Sunday, 14 November 2010

Teater Monolog ‘Matinya Toekang Kritik’

KR, Lephen Purwaraharja : Catatan Budaya

PERISTIWA kematian tragis nan getir. Tukang kritik dan budaya itu wafat terkulai di kursi goyangnya. Ketika itu tahun 3005 pembantunya robot: Bambang Mangkukulkas XI kode mesin PRT 3005 GX telah mendapatkan surat yang ditunggu-tunggu majikannya. Kritikus legendaris mati kutu di kesunyian, kehidupan telah teratur, tertib, damai, humanis dan berbudaya, sepaham utopia Jawa: tata titi tentrem kerta raharja terwujud. Suatu titik nadir peradaban tanpa ada celah dikritik. Begitulah ujung teater monolog Butet Kartaredjasa, Matinya Toekang Kritik (MTK) karya Agus Noor yang dipentaskan di TIM Jakarta, 3 - 5 Februari, TBY 11-12 Februari.

Setelah hampir empat tahun Raja Monolog itu ‘terlena’ dalam hiruk-pikuk ‘industri hiburan’, tampaknya Butet Kertaredjasa (berjuang keras) memperkokoh legitimasinya: aktor monolog yang kritis, cerdas, komedis dan memikat. Kritis terhadap persoalan kontekstual dan aktual. Cerdas mengemas peristiwa teatrikal dengan logika realitas dan formula satir. Efek komedis digerakkan oleh daya kreatifnya yang kadang tak diduga. Ia berusaha tampil terbaik, memikat, nyaris tanpa cacat (perfek). Butet (masih) mampu tampil prima untuk pertunjukan berdurasi 90 menit tersebut. Ia mempersiapkan diri bersama tim kreatifnya secara intensif dan matang. Tak heran tontonannya nyaris tanpa cacat.

MTK mengisahkan kehidupan kritikus RM Suhikayatno. Ia hidup dari zaman mitologi pewayangan sampai tahun 3000-an. Tokoh rekaan itu bermakna sesuai akar kata pada namanya: su (Jawa Kuna: sangat, baik, bagus, cantik, besar); hika (Jawa Kuna = hiku ----> hiku: itu), yatna = (Jawa Kuna = hati-hati, seksama, teliti, ingat-ingat, awas dan waspada. Atau, dari kata hikayat = karya sastra berisi kisahan baik berupa sejarah maupun fiksi untuk membangkitkan patriotisme, dan renungan bersama. Memang, MKT berani mengkritisi berbagai fenomena kebudayaan; dari soal sejarah, politik, ekonomi, sampai sosial budaya. Dari ulah kritikus ini dapat melahirkan satir dan kritik baru dari yang nakal sampai yang konyol.

Agus Noor memilih penguatan pada alur pokok dengan menunggu kedatangan surat dari istana. Penantian tak kunjung usai hingga tahun 3000-an. Realitas menyelinap masuk-keluar dari masa lalu, masa kemarin, dan sesudah masa terkini sehingga fakta peristiwa menjadi ‘analog’ berbisa satir, ironi dan plesetan getir. Dibanding teks monolog yang dimainkan Butet sebelumnya, tampak lebih berbobot pada aspek rangkaian peristiwa, pengaluran, penokohan, karakter tokoh dan kemungkinan perkakas semiotika dalam teater seluruhnya meneguh dalam kebutuhan (unity). Kejutan, surprise berulang kali menyembul yang menjadikan penonton (apresiator) tetap terjaga.

Ketika Butet memerankan Suhikayatno tertidur mendengkur di kursi goyang, lalu muncul Butet sebagai Bambang, dengan karakter kontras menyerupai pembantu zaman kuna: berpeci, bersafari dan bercelana panjang mulai kekecilan. Lain itu, ketika Bambang mengisahkan ndara-nya tahun 2008 pernah ditawari jadi Ketua KPU tetapi tidak mau, sebab tidak melakukan tindakan korupsi berjamaah. Akhirnya Suhikayatno, 2009 dicalonkan sebagai Wakil Presiden berpasangan dengan SBY -- sebuah kecerdikan penulis teks -- menghindar dari fakta dan menghadirkan kejutan baru memenangkan Partai Panji Tengkorak dan Butet Kartaredjasa terpilih menjadi presiden. Kejutan lainnya program utama Presiden Butet bukan menaikkan devisa, tetapi defisit negara dan semacamnya. Mengganti nama jalan militeristik menjadi nama seniman. Ide brilian!

Sayang teks MTK, tokoh Suhikayatno dimatikan hanya karena tidak ada hal dapat dikritik lagi. Formula surprise seyogianya dapat diaplikasikan, misalnya RM Suhikayatno pun, misal, menjadi robot/hasil clonning, atau peristiwa chaos kembali tampak layar audiovisual, meski kritikus itu mati. Jika kritik robotik hidup maka permasalahan sosial politik menjelma lagi (secara visual). Cara alternatif ini mungkin pesan MTK lebih sublimatif.

Secara keseluruhan karakter Semar, Bambang, sosok Suhikayatno, Semar Gadjah Mada oleh Butet berhasil dijiwainya, dan pintar meyakinkan serta menyatukan peran dengan dirinya tanpa jarak. Butet tampak luluh dengan peran-perannya. Apalagi kisah Suhikayatno dan Bam-bang ini sejak awal sangat disukainya.

Panggung mampu memikat sejak awal hingga akhir. Interaksi penonton dan pemusik dengan aktor pun memperkaya pertunjukan monolog sebagai teater. Ini berkat penyutradaraan Whani Darmawan yang cermat dan pandai memilih serta memilah pengadegan. Musik garapan Djaduk Ferianto membingkai dan mengisi pertunjukan MTK cukup pas dan jumbuh. Demikian pula tata artistik (garapan Ong Harry Wahyu) efisien namun multifungsi: background, media tampilan audiovisual, dan setting. Ketiga fungsi itu dapat direspons aktor dan videograf (Jompet) senantiasa berkembang menyempurnakan seluruh visualisasi pertunjukan. Tata cahaya (Clink Sugiharto) dapat mengimbangi kebutuhan videograf, suasana pementasan, dan kebutuhan aktor di panggung.

Monolog MTK itu memang menarik dan unik. Teks membuka refarat berbeda dengan monolog Butet sebelumnya semacam Racun Tembakau, karya Jim Adilimas (1986), Lidah Pingsan, karya Indra Tranggono & Agus Noor (1997), Lidah (Masih) Pingsan, karya Indra T & Agus Noor 1998, Benggol Maling, karya Butet K (1998), Raja Rimba Jadi Pawang, karya Butet K dan Indra Tranggono (1999), Iblis Nganggur, karya Indra Tranggono 1999, Mayat Terhormat, karya Indra Tranggono & Agus Noor (200), Guru Ngambeg, karya Indra Tranggono (2000). Pembeda utama pada: pertama, penulis teks monolog (Agus Norr, saja), prosais memberi peluang bermain total karakter utama bagi aktor lebih menguat saat memerankan Bambang dan Suhikayatno. Kedua, teks menghendaki aspek visualisasi dan videograf menjadi jeda sekaligus magnet pemikat kaya gambar hologram mengisi tanda dan simbolisasi teks. Ketiga, teks membuka ruang pada sutradara dan tim lainnya menafsir lebih leluasa antara ‘teater serius’.... ‘kritik satir’.... dengan ‘komedi kontemplatif’.

Butet kembali meneguhkan dirinya sebagai ‘Aktor Toekang Kritik’ yang tak mati-mati ditelan euphoria Reformasi. Konsep estetika Butet dan timnya (kini) berhasil menyelinap dari bentuk kritik barbar, demonstrasi anarkis, dan kritikus yang ‘mulut’-nya terbeli oleh penguasa dan pengusaha, lalu berbagai meledek diri sendiri, bersama mereka dan bersama-sama agar masa depan peradaban (kita) lebih indah dan dinamis. Tak heran bila penonton terpesona tak beranjak meski isyarat usai pertunjukan telah diisi dengan adegan Robot Bambang menyampaikan surat. Memang, semua peristiwa dan kata menggelinding memikat nikmat/segar/mencerdaskan.

Biarpun dalam kisah MTK tokoh Suhikayatno wafat lunglai oleh faktor eksternal di titik nadir, bukan berarti akhir hikayat. Selama Butet dan tim ‘kenakalan bersama’ tetap solid terjaga, pasti kisah baru, teater monolog lainnya lahir tetap bersengat bagi semua insan yang belum bangun dari ‘mimpi busuk’-nya. q - s

*) Lephen Purwaraharja, Pengkaji teater Jurusan Teater ISI Yogyakarta.