung es
di sekujur tubuhku, menutupi rongga pori kulitku
yang pernah mengalirkan ribuan sungai-sungai kecil
tempat para nelayan menebarkan jala untuk menangkap
ikan-ikan kecil yang pernah kau pelihara.
Lalu bongkahan es itu perlahan mencair
Dihancurkan ceracau kemarau yang menghambur
Dari mulutmu. Laut matamu membuncah.
Sungai-sungaimu pecah. Irama lain memainkan
sendiri nadanya dari degup yang lain. Menghantarkan
suara lain ke langit yang lain. Membawa cahaya
yang lain ke negeri yang lain.
Entahlah, aku tak tahu apakah irama yang
lahir dari degupmu adalah doadoa sebagai
penghantar tidur abadiku. Atau doa-doaku
yang menghantarkannya pada degup isak
dari irama kebadian.
M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar Panca Budi, Budi Utomo dan UNIMED. SAAT ini aktif di Komunitas Home Poetry, sebagai Direktur Art. Alamat kontak Taman Budaya Sumatera Utara Jl. Perintis Kemerdekaan no. 33 Medan-Sumatera Utara