Monday, 31 March 2008
para penyair
Hasan AspahaniJoko Pinurbo-1Joko Pinurbo-2Hendragunawan S ThayfTS PinangPakcik AhmadNanang SuryadiOok NugrohoDedy Tri RiyadiYo Blueal-MuzzammilAndi Astri YuningsihLuna VidyaAnwar Jimpe RachmanInez DikaraSteven KurniawanReady SusantoGita PratamaRamon DamoraY. Thendra BPMutia SukmaIndrian Kotoan ismantoM. BadriIndah SurvyanaMustafa IsmailSunlie Thomas AlexanderKomang Ira PuspitaningsihWida SireumKurnia EffendiRiki Dhamparan PutraFina SatoDian Hartati
puisi
Puisi DuniaPoem Huntersegala tentang puisiJejak SajakPoetry MagicPoetry PortalPoetsPoetry FondationPoetry ArchiveRilke's LettersGotpoetryPoetrysoup
pengulas buku
H TanzilAnwar HolidinibukuPercaIbukuMuhidin M DahlanAdi Toha
media
sritiTempopanyingkul!TandabacaFordisastraMajalah puisiKompasTribun TimurFajaralamat media
temain main
AlifiahNyomnyomJimpeAnchoeJamilArmin HariPiyoFauzan MukrimDoel SanusiAhmad K SyamsuddinRaraIqkoOchank BiblioIlham HalimsyahAsri TaddaSoeltraTee-zaCikal
Arsip
November 2004
Desember 2004
Januari 2005
Februari 2005
Maret 2005
April 2005
Mei 2005
Juni 2005
Juli 2005
Agustus 2005
September 2005
Oktober 2005
November 2005
Desember 2005
Januari 2006
Februari 2006
Maret 2006
Mei 2006
Juni 2006
Juli 2006
Agustus 2006
September 2006
Oktober 2006
November 2006
Desember 2006
Januari 2007
Februari 2007
Maret 2007
April 2007
Mei 2007
Juni 2007
Juli 2007
Agustus 2007
September 2007
Oktober 2007
November 2007
Desember 2007
Januari 2008
Februari 2008
Maret 2008
Hasan AspahaniJoko Pinurbo-1Joko Pinurbo-2Hendragunawan S ThayfTS PinangPakcik AhmadNanang SuryadiOok NugrohoDedy Tri RiyadiYo Blueal-MuzzammilAndi Astri YuningsihLuna VidyaAnwar Jimpe RachmanInez DikaraSteven KurniawanReady SusantoGita PratamaRamon DamoraY. Thendra BPMutia SukmaIndrian Kotoan ismantoM. BadriIndah SurvyanaMustafa IsmailSunlie Thomas AlexanderKomang Ira PuspitaningsihWida SireumKurnia EffendiRiki Dhamparan PutraFina SatoDian Hartati
puisi
Puisi DuniaPoem Huntersegala tentang puisiJejak SajakPoetry MagicPoetry PortalPoetsPoetry FondationPoetry ArchiveRilke's LettersGotpoetryPoetrysoup
pengulas buku
H TanzilAnwar HolidinibukuPercaIbukuMuhidin M DahlanAdi Toha
media
sritiTempopanyingkul!TandabacaFordisastraMajalah puisiKompasTribun TimurFajaralamat media
temain main
AlifiahNyomnyomJimpeAnchoeJamilArmin HariPiyoFauzan MukrimDoel SanusiAhmad K SyamsuddinRaraIqkoOchank BiblioIlham HalimsyahAsri TaddaSoeltraTee-zaCikal
Arsip
November 2004
Desember 2004
Januari 2005
Februari 2005
Maret 2005
April 2005
Mei 2005
Juni 2005
Juli 2005
Agustus 2005
September 2005
Oktober 2005
November 2005
Desember 2005
Januari 2006
Februari 2006
Maret 2006
Mei 2006
Juni 2006
Juli 2006
Agustus 2006
September 2006
Oktober 2006
November 2006
Desember 2006
Januari 2007
Februari 2007
Maret 2007
April 2007
Mei 2007
Juni 2007
Juli 2007
Agustus 2007
September 2007
Oktober 2007
November 2007
Desember 2007
Januari 2008
Februari 2008
Maret 2008
ASMARADANA
Hidung saya pasti salah, ketika aroma parfum Lolita Lempicka moncor saat Titiek Puspa melintas. Ini Hari Raya apa? Rekan saya yang cerpenis muda berseloroh! Lalu lalang orang bergantian mencicip santapan. Setelah mencucu menakar hasil urutan kompilasi cerpen yang terpilih, lalu aneka santapan jadi yang diserbu setelah itu. Rasa ketidakpuasan untuk sementara bisa diatasi saat sapa-papasan dengan sejumlah rekan lama. Tentu saja, sejumlah cerpenis muda seperti menguap dari peredaran di pesta hajatan tahunan kali ini…Pendapat nyinyir itu terselip di antara rasa syukur, bahwa kita pernah memiliki sastrawan besar macam Kuntowijoyo.Hajatan Pemberian Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2005 yang jatuh pada 28 Juni 2005 malam itu seperti tengah menapak usia yang ‘mapan’. Terhitung sejak tahun 1992, kecuali absen tahun 1998, harian Kompas telah membuktikan kemandirian cerpen koran sebagai genre sastra yang mandiri. Arti 13 buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas bukan sekadar bagaimana mencatat perjalanan cerpen setiap tahunnya. Setiap ajang pemilihan- lagi-lagi rekan saya sang cerpenis muda itu bergurau, apapun jenis pemilihan itu- akan sangat dipengaruhi unsur politis, jaringan, dan akses! Ah! Kenapa pasal gunjingan itu seperti peluit nyaring ketika Chaerul Umam membacakan cerpen terbaik, lalu sajian musik Aceh yang membangkitkan buluroma itu?“Saya tidak melihat Djenar Maesa Ayu, apakah dia datang?” Tanya seseorang seperti menjerit di samping saya. Yang ditanya malah balik bertanya, “Lha, dari tadi saya malah nyari mana Intan Paramaditha? Yang mana sih, orangnya?” saya sangat ingin menjawab, ‘saya tadi melihat Ibu NH. Dini’, lalu mengapa saya redam kata-kata itu? Apakah saya masih terbawa sejumlah gunjingan soal kriteria umur jadi patokan untuk sebuah kepuasan sebuah karya? Saat merasakan ambience ketidakpuasan para undangan yang begitu kelihatan sangat gelisahnya…Jika keputusan juri adalah sebuah hal yang patut kita baca sebagai sebuah hasil yang maksimal. Lalu rinai bisik-bisik, sampai obrolan mencorong seperti menghujani Bentara Budaya Jakarta kawasan Palmerah Selatan malam itu. Padahal buku yang bertajuk JL. ‘Asmaradana’ sebagai buku tercetak sebagai Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2005 itu sudah ada dalam genggaman (hampir) semua undangan.Saya memberi selamat pada Kurnia Effendi yang untuk kali pertamanya masuk dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas. Dia begitu sumringah! Tak lupa saya beri selamat pada Ratna Indraswari Ibrahim yang pada malam itu menjadi orang paling berbahagia. Dia didaulat sebagai Penerima Anugerah Kesetiaan Berkarya, selain cerpennya yang berjudul Baju masuk sebagai 10 terpilih. Ratna yang sejak tahun 1982 itu hingga kini giat menulis.Berbeda dari buku-buku sebelumnya, Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2005 kali ini hanya memuat 10 cerpen. Dengan jumlah tersebut, artinya kerja ekstra para juri untuk menyaring 50 cerpen selama tahun 2004. Para cerpenis dan cerpen yang terpilih adalah: Kuntowijoyo (cerpen Rt 03 Rw 22: Jalan Belimbing atau Jalan “Asmaradana”), Agus Noor (cerpen Kupu-kupu Seribu Peluru), Radhar Panca Dahana (cerpen Senja Buram, Daging di Mulutnya), Gus tf Sakai (cerpen Belatung), Veven sp Wardhana (cerpen Dari Mana Datangnya Mata), Sunaryono Basuki Ks (cerpen Sepasang Kera yang Berjalan dari Pura ke Pura), Indra Tranggono (cerpen Bulan Terbingkai Jendela), Ratna Idraswari Ibrahim (cerpen Baju), NH Dini (cerpen Daun-daun Waru di Samirono), Kunia Effendi (cerpen Roti Tawar).Tahun ini adalah tepat perayaan Ulang Tahun ke-40 bagi Kompas. Acara sudah digelar. Buku Jl ‘Asmaradana’ Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2005 sudah beredar. Tak ada yang salah dari itu semua. Gunjingan, akrobat kritik, rinai bisik-bisik ketidakpuasan adalah bumbu penyedap. Semua berjalan seperti biasa. Tak kurang satu apa. Selamat Ulang tahun Kompas! Selamat bagi cerpenis terpilih…Selamat jalan Pak Kunto, kita di sini semua bahagia. Karena hingga detik-detik terakhir, kita masih punya sastrawan besar yang terus meniti jalan di dunia kepenulisan. Jl Asmaradana telah tercetak dalam sejarah cerpen kita. Ia bagaikan bentangan ‘api asmara’ yang tak akan pernah lekang… Dan akan selalu dikenang.*** Chusnato
तमन पुइसी म. रौदः जम्बक
ada anak baru datang ke rumahmutak punya kacamatatak punya apa-apatanyakan dia apa maunyasederhana sajapunya apa saja Saiful Amri Jalan Sering.Gang Umar, No.7, Medan 26 Juni 1966 Liku-liku laki-laki selalu dibunuti 2 mahluk mungil selalu ditunggui orang batak di rumah penjaranya di sekolah
Monday, 10 March 2008
PERENUNGAN
Cerpen M. Raudah Jambak
Aisyah
Tak ada tepung tawar. Tidak ada suasana pesta. Tidak ada tamu maupun para undangan. Hanya suasana haru yang hadir, mengalir. Bunyi tik-tak tik-tak jarum jam berbaur dengan isak bahagia di ruang tamu. Di atas tilam yang terbungkus sprei dan hiasan bunga sederhana, anak beranak berpelukan, bergantian. “Ibu, jangan lupa terus mendoakan kami disana nanti....” Fatimah, anak tertua, memeluk wanita setengah baya itu dengan penuh cinta. “Ibu, jaga kesehatan, hati-hati di tanah suci....” Maryam, anak kedua, tidak lepas menciumi wanita setengah baya itu sarat kasih sayang. “Ibu....” Aisyah tak mampu berkata-kata. Ia hanya memeluk ibunya, melirik kedua kakaknya dengan kelopak mata yang berkaca-kaca. Butiran air mata mengalir deras. Tanpa aba-aba, seketika Fatimah dan Maryam, bersama Aisyah memeluk ibu mereka. Ibu yang telah membesarkan mereka dengan segenap jiwa dan raga. Ibu yang telah memutuskan cita-cita mereka. Tanpa ayah di sisi mereka. Tanpa ayah yang mencari nafkah. Sebab ayah yang telah tiada, ketika masa kecil yang ceria. *** “Ibu, sudahlah. Biarlah kami yang sekarang mencari.” Fatimah, duduk di samping pembaringan, memijit pelan lengan ibunya. “Ibu kan sudah tidak muda lagi, ditambah lagi sering sakit-sakitan.” Wanita setengah baya itu hanya diam. Dia mempehatikan Fatimah dengan keteduhan mata yang begitu sejuk. Betapa dia begitu bangga, melihat anak tertuanya itu akhirnya menjadi kepala sekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri di daerah ini. Begitu berat perjuangannya. Sejak ditinggal suaminya, ia hanya mampu berjuang dengan berjualan pecal. Sesekali berada di lokasi gedung yang akan dibangun sebagai kuli. Apapun dilakukannya, demi membesrkan dan mendorong keberhasilan anak-anaknya. Rasa bangga juga ia rasakan, melihat keberhasilan Maryam yang kini telah masuk anggota legislatif di daerah ini. Wajah Maryam terpampang dimana-mana. Mulai dari media massa sampai media elektronik. Mungkin darah ayahnya yang mengalir. Ayahnya pernah terlibat sebagai aktivis mahasiswa, yang akhirnya di drop out. Pekerjaan bengkel-lah yang akhirnya membuatnya bertahan dan memiliki keluarga yang cukup sederhana. Tapi sayang usianya tidak panjang. Disaat usia Maryam tiga tahun dan si bungsu Aisyah satu setengah tahun, dia pun dipanggil Yang Maha Kuasa. Hanya saja wanita setengah baya itu, hampir lemas. Lemas terhadap Aisyah. Aisyah yang manja dan kekanak-kanakan. Padahal beberapa saat lagi Aisyah bakal menjadi Sarjana Ekonomi. Tetapi kegiatannya di atas catwalk, model sampul, maupun model iklan, lebih ditekuninya. Wanita setengah baya itu takut Aisyah terjerumus. Apalagi ia pernah melihat Aisyah beraksi di atas catwalk dengan pakaian yang sangat minim di depan umum. Hal itu yang menjadi pikirannya selama ini. Setiap ia mencoba memberi nasihat, Aisyah seperti kurang memberi respon positif. Dengan sikap kekanak-kanakannya dia selalu membuat hati wanita setengah baya itu terenyuh. Hari ini sudah sebulan Aisyah tidak pulang-pulang. Jadwal pengambilan gambar, iklan, show cukup padat. Wanita setengah baya itu selalu memikirkannya. Memang, Aisyah selalu membei kabar tapi hal itu tidaklah membuatnya puas, jika tidak langsung bertatap muka. Khawatir dengan kesehatannya, keselamatannya juga khawatir kuliahnya akan berantakan. “Sudahlah, Bu. Tidak usah menjual pecal lagi.” Fatimah mengelus rambut ibunya. “Penghasilan kami masih cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari.” Wanita setengah baya itu pelan-pelan mengatur duduknya. Dia menciumi kening Fatimah. “Bukan itu masalahnya” “Lantas apa Bu? Masalah biaya keberangkatan ibu menunaikan umroh sudah beres. Semua sudah diurus kan?” “Bukan.” Wanita setengah baya itu menarik nafas. “Untuk urusan jualan pecal, ibu akan terus berjualan. Sebab, ibu tidak ingin begitu saja melupakan sejarah.” “Maksud ibu?” “Dari situlah ibu diajarkan oleh Ayahmu bagaimana mulianya sebuah perjuangan. Dan ternyata Ayahmu benar, dengan perjuangan itu kalian anak-anak ibu berhasil meraih apa yang kalian cita-citakan.” “Tapi, Bu?” “Ibu mengerti. Kalian sudah berhasil dan kalian merasa mampu dan cukup membiayai semua keperluan ibu. Terima kasih. Tapi jangan lupa, ibu tidak ingin begitu saja melupakan semua perjuangan setelah semuanya berhasil dengan kemenangan gemilang. Ibu masih ingin terus berjuang. Bejuang untuk tidak menjadi beban. Berjuang untuk tidak terlena sehingga akhirnya ibu menjadi malas.” “Semuanya kan memang keinginan kami, Bu.” Fatimah menarika nafas panjang. “Lagi pula apa kata orang-orang melihat ibu masih jualan pecel, padahal anak-anaknya sudah menjadi orang. Kami pasti dianggap tidak perduli. Kami pasti dianggap menyia-nyiakan ibu?” “Nah, itulah perjuangan. Dan orang-orang yang mempunyai nuranilah yang mengerti makna sebuah perjuangan.Perjuangan kita sekarang adalah adalah bagaimana kita mampu memaknai hidup. Ibu ingin hidup ibu penuh makna. Itu saja.” Keduanya terdiam. Fatimah merasa takjub. Dia bangga dengan ibunya. Ibunya adalah pahlawan yang sebenarnya. “Kamu tentunya masih ingat dengan Kartini, bukan?” Fatimah mengangguk. Dia mulai memahami arah pembicaraan ibunya. “Sampai sekarang Kartini masih dikenang jasa-jasanya. Kamu tahu mengapa Kartini terus dikenang?” Fatimah menggeleng. Kali ini dia ingin bertindak sebagai pendengar saja. “Hidupnya bermakna. Bermakna tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain. Terutama kaum wanita. Ibu, kamu dan adik-adikmu termasuk orang yang merasakannya sampai sekarang. Dan mungkin itu sebabnya mengapa orang tua ibu memberi nama Kartini kepada ibu. Mereka ingin ibu memiliki, merasakan dan meneruskan perjuangan itu. Sesuai dengan cara ibu dan perkembangan zaman.” “Fatimah mengerti.” Fatimah mengecup pipi ibunya dengan rasa bangga dan penuh kasih sayang. “Lantas mengapa ibu masih saja selalu murung?” “Ibu sadar ternyata bagaimanapun Kartini adalah wanita juga seperti ibu dan kanu.” “Lalu?” “Banyak norma yang harus dijaga yang kadang melawan hati nurani.” “Fatimah rasa ibu tidak harus terlalu memikirkan persoalan itu.” “Kamu salah. Harus dipikirkan. Coba bayangkan berapa sudah usia kamu dan Maryam. Apa hal itu tidak pernah kamu pikirkan? Apakah kamu tidak ingin bersuami. Ingat, usia akan selalu bertambah.” “Oh, itu. Sudahlah kalau hal itu sudah sangat kami pikirkan dan kami ingin memberi kejutan.” “Baiklah, lantas bagaimana dengan adikmu Aisyah?” “Ada apa dengan Aisyah, Bu. Bukankah ia sedang ada kegiatan yang harus diselesaikan?” “Nah, inilah masalahnya. Norma. Aisyah itu masih kuliah. Aisyah itu wanita seperti ibu, juga kamu. Apakah tidak terpikirkan olehmu?” “Oh, ibu. Tadi ibu sudah mengatakan ibu bangga dengan perjuangan ibu sebagai wanita. Ibu ingin hidup penuh makna, tapi....” “Tapi? Tapi apa?” “Tapi ibu ragu dan khawatir dengan Aisyah?” Fatimah berdiri mengambil segelas air dan memberikannya kepada ibunya. “Aisyah juga ingin berjuang Bu? Dia juga ingin hidupnya punya makna. Dan kami mendapatkan hal itu semua juga dari ibu. Yang membedakan hanya masalah waktu saja, kapan dan bila semua hal itu bisa terwujud.” “Tapi Aisyah beda!?” “Beda? Beda bagaimana maksud ibu?” “Aisyah itu adik kalian yang paling bungsu. Rasa tanggung jawabnya berbeda dengan kalian. Kalian sempat bersama-sama ikut berjuang menentang arus kehidupan yang mengalir deras menghantam keluarga kita. Terutama sejak ayah kalian tiada.” Wanita setengah baya itu meminum seteguk air putih dari Fatimah. “Tapi Aisyah, dia lebih cenderung menikmati hasilnya. Belum pernah merasakan bagaimana ‘nikmatnya’ berjuang mencapai hasil itu. Seperti memakan jeruk. Orang yang berjuang merasakan kenikmatan itu pada saat mendengar bunyi jeruk yang dipetik. Singkatnya, pada saat memetik itulah kenikmatan perjuangan, bukan pada saat memakannya. Nah, Aisyah hanya merasakan kenikmatan memakan saja.” “Bagaimanapun sekarang Aisyah sudah merasakan itu sebagai model, Bu?” “Itulah yang ibu khawatirkan.” Wanita setengah baya itu menarik nafas. “Coba bayangkan dengan menunjukkan dan mempertontonkan keseksian tubuh, membuktikan perjuangan semudah membalikkan telapak tangan. Ibu khawair Aisyah terjerumus ke lembah nista.” “Ibu percaya dengan kami kan?” Wanita setengah baya itu diam. “Ibu percaya kan kalau kami sudah dewasa dan mampu bertanggung jawab untuk keluarga dan diri sendiri? Percaya kalau kami juga mampu berjuang dengan cara kami sendiri dengan tetap menjaga norma-norma dan harkat kami sebagai wanita, tanpa melupakan didikan yang pernah ibu berikan selama ini?” Wanita setengah baya itu terpaku. Wajah murungnya semakin mendung. Butiran air mata perlahan jatuh satu-satu. Ia mengangguk. *** “Bu, bangun. Sudah waktunya sholat subuh.” Wanita setengah baya itu tersentak. Di hadapannya telah berdiri Aisyah, dia mengenakan jilbab merah jambu. Wanita setengah baya itu hanya menurut. Kelopak matanya berkaca-kaca. Ada rasa bahagia yang terpancar dari wajahnya. Aisyah menyadari itu. Menyadari betapa kerinduan ibunya telah menggumpal-gumpal. Aisyah juga menyadari betapa susahnya ia menyampaikan pengakuan. Menyampaikan tentang keterlambatannya pulang ke rumah. Menyampaikan segala keluh kesahnya sebelum ibunya berangkat menunaikan umroh nanti. Mereka lebih banyak terdiam. Aisyah dengan lembut hanya membimbing ibunya dengan penuh kasih sayang. Ia menunggu ibunya sampai selesai melaksanakan sholat subuh. Lalu memeluk dan mencium ibunya begitu selesai sholat. Mereka masih juga terdiam ketika Aisyah dan kedua kakanya duduk mengelilingi ibu mereka. Fatimah memberi isyarat kepada Aisyah. Aisyah tertunduk, lalu melirik ke arah Maryam. Maryam juga memberi isyarat yang sama. Aisyah masih tetap tertunduk. Wanita setengah baya itu melihat gelagat ketiga anaknya, tapi ia hanya menunggu. Di dalam hatinya, ia teramat bersyukur kepada Allah yang telah memberi karunia yang begitu besar dirasakannya. Melihat anak-anaknya yang cantik-cantik sukses dan masih tetap pada jalur yang tidak menyalahi norma. “Bu....” Maryam membuka pembicaraan. “Sebenarnya kami berat untuk menyampaikan, tapi....?” Maryam melirik Aisyah yang masih tertunduk. Menatap sekilas ke arah Fatimah, lalu memandang penuh kasih sayang kepada ibunya. “Semua adalah kehendak Allah. Manusia berencana, Tuhan menentukan.” Maryam menarik nafas. “Bukannya kami tidak ingin. Bukannya kami tidak mau membahagiakan ibu, tapi....” Maryam masih terdiam. Dia memperhatikan reaksi ibunya yang terkesan biasa-biasa saja. “Sebelum keberangkatan ibu besok untuk umroh.” Maryam mulai memberanikan diri. “Kami ingin membuat pengakuan hari ini juga.” Maryam terdiam. Suasana hening. Semua terlihat tegang. Tapi wanita tua itu mencoba mengendalikan diri dengan tetap tenang. “Aisyah sudah menikah!” Suasana tegang itu semakin tegang. Aisyah seketika sesenggukkan. Fatimah dan Maryam mencoba menjaga sikap. Wanita setengah baya itu masih tetap tidak berkata apa-apa. Dari sudut matanya butir-butir air matanya mengalir. Jatuh satu-satu menggenang di pipi. Aisyah semakin histeris, dia menciumi kaki ibunya. “Maafkan Ai, Bu.....ampun......!” Hanya itu kalimat yang terlontar, selebihnya isak tangis Aisyah yang dominan. Wanita setengah baya itu pelan-pelan berdiri. Lalu berjalan ke arah bufet. Mengambil sebuah foto yang berdiri gagah di atasnya. Segagah sosok yang ada di dalam bingkai foto sepuluh inch itu. Membawanya menuju ke arah jendela. Menatapnya dalam. Memeluknya. Memandang ke arah langit biru. Sejauh mata memandang, sejauh itu pula hati dan perasaannya terbang. Ada perasaan ingin bertemu berkeluh kesah. Tik-tak tik-tak jarum jam seketika berubah menjadi pesawat hati yang bergemuruh. Terbang menembus awan. Airmatanya mengalir sederas air terjun sigura-gura. Bibirnya bergetar mengeluarkan suara. “Bagaimanapun kita ternyata tetaplah wanita.” Ujarnya terbata-bata. *** Tak ada tepung tawar. Tidak ada suasana pesta. Tidak ada tamu maupun para undangan. Hanya suasana haru yang hadir, mengalir. Bunyi tik-tak tik-tak jarum jam berbaur dengan isak bahagia di ruang tamu. Di atas tilam yang terbungkus sprei dan hiasan bunga sederhana, anak beranak berpelukan, bergantian. Aisyah tak mampu berkata-kata. Ia hanya memeluk ibunya, melirik kedua kakaknya dengan kelopak mata yang berkaca-kaca. Butiran airmatanya mengalir deras. Sebulan tidak berkumpul bersama. Aisyah telah dilamar seorang pengusaha muda yang berjanji akan terus membiayai kuliahnya dan menyetujui semua aktifitasnya. Mereka menikah di catatan sipil, di kota Jakarta. Pengusaha muda ini salah satu sponsor yang menyewa jasanya. Tanpa aba-aba, seketika Fatimah dan Maryam bersama Aisyah memeluk ibu mereka. Dari mulut wanita setengah baya itu hanya terlontar bergetar. “Bagaimanapun ternyata kita tetaplah wanita.” Medan, Mei 2008
Aisyah
Tak ada tepung tawar. Tidak ada suasana pesta. Tidak ada tamu maupun para undangan. Hanya suasana haru yang hadir, mengalir. Bunyi tik-tak tik-tak jarum jam berbaur dengan isak bahagia di ruang tamu. Di atas tilam yang terbungkus sprei dan hiasan bunga sederhana, anak beranak berpelukan, bergantian. “Ibu, jangan lupa terus mendoakan kami disana nanti....” Fatimah, anak tertua, memeluk wanita setengah baya itu dengan penuh cinta. “Ibu, jaga kesehatan, hati-hati di tanah suci....” Maryam, anak kedua, tidak lepas menciumi wanita setengah baya itu sarat kasih sayang. “Ibu....” Aisyah tak mampu berkata-kata. Ia hanya memeluk ibunya, melirik kedua kakaknya dengan kelopak mata yang berkaca-kaca. Butiran air mata mengalir deras. Tanpa aba-aba, seketika Fatimah dan Maryam, bersama Aisyah memeluk ibu mereka. Ibu yang telah membesarkan mereka dengan segenap jiwa dan raga. Ibu yang telah memutuskan cita-cita mereka. Tanpa ayah di sisi mereka. Tanpa ayah yang mencari nafkah. Sebab ayah yang telah tiada, ketika masa kecil yang ceria. *** “Ibu, sudahlah. Biarlah kami yang sekarang mencari.” Fatimah, duduk di samping pembaringan, memijit pelan lengan ibunya. “Ibu kan sudah tidak muda lagi, ditambah lagi sering sakit-sakitan.” Wanita setengah baya itu hanya diam. Dia mempehatikan Fatimah dengan keteduhan mata yang begitu sejuk. Betapa dia begitu bangga, melihat anak tertuanya itu akhirnya menjadi kepala sekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri di daerah ini. Begitu berat perjuangannya. Sejak ditinggal suaminya, ia hanya mampu berjuang dengan berjualan pecal. Sesekali berada di lokasi gedung yang akan dibangun sebagai kuli. Apapun dilakukannya, demi membesrkan dan mendorong keberhasilan anak-anaknya. Rasa bangga juga ia rasakan, melihat keberhasilan Maryam yang kini telah masuk anggota legislatif di daerah ini. Wajah Maryam terpampang dimana-mana. Mulai dari media massa sampai media elektronik. Mungkin darah ayahnya yang mengalir. Ayahnya pernah terlibat sebagai aktivis mahasiswa, yang akhirnya di drop out. Pekerjaan bengkel-lah yang akhirnya membuatnya bertahan dan memiliki keluarga yang cukup sederhana. Tapi sayang usianya tidak panjang. Disaat usia Maryam tiga tahun dan si bungsu Aisyah satu setengah tahun, dia pun dipanggil Yang Maha Kuasa. Hanya saja wanita setengah baya itu, hampir lemas. Lemas terhadap Aisyah. Aisyah yang manja dan kekanak-kanakan. Padahal beberapa saat lagi Aisyah bakal menjadi Sarjana Ekonomi. Tetapi kegiatannya di atas catwalk, model sampul, maupun model iklan, lebih ditekuninya. Wanita setengah baya itu takut Aisyah terjerumus. Apalagi ia pernah melihat Aisyah beraksi di atas catwalk dengan pakaian yang sangat minim di depan umum. Hal itu yang menjadi pikirannya selama ini. Setiap ia mencoba memberi nasihat, Aisyah seperti kurang memberi respon positif. Dengan sikap kekanak-kanakannya dia selalu membuat hati wanita setengah baya itu terenyuh. Hari ini sudah sebulan Aisyah tidak pulang-pulang. Jadwal pengambilan gambar, iklan, show cukup padat. Wanita setengah baya itu selalu memikirkannya. Memang, Aisyah selalu membei kabar tapi hal itu tidaklah membuatnya puas, jika tidak langsung bertatap muka. Khawatir dengan kesehatannya, keselamatannya juga khawatir kuliahnya akan berantakan. “Sudahlah, Bu. Tidak usah menjual pecal lagi.” Fatimah mengelus rambut ibunya. “Penghasilan kami masih cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari.” Wanita setengah baya itu pelan-pelan mengatur duduknya. Dia menciumi kening Fatimah. “Bukan itu masalahnya” “Lantas apa Bu? Masalah biaya keberangkatan ibu menunaikan umroh sudah beres. Semua sudah diurus kan?” “Bukan.” Wanita setengah baya itu menarik nafas. “Untuk urusan jualan pecal, ibu akan terus berjualan. Sebab, ibu tidak ingin begitu saja melupakan sejarah.” “Maksud ibu?” “Dari situlah ibu diajarkan oleh Ayahmu bagaimana mulianya sebuah perjuangan. Dan ternyata Ayahmu benar, dengan perjuangan itu kalian anak-anak ibu berhasil meraih apa yang kalian cita-citakan.” “Tapi, Bu?” “Ibu mengerti. Kalian sudah berhasil dan kalian merasa mampu dan cukup membiayai semua keperluan ibu. Terima kasih. Tapi jangan lupa, ibu tidak ingin begitu saja melupakan semua perjuangan setelah semuanya berhasil dengan kemenangan gemilang. Ibu masih ingin terus berjuang. Bejuang untuk tidak menjadi beban. Berjuang untuk tidak terlena sehingga akhirnya ibu menjadi malas.” “Semuanya kan memang keinginan kami, Bu.” Fatimah menarika nafas panjang. “Lagi pula apa kata orang-orang melihat ibu masih jualan pecel, padahal anak-anaknya sudah menjadi orang. Kami pasti dianggap tidak perduli. Kami pasti dianggap menyia-nyiakan ibu?” “Nah, itulah perjuangan. Dan orang-orang yang mempunyai nuranilah yang mengerti makna sebuah perjuangan.Perjuangan kita sekarang adalah adalah bagaimana kita mampu memaknai hidup. Ibu ingin hidup ibu penuh makna. Itu saja.” Keduanya terdiam. Fatimah merasa takjub. Dia bangga dengan ibunya. Ibunya adalah pahlawan yang sebenarnya. “Kamu tentunya masih ingat dengan Kartini, bukan?” Fatimah mengangguk. Dia mulai memahami arah pembicaraan ibunya. “Sampai sekarang Kartini masih dikenang jasa-jasanya. Kamu tahu mengapa Kartini terus dikenang?” Fatimah menggeleng. Kali ini dia ingin bertindak sebagai pendengar saja. “Hidupnya bermakna. Bermakna tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain. Terutama kaum wanita. Ibu, kamu dan adik-adikmu termasuk orang yang merasakannya sampai sekarang. Dan mungkin itu sebabnya mengapa orang tua ibu memberi nama Kartini kepada ibu. Mereka ingin ibu memiliki, merasakan dan meneruskan perjuangan itu. Sesuai dengan cara ibu dan perkembangan zaman.” “Fatimah mengerti.” Fatimah mengecup pipi ibunya dengan rasa bangga dan penuh kasih sayang. “Lantas mengapa ibu masih saja selalu murung?” “Ibu sadar ternyata bagaimanapun Kartini adalah wanita juga seperti ibu dan kanu.” “Lalu?” “Banyak norma yang harus dijaga yang kadang melawan hati nurani.” “Fatimah rasa ibu tidak harus terlalu memikirkan persoalan itu.” “Kamu salah. Harus dipikirkan. Coba bayangkan berapa sudah usia kamu dan Maryam. Apa hal itu tidak pernah kamu pikirkan? Apakah kamu tidak ingin bersuami. Ingat, usia akan selalu bertambah.” “Oh, itu. Sudahlah kalau hal itu sudah sangat kami pikirkan dan kami ingin memberi kejutan.” “Baiklah, lantas bagaimana dengan adikmu Aisyah?” “Ada apa dengan Aisyah, Bu. Bukankah ia sedang ada kegiatan yang harus diselesaikan?” “Nah, inilah masalahnya. Norma. Aisyah itu masih kuliah. Aisyah itu wanita seperti ibu, juga kamu. Apakah tidak terpikirkan olehmu?” “Oh, ibu. Tadi ibu sudah mengatakan ibu bangga dengan perjuangan ibu sebagai wanita. Ibu ingin hidup penuh makna, tapi....” “Tapi? Tapi apa?” “Tapi ibu ragu dan khawatir dengan Aisyah?” Fatimah berdiri mengambil segelas air dan memberikannya kepada ibunya. “Aisyah juga ingin berjuang Bu? Dia juga ingin hidupnya punya makna. Dan kami mendapatkan hal itu semua juga dari ibu. Yang membedakan hanya masalah waktu saja, kapan dan bila semua hal itu bisa terwujud.” “Tapi Aisyah beda!?” “Beda? Beda bagaimana maksud ibu?” “Aisyah itu adik kalian yang paling bungsu. Rasa tanggung jawabnya berbeda dengan kalian. Kalian sempat bersama-sama ikut berjuang menentang arus kehidupan yang mengalir deras menghantam keluarga kita. Terutama sejak ayah kalian tiada.” Wanita setengah baya itu meminum seteguk air putih dari Fatimah. “Tapi Aisyah, dia lebih cenderung menikmati hasilnya. Belum pernah merasakan bagaimana ‘nikmatnya’ berjuang mencapai hasil itu. Seperti memakan jeruk. Orang yang berjuang merasakan kenikmatan itu pada saat mendengar bunyi jeruk yang dipetik. Singkatnya, pada saat memetik itulah kenikmatan perjuangan, bukan pada saat memakannya. Nah, Aisyah hanya merasakan kenikmatan memakan saja.” “Bagaimanapun sekarang Aisyah sudah merasakan itu sebagai model, Bu?” “Itulah yang ibu khawatirkan.” Wanita setengah baya itu menarik nafas. “Coba bayangkan dengan menunjukkan dan mempertontonkan keseksian tubuh, membuktikan perjuangan semudah membalikkan telapak tangan. Ibu khawair Aisyah terjerumus ke lembah nista.” “Ibu percaya dengan kami kan?” Wanita setengah baya itu diam. “Ibu percaya kan kalau kami sudah dewasa dan mampu bertanggung jawab untuk keluarga dan diri sendiri? Percaya kalau kami juga mampu berjuang dengan cara kami sendiri dengan tetap menjaga norma-norma dan harkat kami sebagai wanita, tanpa melupakan didikan yang pernah ibu berikan selama ini?” Wanita setengah baya itu terpaku. Wajah murungnya semakin mendung. Butiran air mata perlahan jatuh satu-satu. Ia mengangguk. *** “Bu, bangun. Sudah waktunya sholat subuh.” Wanita setengah baya itu tersentak. Di hadapannya telah berdiri Aisyah, dia mengenakan jilbab merah jambu. Wanita setengah baya itu hanya menurut. Kelopak matanya berkaca-kaca. Ada rasa bahagia yang terpancar dari wajahnya. Aisyah menyadari itu. Menyadari betapa kerinduan ibunya telah menggumpal-gumpal. Aisyah juga menyadari betapa susahnya ia menyampaikan pengakuan. Menyampaikan tentang keterlambatannya pulang ke rumah. Menyampaikan segala keluh kesahnya sebelum ibunya berangkat menunaikan umroh nanti. Mereka lebih banyak terdiam. Aisyah dengan lembut hanya membimbing ibunya dengan penuh kasih sayang. Ia menunggu ibunya sampai selesai melaksanakan sholat subuh. Lalu memeluk dan mencium ibunya begitu selesai sholat. Mereka masih juga terdiam ketika Aisyah dan kedua kakanya duduk mengelilingi ibu mereka. Fatimah memberi isyarat kepada Aisyah. Aisyah tertunduk, lalu melirik ke arah Maryam. Maryam juga memberi isyarat yang sama. Aisyah masih tetap tertunduk. Wanita setengah baya itu melihat gelagat ketiga anaknya, tapi ia hanya menunggu. Di dalam hatinya, ia teramat bersyukur kepada Allah yang telah memberi karunia yang begitu besar dirasakannya. Melihat anak-anaknya yang cantik-cantik sukses dan masih tetap pada jalur yang tidak menyalahi norma. “Bu....” Maryam membuka pembicaraan. “Sebenarnya kami berat untuk menyampaikan, tapi....?” Maryam melirik Aisyah yang masih tertunduk. Menatap sekilas ke arah Fatimah, lalu memandang penuh kasih sayang kepada ibunya. “Semua adalah kehendak Allah. Manusia berencana, Tuhan menentukan.” Maryam menarik nafas. “Bukannya kami tidak ingin. Bukannya kami tidak mau membahagiakan ibu, tapi....” Maryam masih terdiam. Dia memperhatikan reaksi ibunya yang terkesan biasa-biasa saja. “Sebelum keberangkatan ibu besok untuk umroh.” Maryam mulai memberanikan diri. “Kami ingin membuat pengakuan hari ini juga.” Maryam terdiam. Suasana hening. Semua terlihat tegang. Tapi wanita tua itu mencoba mengendalikan diri dengan tetap tenang. “Aisyah sudah menikah!” Suasana tegang itu semakin tegang. Aisyah seketika sesenggukkan. Fatimah dan Maryam mencoba menjaga sikap. Wanita setengah baya itu masih tetap tidak berkata apa-apa. Dari sudut matanya butir-butir air matanya mengalir. Jatuh satu-satu menggenang di pipi. Aisyah semakin histeris, dia menciumi kaki ibunya. “Maafkan Ai, Bu.....ampun......!” Hanya itu kalimat yang terlontar, selebihnya isak tangis Aisyah yang dominan. Wanita setengah baya itu pelan-pelan berdiri. Lalu berjalan ke arah bufet. Mengambil sebuah foto yang berdiri gagah di atasnya. Segagah sosok yang ada di dalam bingkai foto sepuluh inch itu. Membawanya menuju ke arah jendela. Menatapnya dalam. Memeluknya. Memandang ke arah langit biru. Sejauh mata memandang, sejauh itu pula hati dan perasaannya terbang. Ada perasaan ingin bertemu berkeluh kesah. Tik-tak tik-tak jarum jam seketika berubah menjadi pesawat hati yang bergemuruh. Terbang menembus awan. Airmatanya mengalir sederas air terjun sigura-gura. Bibirnya bergetar mengeluarkan suara. “Bagaimanapun kita ternyata tetaplah wanita.” Ujarnya terbata-bata. *** Tak ada tepung tawar. Tidak ada suasana pesta. Tidak ada tamu maupun para undangan. Hanya suasana haru yang hadir, mengalir. Bunyi tik-tak tik-tak jarum jam berbaur dengan isak bahagia di ruang tamu. Di atas tilam yang terbungkus sprei dan hiasan bunga sederhana, anak beranak berpelukan, bergantian. Aisyah tak mampu berkata-kata. Ia hanya memeluk ibunya, melirik kedua kakaknya dengan kelopak mata yang berkaca-kaca. Butiran airmatanya mengalir deras. Sebulan tidak berkumpul bersama. Aisyah telah dilamar seorang pengusaha muda yang berjanji akan terus membiayai kuliahnya dan menyetujui semua aktifitasnya. Mereka menikah di catatan sipil, di kota Jakarta. Pengusaha muda ini salah satu sponsor yang menyewa jasanya. Tanpa aba-aba, seketika Fatimah dan Maryam bersama Aisyah memeluk ibu mereka. Dari mulut wanita setengah baya itu hanya terlontar bergetar. “Bagaimanapun ternyata kita tetaplah wanita.” Medan, Mei 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)