Monday 21 March 2016

perJALANan BERKARYA 2016






METODE PENELITIAN SASTRA, SEBUAH PENGANTAR



METODE PENELITIAN SASTRA, SEBUAH PENGANTAR

1.      Ilmu Sastra
a.      Sejarah Sastra
Banyak dari kita yang sering mendengar suatu istilah bahkan sampai hafal istilah itu. Tapi kelemahan kita adalah menghafal tanpa mengerti arti sebenarnya dari istilah tersebut. Istilah sastra kerap melintas ditelinga kita tapi apakah  sesungguhnya sastra itu?
Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
            Sejarah sastra bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai timbulnya hingga perkembangannya yang terakhir. Misalnya, sejarah timbulnya suatu kesusastraan, sejarah jenis sastra (genre), sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran-pikiran manusia yang dikemukakan dalam karya-karya sastra, dan sebagainya (Pradopo, 2007: 9).

b.      Kritik Sastra
Kritik sastra adalah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidaknya (Pradopo, 2007: 9).
Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang berurusan dengan penilaian sastra atau suatu kegiatan yang menilai baik-buruknya karya sastra atau kritik sastra itu semacam resensi dan ulasan kritik sastra. Prinsip kritik sastra adalah mengobrak-abrik karya sastra untuk memperoleh mana yang baik dan mana yang buruk. Menurut HB. Yassin kritik sastra adalah pertimbangan baik dan buruk sesuatu hasil karya sastra.
Kritik sastra bersifat ilmiah karena terikat pada teori, metode, dan objek. Kritik sastra memberikan penilaian atas karya sastra berdasarkan teori dan sejarah sastra, artinya kritik sastra memerlukan teori dan sejarah sastra dan sebaliknya kritik sastra memberikan sumbangan pendapat atau bahan bagi penyusunan/pengembangan teori sastra dan sejarah sastra.Kritik sastra dapat memberikan petunjuk kepada pembaca tentang karya sastra yang unggul dan yang rendah, yang asli dan yang bukan serta memberikan sumbangan pendapat/pertimbangan kepada pengarang tentang karyanya.

1.      Jenis-Jenis Kritik Sastra
i.                    Menurut Bentuknya
Kritik sastra menurut bentuknya dapat digolongkan menjadi kritik teori (thoeritical criticism), dan kritik terapan (applied criticism). Kritik teori adalah bidang kritik sastra yang bekerja untuk menerapkan istilah-istilah, kategori-kategori dan kriteria-kriteria untuk diterapkan dalam pertimbangan dan interprestasi karya sastra, yang dengannya karya sastra dan para sastrawannya dinilai. Adapun kritik terapan adalah pelaksanaan dalam penerapan teori-teori kritik sastra sastra baik secara eksplisit, maupun implisit.
ii.                  Menurut Pelaksanaannya
Menurut pelaksanaanya kritik sastra terbagi atas kritik judisial (judicial criticism) dan impresionistik (impressionistic criticism). Kritik judisial adalah kritik sastra yang melakukan analisis, interprestasi, dan penilaiannya berdasarkan ukuran-ukuran, hukum-hukum dan standar-standar tertentu. Kritikus judisal melakukan kritik sastra berdasarkan ukuran-ukuran tersebut. Jenis sifatnya deduktif. Dapat dikatakan kritik ini merupakan kebalikan dari kritik yang sifatnya induktif. Dalam kritik yang induktif, seorang kritikus tidak menerapkan standar-standar tertentu dalam mengkritik karya sastra. Ia berangkat dari fenomena yang ada dalam karya sastra itu secara objektif. Sedangkan kritik impresionik adalah kritik yang dibuat kritikus dengan mengemukakan kesan-kesan kritikus tentang objek kritiknya, tanggapan-tanggapan tentang kara sastra itu berdasarkan apa yang dirasakan kritikus tersebut. Dalam kritik yang impresionik, seorang kritikus menggunakan tafsiran untuk mengagumkan pembaca. Dalam kritik jenis ini kritikus jarang menggunakan penilaian.

iii.                Menurut Orientasi Kritik
Ferdinaen Saragih dalam artikelnya yang berjudul “Jenis-Jenis Kritik Sastra dan Pengertiannya”, mengutip pendapat Abram dalam David Logde, 1972:5-21 membagi jenis kritik berdasarkan orientasinya, yaitu kritik mimetik, kritik ekspresif, kritik pragmatik dan kritik objektif.
1.    Kritik mimetik adalah kritik yang memandang karya sastra sebagai pencerminan kenyataan kehidupan manusia. Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Sastra merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan kritikus sejauh mana karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan.
2.    Kritik ekspresif adalah kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau imajinasi pengarang. Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus dalam hal ini cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya. Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya.
3.    Kritik pragmatik memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada audien (pendengar dan pembaca), baik berupa efek kesenangan, estetis, pendidikan maupun efek lainnya. Kritik ini cenderung menilai karya sastra menurut berhasil tidaknya karya tersebut mencapai tujuan tersebut (Pradopo, 1997:26). Kritik ini memandang karya sastra sebagai sesuatau yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada audien (pendengar dan pembaca), baik berupa efek kesenangan, estetis, pendidikan maupun efek lainnya. Sementara tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai tujuan. Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjabana pernah menulis kritik jenis ini yang dibukukan dengan judul “Perjuangan dan Tanggung Jawab” dalam Kesusastraan.
4.    Kritik objektif memandang karya satra hendaknya tidak dikaitkan dengan hal-hal di luar karya sastra itu. Ia harus dipandang dsebagai teks yang utuh dan otonom, bebas dari hal-hal yang melatarbelakanginya, seperti pengarang, kenyataan, maupun pembaca. Objek kritik adalah teks satra: unsur-unsur interinsik karya tersebut.
iv.                Menurut Objek Kritik
Karya sastra terdiri atas beragam jenis, yaitu puisi, prosa dan drama. Artinya, kritik sastra dapat menjadikan puisi, puisi, prosa atau drama sebagai objeknya. Dengan demikain, jenis kritik ini dapat dibagi lagi menjadi berdasarkan objeknya, yakni kritik puisi, kritik prosa, kritik drama. Selain itu, kritik satra itu sendiri dapat dijadikan kritik sehingga dinamakan kritik atas kritik.
Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah dan mengehendaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya. Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dan sebagainya. Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri.
Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 1920-an dan melahirkan teori-teori:
1.              New Critics (Kritikus Baru di AS)
2.              Kritikus formalis di Eropa
3.              Para strukturalis Perancis
v.                  Menurut Sifatnya
Dalam dunia kritik sastra sering terjadi pertentangan antara kritik sastra yang ditulis kalangan akademik dan nonakademik. Hal ini misalnya terlihat pada polemik antara kritikus sastra yang mengusung apa yang dinamakan metode Ganzheit dengan tokoh antara lain Goenawan Mohamad dan Arif Budiman versus kritikus sastra yang kemudian diistilahkan dengan aliran Rawamangun dengan tokoh-tokohnya antaralain M.S Hutagalung. Dapat dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik sasta kalangan akademik. Sedangkan kritik sasta aliran Ganzheti mewakili kalangan nonakdemik.
Ada perbedaan antara dua kritik sastra dua aliran tersebut. Kritik sastra nonakademik tidak terpaku pada format seperti yang terdapat pada petunjuk Teknik Penulisan Ilmiah; teori dan metode sastra meskipun digunakan ─ tidak diekspilitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer. Jenis-jenis tulisannya berupa esai dan artikel yang dipublikasikan lewat koran, majalah, atau buku-buku yang merupakan kumpulan kritik sastra. Para penulisnya umumnya sastrawan, wartawan atau kalangan umum yang tertarik mendalam dunia sastra.

2.      Pendekatan Kritik Sastra
i.                    Pendekatan Mimetik
Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata sebagaimana dikemukakan pertamakali oleh Plato dan Aristoteles. Menurut Platokarya sastra hanyalah tiruan alam yang nilainya jauh di bawah realitas sosial dan ide.Sedangkan menurut Aristotelestiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas manusia.

ii.                  Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang. Dengan demikian apabila segala gagasan, cita, rasa, emosi, ide, angan-angan merupakan “dunia dalam” pengarang, maka karya sastra merupakan “dunia luar” yang bersesuaian dengan dunia dalam itu. Dengan pendekatan ini penilaian sastra tertuju pada emosi atau keadaan jiwa pengarang sehingga karya sastra merupakan sarana untuk memahami keadaan jiwa pengarang.

iii.                Pendekatan Objektif
Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan dari dunia pengarang dan latar belakang sosial budaya zamannya sehingga karya sastra dapat dianalisis berdasarkan strukturnya, dengan kata lain karya sastra dipahami berdasarkan segi intrinsiknya.
iv.                Pendekatan Pragmatik
Pendekatan ini memandang makna karya sastra ditentukan oleh publik pembaca selaku penyambut karya sastra. Dengan demikian karya sastra dipandang sebagai karya seni yg berhasil atau unggul apabila bermanfaat bagi masyarakat, seperti: mendidik, menghibur, menyenangkan, dst.

3.      Kritik Sastra Indonesia Modern
i.                    Kritik Sastra Angkatan Balai Pustaka
Paham para pengarang dalam masa permulaan kesustraan Indonesia modern memandang bahwa karya sastra yang baik adalah suatu karya yang langsung memberi didikan kepada para pembaca (Pradopo, 2007: 94).
Suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral hingga demikian, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya sastra sebagai seni yang menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan yang langsung, sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan pada nomor dua. Begitulah paham pertama dalam penilaian karya sastra yang secara tidak langsung, yang disimpulkan dari corak-corak roman Indonesia yang mula-mula, ialah memberi didikan dan nasehat kepada pembaca.

ii.                  Kritik Sastra Angkatan Pujangga Baru
Dalam masa Pujangga Baru telah bergema pertentangan paham tentang karya sastra, yang berupa paham “seni untuk seni” dan “seni bertendens”. “Seni untuk seni” menghendaki seni yang murni, seni untuk kepentingan seni, seni yang berdiri otonom, bahkan untuk kepentingan seni “murninya”, pada permulaannya ia mementingkan bentuk pengucapannya daripada isi karya sastranya‒ ia lebih mementingkan bentuk pengucapan “seninya” dari “isi” sastranya. Tokoh sastrawan yang gigih bertahan pada semboyan “seni untuk seni” dengan tegas diwakili oleh Sanusi Pane.
“Seni bertendens” menghendaki seni diciptakan untuk tujuan, yaitu untuk kepentingan masyarakat, untuk membawa bangsa Indonesia ke taraf penghidupan yang lebih tinggi. Seniman harus memelopori bangsanya, ia harus memimpin bangsanya dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan dan kehidupan. Tokoh sastrawan yang memegang semboyan ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Pandangan beliau adalah pandangan seorang utilitarian yang lebih mementingkan tujuan daripada pernyataan seni.
Selain Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh sastrawan pada era Pujangga Baru adalah Amir Hamzah, dan Armijn Pane.

iii.                Kritik Sastra Angkatan ‘45
Sastrawan Angkatan ’45 menghendaki kesusastraan yang universal, yang dapt diterima oleh segala manusia, karena yang dikemukakan dalam karya sastra ialah persoalan-persoalan manusia yang umum, persoalan hakikat manusia karena pada hakikatnya manusia seluruh dunia adalah sama, dari sejak dahulu hingga sekarang. Mereka menghendaki kebahagiaan, terbebas dari derita, siksaan, dan penjajahan, dan sebagainya. Maka dalam penilaian pun menghendaki penilaian yang sifatnya universal, yang dapat berlaku secara umum. Angkatan ’45 dipelopori oleh Chairil Anwar dalam bidang puisi dan Idrus dalam bidang prosa. Tokoh Angkatan ’45 yang penting lainnya adalah Asrul Sani dan H. B. Jassin.

iv.                Kritik Sastra Akademik dan Kritik Sastra Nonakademik
Kritik sastra akademik sering dipertentangkan dengan kritik sastra nonakademik. Hal ini mulai mencuat pada polemik yang terjadi tahun 1968-an antara kritikus yang mengusung apa yang dinamakan metode Ganzheit (dengan tokoh-tokohnya antara lain Goenawan Mohamad dan Arif Budiman) versus kritik sastra yang kemudian diistilahkan dengan kritik aliran Rawamangun (dengan salah seorang tokohnya M.S. Hutagalung). Dapat dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik kalangan akademik. Kritik Ganzheit mewakili kritik kalangan nonakademik.
Istilah kritik sastra akademik, atau yang sering diistilahkan pula dengan kritik ilmiah sering ditujukan pada kritik sastra yang ditulis dalam pola-pola tertentu, antara lain secara format mengacu pada Teknik Penulisan Ilmiah (TPI); mendasarkan diri pada teori dan metode tertentu dalam pengkajiannya serta dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah (baku). Jenis kritik ini dapat dilihat pada skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel, jurnal, dan sejenisnya. Kritik sastra ini umumnya ditulis kalangan akademik: mahasiswa, dosen, peneliti di lembaga-lembaga bahasa dan sastra.
Kritik nonakademik bersifat sebaliknya. Kritik sastra ini tidak terpaku pada format TPI; teori dan metode -meskipun digunakan-  umumnya tidak dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer. Jenis-jenis tulisannya berupa esai, resensi, dan artikel yang dipublikasikan lewat koran, majalah, atau buku-buku antologi kritik sastra. Para penulisnya umumnya sastrawan, wartawan, atau kalangan umum yang tertarik dan mendalami sastra.

c.       Teori Sastra
1.    Pengertian Teori Sastra
Teori sastra dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang saling berkaitan secara ilmiah, yang disajikan secara sistematis, yang berfungsi untuk menjelaskan sejumlah gejala sastra (Ratna, 2012: 10). Dalam referensi yang lain dijelaskan Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori,  kriteria  karya  sastra  yang  membedakannya  dengan  yang  bukan  sastra. Secara  umum  yang  dimaksud  dengan  teori  adalah  suatu  sistem  ilmiah  atau pengetahuan  sistematik  yang  menerapkan  pola  pengaturan  hubungan  antara  gejala-gejala  yang  diamati.  Teori  berisi  konsep/  uraian  tentang  hukum-hukum  umum  suatu objek  ilmu  pengetahuan  dari  suatu  titik  pandang  tertentu. Teori sastra dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengkaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra (Tambunsaribu, 2012: 2).
2.      Perkembangan Teori Sastra
Teori sastra berasal dari kata theria(bahasa Latin). Secara etimologis teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Pada tataran yang lebih luas,dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian,konsep,proposisi yang mempunyai korelasi,yang telah teruji kebenarannya.
Pada umumnya, teori dipertentangkan dengan praktik.Setelah suatu ilmu pengetahuan berhasil untuk mengabstraksikan keseluruhan konsepnya pada suatu rumusan ilmiah yang dapat diuji kebenarannya, yaitu teori itu sendiri,maka teori tersebut mesti dioperasikan secara praktis, sehingga cabang-cabang ilmu pengetahuan sejenis dapat dipahami secara lebih rinci dan mendalam.
Pemanfaatan teori formal menurut Vredenbreght (Ratna, 2012: 4), memiliki kelebihan dalam kaitannya dengan usaha peneliti sepanjang sejarahnya, untuk secara terus-menerus memperbaharui sekaligus mengujinya melalui data yang berbeda-beda, sehingga teori makin lama makin sempurna. Teori ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sastra diadopsi melalui pemikiran para sarjana Barat. Tradisi seperti ini sering menimbulkan perdebatan diantara para sarjana Indonesia antara yang tidak setuju dengan yang setuju. Kelompok yang pertama menginginkan agar khasanah Indonesia dianalisis dengan menggunakan teori sastra Indonesia, dengan konsekuensi agar sarjana Indonesia dapat menemukan teori-teori sastra yang lahir melalui sastra Indonesia sebagai teori Indonesia asli,sebaliknya yang kedua tidak mempermasalahkan perbedaan diantaranya, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1.      Tradisi ilmu pengetahuan berkembang diBarat,demikian pula tradisi sastra.
2.      Karya sastra sekaligus bersifat lokal dan universal.
3.      Globalisasi, termasuk paradigma postmodernisme menghapuskan   perbedaan antara Barat dengan Timur.
Sebuah teori disebut baik apabila memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1.      Mudah disesuaikan dengan ciri-ciri karya yang akan dianalisis.
2.      Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
3.      Dapat dimanfaatkan untuk menganalisis, baik ilmu sejenis maupun berbeda.
4.      Memiliki formula-formula yang sederhana tetapi mengimplikasikan jaringan analisis yang kompleks.
5.      Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh kemasa depan.
Teori dan metode memiliki fungsi untuk membantu menjelaskan dua hubungan gejala atau lebih, sekaligus meramalkan model hubungan yang terjadi.
Teori dan metode disamping mempermudah memahami gejala yang akan diteliti yang lebih penting adalah kemampuannya untuk memotivasi,mengevokasi, sekaligus memodifikasi pikiran peneliti.Artinya dengan memanfaatkan teori dan metode tertentu maka dalam pikiran peneliti akan timbul kemampuan untuk memahami gejala sebelumnya yang sama sekali belum tampak. Sebagai alat, teori berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung dilakukan melalui instrument yang lebih konkret yaitu melalui metode dan teknik.
Berbeda dengan objek, aspek kebaruan dalam teori dan metode merupakan syarat pokok.Teori yang lama dengan sendirinya harus ditinggalkan, digantikan dengan teori dan metode yang baru.Demikian seterusnya sehingga teori yang terakhirlah yang dianggap paling relevan. Intensitas terhadap kebaruan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1.      Teori dan metode adalah alat dan cara penelitian.
2.      Teori dan metode adalah hasil penemuan.
3.      Teori dan metode adalah ilmu pengetahuan
karya sastra sebagai objek penelitian, metode dan teori sebagai cara untuk meneliti, berkembang bersama-sama dalam kondisi yang saling melengkapi.
Dalam khasanah sastra Indonesia aktivitas penelitian dengan memanfaatkan teori dan metode intuisif ekspresif sudah dimulai sejak periode Pujangga Baru.Pesatnya perkembangan teori sastra selama satu abad sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dipicu oleh beberapa indikator, sebagai berikut:
1.      Medium utama sastra adalah bahasa, sedangkan dalam bahasa itu sendiri sudah terkandung problematika yang sangat luas.
2.      Sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan, sedangkan dalam budaya itu sendiri juga sudah terkandung permasalahan yang sangat beragam.
3.      Teori-teori utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan Aristoteles, yang dengan sendirinya telah dimatangkan dengan berbagai disiplin, khususnya filsafat.
4.      Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan berbagai cara sebagai teori yang baru.
5.      Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis, kondisi-kondisi sastra yang juga memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.
Dalam ilmu sastra yang dimaksudkan dengan penelitian adalah kegiatan untuk mengumpulkan data,menganalisis data,dan menyajikan hasil penelitian. Peneliti sastra yang pada umumnya disebut kritikus sastra baik sebelum maupun sesudah melakukan penelitian secara sadar mengetahui teori apa yang digunakan, metode dan teknik apa yang membantunya.Penelitian sastra mempertimbangkan ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi bukan generalisasi.
2.      Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan kecuali dalam penelitian tertentu.
3.      Tidak diperlukan objektivitas yang umumsebab peneliti terlibat secara terus-menerus, objektivitas terjadi saat penelitian dilakukan.
4.      Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka deskripsi dan pemahaman berkembang terus.
5.      Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa tapi wacana,teks,sebab sebagai hakikat deskrusif bahasa sudah terikat dengan sistem model kedua dengan berbagai sistem komunikasinya.




3.      Macam-macam Teori Sastra
i.      Teori-Teori Strukturalisme
-          Teori Formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra,secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh tiga faktor sebagai berikut:
1.      Formalisme lahir akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
2.      Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora dimana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.
3.      Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap karya sastra dengan sejarah sosiologi dan psikologi.
Formalisme menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahami dalam kaitannya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karya sastra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai sistem komunikasi, berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi, oleh karena itulah, cara kerjanya disebut metode formal.
Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri dari para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu:
a). Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur.
b). Mahzab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev Iaukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk dalam Ratna, 2012: 82).
Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan puitika,asosiasi,oposisi,dan sebagainya.Metode yang digunakan adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks, juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan cara memaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan yang terorganisasikan. Formalisme dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern (Luxemburg, dkk dalam Ratna. 2012: 83).
Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme, diantaranya: kesastraan, bentuk dan isi, fabula dan sjuzet, otomatisasi dan defamiliarisasi.



-          Teori Strukturalisme Dinamik
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin yang yang berarti bentuk atau bangunan. Menurut Teeuw (dalam Ratna, 2012: 88), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya hasil-hasil yang dicapai melalui tradisiformalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Di satu pihak, para pelopor formalis sebagian besar terlibat dalam mendirikan strukturalis. Di pihak lain atas dasar pengalaman formalislah mereka mendirikan strukturalisme, dengan pengertian bahwa berbagai kelemahan yang terkandung dalam formalisme diperbaiki kembali dalam strukturalisme.
Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antar unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan.
Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dianggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak, bahkan ‘mematikan’ subjek pencipta. Oleh karena itulah strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema dalam Ratna, 2012: 93). Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima.

-          Teori Semiotika
Pada dasarnya kelahiran strukturalisme dan semiotik masing-masing berakar dalam kondisi yang berbeda sesuai dengan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Menurut Noth (dalam Ratna, 2012: 97) ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik logika, retorika, dan hermeunetika. Masih dalam Ratna, Culler menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Begitupun pendapat Selden (dalam Ratna, 2012: 97) menganggap strukturalisme dan semiotik termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Untuk menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika. Demikian juga sebaliknya, analisis semiotika mengandaikan sudah melakukan analisis strukturalisme.
Menurut Paul Cobley dan Litza Janz (dalam Ratna, 2012: 97) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang bearti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
Kajian mengenai semiotika secara benar-benar ilmiah baru dilakukan pada awal abad ke-20, yang dilakukan oleh dua orang ahli yang hidup pada zaman yang sama, dengan konsep dan paradigma yang hampir sama, tetapi sama sekali tidak saling mengenal. Kedua sarjana tersebut adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Saussure adalah ahli bahasa, sedangkan Peirce adalah ahli filsafat dan logika, tetapi di samping itu ia juga menekuni ilmu kealaman, psikologi, astronomi, dan agama. Saussure menggunakan istilah semiologi, sedangkan Peirce menggunakan istilah semiotika.
Dalam semiotika, terdapat dua aliran utama, yaitu Saussurean dan Peircean. Menurut Aart van Zoest (dalam Ratna, 2012: 103), dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semioyika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut.
1.      Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirm dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seprti rambu-rambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.
2.      Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symtom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyakatan, dipelopori oleh Ronald Barthes.
3.      Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.
Dalam lapangan semiotika, pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu (1) penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan (2) pertanda (signified) atau yang ditanda yang merupakan arti tanda. Ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon dan indeks merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan ilmiah, yaitu persamaan dan sebab akibat, antara penanda dan pertanda. Simbol adalah tanda yang tidak menunjukkan adanya hubungan ilmiah antara keduanya, hubungannya bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem tanda yang utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti simbol ditentukan oleh konvensi masyarakat.
Bahasa merupakan sistem ketandaan tingkat pertama. Dalam sistem ketandaan tingkat pertama ini ditingkatkan menjadi sistem ketandaan tingkat kedua. Arti bahasa tingkat pertama disebut arti (meaning), arti bahasa dalam sastra sebagai sistem tanda tingkat kedua biasa disebut makna (significance) yang merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra di samping konvensi bahasa itu sendiri. Oleh karena itu yang dimaksud makna (bahasa) sastra itu bukan semata-mata arti bahasanya.  Jadi, yang dimaksud makna karya sastra itu meliputi arti bahasa, suasana, perasaan, intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan segala pengertian tanda-tanda yang ditimbulkan oleh konvensi sastra.
Menurut Pradopo (dalam Hudayat, 2007: 59) studi sastra bersifat semiotik itu adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu memungkinkan karya sastra mempunyai makna-makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur karya sastra atau hubungan-dalam (internal relation) antar unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna. Bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang memberikan makna dan efek-efek lain dari arti yang diberikan oleh penggunaan bahasa biasa. Oleh karena memberi makna karya itu dengan jalan mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sastra, maka menganalisis karya sastra itu adalah memburu tanda-tanda.
Dalam sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di luar dirinya itu dimungkinkan, sesuai dengan tanda bahasa yang bermakna, yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar strukturnya. Berhubungan dengan hal ini, dalam metode sastra semiotik dikenal metode hubungan intertekstual untuk memberi makna lebih penuh kepada sebuah karya sastra daripada jika karya sastra hanya dianalisis secara struktural murni. Prinsip hubungan antarteks ini disebabkan oleh kenyataan bahwa karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Sebuah karya sastra merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya. Menurut pandangan intertekstualitas, sebuah karya sastra merupakan jawaban terhadap karya sastra yang lain yang lahir sebelumnya, baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan konvensi ataupun konsep estetik, atau yang lain. Untuk memberikan makna atau konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas itu perlu diterapkan, yaitu dengan jalan membandingkan sistem tanda dalam hipogramnya dengan sistem tanda karya sastra yang menanggapi dan mentransformasikannya. Sistem tanda tersebut berupa konvensi-konvensi tambahan dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang memungkinkan diproduksinya maknakarya sastra.
Semiotika Sastra.
Ikon yaitu ciri-ciri kemiripan itu sendiri, berfungsi sebagai menarik partikel-partikel ketandaan, sehingga proses intrpretasi dimungkinkan secara terus-menerus. Ada tiga macam ikon, yaitu: a) ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang, misalnya puisi-puisi konkret atau visual, b) ikon diagramatis atau relasional, berdasarkan persamaan dua diagram, c) ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan sekaligus langsung atau tidak langsung, misalnya alegori atau parabel. Edmund Leach (dalam Ratna, 2012:116) membedakan antara simbol dengan tanda dan sinyal. Sinyal menunjukkan hubungan dua gejala secara mekanis dan otomatis. Simbol ditandai oleh dua ciri, yaitu: a)antara penanda dan petanda tak ada hubungan intrinsik sebelumnya, b) penanda dan petanda merupakan unsur struktural yang berbeda. Ciri-ciri tanda, a) ada hubungan intrinsik sebelumnya, b) termasuk kedalam konteks kultural yang sama.
Semiotika Sosial
Semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat teks sebagai gejala yang dinamis. Sebagai ilmu tanda, semiotika sosial mesti dipahami dalam kaitannya dengan konteks, dimana tanda-tanda tersebut difungsikan. Tanda difungsikan dalam dirinya sendiri. Oleh karena itulah baik dalam strukturalisme maupun semiotika konsep antar hubungan memegang peranan yang sangat menentukan, fungsi-fungsi yang selalu diabaikan oleh para peneliti sastra.

-          Teori Strukturalisme Genetik
Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Baik strukturalisme dinamik maupun strukturalisme genetik juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas, bahasa sastra. Perbedaannya, strukturalisme dinamik terbatas dalam melibatkan peranan penulis dan pembaca dalam rangka komunikasi sastra, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh yaitu ke struktur sosial. Langkah-langkah inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik sangat dominan pada periode tertentu, dianggap sebagai teori yang berhasil memicu kegairahan analisis, baik di Barat maupun di Indonesia.
Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldmann sampai pada kesimpulan bahwa struktur bermakna, dimana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya sehimgga setiap unsur menopang totalitasnya.
Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian, sebagai teori yang telah teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh teori sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subyek transindividual, dan pandangan dunia. Konsep-konsep inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik pada puncak kejayaannya, sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an.
Secara definitif strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subyek transindividual, dan pandangan dunia. Dalam penelitian, langkah-langkah yang dilakukan, di antaranya: a) meneliti unsur-unsur karya sastra, b) hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra, c) meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra, d) hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat, e) hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.

-          Teori Strukturalisme Naratologi
Naratologi, dari kata narratio (bahasa Latin, berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pen (cerita) an. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaiman hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita.
Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, demikian juga dengan wacana teks, berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya. Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atua fiksional dalam urutan waktu. Narator atau agen naratif (Mieke Bal dalam Ratna dalam Hudayat, 2007: 72) didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek secara linguistik, bukan person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya yang dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora).
Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, maka hanya penceritaan yang memiliki identitas yang sama baik dengan wacana atau teks. Bal menyebutkan bahwa pembaca membaca teks dan wacana yang berbeda dari cerita yang sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan bahasa, tetapi bagaimana cerita ditampilkan kembali. Setiap orang misalnya, akrab dengan cerita Jaka Tarub, tetapi tidak semua orang menikmati cerita tersebut melalui teks yang sama sebab teks tidak diceritakan dalam bahasa, melainkan melalui bahasa; diceritakan oleh narator, bukan pengarang.
Dalam analisis diskursif yang termasuk dalam wilayah pascastruktural, analisis naratif merupakan bagian ideologi. Cerita dan penceritaan dimanfaatkan untuk melegetimasi kekuatan dan kekuasaan bagi mereka yang memilikinya. Revolusi, restorasi, dan afirmasi terhadap kelompok tertentu tidak semata-mata dilakukan melalui kekuatan fisik, politik, dan ekonomi, tetapi juga melalui kata-kata, semboyan, dan wacana. Pada paham pascastruktural, naratologi tidak membatasi diri pada teks sastra saja melainkan keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas manusia, sehingga kajiannya bersifat interdisipliner. Aktivitas kebudayaan pun sesungguhnya adalah teks yang dengan sendirinya dapat dianalisis sesuai dengan ciri-ciri teks. Visi sastra kontemporer memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki posisi penting dalam memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan bahwa di satu pihak ceritalah yang menampilkan keseluruhan unsur karya; cerita sebagai tulang punggung karya. Di pihak lain, dalam kaitannya dengan kebudayaan yang lebih luas, cerita berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh aktivitas manusia sekaligus mewariskannya kepada generasi berikutnya. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa dunia kehidupan itu sendiri dianggap sebagai teks yang dengan sendirinya dapat dipahami melalui paradigma sebuah teks.
Teori sastra kontemporer memberikan wilayah yang sangat luas terhadap eksistensi naratif. Wilayah tersebut selain menjangkau novel, juga roman, cerpen, puisi naratif, dongeng, biografi, lelucon, mitos, epik, catatan harian, dan sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada genre sastra, tetapi juga setiap bentuk cerita dalam media massa.
Secara historis, Maria-Laure Ryan dan Ernst van Alphen (Makaryk dalam Hudayat, 2007: 75) menyebutkan bahwa naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1.      Periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an).
2.      Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an).
3.      Periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).
Awal perkembangan teori narasi dapat dilacak Poetica Aristoteles (cerita dan teks); Henry James (tokoh dan cerita); Forster (tokoh bundar dan datar); Percy Lubbock (teknik naratif), dan Vladimir Propp (peran dan fungsi). Pada umumnya periode strukturalis terlibat ke dalam dikotomi fabula dan sjuzhet (cerita dan plot). Para pelopornya, di antaranya: Claude Levi-Strauss (struktur mitos), Tzvetan Todorov (historie dan discours), Claude Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text). Greimas (tata bahasa naratif dan struktur actans). Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration). 
Naratologi pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi parole dan langue, fabula, dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif nonliterer, interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis. Para pelopornya, di antaranya: Gerard Gennet (urutan, durasi, frequensi, modus, dan suara), Gerald Prince (struktur narratee), Seymoeur Chatman (struktur naratif), Jonathan Culler (kompetensi sastra), Roland Barthes (Kernels dan satellits), Mikhail Bakhtin (wacana polifonik), Hayden White (wacana sejarah), Marry Louise Pratt (tindak kata), Umberto Eco (wacana dan kebohongan), Jacques Derrida (dekonstruksi), Michel Foucault (wacana dan kekuasaan), Jean-Francois Lyotard (metanarasi), dan Jean Baudrillad (hiperealitas, pastiche).
Berikut ini dibicarakan empat ahli naratologi, yaitu Propp, Levi-Strauss, Todorov, dan Greimas sebagai pelopor naratologi periode strukturalis. 
1.      Vladimir Propp
Propp dianggap sebagai strukturalis pertama yang membicarakan secara serius struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzhet. Objek penelitian Propp adalah cerita rakyat, seratus dongeng Rusia yang dilakukan tahun 1928 dan baru dibicarakan secara luas tahun 1958. Propp (dalam Hudayat, 2007: 76) menyimpulkan bahwa semua cerita yang diselidiki memiliki struktur yang sama. Artinya, dalam sebuah cerita para pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi perbuatan dan peran-perannya sama. Oleh karena itu, penelitian Propp disebut sebagai usaha untuk menemukan pola umum plot dongeng Rusia bukan dongeng pada umumnya. Menurutnya, dalam struktur naratif yang penting bukanlah tokoh-tokoh, melainkan aksi tokoh-tokoh yang selanjutnya disebut fungsi. Unsur yang dianalisis adalah motif (elemen), unit terkecil yang membentuk tema. Propp memandang sjuzhet sebagai tema bukan plot seperti yang dipahami oleh kaum formalis. Menurutnya, motif merupakan unsur yang penting  sebab motiflah yang membentuk tema. Sjuzhet dengan demikian hanyalah produk dari serangkaian motif. Motif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: pelaku, perbuatan, dan pendeita yang kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur tetap (perbuatan) dan unsur yang berubah (pelaku dan penderita). Dalam hubungan ini yang penting adalah unsur yang tetap (perbuatan) yaitu fungsi itu sendiri. 
Propp mengemukakan bahwa fungsi merupakan unsur yang stabil, tidak tergantung dari siapa yang melakukan. Di sini, persona bertindak sebagai variabel. Propp menyimpulkan bahwa jumlah fungsi yang terkandung dalam dongeng yang ditelitinya maksimal 31 fungsi yang dikelompokkan ke dalam tujuh ruang tindakan atau peranan, yaitu: (1) penjahat, (2) donor, (3) penolong, (4) putri dan ayahnya, (5) orang yang menyuruh, (6) pahlawan, dan (7) pahlawan palsu. Menurut Propp dan Teeuw (dalam Hudayat, 2007: 77), tujuan Propp bukan tipologi struktur tetapi melalui struktur dasar dapat ditemukan bentuk-bentuk purba. Dengan kalimat lain, dengan menggabungkan antara struktur dan genetiknya (struktur mendahului sejarah), maka akan ditemukan proses penyebarannya kemudian. Model Propp mendasari penelitian dari Greimas, Bremond, dan Todorov.   

2.      Levi-Strauss
Berbeda dengan Propp, Levi-Strauss lebih memberikan perhataiannya pada mitos.  Levi-Strauss menilai cerita sebagai kualitas logis bukan estetis. Ia mengembangkan istilah myth dan mytheme melalui jangkauan perhatiannya terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik secara bulat maupun fragmentasi. Menurutnya, mitos adalah naratif itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan tertentu. 
Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat. Dengan kalimat lain, Levi-Strauss menggali gejala di balik material cerita, sebagaimana tampak melalui bentuk-bentuk yang telah termodifikasikan, dan harus direkonstruksi melaluinya. Mytheme yang mungkin susunannya tidak teratur, sebagaimana dekronologisasi kejadian dalam plot, maka tugas penelitilah untuk menyusun kembali sehingga dikemukakan makna karya yang sesungguhnya. Pendekatan antropologi sastra, melalui struktural, khususnya konsep-konsep oposisi biner, tabu, dan incest, misalnya, dilakukan terhadap mitos Oedipus. Di satu pihak, oposisi biner didasarkan atas kenyataan bahwa manusia secara kodrati memiliki kecenderungan untuk berpikir secara dikotomis, seperti laki-laki perempuan, bumi langit, dan sebagainya. Pelarangan perkawinan di antara keluarga secara logis memaksa manusia untuk mencari pasangan di luar keluarga yang pada gilirannya akan membentuk ikatan-ikatan baru, sekaligus menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat yang lain.  
Berhubungan dengan pembicaraan strukturalisme, Levi-Strauss menyatakan bahwa struktur bukanlah representasi atau subtitusi realitas. Struktur dipahaminya sebagai realitas empiris itu sendiri yang tampil sebagai organisasi logis yang disebut sebagai isi. Oleh karena itulah, disebutkan bahwa isi tidak bisa terlepas dari bentuk tersebut, dan sebaliknya. 

3.      Tzvetan Todorov
Disamping memperjelas perbedaan antara fabula dan tsuzhet, Todorov (dalam Hudayat, 2007: 79) mengembangkan konsep historie dan discours yang sejajar dengan fabula dan stuzhet. Dalam menganalisis tokoh-tokoh, Todorov menyarankan untuk melakukannya melalui tiga dimensi, yaitu: kehendak, komunikasi, dan partisipasi. Menurutnya, objek formal puitika bukan interpretasi atau makna, melainkan struktur atau aspek kesastraan yang terkandung dalam wacana. Dalam analisis harus mempertimbangkan tiga aspek, yaitu (1) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan logis, (2) aspek semantik, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema, tokoh, dan latar, dan (4) aspek verbal, meneliti sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya. 
Konsep Todorov yang lain adalah in presentia dan in absentia. Konsep pertama menyatakan hubungan unsur yang hadir bersama, secara berdampingan, sebagai hubungan konfigurasi atau konstruksi. Konsep kedua menyatakan hubungan yang salah satu faktornya tidak hadir, sebagai hubungan makna dan perlambangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya antarhubungan adalah kausalitas.
Tokoh menunjukkan tokoh lain sebagai antitesis (in praesentia). Sebaliknya tokoh juga dapat menunjuk sesuatu yang lain di luar struktur naratif (in absentia). Todorov membedakan antara sastra sebagai ilmu mengenai sastra (puitika) dan sastra dalam kaitannya dengan disiplin yang lain, sastra sebagai proyeksi, seperti: psikologi sastra, sosiologi sastra, studi biografi, kritik fenomenologis, dll. 

4.      Greimas
Objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu dongeng, tetapi diperluas pada mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi yang hampir sama, Greimas (dalam Abdullah, 1999: 11-13; Ratna: 2004: 137-140, dalam Hudayat, 2007: 80) memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam dengan tujuan yang lebih universal, yaitu tata bahasa naratif universal. Greimas lebih mementingkan aksi dibandingkan dengan pelaku. Tidak ada subjek di balik wacana. Yang ada hanyalah subjek, manusia semu yang dibentuk oleh tindakan yang disebut actans dan acteurs. 
Berbeda dengan actans yang terbatas fungsinya dalam struktur naratif, acteurs merupakan kategori umum.  Dia mencontohkan: John dan Paul memberikan apel kepada Mary. John dan Paul adalah dua acteurs tetapi satu actans. John dan Paul juga merupakan pengirim. Mary sebagai penerima. Apel adalah sebagai objek. Dalam kalimat John membelikan dirinya sendiri sebuah baju, John adalah satu acteu yang berfungsi sebagai dua actans, baik sebagai pengirim maupun penerima.
Kemampuan Greimas dalam mengungkap struktur actas dan acteurs menyebabkan teori struktur naratologinya tidak semata-mata bermanfaat dalam menganalisis teks sastra melainkan juga filsafat, religi, dan ilmu sosial lainnya. Tiga puluh satu fungsi dasar analisis Propp disederhanakan menjadi dua puluh fungsi yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga struktur, yaitu struktur berdasarkan perjanjian, struktur yang bersifat penyelenggaraan, dan struktur yang bersifat pemutusan. Demikian juga tujuh ruang tindakan disederhanakan menjadi enam actans (peran, pelaku, para pembuat) yang dikelompokkan menjadi tig pasangan oposisi biner, yaitu subjek dengan objek, kekuasaan dengan orang yang dianugerahi atau pengirim dan penerima, dan penolong dengan penentang.
Actans merupakan peran-peran abstrak yang dapat dimankan oleh seorang atau sejumlah pelaku. Actans merupakan struktur dalam, sedangkan acteurs merupakan struktur luar. Acteurs merupakan manifestasi kongkret actans. Oleh karena itu, artikulasi acteurs menentukan dongeng tertentu, sedangkan struktur actans menentukan genre tententu. Acteurs yang sama pada saat yang berbeda-beda dapat merepresentasikan actans yang berbeda-beda. Sebaliknya, actans yang sama terbentuk oleh acteur yang berbeda-beda. 
Untuk menyederhanakan konsep-konsep tersebut di atas, maka dalam kritik sastra Indonesia istilah fabula dan sjuzet sebagai konsep dasar dari naratologi ditafsirkan dengan istilah cerita dan penceritaan. Dalam penceritaanlah terkandung  wacana dan atau teks.  Penceritaan memiliki identitas yan hampir sama dengan wacana, teks, dan plot.  Cerita adalah bahan kasar, perangkat peristiwa, seperti ringkasan cerita atau sinopsis. Wacana adalah cerita yang telah disusun kembali tetapi lebih banyak berkaitan dengan unsur bahasa , sebagai model pertama. Adapun teks adalah susunan peristiwa yang sesungguhnya; susunan kejadian yang didominasi oleh kualitas literer, sebagai model kedua. 

ii.    Teori-Teori Postrukturalisme
Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir baik dalam bentuk teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam menguji objek. Pada umumnya kelemahan strukturalisme dapat diidentifikasi sebagai berikut: a)model strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab semata-mata didasarkan pada struktur dan sistemtertentu. b) strukturalisme terlalu banyak memberikan perhatian suatu karya sastra sebagai kualitas otonom dengan sistem dan strukturnya.c) hasil analisis dengan demikian seolah-olah demi karya sastra itu sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas.
Strukturalisme (Ritzer dalam Ratna, 2012: 144) lahir sebagai reaksi terhadap model-model penelitian sebelumnya yang memberikan perhatian pada sejarah dan asal-usul suatu gejala kultural khususnya bahasa. Sedangkan  postmodernisme, berasal dari kata ‘post’ +modern+ ‘isme’ yang berarti paham sesudah modern, dan postkulturalisme, dari kata ‘post’ +struktur+ ‘isme’ yang berarti paham sesudah struktur, baik secara historis pragmatis maupun intelektual akademis memiliki kaitan yang sangat erat. Prefiks ‘post’ dengan padanannya, seperti ‘para’ dan akhir, sudah digunakan jauh sebelumnya, seperti post industri, para-Marxis, akhir manusia dan akhir sejarah, dan sebagainya.Postmodernisme dan postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat, dipicu oleh tiga indikator yang saling melengkapi, yaitu:
1.      Postmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderungan mutakhir peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.
2.      Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai teks, maupun nonsastra sebagaidiskursus.
3.      Perkembangan pesat interdisipliner yang memungkinkan berbagai disiplin dalam kajian tunggal.

a.      Teori Postmodernisme
Modernisme dan postmodernisme merupakan dua gejala yang saling melengkapi, postmodernisme tidak menghancurkan modernisme, post modernisme hanya membangkitkan kembali segala sesuatu yang laten, tersembunyi, terlupakan, terabaikan, dan terlalaikan. Semua yang terlupakan tersebut, bagi kelompok postmodernisme tetap memiliki fungsi, yang dengan sendirinya juga harus diberikan arti. Meskipun demikian Robert Dunn (dalam Ratna, 2012: 151) mencoba memberikan ciri-ciri modernisme dengan postmodernisme, diantaranya: a) pergeseran nilai yang menyertai budaya massa dari produksi ke konsumsi, dari pencipta ke penerima, dari karya ke teks, dariseniman ke penikmat, b) pergeseran dari keseriusan (intelektualitas) ke nilai-nilai permainan(populer), dari kedalaman kepermukaan, dari universal ke partikular, c) kebangkitan kembali nilai-nilai estetis periode 1960-an, d) munculnya politik representasi periode 1970-an yang menentang struktur otoritas, e) kebangkitan kembali tradisi primordial dan nilai-nilai masyarakat lainnya.
Ciri-ciri utama teori postmodern (Linda Hutcheon dalam Ratna, 2012: 154) dan dengan sendirinya juga postrukturalisme adalah penolakan terhadap adanya satu pusat, kemutlakan, narasi-narasi besar, metanarasi, gerak sejarah yang monolinier. Poststrukturalisme menolak sistem pemikiran tunggal (homologi), seperti ras, agama, laki-laki, dan sebagainya dengan cara menawarkan sistem pemikiran plural (parologi). Narasi besar hanya satu, sedangkan narasi kecil merupakan hasil setiap orang yang bersikap demokratis, aktif, partisipatif, dan kreatif. Postmodernisme mensubversi uniformitas, homogenitas, dan totalisasi dengan memberikan intensitas pada perbedaan-perbedaan relativitas dan pluralisme. Postmodernisme mengakui identitas lain sebagai retivisme budaya. Oleh karena itu, metode yang dianggap tepat adalah kualitatif, sebab tujuannya bukanlah objektifitas, tatapi dasar-dasar berpikir yang berbeda.

b.      Teori Poststruktulisme
Hubungan antara strukturalisme dengan poststrukturalisme sangat kompleks. Menurut Teeuw (dalam Ratna, 2007: 160) strukturalisme dianggap memiliki kelemahan dengan alasan, a) belum memiliki syarat sebagai teori yang lengkap, b) Karya seni tidak bis diteliti secara terpisah daro struktur sosial, c) Kesangsian terhadap struktur obyektif karya, d) Karya dilepaskan dari relevansi pembacanya, dan e) Karya sastra juga dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya. Di satu pihak strukturalisme mementingkan pola-pola, di pihak lain menekankan adanya satu arti. Oleh karena itulah, strukturalisme perlu disempurnakan, yang secara keseluruhan dilengkapi oleh poststrukturalisme.
Atas dasar persamaan dan perbedaannya dengan strukturalisme, maka secara definitif poststrukturalisme adalah teori-teori sastra sesudah strukturalisme. Persamaan yang dimaksudkan, baik strukturalisme maupun poststrukturalisme memandang struktur yaitu unsur-unsur dengan mekanisme antar hubungannya sebagai masalah utama. Perbedaannya, apabila strukturalisme memandang antar unsur dengan mekanisme hubungan yang relatif stabil, bahkan statis, maka postsrukturalisme memadang model hubungan tersebut bersifat labil dan dengan sendirinya dinamis. Secara praktis kelompok strukturalis berusaha menguasai teks, kemudian berusaha mengungkapkan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya.

-          Teori Resepsi Sastra
Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Respons yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu.
Secara etimologis resepsi berarti tanggapan. Analog dengan pengertian tersebut, maka rsepsi sastra berarti tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Sesuai dengan namanya pendekatan ini mencoba memahami dan menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para pembaca terhadap karya sastra tertentu. Pendekatan tersebut dilandasi oleh pandangan bahwa sejak terbitnya karya sastra selalu mendapat tanggapan dari para pembacanya (Pradopo dalam Wiyatmi, 2008: 102).
Resepsi sastra tampil sebagai sebuah teori dominan sejak tahun1970-an dengan pertimbangan:
1.      Sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap bahwa hanya memberikan perhatian terhadap unsur-unsur.
2.      Timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka kesadaran humanisme universal.
3.      Kesadaran bahwa nilai karya sastra dapat dikembangkan hanya melalui kompetensi pembaca.
4.      Kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca.
5.      Kesadaran bahwa nilai terkandumg dalamhubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca.
Dalam penelitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu: a) resepsi secara sinkronis, b) resepsi secara diakronis. Bentuk pertama meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman. Sekelompok pembaca, misalnya, membeeikan tanggapan baik secara sosiologis maupun psikologis terhadap sebuah novel. Bentuk resepsi yang lebih rumit adalah tanggapan pembaca secara diakronis sebab melibatkan pembaca sepanjang sejarah. Penelitian resepsi secara diakronis memerlukan data dokumenter yang memadai.

-          Teori Interteks
Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubunga-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemuka hypogram. Interteks dapat dilakukan dengan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak sematamata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.
Pemahaman secara intertekstual menggali secara maksimal makna-makna yang terkandung dalam sebuah teks. Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan pada pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat teori-teori pascastrukturalis, pembaca bukan lagi menjadi konsumen, melainkan produsen. Oleh karena itulah, secara aktif aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu: (a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya. Intertekstualitas yang sesungguhnya adalah yang kesua, sebab aktivitas inilah yang memungkinkan terjadinya teks jamak, teks tanpa batas.

-          Teori Feminis
Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woofl, dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Perkembangannya yang sangat pesat, yaitu sebagai salah satu aspek teori kebudayaan kontemporer, terjadi tahun 1960an. Model analisisnya sangat beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Teeuw dalam Ratna (2012: 183) beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis didunia Barat tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Berkembangnya teknik kontrasepsi yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.
2.      Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
3.      Lahirnya gerakan pembebasan dari ikata-ikatan tradisional, misalnya ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa, dan sebagainya.
4.      Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
5.      Perkembangan pendidikan secara khusus dinikamati oleh perempuan.
6.      Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti kritik baru dan strukturalisme.
7.      Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideologi Marxisortodoks, tidak terbatas sebagi Marxis Soviet atau China, tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan.
Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama kritik sastra feminis, adalah salah satu kajian karya sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya. Djananegara dalam Wiyatmi (2008: 113) feminisme dan pascamodernisme pada umumnya menggoncangkan sistem nilai yang telah mapan, mendekonstruksi sistem pemikiran tunggal, narasi-narasi besar, baik yang berkaitan dengan wacana sastra maupun sistem religi, patriarki, ideologi, dan sebagainya. Sebagai gerakan kontemporer, feminisme dan pascamodernisme mempertanyakan kredibilitas cita-cita besar, cerita-cerita yang membentuk metanarasi, homologi menurut pemahaman Lyotard. Menurut teori pascamodernisme, legitimasi homologi perlu dideligitimasikan, yaitu dengan cara paralogi, sistem pemikiran plural.
Teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas dan ras, khususnya konflik gender. Artinya, antara konflik kelas dengan feminisme memiliki asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat.
Sesuai dengan latar belakang kelahirannya, sebagai gerakan politik, sosial dan ekonomi, analisis feminis dengan demikian termasuk penelitian multidisiplin, melibatkan berbagai ilme pengetahuan. Keberagaman dan perbedaan objek dengan teori dan metodenya merupakan ciri khas studi feminis. Dalam kaitannya dengan sastra, bidang studi yang relevan diantaranya: tradisi literer perempuan, pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan, tokoh-tokoh perempuan, novel populer dan perempuan, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan kajian budaya, permasalahan perempuan lebih banyak berkaitan dengan kesetaraan gender. Tokoh terpenting feminis kontemporer yaitu Luce Irigarai, Julia Kristeva, Helene Cixous, da
n Donna Haraway.

-          Teori Postkolonial
Secara etimologis postkolonial berasal dari kata “post” dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata colonia, bahasa romawi yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya, postkolonial melibatkan tiga pengertian, yaitu: a)abad berakhirnya imperium kolonial diseluruh dunia, b) segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial, c) teori-teori yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah pascakolonialisme. Paling sedikit terkandung empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori postkolonial, yaitu:
1.      Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator masa lampau dengan masa sekarang.
2.      Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
3.      Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasi yang paling signifikan.
4.      Berbagai masalah yang dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak.
(Said,2003:44-45, visi postkolonial menunjukkan bahwa pada masa penjajahan yang ditanamkan adalah perbedaan sehingga jurang pemisah antara kolonial dengan pribumi bertambah lebar.
Analisis wacana postkolonialis bisa digunakan, di satu pihak untuk menelusuri aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan, sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja, di pihak lain membongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya. Dalam hubungan inilah peranan bahasa, sastra dan kebudayaan pada umumnya dapat memainkan peranan sebab dalam ketiga gejala tersebutlah terkandung wacana sebagaimana diintesikan oleh kelompok kolonialistik.

-          Teori Dekonstruksi
Ciri khas deskrontruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derida (Ratna, 2012: 222) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berfikir lainnya yang bersifat hirerakis dikotomis.
Dekonstruksi merupakan metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Tokoh lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom.
Prinsip dekonstruksi yaitu melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi) dan Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan. Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan. Dekonstruksi mentut kita lebih teliti dan kritis terhadap teks sastra.

c.       Teori Postrukturalisme Naratologi
Naratologi adalah bidang ilmu mengenai narasi,studi mengenai bentuk dan fungsi naratif.Secara definitife menurutLuxemburg, dkk (Ratna, 2012: 240) yang dimaksudkan denganstruktur wacana atau teks naratif adalahsemua wacana atau teks yang isinya merupakan rangkaian peristiwa,yang dibedakan menjadistruktur narasi fiksi dan struktur narasi nonfiksi.Dalam sastra oral (Ruth Finnegan dalam Ratna 2012: 243) karya sastra tidak dapat dipahani semata-mata melalui teks, melalui struktur naratif sebab karya selalu berubah setiap kali dipentaskan. Pementasan tidak bisa dianggap sebagai aspek sekunder atau pelengkap,melainkan merupakan bagian integral totalitas.

2.      Fokus Penelitian Sastra
Langkah awal dalam merencanakan sebuah penelitian sastra adalah menentukan teks sastra yang aka dikaji atau diteliti dan persoalan apa yang hendak diteliti. Setelah itu, langkah kedua adalah penentuan fokus penelitian. Secara umum, penelitian sastra dibagi menjadi lima fokus, yaitu:
1.      Penelitian genetik (penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan penulis).
Penelitian dengan fokus ini percaya bahwa kajian akan mencapai objektivitas jika pengkaji meneliti intensitas penulis atau apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh penulis, karena penulis adalah sumber informasi yang paling sahih dan dapat dipercaya tentang teks yang dihasilkannya. Dengan kata lain, seperti apa makna dari suatu puisi adalah apa yang dimaksud penulis tentang puisi tersebut tatkala ia menciptakannya. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaitkan antara karya sastra dengan kehidupan, pikiran, intensitas, milliu sosial/politis/intelektual atau kepribadian penulisnya, baik yang bersifat sadar maupun bawah sadar. Jika penulis masih hidup wawancara terhadap penulis dilakukan untuk mendapatkan data, jika penulis sudah meninggal, apa lagi pada masa yang sudah lampau, peneliti akan membongkar dan mencermati tulisan-tulisan ikhwal penulis, baik dari karya penulis sendiri (surat, catatan harian, tulisan lain, otokritik dan sebagainya) maupun karya orang lain tentang penulis tersebut. Teori yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini: Expressive Realism, Historicism, Biographical Criticism, Psikoanalisis.

2.      Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca.
Penelitian dengan fokus ini melihat pembaca sebagai faktor penentu dari makna.Makna dari sebuah teks tidak mungkin muncul dan tidak lebih dari sekadar onggokan kertas tanpa peran aktif pembaca.Tanggapan dan reaksi pembaca yang bervariasi terhadap suatu teks menjadi daya tarik peneliti. Pada abad ke-20 terjadi pergeseran cara pandang pembaca dari pembaca imajiner atau pembaca yang tersirat dalam teks kea rah pembaca dalam arti yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah teks-teks yang menakutkan (The Frankenstein), atau teks yang bersifat controversial dan mendapatkan banyak sensor (Are You There God dan It’s Margaret), atau terhadap pengakhiran cerita yang mengundang debat seperti bunuh diri sang tokoh pada The Awakening, isu lesbianism pada The Hurs, diasumsikan bahwa pembaca atau kelompok-kelompok pembaca akan memberikan tanggapan atau reaksi yang berbeda terhadap teks-teks tersebut. Adanya perbedaan asumsi masing-masing pembaca atau kelompok pembaca merupakan hal yang cukup menarik untuk diteliti lebih jauh, dengan fokus penelitian pada pembaca.Teori yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah Reader-Response Theory, teori resepsi, dan psikoanalisis pembaca.

3.      Penelitian dengan fokus teks itu sendiri, tanpa memandang hubungan teks dengan unsur lain yang melingkupinya.
Penelitian dengan fokus ini percaya bahwa objektivitas kajian dapat dicapai jika peneliti memandang teks secara otonom tanpa mengkait-kaitkan dengan penulis, pembaca, realitas atau teks lain. Sumber data penelitian dengan fokus ini adalah elemen-elemen yang ada di dalam teks itu saja.Penelitian dilakukan dengan mengkonsentrasikan diri pada informasi yang ada pada teks dan hubungan internal antar informasi atau elemen di dalam teks sebagai entitas yang utuh. Penelitian ini tidak membutuhkan bahan atau sumber data lain selain teks itu sendiri. Teori yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini di antaranya: New Criticism, Structuralism.

4.      Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.
Peneliti dengan fokus ini percaya bahwa teks sastra adalah cerminan realitas, sehingga sebuah teks akan dianggap berbobot jika ia mampu memotret realitas. Peneliti mencari hubungan antara kejadian atau realitas teks dengan realitas nyata pada saat teks itu ditulis untuk melihat sejauh mana teks menggambarkan realita.Dalam perkembangannya pakar sastra pasca strukturalisme memandang realitas secara berbeda dengan pengamat sastra yang menganut paham mimesis.Mereka berpendapat bahwa yang dapat dibangun dari teks-teks adalah suatu „versi realitas yang berbeda-beda dari teks satu ke teks yanglain.Mereka juga berpendapat bahwa teks sastra justru memiliki kemampuan untuk menciptakan realitas. Teori yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini di antaranya: mimesis, sosiologi sastra, cultural studies, marxism, postrukturalisme, poskolonialisme, feminisme.

5.      Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan teks lain.
Penelitian jenis ini memandang teks sebagai sesuatu yang tidak pernah asli. Setiap teks memiliki hubungan analogis dengan teks lain yang memiliki konvensi yang sama. Teori yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah teori intertekstualitas.



3.      Objek Penelitian Sastra
a.      Objek Formal
Obyek  formal adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu. Karena objek formal mengandaikan cara keberadaan yang spesifik, teknik pengumpulan data yang dapat digunakan secara efisien dan efektif tentunya harus sesuai dengan cara keberadaan dari objek formal itu. Untuk memperoleh data verbal cara terbaik yang dapat digunakan adalah teknik simak yang dapat disetarakan dengan observasi , untuk memperoleh data intensional yang diperlukan tentu saja teknik wawancara, sedangkan data social dapat dipinjam segala macam teknik yang biasa digunakan dalam ilmu sosial.
Objek formalnya meliputi kajian strukturalisme sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra, semiotika, antropologi sastra, filologi, hingga yang termutakhir, postkolonialisme sastra. Pada sisi ini, objek formal dipandang sebagai unit analisis atau kajian yang digunakan untuk membedah karya sastra. Dengan kedua batasan ini, sastra dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu atau keilmuan.

b.      Objek Material
Objek Material adalah objek yang menjadi lapangan penelitian. Yang menjadi objek material adalah keseluruhan tuturan manusia atau masyarakat bahasa yang diteliti, sedangkan objek formalnya dapat berupa satuan-satuan tertentu dari tuturan itu beserta relasi-relasi tertentu antar satuan tuturan yang bersangkutan.  Tidak tertutup kemungkinan yang menjadi objek formal adalah konteks tutran, intensi penutur, efek tuturan, dan sebagainya , yang kesemuanya ditentukan oleh sudut pandang yang digunakan peneliti terhadap objek materialnya.
Sudut pandang tidak saja menentukan objek material penelitian, melainkan sekaligus mengimplikasikan asumsi-asumsi peneliti mengenai kodrat keberadaaan objek penelitiannya.
Tujuan utama dari karya sastra adalah menghubungkan pembaca dengan dinamika kehidupannya, sehingga terjadi proses pelajaran khusus untuk melakoni kehidupan yang sebenarnya. Pada posisi ini, bahasa menjadi medium utama untuk mengomunikasikan makna-makna bagi pengarang dengan permainan diksi untuk menghasilkan bentuk-bentuk karya yang dimanifestasikan melalui puisi, prosa, dan drama. Sastra hadir dalam spektrum zaman untuk menjelaskan identitas kultural suatu masyarakat tertentu sesuai dengan teritorial sastra itu berkembang. Sebagi suatu diskursus keilmuan, sastra mesti memiliki objek material maupun objek formalnya. Objek material sastra meliputi karya-karya sastra itu sendiri, yakni novel, teks drama, puisi, novelet, karya-karya epos kuno, hingga esai.

4.      Ciri-Ciri Penelitian Sastra
  1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi, bukan generalisasi. Gejala sastra tidak berulang, makna yang tidak tetap yang justru merupakan hakikat
  2. Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian tertentu, misalnya penelitian yang melibatkan sejumlah karya atau konsumen
  3. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka, deskripsi dan pemahaman berkembang terus
  4. Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab peneliti terlibat secara terus-menerus, objektivitas terjadi saat penelitian dilakukan
Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa, tetapi wacana, teks, sebab sebagai hakikat diskursi bahasa sudah terikat dengan sistem model kedua dengan berbagai sistem komunikasinya.



5.      Metode-Metode Penelitian Sastra
1.      Intuitif
Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami unsur-unsur kebudayaan. Manusia memahami kebudayaan jelas dengan pikiran dan perasaannya, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsur-unsur, sebab akibat, dan seterusnya. Sejajar dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka setiap komponen diperbaharui sekaligus disesuaikan dengan objek yang dipahami.
Ciri-ciri khas metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan antara individu dengan alam semesta. Dikaitkan dengan zamannya yang jelas metode intuitif memiliki hubungan yang erat dengan hermeneutika.
Metode intuitif kontemplatif, demikian juga metode intuitif hermeneutis jelas telah digunakan dalam memahami sastra, khususnya sastra Indonesia sebelum lahirnya strukturalisme.

2.      Hermeneutika
Metode ini dianggap sebagai metode ilmiah paling tua yang sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles. Mula-mula metode ini berfungsi untuk menafsirkan kitab suci. Hermeneutik modern baru berkembang sejak abad ke-19 melalui gagasan Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan sebagainya. Dalam sastra dan filsafat, hermeneutik disejajarkan dengan interpretasi, pemahaman, verstehen, dan retroaktif. Dalam ilmu-ilmu sosial juga disebut metode kualitatif, analisis isi, alamiah, naturalistik, studi kasus, etnografi, etnometodologi, dan fenomenologi. Metode ini ini tidak mencari makna yang benar melainkan makna yang paling optimal. Untuk menghindarkan keterbatasan proses interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas. Penafsiran terjadi karena setiap subjek memandang objek melalui horison dan paradigma yang berbeda-beda. Keragaman tersebut pada gilirannya menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan manusia, menambah kualitas estetika, etika, dan logika.

3.      Metode kualitatif
Metode kualitatif memberikan perhatian kepada data alamiah yang berada dalam hubungan konteks keberadaanya. Landasan berpikir metode kualitatif adalah paradigma positivisme Max Weber, Immanuel kant, dan Wilhlem Dilthey . Objek sosial bukan gejala social sebagai bentuk substantif melainkan makna-makna yang terkandung di balik tindakan yang justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam hubungan inilah metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode pemahaman atau verstehen.Penelitian  kualitatif mempertahankan nilai-nilai. Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah masyarakat sedangkan data penelitiannya adalah tindakan-tindakan. Dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah karya sedangkan data penelitiannya teks. Sejalan dengan uraian di atas, ciri-ciri terpenting metode kualitatif . Ciri-ciri yang dimaksud adalah:
1.      Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.
2.      Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah.
3.      Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya.
4.      Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka.
5.      Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing.

4.      Metode Analisis Isi (Content Analysis)
Analisis Isi (Content Analysis) secara sederhana diartikan sebagai metode untuk mengunpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah “teks”. Teks dapat berupa katakata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Analisis Isi berusaha memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi sebagai gejala simbolik untuk mengungkap makna yang terkadang dalam sebuah teks, dan memperoleh pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan. Sesuai tujuannya, maka metode Analisis Isi menjadi pilihan untuk diterapkan pada penelitian yang terkait dengan isi komunikasi dalam sebuah teks. Ada beberapapertanyaan tipikal yang dapat dijawab dengan menggunakan metode Analisis Isi, yaitu:
1.      Pertanyaan tentang prioritas/ hal penting dari isi teks, seperti frekuensi, dimensi, aturan dan jenis-jenis citra atau cerita dari peristiwa yang direpresentasikan.
2.      Pertanyaan tentang “bias” informasi dalam teks, seperti komparasi relatif tentang durasi, frekuensi, prioritas, atau hal yang ditonjolkan dalam berbagai representasi.
3.      Perubahan historis dalam modus representasi.

5.      Metode Formal
Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk yang mengarah pada unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik. Ciri-ciri utama metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur karya sastra kemudian mempertalikan hubungan antarunsur tersebut dengan totalitasnya. Metode ini sama dengan metode struktural yang berkembang menjadi teori strukturalisme. Metode formal memandang bahwa keseluruhan aktivitas kultural memiliki dan terdiri atas unsur-unsur.

6.      Metode Dialektika
Mekanisme kerja metode ini adalah tesis, antitesis, dan sintesis.. Prinsip dasarnya adalah unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam unsur lainnya. Individualitas dipertahankan di samping interdependensinya. Kontradiksi tidak dimaksudkan untuk menguntungkan secara sepihak. Sintesis bukanlah hasil yang pasti tetapi justru merupakan awal penelusuran gejala berikutnya. Prinsip-prinsip dialektika hampir sama dengan hermeneutik, yaitu gerak spiral eksplorasi makna yang mengarah kepada penelusuran unsur ke dalam totalitas dan sebaliknya. Pada metode ini, kontinuitas operasionalisasi tidak berhenti pada level tertulis tetapi diteruskan pada jaringan kategori sosial sebagai penjaringan makna secara lengkap. Kontradiksi dalam dialektika dianggap sebagai energi pemahaman objek. Metode dialektika digunakan dengan sangat berhasil oleh Goldmann dalam struktural genetik. Secara teoretis, setiap fakta sastra dapat dianggap sebagai tesis kemudian diadakan negasi. Dengan adanya pengingkaran, tesis dan antitesis seolah-olah hilang atau berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis itu sendiri. Sintesis kemudian menjadi tesis kembali dan seterusnya sehingga proses pemahaman terjadi secara terus- menerus.

7.      Metode Deskriptif Analisis
Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Metode ini tidak sematamata hanya menguraikan tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan. Metode ini dapat diaplikasikan ke dalam beberapa jenis lainnya, misalnya metode deskriptif komparatif atau metode deskriptif induktif. Metode ini dapat diperoleh melalui gabungan dua metode dengan menitikberatkan kepada metode yang lebih khas yang sesuai dengan tujuan penelitian.

8.      Metode Analisis Wacana
Secara umum wacana dimengerti sebagai pernyataan-pernyataan. Wikipedia (dalam Purbani, 2010: 9) mendefinisikan wacana sebagai perdebatan  atau komunikasi tertulis maupun lisan. Masyarakat umum memahami wacana sebagai perbincangan yang terjadi dalam masyarakat ihwal topik tertentu. Dalam ranah yang lebih ilmiah Michael Stubbs dalam Slemborouck (Purbani, 2010: 9) menyatakan bahwa wacana memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut, (a)  memberi perhatian terhadap  penggunaan bahasa (language use, bukan language system) yang lebih besar daripada kalimat atau ujaran, (b) memberi perhatian pada hubungan antara bahasa dengan masyarakat dan (c) memberi perhatian terhadap perangkat interaktif dialogis dari komunikasi sehari-hari. Slembrouck juga menekankan bahwa analisis terhadap wacana tidak memandang secara bias antara bahasa lisan atau tertulis, jadi keduanya dapat dijadikan objek pemeriksaan analisis wacana.  
Agenda utama analisis wacana adalah mengungkap bagaimana kekuasaan, dominasi dan ketidaksetaraan dipraktikkan, direproduksi atau dilawan oleh teks tertulis maupun perbincangan dalam konteks sosial dan politis. Dengan demikian analisis wacana mengambil posisi non-konformis atau melawan arus dominasi dalam kerangka besar untuk melawan ketidakadilan sosial. 
Dalam penelitian sastra, analisis wacana yang disarankan adalah analisis wacana kritis (CDA). Kata kritis (critical) dalam CDA membawa konsekuensi yang tidak ringan. Pengertian kritis di sini bukan untuk diartikan secara negatif sebagai menentang atau memperlihatkan keburukan-keburukan dari subjek yang diperiksa semata. Kata kritis menurut Wodak (dalam Purbani, 2010: 10) hendaknya dimaknai sebagai  sikap tidak menggeneralisir persoalan melainkan memperlihatkan kompleksitasnya; menentang penciutan, penyempitan  atau penyederhanaan, dogmatisme dan dikotomi. Kata kritis juga mengandung makna refleksi diri melalui proses, dan membuat struktur relasi kekuasaan dan ideologi yang pada mulanya tampak keruh, kabur dan tak jelas menjadi terang. Kritis juga bermakna skeptis dan terbuka pada pikiran-pikiran alternatif.  
Kritis dalam CDA mencakup 3 dimensi yakni dimensi teks, dimensi sosiodiagnostik dan dimensi perspektif/retropekstif yang mengandung konsekuensi adanya integrasi dari  banyak lapisan konteks dalam analisa mendalam (indepth) yang dilakukan.  Sikap kritis ini mesti digunakan dalam setiap langkah penelitian mulai dari penentuan objek yang akan diinvestigasi, pemilihan metode analisis dan kategorisasi, penentuan sampel, penggunaan theoretical framework, interpretasi terhadap data dan pengajuan rekomendasi. Sikap kritis harus berjalan tatkala menentukan tim, melakukan sesi-sesi refleksi. Penggunaan ahli dari luar tim dalam melakukan refleksi kritis sangat dianjurkan.  
Analisis wacana merupakan teori sekaligus metode analisis yang banyak menggunakan teknik interpretasi. Pada tingkat lanjut interpretasi  yang dilakukan mengacu pada model dekonstruksi yang dikembangkan Derrida, yakni model pembacaan yang yang dilakukan guna  menunjukkan apa yang terkubur atau tersembunyi di balik ujaran. Karena bersifat interpretatif maka reliabilitas dan validitas analisis sering dipertanyakan. Tetapi reliablilitas dan validitas ini bisa dipertanggungjawabkan melalui logika dan rasional dari argumen-argumen yang dihasilkan. Dengan kata lain validitas penelitian tergantung pada kualitas logika analisis serta kualitas retorik dari argumen yang digunakan peneliti dalam membahas data.  
CDA juga bersifat eksplanatif atau menjelaskan bukan sekadar deskriptif, sehingga peneliti tidak boleh terjebak dalam analisis yang bersifat superficial atau kulitan. Antaki et al memerinci beberapa kelemahan metodologis CDA yang sering ditemukannya dalam laporan hasil penelitian atau tulisan dalam jurnal ilmiah. Di antara kelemahan-kelemahan metodologis tersebut adalah perancuan antara analisis wacana dengan peringkasan atau deskripsi wacana, minimnya penjelasan terhadap kutipan wawancara, dan keberpihakan dalam melakukan analisis.  
Wodak menyatakan bahwa CDA tidak sekadar metode atau metodologi melainkan juga teori produksi  dan resepsi teks. CDA menekankan pada detil,  sistematisasi  dan transparansi. Pembaca dapat melacak  detil dari analisis tekstual yang  mendalam  seperti banyak diterapkan pada penelitian sosial.   



6.      Pendekatan-Pendekatan Teori Sastra
Pendekatan adakalanya disamakan dengan metode (Ratna, 2004: 53-55). Lebih lanjut, Ratna menguraikan bahwa secara etimologis, pendekatanberasal dari kata appropio, approach, yang diartikan sebagai jalan dan penghampiran. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Dengan dasar pertimbangan bahwa sebuah penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang tersusun secara sistematis dan metodis, maka perlu dibedakan antara metode dengan pendekatan.
Pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi baik dengan metode maupun teori. Dalam sebuah pendekatan dimungkinkan untuk mengoperasikan sejumlah teori dan metode. Dalam hubungan inilah, pendekatan disejajarkan dengan bidang ilmu tertentu, seperti pendekatan sosiologi sastra, mitopoik, intrinsik dan ekstrinsik, pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, pragmatik,dan sebagainya. Definisi tersebut bersifat relatif sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan yang hendak dicapai sehingga sebuah pendekatan pada tahap tertentu bisa menjadi metode. Pendekatan adalah pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Penelitian secara keseluruhan ditentukan oleh tujuan. Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan penelitian. Pada dasarnya, dalam rangka melaksanakan suatu penelitian, pendekatan mendahului teori dan metode. Artinya, pemahaman mengenai pendekatanlah yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan penentuan masalah, teori, metode, dan tekniknya.

a.      Pendekatan Mimesis
Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan (Abrams, 1958:8). Kenyataan di sini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra, seperti misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan diraba, bentuk-bentuk kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya Luxemberg, 1989:15). Melalui pandangan ini, secara hierarkis karya seni berada di bawah kenyataan. Akan tetapi Marxis dan sosiologi sastra memandang karya seni dianggap sebagai dokumen sosial; karya seni sebagai refleksi dan kenyataan di dalamnya sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan.
Sehubungan dengan pendekatan mimesis, Segers (2000, 91-94) mengungkapkan konsep yang dipakai kaum Marxist. Menurut konsep ini konsep imitasi harus menjadi norma dasar telaah. Kritik Marxist menyatakan bahwa dunia fiksional teks sastra seharusnya merefleksikan realitas sosial. Lebih jauh Segers mempertimbangkan fiksionalisasi dalam telaah teks sastra yang berhubungan dengan pendekatan mimesis. Menurutnya, norma fiksionalitas mengimplikasikan bahwa tanda-tanda linguistik yang berfungsi dalam teks sastra tidak merujuk secara langsung pada dunia kita, tetapi pada dunia fiksional teks karya sastra.
Adapun John Baxter (dalam Makaryk, 1993: 591-593) menguraikan bahwa mimesis adalah hubungan dinamis yang berlanjut antara suatu seni karya yang baik dengan alam semesta moral yang nyata atau masuk akal. Mimesis sering diterjemahkan sebagai "tiruan". Secara terminologis, mimesis menandakan suatu seni penyajian atau kemiripan, tetapi penekanannya berbeda. Tiruan, menyiratkan sesuatu yang statis, suatu produk akhir; mimesis melibatkan sesuatu yang dinamis, suatu proses, suatu hubungan aktif dengan suatu kenyataan hidup. Menurut Baxter, metode terbaik mimesis adalah dengan jalan memperkuat dan memperdalam pemahaman moral, menyelidiki dan menafsirkan semesta yang diterima secara riil.
Proses tidak berhenti hanya dengan apa pembaca atau penulis mencoba untuk mengetahuinya. Mungkin rentang batas yang riil dengan yang dihadirkan dapat dikhayalkan walaupun hanya sesaat dalam kondisi riil, atau suatu perspektif pada aspek yang riil yang tidak bisa dijangkau jika tidak dilihat. Kenyataan kadang-kadang digambarkan berbeda karena tak sesuai dengan pandangan kenyataan yang menyeluruh. Oleh karena itu, kenyataan tidak dapat dihadirkan dalam karya dalam cakupan yang ideal. Mimesis sama dan sebangun dengan apa yang Coleridge sebut sebagai 'imajinasi yang utama' yang oleh Whalley disebut sebagai hasil dari kesadaran tertinggi.
Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan metodologis bahwa pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai: (1) produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis, (2) representasi kenyataan semesta secara fiksional, (3) produk dinamis yang kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam cakupan yang ideal, dan (4) produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi atas kenyataan.
Secara metodis, langkah kerja analisis melalui pendekatan ini dapat disusun ke dalam langkah pokok, yaitu: (1) mengungkap dan mendeskripsikan data yang mengarah pada kenyataan yang ditemukan secara tekstual, (2) menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variabel untuk dirujukkan ke dalam pembahasan berdasarkan kategori tertentu, sesuai tujuan, misalnya menelusuri unsur fiksionalitas sebagai refleksi kenyataan secara dinamis, dan sebagainya, (3) membicarakan hubungan spesifikasi kenyataan dalam teks karya sastra dengan kenyataan fakta realita, dan (4) menelusuri kesadaran tertinggi yang terkandung dalam teks karya sastra yang berhubungan dengan kenyataan yang direpresentasikan dalam karya sastra.

Realitas: sosial, budaya, politik


             Karya sastra
Hubungan antara karya sastra dengan realitas



b.      Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan perhatianterhadap bagaimana karya itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadidalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi pendekatan ini adalah diripengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil karyanya. Pendekatan inidapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri individualisme, nasionalisme,komunisme, feminisme, dan sebagainya dalam karya baik karya sastraindividual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi.
Menurut Abrams (1958: 22) pendekatan ekspresif ini menempatkankarya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaanpengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksipersepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yangdikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah padapenelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham strukturgenetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari fakta-faktatentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yangsecara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut.
Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwapendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresipengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsipersepsi,pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangandunia pengarang. Secara metodis, langkah kerja yang dapat dilakukan melaluipendekatan ini adalah: (1) memberikan sejumlah pikiran, persepsi, danperasaan pengarang yang hadir secara langsung atau tidak di dalam karyanya,(2) memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yangditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori faktual teks berupawatak, pengalaman, dan ideologi pengarang, (3) merujukkan data yangdiperoleh pada tahap (1) dan (2) ke dalam fakat-fakta khusus menyangkutwatak, pengalaman hidup, dan ideologi pengarang secara faktual luar teks (datasekunder berupa data biografis), dan (4) membicarakan secara menyeluruh,sesuai tujuan, pandangan dunia pengarang dalam konteks individual maupunsosial dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan teks karya sastra hasilciptaannya dengan data biografisnya.

Pengarang                                       karya sastra
                  ide, gagasan, emosi
                  pengalaman (lahir dan batin)
Skema hubungan antara karya sastra dengan pengarang

c.       Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatis menurut Abrams (1958: 14-21) memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca. Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau peneriman pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.
Segers (2000:35-47) dalam kaitannya dengan pendekatan pragmatik, mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika resepsi. Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnyadipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Dalam uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian utama, yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis estetika resepsi, dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra.
Estetika resepsi yang termasuk ke dalam wilayah pendekatan pragmatik memuat konsep-konsep dasar seperti yang dikemukanan Jauss dan Iser. Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah rezeptions undwirkungsasthetik “tanggapan dan efek”. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalamkaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.
Tujuh bagian penting yang menjadi dasar dari teori estetika resepsi Jauss, yaitu: (1) pengalaman pembaca, (2) horison harapan, (3) nilai estetik, (4) semangat zaman, (5) rangkaian sastra, (6) perspektif sinkronik dan diakronik, dan (7) sejarah umum. Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.
Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas genre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya.
Horison harapan atas sebuah karya membuka peluang untuk menentukan karakter artistiknya melalui kesamaan dan tingkat pengaruhnya pada syarat pembaca. Penandaan perbedaan jarak estetik antara horizon harapan yang diberinya dan tampilan suatu karya baru akan mengarahkan potensi-potensi resepsi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan horison sampai pada penghilangan pengalaman yang umum dikenal atau sampai pada peningkatan kesadaran pengalaman yang baru saja dicetuskan. Kondisi yang mengindikasikan adanya jarak estetik ini dapat menjadi objektif menurut sejarah sejalan dengan spektrum reaksi pembaca dan pertimbangan kritiknya.
Perihal semangat zaman, rekonstruksi horison harapan pada permukaan suatu karya yang telah diciptakan dan diterima di masa lalu memungkinkan pembaca mempertanyakan kembali tentang teks tersebut. Proses pembacaan diarahkan kepada bagaimana pembaca zaman sekarang bisa memandang dan memahami karya tersebut. Pendekatan ini mengoreksi norma-norma klasikal yang tidak dikenal atau memodernisasi pemahaman seni dan menghindari kesulitan yang menyelimutinya.
Teori estetik resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
Keberhasilan linguistik melalui perbedaan dan hubungan metodologis yang menyeluruh dari analisis sinkronis dan diakronis adalah kesempatan untuk menanggulangi perspektif diakronis yang sebelumnya merupakan satusatunya perspektif yang diberlakukan di dalam sejarah sastra. Pembenahan tersebut membuka perubahan dalam perilaku estetik. Perspektif sejarah sastra selalu menemukan hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru dengan makna karya-karya terdahulu. Perspektif ini juga mempertimbangkan pandangan sinkronis guna menyusun dalam kelompok-kelompok yang sama, berlawanan dan teratur sehingga diperoleh sistem hubungan yang umum dalam karya sastra pada waktu tertentu.
Tugas sejarah sastra yang utuh tidaklah hanya diwakili kesinkronisan dan kediakronisan di dalam rangkaian sistemnya, tetapi juga melihat seperti 'sejarah khusus' dalam hubungan uniknya terhadap 'sejarah umum'. Hubungan ini tidak berakhir dengan fakta yang beragam, diidealkan, satirik, atau gambaran berupa kayalan tentang keberadaan sosial, tetapi hubungannya dapat ditemukan di dalam sastra dari semua waktu. Fungsi sosial sastra memanifetasikan dirinya di dalam kemungkinan riil hanya jika pengalaman kesastraan pembaca masuk ke dalam horison harapannya dari kehidupan praktisnya untuk kemudian pembaca melaksanakan pemahaman atas dunianya. Manifestasi tersebut mempunyai dan mempengaruhi perilaku sosialnya.
Konsep yang dikemukakan Iser (1987: ix-xii; 54) adalah terdapat hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya. Iser menyebutnya sebagai respon estetik sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam rangka melakukan penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya. Teori ini melihat bahwa karya sastra sebagai suatu yang diformukasikan kembali dari sesuatu yang telah diformukasikan dalam realita. Karya sastra ini melahirkan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Konsekuensinya, teori respon estetik dihadapkan pada permasalahan bagaimana suatu situasi yang tidak diformukasikan dapat diproses dan dipahami. Asumsi dasar dari teori ini adalah teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut melalui pembaca.
Konsep dialektika respon estetik (Iser, 1987: 20 dan 54), interaksinya dapat dicermati melalui pengertian implied reder, literary repertoire, dan literary strategies Implied reader merupakan model, rol, dan standpoint yang membuat pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Repertoire merupakan seperangkat norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai untuk membaca yang dihadirkan oleh teks dan merupakan semua wilayah familiar dalam teks berupa acuan kepada karya-karya yang ada lebih dahulu. Strategi digunakan untuk defamiliarisasi dan untuk mengkomunikasikan teks dengan pembacanya tanpa mendeterminasikannya. Melalui strategi ini disajikan primary code kepada pembaca dan membuat pembaca mengaturnya sendiri sehingga lahir makna yang bervariasi.
Masing-masing teori di atas (Jauss dan Iser) mengarahkan praktik metodisnya. Pandangan Jauss dengan tujuh tesisnya memetakan analisis pada  aspek estetik dan historisnya. Ketujuh tesis tersebut merupakan pemodelan yang mengarah tuntutan metodisnya. Adapun pandangan Iser yang menyatakan bahwa terdapat interaksi antara teks dan pembaca dalam proses pembacaan. Teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut melalui pembaca. Deskripsi tentang teks tidak lebih dari pengalaman pembaca yang terbudaya. Dengan demikian, langkah-langkah yang perlu diikuti sehubungan dengan pernyataan di atas adalah dengan jalan langkah (1) menandai adanya kualitas yang khusus atas teks sastra yang mencirikan adanya perbedaan dengan teks lainnya dan (2) memerikan dan meneliti unsur-unsur dasar penyebab tanggapan terhadap karya sastra.

Karya sastra                                        pembaca

Hubungan antara karya sastra dengan pembaca dalam pendekatan pragmatik

d.      Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif (Abrams, 1978: 26-29) memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitas. Pendekatan ini mengarah pada analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut analisis otonomi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan unsur-unsur dengan totalitas di pihak lain.
Konsep dasar pendekatan ini (Hawkes dalam Pradopo, 2002: 21) adalah karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan erat (koherensi). Tiap unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan dengan unsur-unsur lain yang terlibatdalam sebuah situasi. Makna unsur-unsur karya sasatra itu hanya dapat dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra.
Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat karya sastra sebagai sebuah sistem dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat bergantung kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di dalamnya. Analisis karya sastra melalui pendekatan ini tergantung pada jenis sastranya.Analisis sajak berbeda dengan analisis prosa. Analisis yang digunakan terhadap saja misalnya penelusuran lapis norma, mulai dari lapir bunyi sampai ke lapis metafisik. Teknik analisisnya pun bisa diarahkan pada pembacaan heuristik sampai ke tingkat pembacaan hermeneutik. Adapun terhadap prosa, sesuai dengan sifat fiksi yang merupakan struktur cerita, analisisnya diarahkan pada struktur ceritanya. Struktur yang dimaksud dijajaki melalui unsur-unsurpembentuknya berupa: tema, fakta cerita (tokoh, alur, dan latar), dan sarana cerita (pusat pengisahan, konflik, gaya bahasa, dan lain-lain.). Pada analisis prosa, tema dan fakta-fakta cerita dipadukan menjadi satu oleh sarana sastra. Di dalam analisisnya, unsur-unsur tersebut ditelusuri dan dikemukakan hubungan dan fungsi tiap-tiap unsur. Tema berjalin erat dengan fakta-fakta dan berhubungan erat dengan sarana sastra.
Keempat pendekatan tersebut mengalami perkembangan sehingga menjadi lebih luas, antara lain:
1.      Pendekatan Biografis
Pendekatan ini merupakan studi sistematis mengenai proses kreativitas. Segala hal yang berkaitan dengan pengarang dianggap sangat berpengaruh dalam proses pembuatan karya sastra. Oleh karena itu, penelitian harus mencamtumkan biografi, surat-surat, dokumen penting pengarang, foto-foto, bahkan wawancara langsung dengan pengarang. Pendekatan ini berpandangan bahwa karya sastra identik dengan riwayat hidup, pernyataan-pernyataan pengarang dianggap sebagai suatu kebenaran, biografi mensubordinasikan karya.
2.      Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis bertolak belakang dengan pendekatan biografis, di mana pendekatan ini menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Jika pendekatan biografis menganggap bahwa karya sastra merupakan milik pengarang, maka pendekatan sosiologis beranggapan sebaliknya, yaitu karya sastra merupakan milik masyarakat. Dasar pendekatan ini adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan ini terbentuk karena karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang, pengarang merupakan bagian dari masyarakat, pengarang memanfaatkan kekayaan yag ada pada masyarakat dan hasil karya sastra itu dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pendekatan sosiologis merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik. Untuk menerapkan pendekatan ini, disamping harus menguasai ilmu sastra, peneliti juga harus menguasai konsep-konsep ilmu sosiologi dan data-data kemasyarakatan yang biasanya ditelaah oleh ilmu sosiologi. Pendekatan ini dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu sosiologi pengarang, karya, dan sosiologi pembaca dan dampak social karya sastra.dalam sosiologi pengarang, hal-hal yang ditelaah adalah latar belakang social, status sosial pengarang, dan ideologi pengarang yang dilihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Dalam sosiologi karya ditelaah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri yang berkaitan dengan masalah sosial. Dalam sosiologi pembaca dan dampak sosial karya sastra ditelaah sejauh mana sastra ditentukan ayau tergantung dari latar sosial, perubahan, dan pekembangan sosial (Wiyatmi, 2008: 98).



3.      Pendekatan Psikologis
Seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (Wiyatmi, 2008: 106), psikologi sastra mempunyai empat kemungianan pergertian, yaitu: (1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, (2) studi proses kreatif, (3) studi dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (4) mempelajari dampak karya sastra pada pembaca.
Pendekatan psikologis menurut Wellek dan Warren (Ratna, 2012: 61) dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra dan pembaca. Pendekatan ini padadasarnya berkaitan dengan tiga gejala utama, yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca dengan mempertimbangkan bahwa pendekatan psikologis lebh banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra.
Yang perlu diperhatikan dalam penerapan pendekatan psikologi menurut Wellek dan Warren (Wiyatmi, 2008: 108) adalah bahwa seandainya pun seorang pengarang berhasil membuat tokoh-tokohnya berlaku sesuai dengan’kebenaran psikologis’ perlu dipertanyakan apakah kebenaran semacam itu bernilai artistik, sebab banyak karya besar yang menyimpang dari standar psikologi sezaman atau sesudahnya. Karya sastra kadang menyajikan situasi-situasi yang terkadang tidak masuk akal dan motif-motif yang fantastis, dan bahkan upaya mendramatisasi cukup dominan kehadirannya.
Sampai saat ini teori yang paling banyak diacu dalam pendekatan psikologis adalah determinisme psikologiSigmund Freud (Ratna, 2012: 62). Teori kepribadian menurut Freud pada umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) Id atau Es, (b) Ego atau Ich, dan (c) SuperEgo atau ÜberIch. Id adalah dorongan-dorongan primitive yang harus dipuaskan, salah satunya adalah libido. Id merupakan kenyataan subjektif prime, dunia batin sebelum individu memiliki penglaman tentang dunia luar. Ego bertugas untuk mengontrol Id, sedangkan SuperEgo berisi tentang kata hati.



4.      Pendekatan Antropologis
Dalam kaitannya dengan sastra, antropologi dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal dan nonverbal. Pendekatan antropologi ini lebih banyak berkaitan dengn objek verbal. Lahirnya pendekatan antropologis didasarkan atas kenyataan: (a) adanya hubungan antara ilmu antropologi dengan bahasa, (b) dikaitkan dengan tradisi lisan, baik antropologi maupun sastra sama-sama menjadikan hal tersebut sebagai fokus yang penting (Ratna, 2012: 64).
Pokok-pokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis adalah bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai unsur naratif, di antaranya adalah:
1.      Aspek-aspek kebudayaan yang berbeda-beda.
2.      Penelitian aspek naratif sejak epik yang paling awal hingga novel yang paling modern.
3.      Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya individual maupun generasi.
4.      Bentuk-bentuk mitos dan system religi dalam karya sastra.
5.      Pengaruh mitos, sistem religi, dan citra primordial yang lain dalam kebudayaan populer.

5.      Pendekatan Historis
Pendekatan historis mempertimbangkan historisitas karya sastra yang diteliti, yang dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga sekarang, sastra sejarahsebagai karya sastra yang mengandung unsur-unsur sejarah, dan novel sejarah, novel dengan unsur-unsur sejarah (Ratna, 2012: 65). Pendekatan sejarah paling sesuai jika digunakan untuk mengkaji sastra dan novel sejarah, tetpi tidak menutu kekungkinan dapat juga digunakan untuk meneliti karya sastra yang unsur-unsur sejarahnya tidak dominan.
Pendekatan ini secara umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi pengarang, karya sastra, dan periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya sastra individual. Dengan memperhatikan indikator sejarah dan sastra, maka beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis antara lain (Ratna, 2012: 66):
1.      Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses penerbitan ulang.
2.      Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
3.      Kedudukan pengarang pada saat menulis karya sastra tersebut.
4.      Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.

6.      Pendekatan Mitopoik
Secara etimologis mythopic berasal dari kata myth. Mitos dalam pengertian secara tradisional sejajar dengan fabel dan legenda. Karya sastra bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah menifestasi mitos itu sendiri. Dalam menciptakan karya seni, pada dasarnya para seniman memanfaatkan ketidaksadaran personal yang diterima dalam kehidupan sekarang (ontogenesis) dan ketidaksadaran impersonal yang diterima melalui nenek moyang (filogenesis). Dengan demikian, pengarang mengarang berdasarkan mitos tertentu dan menjadikan mitos tersebut sebagai struktur (Ratna, 2012: 67).
Di antara semua pendekatan, pendekatan mitopoik dianggap sebagai sebuah pendekatan yang paling pluralis karena memasukkan hampir semua unsur kebudayaan seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dan kesenian. Kecenderungan pendekatan multidisiplin memberikan harapan yang lebih signifikan terhadap pendekatan mitopik, sehingga pendekatan tersebut bukan pendekatan gabungan yang tanpa arah karena memasukkan banyak data. Oleh karena itu, diperlukan teori dan metode yang berfungsi untuk mengorganisasikan keseluruhan data yang masuk, sehingga dapat diperoleh makna yang bersifat tunggal (Ratna, 2012: 67-68).



7.      Pendekatan Moral
Selain dapat dibahas dan dikritik dengan sejumlah pendekatan di atas, karya sastra juga dapat dibahas dan dikritik dengan pendekatan moral. Pendekatan ini sebenarnya termasuk tipe pendekatan pragmatik karena membahas hubungan antara karya sastra dan pembacanya, yaitu pesan moral apa yag disampaikan oleh karya sastra kepada pembaca (Wiyatmi, 2008: 109). Pendekatan moral adalah pendekatan yang bertolak dari dasar pemikiran bahwa karya sastra dapat menjadi media yang paling efektif untuk membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Adapun moral yang dimaksudkan di sini adalah suatu norma etika, suatu konsep tetang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat. Latar belakang munculnya pendekatan ini adalah pandangan yang mengatakan bahwa karya sastra yang baik selalu memberikan pesan moral kepada pembaca untuk berbuat baik, yaitu mengajak para pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma sosial. Dalam konteks ini, karya sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral (Darma dalam Wiyatmi, 2008: 110).
Dalam pendekatan moral terhadap karya sastra perlu dipahami bagaimana hubungan antara karya sastra dengan pembacanya karena pembacalah yang nantinya akan menemukan dan memanfaatkan moral yang ada di dalamnya. Dalam hal ini Budi dalam Wiyatmi (2008: 110) menjelaskan bahwa karya sastra yang baik akan melihat karya tersebut sebagai cerminan dirinya sendiri. Ada resiprokal dalam pembacaan karya sastra. Dengan jalan menimbulkan pathos, yaitu simpati terhadap dan merasa terlibat dalam peristiwa mental yang terjadi dalam karya sastra yang dibacanya, maka pembaca dapat mengadakan hubungan dlangsung dengan karya tersebut, untuk kemudian akan lebih mudah untuk menangkap gagasan dan maksud pengarang, sekaligus menangkap pesan moral yang terdapat dalam karya tersebut.
Ajaran moral dalam karya sastra seringkali tidak secara langsung disampaikan, tetapi melalui hal-hal yang seringkali amoral terlebih dulu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikenal sebagai tahap katarsis pada pembaca karya sastra. Katarsis adalah pencucian jiwa yang dialami pembaca atau penonton drama. Pada prosesnya, untuk menuju moral, seringkali penonton harus melalui proses menyaksikan adegan yang tidak sejalan dengan kepentingan moral.

7.      Contoh-Contoh Penelitian Sastra

PENELITIAN I
DRAMA FAUST I KARYA JOHANN WOLFGANG VON GOETHE:
KAJIAN SEMIOTIKA RIFFATERRE
Tesis oleh Isti Haryati

A.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkapkan makna tanda-tanda penting dalam drama Faust I yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan setan.
B.     Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: drama Faust I dalam sastra Jerman, tragedi yag terjadi pada tokoh-tokoh dalam drama Faust I, struktur dan tekstur drama Faust I, makna tanda-tanda yang berhubungan dengan hubungan manusia dan setan dalam drama Faust I, hipogram-hipogram makna drama Faust I.
C.    Penelitian yang relevan:
a.       Naluri Beragama Tokoh Utama dalam Drama Faust I Karya Johann Wolfgang von Goethe oleh Is’adiyah Utami (2000). Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa hal-hal yang mendorong bangkitnya naluri beragama tokoh utama (Faust) di antaranya dalah terlepasnya Faust dari niat buruk untuk bunuh diri setelah mendengar lagu-lagu suci yang merupakan peringatan Tuhan. Faust juga meminta perlindungan Tuhan saat pertama bertemu dengan setan yang baginya menakutkan. Terakhir, ia juga menyebutkan nama Tuhan saat mengagumi keindahan ciptaan Tuhan, yakni kecantikan Margarette (Gretchen).
b.      Kajian Sosiologi Drama Iphiginie auf Tauris Karya Johann Wolgang von Goethe (Pendekatan Strukturalisme Genetik) tahun 2005 oleh Indah Aini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa situasi dan kondisi yang melatarbelakangi lahirnya pandangan dunia dalam drama Iphiginie auf Tauris adalah sepertiga abad ke-18 ketika kekuasaan para raja absolut dan pertentangan terhadap gereja atau agama sedemikian kuat. Drama ini ditulis pada periode klasik ketika para tokohnya memperjuangkan humanisme sekuler, yaitu aliran yang menganggap kemanusiaan murni sebagai segala-galanya bagi kehidupan manusia dan menganggap agama sebagai sumber permasalahan kehidupan manusia.
c.       Godot di Amerika dan Indonesia, Suatu Studi Banding (2002) sebuah buku yang merupakan karya disertasi oleh Soebakdi Soemanto. Dalam buku tersebut, Soebakdi membahas tanggapan beberapa drama di Indonesia atas drama Waiting for Godot karya Samuel Becket, di mana judul aslinya adalah En Ettendant Godot. Aspek yang dikaji pada buku ini adalah tekstur dan struktur dari drama-drama tersebut. Pada bagian struktur, Soebakdi menguraikan plot, karakter, dan tema, sedangkan analisis terhadap tekstur meliputi dialog, suasana hati (mood), dan spektakel.
d.      Senandung Semenanjung, Sebuah Analisis Intertekstualitas (2003) oleh Cahyaningrum Dejowati. Penelitian ini membahas hubungan intertekstualitas antara drama Senandung Semenanjung karya Wisran Hadi dengan Hikayat Hang Tuah. Dalam penelitian ini diadakan analisis struktur dan tekstur drama dan data tersbut digunakan untuk melihat hubungan intertekstualitas antara drama Senandung Semenanjung dan Hikayat Hang Tuah, serta kreativitas Wisran Hadi sebagai penyambut teks Hikayat hang Tuah.



D.    Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotika Riffaterre. Menurut Riffaterre, karya sastra merupakan dialektika antara tataran mimetik dengan tataran semiotik. Pembaca yang bertugas memberi makna pada sebuah karya sastra, tidak dapat tidak (mutlak) harus mulai dengan menemukan arti unsur-unsurnya, yaitu kata-katanya, menurut kemampuan bahasanya, yang berdasarkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Fungsi mimetik kemudian meningkat menuju tataran semiotik, di mana kode karya sastra akan dibongkar secara struktural atas dasar signifikansinya.
Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pemaknaan puisi atau karya sastra menurut Riffaterre, yaitu: (1) puisi itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3) matriks, model, varian, (4) hipogram. Dalam memaknai karya sastra yang berbentuk puisi, keempat hal tersebut dapat dilakukan, tetapi untuk memaknai karya sastra yang berbentuk prosa dan drama, tidak semua aspek dapat diterapkan.
Untuk memahami semiotika karya sastra, dilakukan dua tahap pembacaan terhadap karya sastra, yakni heuristik dan hermeneutik, karena sebelum mencapai signifikansi, pembaca harus memahami mimesis. Pembacan heuristik merupakan interpretasi tahap pertama yang bergerak dari awal ke akhir teks sastra, dari puncak hingga dasar halaman dan mengikuti pemekaran sintagmatik. Pembacaan tahap kedua merupakan pembacaan retroaktif, yaitu pembacaan yang didasarkan pada konvensi sastra, merupakan saat interpretasi yang kedua. Dalam pembacaan ini, pembaca harus bergerak lebih jauh untuk memperoleh kesatuan maknanya dari pemahaman makna sebelumnya yang masih beraneka ragam.
Menurut Riffaterre, karya sastra (terutama puisi) dipahami menyerupai bentuk donat, yang mempunyai lubang di tengahnya. Apa yang hadir secara tekstual adalah daging donat, sedngkan yang tidak hadir adalah ruang kosong berbentuk bundar yang ada di tengahnya dan sekaligus menopang dan membentuk daging donat itu menjadi donat. Ruang kosong yang tidak ada secara tektual tetapi mnentukan terbentuknya puisi ini disebut sebagai hipogram.
Ada dua macam hipogram, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial merupakan segala macam bentuk impliksi makna kebahasaan, baik yang berupa presuposisi (penganggapan) bahasa, makna-makna konotatif yang sudah dianggap umum, dan sebagainya. Hipogram potensial tidak tereksplisitkan dalam teks, tetapi harus diabstrasikan dari teks, yang berupa aplikasi makna kebahasaan baik yag berupa presuposisi maupun sistem deskriptif atau kelompok asosiasi konvensional. Hiprogram aktual dapat berupa teks nyata, kata, kalimat, peribahasa, dan seluruh kata. Hipogram aktual menjadi latar penciptaan teks baru. Hipogram aktual terwujud dalam teks-teks yang sudah ada sebelumnya, baik yang berupa mitos maupun karya sastra lainnya.
Ruang kosong yang berbentuk bundar dan menopang daging donat serta manjdikan donat benar-benar menjadi donat  merupakan pusat makna karya sastra. Pusat makna ini disebut sebagai matriks yang merupakan konsep abstrak dan dapat berupa satu kata atau satu kalimat yang tidak selalu teraktualisasikan dalam teks. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model, yang berupa satu kata atau kalimat tertentu. Untuk membedakan kata-kata biasa dengan model adalah dengan memperhatikan kualitas puitisnya. Sifat puitis tersebut haruslah dipahamidengan memperhatikan tanda tersebut apakah tanda tersebut bersifat hipogramatik (menjadi latar penciptaan sebuah teks), atau bersifat monumental. Model kemudian diperluas menjadi varian-varian sehingga menurunkan teks secara keseluruhan.
E.     Metode Penelitian
a.       Objek material penelitian: drama Faust I karya Johann Wolfgang von Goethe yang diterbitkan tahun 1982 oleh Diogenes Verlag AG, Jerman. Teks drama ini terdiri dari 3 pra-adegan dan 25 adegan.
b.      Objek formal penelitian: tanda-tanda semiotik penting yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan setan dalam drama Faust I yang dicari maknanya dengan menggunakan semiotika Riffaterre.
c.       Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian pustaka.
d.      Langkah-langkah penelitian:
1.      Menetapkan objek penelitian, yaitu drama Faust I karya Johann Wofgang von Goethe, melakukan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data-data yang mendukung objek penelitian.
2.      Melakukan kajian terhadap drama Faust I.
3.      Melakukan pembacaan heuristik terhadap drama Faust I.
4.      Melakukan pembacaan hermeneutik terhadap drama Faust I.
5.      Mencari matriks, model, dan varian-varian drama Faust I serta memaknai drama Faust I berdasarkan hipogramnya.
6.      Membuat kesimpulan dan melaporkan hasil penelitian.

F.     Kesimpulan Penelitian:
a.       Drama Faust I karya Johann Wolfgang von Goethe adalah karya yang ditulis pada masa kalasik dalam kesusasteraan Jerman sehingga ciri khas karya sastra pada masa klasik tercermin pada drama ini.
b.      Drama Faust I adalah sebuah tragedi sehingga permasalahan yang muncul di dalamnya adalah tragedi yang terjadi pada tokoh-tokohnya, yakni pada Faust dan Gretchen.
c.       Melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik ditemukan ketidaklangsungan ekspresi pada drama Faust I, yaitu penggantian arti yang berupa metafora. Melalui pembacaan hermeneutik disimpulkan bahwa hubungan manusia dengan setan yang terjadi dalam drama Faust I muncul dalam beberapa bentuk, yaitu dengan mempelajari Magie, mengadakan perjanjian dengan setan dan akhirnya menjual jiwanya pada setan.
d.      Hipogram drama Faust I adalah kisah Ayub dalam Injil dan Al-Quran, cerita rakyat Historia von D. Johann Fausten yang diterbitkan oleh Johann Spies, drama The Tragical History of Doktor Faustus oleh Christopher Marlowe, kisah nyata pembunuhn anak (Kindesmörderin) dan gerakan Freemansory.
e.       Dengan drama Faust I ini Goethe ingin menegaskan keberadaan manusia yang mengadakan hubungan dengan setan karena hasratnya yang tinggi untuk menguasai ilmu pengetahuan berhadapan dengan keterbatasannya. Keterbatasan manusia tidak akan menyebabkan manusia menempuh jalan yang salah apabila manusia tersebut mempunyai suatu sebagai pegangan  yang kuat dalam hidupnya. Keberadaan setan bias mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh manusia kerena setan mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia. Akan tetapi, dengan mengadakan hubungan dan meminta bantuan kepada setan, berarti manusia telah dikalahkan oleh setan dan kepercayaannya kepada Tuhan telah ternodai. Persekutuan manusia dengansetan menyebabkan manusia tergantung kepada setan dalam mengatasi permasalahan hidupnya, seperti kondisi manusia di zaman modern ini yang tergantung pada modernitas karena telah mengikatkan diri padanya. Pengagungan manusia kepada teknologi yang mewakili modernitas bias menyebabkan manusia merasa menjadi manusia unggulan (Übermensch) yang bias mengatasi permasalahn hidupnya tanpa campur tangan Tuhan.



PENELITIAN II
MITOS MODERN DALAM ROMAN DIE VERWANDLUNG KARYA FRANZ KAFKA MELALUI ANALISIS  LIMA KODE SEMIOTIK ROLAND BARTHES
Oleh Nila Viayanti Mala Effendhi


A.  Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan mitos-mitos beserta maknanya dalam RomanDie Verwandlung karya Franz Kafkadengan menggunakan analisis lima kode semiotik Roland Barthes (kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode referensial atau kultural).
B.  Batasan Istilah
1.    Roman merupakan salah satu bentuk karya sastra yang bergenre prosa.  Roman  memiliki pandangan tersendiri terhadap kepribadian satu tokoh yang mempunyai ciri khas ataupun kelompok tertentu yang mempunyai perbedaan nasib dalam dunianya. Tokoh-tokoh di dalamnya selalu berusaha menunjukkan eksistensinya karena kehilangan aturan-aturan dan rasa tenteram, adanya permasalahan, perpecahan, bahaya, dan ketidakselarasan dari kesempurnaan dan kenyataan yang ada, baik di dalam maupun di luar dunia yang dibangunnya.
2.    Semiotika adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain (makna) yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain.
3.    Mitos adalah sebuah sistem komunikasi, dimana mitos adalah sebuah pesan yang tidak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide, dengan kata lain, mitos adalah wacana yang berkonotasi.
4.    Leksia (lexias) adalah satuan terkecil pembacaan, sepotong bagian teks, yang apabila diselesaikan dapat berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan dengan potongan teks lain di sekitarnya.
C.    Kajian Teori
1.      Roman
Ada perbedaan terminologi antara Roman dalam teori sastra Jerman dan teori sastra Indonesia. Menurut teori sastra Jerman, Roman bisa masuk menjadi roman ataupun novel dalam teori sastra Indonesia. Roman dalam teori sastra Jerman tidak selalu menceritakan kehidupan seorang tokoh dari lahir sampai akhir hayatnya, tapi bisa juga seperti novel dalam teori sastra Indonesia yang hanya berupa penggalan kehidupan seorang tokoh yang digambarkan dalam cerita tersebut.
2.      Semiologi  Roland Barthes
Dalam bukunya yang berjudul Mythologies, Barthes mengemukakan tentang adanya mitos. Mitos yang dimaksudkan di sini bukan cerita-cerita rakyat, melainkan adalah sebuah tipe wicara (type of speech). Mitos merupakan sebuah sistem komunikasi, dimana mitos adalah sebuah pesan yang tidak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun oleh cara bagaimana mitos tersebut mengutarakan pesan itu sendiri (walaupun mitos memiliki batas-batas formal yang tidak begitu substansial). Karena mitos adalah wicara (di mana wicara ini sendiri adalah sebuah pesan yang bisa terdiri dari berbagai bentuk tulisan atau representasi), maka ia tidak berupa wicara lisan saja, tetapi juga bisa berbentuk wacana tertulis, fotografi, sinema, reportase, olahraga, pertunjukan, publikasi, yang kesemuanya bisa berfungsi sebagai pendukung wicara mistis (Barthes, 2006: 152-3).
Secara semiotis, mitos dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran kewacanaan yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (second order semiological system). Pada tataran bahasa, yaitu sistem semiologis tingkat pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi inilah mitos berada (Barthes via Budiman, 2002: 94).

1.            Penanda
2.            Petanda

3.      Tanda
I. PENANDA

II.                PETANDA
III.             TANDA

Bahasa

MITOS
(Dari gambar di atas terlihat bahwa dalam mitos terdapat dua sistem semiologis, di mana salah satu sistem tersebut tersusun berdasarkan keterpautannya dengan sistem yang lain: sistem linguistik, bahasa (atau model representasi yang diasimilasikan padanya), yang akan saya sebut sebagai bahasa-objek, karena ia adalah bahasa yang digunakan oleh mitos untuk membangun sistemnya sendiri; dan mitos itu sendiri, yang akan saya sebut sebagai metabahasa, sebab ia adalah bahasa kedua, tempat di mana bahasa yang pertama dibicarakan).

Beberapa kriteria yang bisa digunakan sebagai panduan untuk mencari atau menemukan leksia-leksia dari suatu teks, yaitu:
1.   kriteria pertama, pemusatan
Suatu penggalan teks dapat dikatakan sebagai leksia apabila penggalan tersebut berpusat pada satu titik perhatian, yaitu satu peristiwa yang sama, satu tokoh yang sama, dan satu masalah yang sama.
2.   kriteria kedua, koherensi
Suatu leksia yang baik merupakan pemenggalan teks yang mampu mengurung suatu kurun ruang dan waktu yang koheren, yaitu dapat berupa suatu hal, keadaan, peristiwa dalam ruang dan waktu yang sama.
3.   kriteria ketiga, batasan formal
Ada kalanya suatu leksia dapat diperoleh dengan mempertimbangkan penanda-penanda formal yang memberi jeda, atau batas antara bagian dalam teks tersebut, misalnya ruang kosong atau nomor yang menandai pergantian bab, jarak baris yang menandai pergantian paragraf dan tanda-tanda formal lain yang menandai pergantian suatu masalah.
4.   kriteria keempat, signifikasi
Leksia sebaiknya merupakan penggalan yang benar-benar signifikan sebagai sebuah narasi. Sebagai contoh adalah judul yang hanya berupa satu atau dua huruf, bilangan angka, mengadopsi kosakata dari disiplin tertentu, dan lain-lain. Selain itu, hal-hal yang memiliki kadar signifikasi yang tinggi dalam sebuah cerita dapat dipandang sebagai satu leksia tersendiri.
Langkah-langkah analisis terhadap teks akan dilakukan secara mendetail, melalui tahap demi tahap yang secara garis besar terbagi dalam beberapa tahap, yaitu:
1.      pembagian teks ke dalam satuan-satuan analisis (leksia)
2.      identifikasi terhadap leksia-leksia tersebut secara sistematis dan berurutan
penyusunan daftar semua kode pada kartu data dan penafsiran atas leksia-leksia tersebut.
Setiap leksia bisa mengandung satu sampai tiga kode. Dalam menganalisis sebuah teks, Barthes menggunakan lima kode. Kode-kode tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Kode Hermeneutik (HER)
Kode hermeneutik adalah kode yang mengandung unit-unit tanda yang secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara dialektik pertanyaan-respons, yang dalam prosesnya jawaban atau kesimpulan (cerita) ditangguhkan atau mengalami penundaan, sehingga menimbulkan semacam enigma atau teka-teki. Kode ini menentukan misteri dan ketegangan (suspence) dengan membantu pembaca mengenali apa yang dianggap sebagai teka-teki dan menyusun rincian-rincian sebagai kontribusi yang memungkinkan terjadinya pemecahan.
2.      Kode Semik (SEM)
Kode semik atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. Kode ini merupakan penanda yang mengacu pada gambaran-gambaran mengenai kondisi psikologis tokoh, suasana atmosferik suatu tempat atau objek tertentu. Kode semik disebut juga sebagai kode semantik, merupakan kode yang berada dalam kawasan penanda, yakni penanda yang memiliki konotasi atau penanda materialnya sendiri tanpa rantai penandaan pada tingkat ideologis karena sudah menawarkan makna konotasi. Kode ini menjadi penanda bagi dunia konotasi yang ke dalamnya mengalir kesan atau nilai rasa tertentu. Pada tataran tertentu, kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut sebagai tema atau struktur tematik. Kode ini juga memberikan stereotip-stereotip kultural (misal: model-model kepribadian) yang membuat pembaca mampu menghimpun kepingan-kepingan informasi untuk menciptakan pelbagai karakter.

3.      Kode Simbolik (SIM)
Kode simbolik merupakan kode pengelompokan yang kemunculannya berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual, misalnya: berupa antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur simbolik dan mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda di mana satu ungkapan atau tanda meleburkan dirinya ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi, sehingga menggiring kita dari kemungkinan-kemungkinan makna ke kemungkinan lain. Penanda-penanda dalam wilayah ini mempunyai banyak makna (multivalence) yang dapat saling bertukar posisi (reversibility). Kode simbolik merupakan kode yang mengatur aspek bawah sadar tanda dan dengan demikian merupakan kawasan psikoanalisis (Barthes, 1990: 19). Dengan kata lain, kode simbolik membimbing eksplorasi dari rincian-rincian tekstual menuju interpretasi-interpretasi simbolik.
4.      Kode Proairetik atau Kode Aksi (PRO)
Kode ini merupakan kode tindakan yang didasarkan pada konsep proairesis, yakni kemampuan untuk menentukan akibat dari suatu tindakan rasional yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia: tindakan-tindakan membuahkan dampak-dampak yang masing-masing memiliki nama generik sendiri, semacam judul bagi sekuen yang bersangkutan. Kode ini mengatur alur suatu cerita atau narasi dan menjamin bahwa teks yang dibaca mempunyai sebuah cerita, yakni serangkaian aksi yang saling berkaitan satu sama lain.

5.      Kode Kultural atau Referensial (KUL)
Kode kultural adalah kode yang mengatur dan membentuk suara-suara kolektif dan anonim dari pertandaan yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beranekaragam. Kode ini dalam pengertian yang luas adalah penanda-penanda yang merujuk pada seperangkat referensi atau pengetahuan umum yang mendukung teks. Unit-unit kode ini dibentuk oleh beranekaragam pengetahuan dan kebijaksanaan yang bersifat kolektif. Dalam mengungkapkan kode ini, analis cukup mengindikasikan adanya tipe-tipe pengetahuan yang menjadi rujukan tersebut, misal: filsafat, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Kode ini merupakan serangkaian kode kultural yang paling mudah dipikirkan sebagai pegangan yang memberikan informasi kultural yang menjadi sandaran teks tersebut.

D.     Penelitian Yang Relevan
Salah satu penelitian yang juga menggunakan semiologi Roland Barthes adalah skripsi dengan judul Keragaman Makna dalam Cerpen Kematian Paman Gober Karya Seno Gumira Ajidarma: Analisis Semiotika Sastra Roland Barthes yang ditulis oleh Bambang Barohmad (mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada) tahun 2004. Sebagai karya sastra yang termasuk dalam kategori karya postmodern, hal yang menonjol dalam cerpen Seno ini adalah adanya keragaman makna, di mana untuk mengungkap keragaman makna tersebut dibutuhkan adanya proses interpretasi dan pemaknaan atas teks. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengadakan penafsiran terhadap teks dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes. Teks ini terbagi menjadi 40 leksia, dan menghasilkan beberapa kesimpulan, di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Cerpen Kematian Paman Gober (selanjutnya disingkat menjadi KPG) memiliki keberagaman makna yang dapat dipahami sebagai narasi-narasi yang tersembunyi dalam teks yang dimunculkan oleh beragam pengalaman dan pengetahuan yang merupakan perspektif dari fragmen-fragmen, dari suara-suara, dari teks-teks lain dan dari kode-kode lain sehingga memiliki korelasi dan saling melengkapi.
2.      Tema besar yang merupakan pusat penceritaan dari cerpen KPG adalah kekuasaan.
3.      Gaya parodi yang digunakan dalam cerpen ini cenderung mempersempit keleluasaan proses penafsiran.
4.      Cerpen KPG menjadi sebuah penanda atas keberadaan mitos tentang kekuasaan Suharto dalam wilayah penciptaan sastra.
5.      Cerpen ini menunjukkan sesuatu yang absurd.
Selain penelitian di atas, penelitian dengan judul Menelaah Makna Cerpen Das Brot Karya Wolfgang Borchert Melalui Analisis Lima Kode Semiotik Roland Barthes yang ditulis oleh Dwi Wijayanti, mahasiswa Jurusan pendidikan Bahasa Jerman  (Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta) tahun 2010 juga merupakan penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengungkapkan makna cerpen Das Brot melalui analisis lima kode semiotik Roland Barthes yang berupa kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode referensial atau kultural.
Dari telaah tersebut diperoleh 21 kode hermeneutik, 16 kode semik, 20 kode simbolik, 20 kode proairetik, dan 8 kode kultural. Berdasarkan analisis leksia cerpen Das Brot dapat diperoleh makna bahwa tokoh perempuan (istri) merupakan penyelamat kehidupan masyarakat pada masa setelah Perang Dunia II, sedangkan tokoh suami dari perempuan tersebut merupakan simbol ketidakjujuran, kepura-puraan, dan kelemahan. Hal yang menjadi alasan utama kebohongan dan kepura-puraan suami, yaitu roti, merupakan simbol kemiskinan yang dialami oleh pasangan suami istri tersebut.

E.     Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka karena yang menjadi sumber data adalah teks Roman. Sumber data yang digunakan adalah RomanDie Verwandlung karya Franz Kafka yang ditulis pada tahun 1914, diterbitkan pertama kali pada tahun 1916 oleh Kurt Wolff Verlag, Leipzig dan diterbitkan ulang oleh Fischer Taschenbuch Verlag GmbH, Frankfurt am Main pada tahun 1994. Buku ini merupakan kumpulan karya-karya Kafka (Das Urteil, Die Verwandlung, Ein Landarzt,  Auf der Galerie, Vor dem Gesetzt, Elf Söhne, Ein Bericht für eine Akademie, In der Strafkolonie, und Ein Hungerkünstler). Data penelitian ini berupa leksia-leksia yang ada pada Die Verwandlung.
F.   Teknik Pengumpulan Data
Data yang akan dianalisis adalah sebuah Roman berjudul Die Verwandlung karya Franz Kafka. Data penelitian ini dikumpulkan dengan teknik baca catat terhadap objek penulisan. Kemudian data dicatat dalam kartu data untuk kemudian diketik menggunakan komputer. Untuk mendapatkan data yang konsisten dan sesuai dengan apa yang diharapkan, maka penulis melakukan pengamatan dan pembacaan secara mendalam secara berulang-ulang dengan teliti dan cermat.
G.  Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan adalah penulis sendiri yang berperan sebagai perencana, pengumpul data, penafsir data, penganalisis, dan pelapor hasil penelitian (Moleong, 1999: 121). Dengan kata lain, instrumen penulisan berupa manusia (human instrument). Hasil kerja pengumpulan data kemudian dicatat dalam kartu data, yang merupakan hasil pencatatan sesudah pembacaan Roman.
H.  Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisis deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif merupakan metode penulisan yang memaparkan hasil analisisnya dengan menggunakan kata-kata. Sesuai dengan aspek yang dikaji, penulisan ini akan mendesripsikan mitos-mitos beserta maknanya dan kritik terhadap manusia yang ingin dilontarkan oleh Franz Kafka dalam RomanDie Verwandlung dengan menggunakan teori semiologi dan lima kode semiotik Roland Barthes (kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode referensial atau kode kultural). Data Roman tersebut bersifat kualitatif sehingga penjelasannya dijabarkan dalam bentuk deskriptif atau uraian. Deskriptif didapatkan melalui analis terhadap Roman tersebut hingga terbentuk pemahaman dan kejelasan. Langkah-langkah analisis terhadap teks akan dilakukan secara mendetail , melalui tahap demi tahap yang secara garis besar terbagi dalam beberapa tahap, yaitu:
1.      pembagian teks ke dalam satuan-satuan analisis (leksia)
2.      identifikasi terhadap leksia-leksia tersebut secara sistematis dan berurutan
3.      penyusunan daftar semua kode pada kartu data dan penafsiran atas leksia-leksia tersebut dengan menggunakan lima kode semiotik Roland Barthes.

I.     Validitas dan Reliabilitas
Validitas dan reliabilitas diperlukan untuk menjaga kesahihan dan keabsahan data agar hasil penelitian dapat diterima dan dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian ini digunakan validitas semantik. Validitas semantik mengukur keabsahan data berdasarkan tingkat kesensitifan suatu teknik terhadap makna yang relevan dengan konteks yang dianalisa. Validitas semantik merupakan cara mengamati kemungkinan data mengandung wujud dan karakteristik tema sebuah Roman. Penafsiran terhadap data tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan konteks data itu berada. Selain itu, data yang diperoleh dikonsultasikan kepada ahli (expert judgement) dalam hal ini adalah Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II.
Reliabilitas data yang digunakan dalam penulisan ini adalah reliabilitas intrarater dan reliabilitas interrater. Reliabilitas intrarater dilakukan dengan cara membaca dan meneliti secara berulang-ulang RomanDie Verwandlung karya Franz Kafka agar diperoleh data dengan hasil yang tetap. Reliabilitas interrater dilakukan dengan cara mendiskusikan hasil penulisan dengan pengamat, baik dosen pembimbing maupun teman sejawat yang mengetahui bidang yang diteliti.
J.      Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian pada Roman Die Verwandlung karya Franz Kafka melalui analisis lima kode semiotik Roland Barthes (kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode referensial atau kultural), dapat disimpulkan bahwa:
1.         17 leksia yang didapat dalam penelitian merepresentasikan lima mitos, dengan rincian sebagai berikut.
a.         Mitos tentang kapitalisme pada leksia  1, 3, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 13, 17
b.        Mitos tentang modernisme pada leksia 2 dan 16.
c.         Mitos tentang kebutuhan dasar manusia berdasarkan teori Hierarki Kebutuhan (Hierarchy of Needs) Abraham Maslow pada leksia 3, 4, 9, 11.
d.        Mitos tentang imperialisme pada leksia 10 dan15.
e.         Mitos tentang keberadaan Yesus bagi umat Kristen pada leksia 14.
2.        Rincian kode leksia adalah sebagai berikut.
a.         Kode Hermeneutika (HER) : leksia 1, 3.
b.        Kode Semik (SEM): leksia 3, 11
c.         Kode Simbolik (SIM) : leksia 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 17.
d.        Kode Referensial atau kultural (KUL) : leksia 2, 7, 9, 15, 16, 17.
e.          Tidak ditemukan leksia yang mengandung kode proairetik (PRO)





K.    Contoh Data dan Analisis Kode
a.                   Leksia 1          :     Die Verwandlung (Seite 21).
“perubahan, metamorfosis”
HER    : metamorfosis atau perubahan yang seperti apa yang akan dikisahkan dalam Roman ini.
SIM     : metamorfosis manusia menjadi binatang karena hanya merasa aktif dalam fungsi-fungsi hewaniahnya karena adanya alienasi dalam kapitalisme.
b.                  Leksia 2           : Es stellte eine Dame dar, die mit einem Pelzhut und einer Pelzboa versehen, aufrecht dasaβ und einen schweren Pelzmuff, in dem ihr ganzer unterarm veschwunden war, dem Beschauer entgegenhob (Seite 23).  “Gambar seorang wanita memakai topi dan syal bulu, yang sedang duduk tegak dan memamerkan sarung tangan bulu tebal, yang menutupi seluruh lengan bawahnya dari pandangan pembaca”.
KUL    :   pakaian hangat yang biasa dikenakan pada musim dingin, yang biasanya ditambah dengan topi, syal dan sarung tangan.
SIM     : simbol dari modernitas seseorang yang ditunjukkan dalam hal pakaian, baik pemilihan mode maupun bahan baku pembuat pakaian.
c.                   Leksia 3          : und auβerdem ist mir noch diese Plage des Reisens auferlegt, die Sorgen um die Zuganschlüsse, das unregelmäβige, schlechte Essen, ein immer wechselnder, nie andauernder, nie herzlich werdender menschlicher Verkehr (Seite 24).
“dan terlebih lagi aku merasa terbebani dengan semua ketegangan perjalanan ini, cemas akan jadwal kereta api, makanan yang tidak enak dan tidak teratur, pertemuan dengan orang yang berbeda setiap saat yang tidak memungkinkan untuk mengenal siapapun dengan baik ataupun bersikap ramah pada mereka”.
HER    : mengapa Gregor selalu cemas akan jadwal kereta api, makanan yang tidak enak dan tidak teratur padahal ia sudah lima tahun menjalani hidup sebagai seorang pedagang keliling.
SEM    : Gregor merasa cemas akan beberapa hal mengenai pekerjaannya, dan hal ini tidak hanya berpengaruh pada psikologisnya saja akan tetapi juga pasa kehidupan sosialnya.
SIM     : alienasi terhadap manusia karena adanya kapitalisme, terutama alienasi dari sesama pekerja.

8.      Literatur-Literatur yang Disarankan
1.      Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan Awal. Karya: Faruk. Penerbit: Pustaka Pelajar.
2.      Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Karya: Rachmat Djoko Pradopo. Penerbit: Gadjah Mada University Press.
3.      Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Karya: Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U. Penerbit: Pustaka Pelajar.
4.      Teori Penelitian Sastra. Karya: Jabrohim. Penerbit: Pustaka Pelajar.
5.      Pengantar Kajian Sastra. Karya: Wiyatmi. Penerbit: Pustaka Book Publisher.
6.      Asep Yusup Hudayat.Modul Metode Penelitian Sastra. Universitas Padjajaran.
















DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. (1958). The Mirror and lamp: Romantic Theory and the Critical Theory. Toronto-Buffalo-London: University of Toronto Press.

Hudayat, Asep Yusup. (2007). Modul Metode Penelitian Sastra. Bandung: Universitas Padjajaran.

Iser, Wlfgang. (1987). The Act of Reading. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press. Inc.

Jabrohim. (2012). Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Makaryk, Irena R. (ed.). (1993). Enclyclopedia of Contemporary LiteraryTradition. New York: The Norton Library; W.W. Norton & Company

Pradopo, Rachmat Djoko. (2007). Prinsip-Prinsip Karya Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

------------------------------. (2002). Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Ratna, Nyoman Kutha. (2012). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rien T. Segers. (2000). Evaluasi Teks Sastra. Diterjemahkan oleh Suminto A. Sayuti. Yogyakarta: AdiCita.

Wiyatmi. (2008). Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.


Internet Sources:
Aisyah, Nenden Lilis. Menghidupkan Kritik Sastra Akademik. file.upi.edu/...SASTRA...LILIS.../Artikel_MENGHIDUPKAN_KRITIK_SASTRA_AKADEMIK.

Saragih, Ferdinaen. Jenis-Jenis Kritik Sastra dan Pengertiannya. http://sigodangpos.blogspot.com/2011/09/jenis-jenis-kritik-sastra-dan.html

Supadi, I Made Juliadi. (2012). Kritik Sastra. http://www.slideshare.net/ImadeJuliadiSupadi/kritik-sastra

Tambunsaribu, Gunawan. (2012). Teori Sastra (Part I). www.scribd.com/doc/41959915/teori-sastra