Tuesday 28 January 2014

TUKANG PUNDAK


Cerpen M. Raudah Jambak
Tukang Pundak
Lampu tiba – tiba padam. Suasana yang terasa bukan hanya gelap, tapi lebih dari mencekam. Baru pukul 22.00 WIB. Penduduk memang tak bisa tidur. Mereka terjaga. Menanti kejadian apa yang akan datang selanjutnya. Suasana sunyi masih terasa menyeramkan. Kampung gelap. Kampung sunyi. Kampung dingin. Hanya degup jantung yang semakin kencang saja yang terdengar.
Bukan hanya sekali ini saja kejadian seperti ini. Kejadian seperti ini sudah berlangsung berkali–kali, malah sudah mulai rutin. Ini bukan perkara pemilihan pemimpin. Bukan perkara yang sering kita dengar cukup menghebohkan di surat kabar. Seperti kasus Sampit, Aceh, Ambon dan kasus haus kekuasaanlainnya.
Bagi penduduk sebenarnya hal ini cukup mengherankan. Masalahnya kejadian seperti ini sudah pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Terjadi di salah satu daerah di Labuhan Batu. Ketika itu suasana yang masih rentan. Muncul pada masa jayanya golongan merah kiri.
Golongan merah kiri ini menghimpun kekuatan dari berbagai kalangan. Mulai dari anak–anak sekolah, SD kalau perlu, sampai ke tingkat yang tidak jelas. Mereka mempengaruhi rakyat dengan propaganda, rayuan, dan juga bujukan. Mereka terkenal sangat ganas dan kejam sehingga apapun akan mereka lakukan demi meluluskan segala keinginan mereka. Tapi sesuai dengan iringan zaman, waktu ternyata berubah. Golongan merah kiri kalah.
Kekalahan mereka membawa dampak negatif. Lawan–lawan politik mereka memunculkan isu–isu yang cukup meresahkan. Munculnya istilah "Dendam Lama". Jika selama golongan kiri berkuasa dan mereka melakukan tindakan yang semena–mena. Maka, sekarang para lawan politik yang disemena – menakan waktu itu, kini bertindak semena – mena pula terutama pada golongan merah kiri.
Dan dibentuklah satu kelompok aksi yang diberi nama Aksinger. Bertugas membersihkan para pengikut, simpatisan, para kroni dan semua yang terlibat golongan merah kiri, terlepas mereka bersalah, atau hanya ikut–ikutan, atau malah terjebak. Dan jika dijumpai, maka harus dibersihkan.
Persis seperti di kampung ini, lampu tiba–tiba padam, sebagai pertanda bakal ada yang menjadi korban dari golongan merah kiri. Mereka yang tertangkap dibawa dengan truk ke daerah Pinang Lambong. Dan setelah itu mereka akan ditanyai satu persatu oleh Aksinger. Dan esok paginya rakyat akan berteriak. "Rakit… rakit… rakit… hanyut…"
Beberapa dari penduduk akan segera berlari ke arah sungai untuk melihat kejadian secara langsung. Setelah terlihat, maka akan tampak tubuh beberapa orang yang dijadikan rakit, diikat. Mereka bergelayutan tanpa nyawa, dan tanpa kepala di aliran sungai. Bau amis darah sudah menjadi hal yang biasa bagi penduduk di kampung itu. Dan hal itu tidak hanya berlangsung di Pinang Lombang. Tapi juga di Aek Nabara dan Aek Toa.
Pak Norta selalu menyaksikan kejadian seperti itu. Rumahnya tidak begitu jauh dari sungai dan memang Pak Norta juga satu dari sekian banyak saksi sejarah.
"Ampun Bang. Jangan dipukul Bapak kami, ya," Norta kecil meminta belas kasihan Kepala Aksinger yang hendak menangkap Haji Odah.
"Tidak, Bu. Justru kami ingin mengamankan Bapak. Mereka pasti menghabisi bapak.
"Tolonglah, Nak Nema. Kasihan Bapak. Kamu kan murid Bapak … ?
"Ya, Bang. Bapak sebenarnya tidak terlibat. Dia terjebak …" Aminah kakak Norta, mengharap.
"Bu, kalau kami yang membawa Bapak. Bapak akan aman–aman saja. Tapi kalau bukan kami yang membawa, kami tidak berani jamin."
Uraian dan deraian air mata anak beranak itu sungguh menyanyat. Morta kecil yang paling sedih. Walaupun sebetulnya dia tidak tahu apa–apa. Dia hanya bisa merasakan, akan terjadi sesuatu yang tidak baik. Tapi karena tidak tahu harus lari kemana terpaksa dipaksakan juga sembunyi disekitar sawah. Berkubang dirimbunan daun – daun padi.
"Bu, ada dua puluh orang daftar orang yang dicari oleh Aksiner. Dan kebetulan Bapak masuk dalam salah satu daftar orang yang dicari. Nah. Maksud kami ingin menyelamatkan bapak supaya tidak jatuh ke tangan para Aksiner merah yang dikenal tanpa konpromi. Beritahu kami, Bu. Dimana Bapak ?"
Masih suara isak istri Haji Odah menyayat. Dia tidak menginginkan ini. Dia hanya teringat ketika beberapa orang datang kerumahnya membawa kertas yang harus ditandatangani Bapak. Dia mendengar sayup–sayup, orang–orang ini menawarkan Bapak masuk organisasi yang menjual nama agama. Bapak sebagai seorang haji menyanggupi permintaan ini. Tapi, entah mengapa kok Bapak malah dituduh orang yang tidak berTuhan? Masuk organisasi yang tidak berTuhan. Dan saat ini organisasi tersebut sudah terlarang?
"Bu, kami akan membawa Bapak ke tempat kami. Dan kami akan menyembunyikan Bapak. Kami melakukan ini, karena kami ingat jasa – jasa Bapak yang telah memberi kami ilmu pengetahuan. Bapak yang telah menjadi guru kami. Dan inilah kesempatan kami untuk membalasnya."
Istri Haji Odah terpikir. Dia ragu. Tapi akhirnya yakin. Pelan–pelan ia menghapus air matanya. Lalu mengangkat tangannya, mengarahkan jari telunjuknya ke suatu tempat.
"Bapak di sana. Di tengah pematang sawah…"
"Terima kasih, Bu. Yakinlah kami akan menyelamatkan Bapak…"
Suasana hening. Suasana tidak seperti ada perasaan yang sedang bergolak. Keprihatinan demi keprihatinan muncul ke permukaan. Dalam batin sebenarnya ada keraguan. Hati lebih menginginkan suami tercinta selamat dan sehat. Tapi yang diharapkan adalah murid dari suami. Ada warna kejujuran di mata mereka, tetapi ternyata keraguan lebih benar. Ingin rasanya melepaskan diri dari beban masalah yang sebenarnya tidak diharapkan.
Dia teringat dengan suami adiknya. Tarsih. Suaminya ketika itu tidak sempat melarikan diri. Dia terjebak. Dan pada saat itu menurut pengakuan Tarsih, yang menjemput suaminya justru mengaku untuk menyelamatkan suaminya. Dan dia percaya suaminya percaya, anak – anaknya juga percaya. Lalu dibawalah suami Tarsih dengan penuh harap keluarga. Apa lacur, keesokan harinya Tarsih pingsan, karena daftar suaminya masuk sebagai orang yang ditembak mati kemarin malam. Kepala terpisah dai badan setelah selesai melakukan kewajibannya kepada Tuhan.
Istri Haji Odah memilih untuk percaya. Lalu ditunjuknya tempat persembunyian suaminya. Pasukan Aksinger segera menuju ke lokasi. Dipimpin oleh Nema, bekas murid Haji Odah, mereka melalui rumah belakang, kemudian menaiki tapak–tapak pematang sawah. Melihat ke arah dangau. Tidak ada. Dicari di sebelahnya juga tidak ditemukan. Lalu di tempat irigasi juga tidak ada.
"Hei, kemari. Orangnya ada disini !"
Pasukan segera bergerak. Beberapa orang mengacungkan senjata. Nema menyuruh menurunkan senjata. Haji Odah terlihat ketakutan bersembunyi di balik rumputan dan daun – daun padi.
"Ampun, Ma. Jangan pukul Bapak."
"Tidak, Pak. Saya hanya ingin menolong Bapak."
"Ya, ampun. Kasihan adik – adikmu."
Nema memberi penjelasan yang akhirnya dapat dijelaskan langsung. Dan Haji Odah mau menerima. Haji Odah dibawa, berpeluk–pelukan dengan anak istrinya kemudian naik ke truk. Di dalam truk Nema mengawasi Haji Odah, mengajaknya untuk berbicara. Diperlakukan selayaknya orang istimewa. Dalam pembicaraan itu, Nema kembali meyakinkan Haji Odah, dan sekali lagi Haji Odah percaya. Dan pembicaraannya yang akrabpun terbina.
Sesungguhnya Nema memang hendak menolong Haji Odah. Tidak ada maksudnya untuk mencelakakan guru yang sangat dikaguminya. Kekhawatirannya hanya jika Haji Odah jatuh ke tangan Aksinger merah, yang menghabisi korbannya di tempat tanpa sempat di tanya. Dan keyakinannya setelah mendengar instruksi dari komando utama agar mengamankan dua puluh orang dalam daftar cari.
Tapi, Nema sangat marah. Nema menelan kemarahannya dalam hati. Dia merasa bersalah karena salah menafsirkan kata "pengamankan" dari komandannya. Nema merasa malu. Tidak bisa menyembunyikan wajahnya sendiri. Bagaimana perasaannya jika bertemu dengan keluarga Haji Odah, terutama Morta yang ketika itu menjerit, menangis supaya ayahnya diselamatkan.
Haji Odah ketika itu dibawa ke kantor, dan tanpa ditanya kepalanya ditutup dengan kain hitam. Nema ingin bertanya, tapi komandan utama yang langsung bertindak, dia terpaksa diam. Dengan kasar Haji Odah dibawa ke belakang rumah, direbahkan di tempat pembantaian. Dan Sodis sudah berada di sana sebagai tukang pundak… Bless…
Pak Morta ingat semua itu. Ingat Nema, terutama Sodis. Ingatannya yang kuat kepada Sodis karena Sodis si tukang tundak telah menjadi Bupati. Dan ingatannya makin kuat setelah kejadian yang sama mulai lagi sejak kepemimpinan Sodis. Pak Morta tahu betul tentang Sodis, tapi yang mengherankan kenapa Sodis si tukang tundak menjadi Bupati? Sekolahnya sampai sekarang tidak jelas. Dan Pak Morta mengetahui itu. Pembantaian–pembantaian selalu terjadi, layaknya yang dibantai itu bukan manusia. Layaknya seperti membuat roti.
Pak Morta pernah menyaksikan di TV bagaimana Sodis sang Bupati menyayangkan tindakan–tindakan yang tidak berprikemanusiaan. Dan mengingatkan rakyat agar berhati – hati dengan segala tindakan provokasi. Pak Morta bingung. Satu sisi ia sangat bersyukur yang terdalam. Dengan kata lain mereka telah bertobat.
Masalahnya bagaimana kenyataannya? Dan Pak Morta masih ingat ketika itu temannya si Mogit, tertangkap. Ia diketahui sebagai anggota kelompok golongan Merah Kiri. Ia ditanyai tentang keberadaan pemimpinnya. Mogit yang ketika itu berumur 13 tahun, sesuai dengan umurnya yang angka sial Mogit rupanya juga bernasib sial. Setelah lewat penyiksaan – penyiksaan, dia memberitahukan tempat keberadaan pemimpinnya.
Pasukan Aksinger segera bertindak. Bersama Mogit mereka menuju lokasi. Begitu sampai, yang dicari ternyata tidak dijumpai. Mogit lantas disiksa kembali. Kali ini Mogit memberitahukan lokasi lain. Tempat kedua mereka biasa melakukan pertemuan–pertemuan rahasia. Pasukan lalu bergerak, membawa Mogit yang sudah sulit bergerak. Tiba di lokasi, Mogit disiksa kembali, karena yang dicari tidak kembali.
Mogit akhirnya disiksa berkali–kali, setelah ia menunjukkan lokasi yang tidak pasti kepada pasukan Aksinger. Dengan sadis Mogit disiksa, kemudian disiapkan untuk kubang pembantaiannya. Mata Mogit bengkak dan sulit terbuka, kakinya kaku dan sulit bergerak. Mogit dicampakkan ke lobang. Di lobang Mogit masih terlihat bergerak gerak. Pasukan Aksinger mengangkat Mogit kembali, dia ditelanjangi. Pelirnya dihantam dengan palu, seketika darah muncrat di mana–mana. Akhirnya Mogit pun terkapar tanpa nyawa.
Pak Morta mengingat itu semua. Dia kenal dengan peristiwa Mogit. Dan ia masih ingat Sodis melakukan semua waktu itu.
Lampu–lampu tiba–tiba padam. Suasana yang terasa seram sudah tidak terasa apa–apa. Kejadian itu telah biasa. Pembantaian di mana–mana sudah menu utama berbagai sumber berita. Baru pukul 22.00 WIB. Penduduk kini tidur nyenyak. Mereka bermimpi tentang bunga dan matahari pagi. Sudah mengetahui akan apa yang sedang terjadi. Hanya mulut mereka saja yang terkunci. Suasana sunyi, tapi di dalamnya ada api. Menerangi kampung–kampung sunyi. Degup jantung sudah biasa menari lagi.
Kejadian ini mungkin kejadian yang terakhir. Walaupun kejadian ini sudah berlangsung beratus–ratus kali. Dan ini titik akhirnya. Ini adalah perkara keadilan bukan dendam. Ini perkara kebenaran bukan kebohongan–kebohongan. Tidak menyangkut masalah korupsi, kolusi apalagi nepotisme. Bukan lagi percobaan perebutan kekuasaan. Tapi semata–mata menegakkan kebenaran.
Akhirnya, matahari telah bersinar kembali. Kejadian semalam juga bukan lagi kejadian menakutkan. Justru kejadian semalam adalah kejadian yang dinanti – nantikan. Koran dan media massa lainnya telah mengabarkan kejadian dan berita kebenaran walau lebih banyak yang ditambah–tambahkan. Dengan judul di halaman utama, Dead linenya. Tertulis dengan huruf–huruf besar dan kapital. Semua orang, semua senang, termasuk Nema, apalagi Morta yang membaca berita harian di Jakarta. Terpampang di sana gambar –gambar sebelumnya tentang sejarah yang hampir dilupakan dengan tulisan besar–besar :
"BUPATI SODIS MATI MENGENASKAN DENGAN KEPALA BERPISAH DARI BADAN."

SAJAK-SAJAK PENYAIR SUMATERA UTARA


Hidayat Banjar

Kita Berserah

bertahun-tahun kita berserah
pada kotak-kotak yang dibangun
tangan-tangan abstrak

bertahun-tahun kita pasrah
seperti pencuri yang resah
hadir di ruang yang tak tampak
berkelebat sekejab lalu lenyap

duhai kekasih
serasa begitu lebar jarak
serasa begitu panjang lorong
persembunyian demi persembunyian
memasung kemanusiaan kita
dalam kotak
dalam kotak
dalam kotak

sepi


Medan, 2009


















PUISI-PUISI SARTIKA SARI

Dari Titi Gantung, Percakapan Kita

mencekal kenangan, di punggung titi gantung
barisan angin diam-diam menguntit
seperti mata srilelawangsa:
berpura-pura pejam, padahal masih terbuka
masih memutar kenangan tentang perjalanan sederhana
pada suatu waktu yang tak pernah menjadi masa lalu
disamping kanan kirinya, bising sepeda motor
jadi pengganti lagu
meninabobokkan

“aku tahu, kau masih mengintip dari jendela
dan sesekali memaksaku menjadi
selembar koran atau bungkus permen
agar bisa menyusulmu ke dalam.”

masih ada separuh jantung rembulan
yang kusembunyikan
sebelum hujan menangisi bapaknya
yang ditawan puluhan kelelawar:
dalam pembicaraan singkat kita, di ujung malam.

balai kota sudah terpejam di balik sarung
batik cokelat oleh-oleh khas yogya
medan, tinggal lapangan merdeka
masih terjaga
lebih baik kau juga tidur, pagi.
Medan, Sketsa Kontan


Suatu malam, di Medan

daun kering mengeriap-ngeriap di badan jalan. gelombang sepeda roda dua, mulai surut. hanya gerobak sate, es kelapa, kacang rebus yang masih menyala. buku-buku sudah terlelap dalam kamarnya. barangkali mereka lelah, berbicara pada pembeli yang selalu merendahkan harga.

masih belum sepenuhnya.
titi gantung masih jadi mulut untuk bercakap-cakap. hei, malam masih kuncup! dan mereka makin seru berdagang perasaan. mengintip srilelawangsa, tubuhnya gigil menahan tikaman angin medan-luar.

debu jalanan masih berlarian.
sama seperti kenangan yang tak henti berloncatan di kepalaku. ketika malam yang telah berlalu itu, kau seruput kedinginanku dengan sepiring sate dan teh botol di depan kantor pos. lalu, kita hangatkan malam dengan perjanjian-perjanjian sekian tahun ke depan.
hingga malam benar-benar malam
kita menenun kamar di rumah-tempat yang berbeda-lewat kecupan separuh bibir rembulan.
Medan, Sketsa Kontan


Mencarimu,
malammalam aku mencarimu di antara rerimbun ilalang, bebatuan, aliran sungai, semak belukar, hutan payau, gunung, lembah, perbukitan, tebing terjal, pemandian, tapi mengapa kau lebih memilih sembunyi di gubuk pelacur, sayang?
Medan, Sketsa Kontan





Tumpangkan Jasadku, Kekasih

menuju kerinduan dalam perapian malam
jejeran embun setuju berdamai, menyeka kebekuan
di sela jarimu

kutitipkan bait-bait kebencian.

“supaya lekas subur bunga emas milik mama, papa
yang saban waktu hidup dari kerikil,
dan disirami air mata kita.”

nanti, tumpangkan saja pada kapal van deuyfken
jasad, tulang belulang, bangkai, belatung
dari tubuhku
biar sampai di negeri orang
jauh dari kenyataan kita, kekasih.
Medan, Sketsa Kontan


(*) SARTIKA SARI. Penulis kelahiran 1 juni 1992 di kota Medan, adalah Mahasiswa Sastra Indonesia di Universtas Negeri Medan. Bergiat di Komunitas Tanpa Nama, Laboratorium Sastra Medan dan beberapa forum diskusi sastra. Beberapa karyanya telah dimuat di media lokal Medan dan nasional serta sejumlah antologi. No.Hp: 087867059863. Email: ssartika27@yahoo.co.id.






Puisi-Puisi Winda Sriana

1. Suara Kaum Marjinal

Kisah telah menuangkan secuil realita
Petuah ironi menyaksikan getir-getir kenyataan
sungguh negeri ini sudah mendera bencana
tapi, tak cukup diam dan leha-leha sambil minum kopi
ibarat ular yang tengah rebahan melilit dirinya

kapan kita jadi makhluk perasa?
tentang kenyataan yang menubir di tiang-tiang kehidupan
dan berjarak dari sekat kuasa
cukuplah bermuhasabah penuh khusyuk di sekeliling kita
dan terlepas dari jebakan penuh kelaziman belaka

Bukankah kita selalu menyaksikan kaum pinggiran seolah patah arang?
disekap dalam ruang kemerdekaan
diam membisu di depan ragam ancaman
mereka menelan pil pahit
dan berdiri setengah jongkok di pergumulan pikiran

jelas sudah dosa kerapkali hadir tanpa bahasa
tanpa permisi
dan kaum pinggiran tetap berada di satu sisi
di tepi yang paling sepi

2. Deli, Kemana Engkau Bermuara


Riwayat yang telah mengikis kisah-kisah
Negara Soumatera Timur, itulah nama negeri kami
dengan hiruk pikuk suara lantang berdegum keras
hingga berlayar ke seluruh dunia
Deli, menjadi saksi bisu sepanjang zaman



Datuk-datuk entah kemana pergi
petuahpun melanglang buana bersama angin
menyusut di barisan pesisir melaka
hinggaplah segala putus asa

Dulu, negeri ini dapat dikatkan surganya Adam dan Hawa
milik raja-raja sultan yang arif berkuasa
rakyat cinta sesama
tiada hina menghujat ke akar manusia


Tapi, itu negeri kami dulu
kini, hanyalah negeri boneka yang dimainkan negeri tipu daya
entah kemana negeri kami
Negara Soumatera Timur berpijak tegak di tanah sendiri
Tanah Deli
tanah yang melahirkan kebudayaan negeri kami
tanah yang melahirkan keindahan negeri kami
tanah yang melahirkan rakyat kami
tanah yang akhirnya menghilangkan jati diri kami



3. Bohong

kau dan aku bukan sesiapa
kita berkenal lewat sajak yang bertajuk bohong
kau pernah berbohong?
aku sering
aku tak tahu kapan bermula berbohong
ingatan kita selalu pendek tentang kesalahan-kesalahan, kan?
tapi, aku hanya mengingat ketika berbohong ada debar yang ribut dalam jiwa

"kebohongan kecil bisa menjadi besar karena jumlahnya yang banyak"
kebohongan tak bisa di hentikan
manusia hidup dengan hidup berbohong

tapi, pernahkah aku dibohongi?
pun juga kau?
ah, rasanya kita tidak akan jauh dari kebohongan-kebohongan
berbohong-dibohongi
kau bahkan tak tahu sedari tadi aku berbohong tentang sajak bohong
atau kau pun pura-pura membaca sajak-sajakku
aku tak tahu
sudahlah, kita nikmati saja dunia kebohongan ini

4. Rendang

Sepi memagut ketika melantunkankan doa dengan seribu harapan
dan kerinduan semakin membuncah
saat merebahkan cinta seiring darah yang telah menyatu
bersama sepiring rendang yang selalu kau sajikan

Ku ingat kau berkata,
Nak, rasakan aroma bumbu ini
telah memanjakan jasmani
lezatnya telah mencipta
menyentakkan jiwa para pecinta
aku ingin kau dan aku bersama-sama memanen dengan nikmat yang berlimpah

Akankah kau gembira memperkenalkannya
kepada kawan-kawan karibmu?
dan patrikanlah rendang akan kau hidangkan kepadanya
adalah sebagai makanan yang terlezat
dan kau akan terus meyakinkannya
bahwa saat kau menyajikan sepotong rendang
adalah suatu kebahagiaan tiada bandingannya

Di atas sana setengah rembulan tersesat di balik awan
bintang-bintang bergelantungan masih setia menghiasi bumi
cahaya-cahaya muncul hanyalah serangkaian pendar-pendar pucat pasih
sementara dari pantulan bumi sebuah cahaya terpantul putih berarak melingkup
saat itu pula ku lamunkan sepiring rendang yang terlahir di ranah minang
Masih terus menerus berdebar dalam detak jantung
Teringat di pangkuan Bundo ada sepiring rendang



5. Ketika Sembilan Wajah Menemani

Sudah 24 jam sembilan wajah menemaniku
tujuan belum juga sampai
entah berapa kali ku mengeja keluh mereka
sepenggal tanya, bagaimana wajahku?
mungkin pertanyaan itu hanya menggantung di akar abadi
masih ku dengar pula deru nafas pada percakapan asing di bulir-bulir kesah
tapi, tiba-tiba sebutir senyum renyah terpantul di liukan terjal perbukitan
entah senyum siapa itu
aku tak perduli !

sudah 27 jam sembilan wajah menemaniku
tujuan belum juga sampai
batinku mengumpulkan tanya, apakah kami selamat ?
sungguh, aku tak sengaja menjerat sembilu
ketika petaka menjadi bangkai tulang belulang
satu hingga sempuluh ; menasbihkan riwayat raung kepedihan
ah, mungkin pikiranku sudah pucat pasih
semakin dalam pula tertikam khayal mengerikan

sudah 31 jam sembilan wajah menemaniku
tujuan sudah hilang dari harapan
bumi kian berwarna gelap
badai melarikan kunang-kunang
genderang tangis hanya terdengar di akar hati
satu hingga sepuluh ; berselimut semangat dan kebersamaan
menggigil di bawah rimbunan pedih ngilu

sudah 41 jam sembilan wajah menemaniku
tujuan hidup menjadi harapan
bergumul waktu menjamah rindu
tentang wajah Ibu dan Ayah meritualkan air mata
“Hati-hati ya Nak!” Petuahnya.
Hingga akhirnya tubuh menjelma harimau
Menembus rimba 54 menjemput nyawa yang tinggal setengah


Biodata Penulis :
Winda Sriana, Mahasiswi jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS,
Unimed. Tengah begiat di KONTAN, sangat menikmati keindahan sastra
sebagai seni kehidupan dan ingin terus belajar, belajar dan belajar
dalam lorong kepenulisan.







PUISI-PUISI WINDA PRIHARTINI
HARUSKAH KITA?

Haruskah kita
Melanglang pagi penuh debu lampau
Mengusap mencari keikhlasan ditimbunan ruang
Pernahkah kau berpikir tentang ini?
Megapa harus kita.

Jalan semakin panjang
Sedang kaki tetap mematung didalam kamar
Menunggu mentari untuk melelehkan akal
Yang membeku sepulangku dari rumahmu
Ya, terserah pergi saja!
Memang harus kita.

Medan - Ranah KOMPAK, Januari 2012


Bunga Merah Jambu
Oleh : Winda Prihartini

Sebaiknya kau genggam kembali bunga yang telah kau lepas,
Sebelum ia dicumbu hitam_putih lalu melayu
Terlilit belati yang mampu menusuk rongga-rongga hati
Meruah kecanduan.

Sebaiknya cepat kau tarik bunga merah jambu
Tak usah segan tak usah kaku
Sebelum rubuh semua jatuh tertimpa pilu
Maka kau tak dapat lagi berguru
Tentang cinta dan rindu.

Tunggu
Oleh : Winda Prihartini

Menegaklah diatas rumput kuningan diruang waktu
Jangan menyerang jika belum kuangkat kertas merah dikananku
Biarkan dia luluh sendiri
Jika tidak, usaplah hitam dari wajahmu
Dan pulang dengan tangan kosong

Tunggu, tetaplah berdiri ditanah yang kau bilang suci
Jangan melangkah kebelakang sebelum kuangkat kertas kuning dikiriku
Setelah itu, tembak dia, tepat dihatinya
Jika kau tak sanggup merayaplah kelubang bawah tanah
Dan pulang dengan kepuasan semalam
Yang tak dapat menghadirkan kepastian.


Medan - Ranah KOMPAK, Januari 2012
Deru Sehabis Fajar
Oleh : Winda Prihartini

Semakin kemari semakin lebam
Tiap kutilik rimbunan dendam
Remuk rupa tak sekawan indah
Lenyap sudah raib juga suka, tak seperti semula

Sehabis fajar makin keras deruku
Sebab mentari akan datang menggunjing diriku, sekarang
Dan burung-burung pun mematuk-matuk
Seolah hidup tak ada luka, tak berguna

Jika seperti itu,
Ku bersembunyi dibalik punggung pintu
Menunggu waktu menjumpai kebebasanku
Saat dimana ku berani membuka pintu
Untuk memungut kembali sisa-sisa kesenangan mereka
Yang akan kusimpan sebagai kenangan
Sehingga ketika nanti aku telah dipinang gulita
Ada pertinggal kisahku dilemari kayu
; seperti dulu

Medan - Ranah KOMPAK, Januari 2011

Dibalik Sehelai Jilbab
Oleh : Winda Prihartini

Saat debar beradu menggenggam bisu
Rujuk pilu tak lagi segan mengunjungi ragu
Seakan tertanam peluru besi
Berat mengisi hati, pedih

Aku butah, tidak!
Aku syetan, bukan!
Aku seorang perempuan
Dibalik sehelai jilbab aku menyelinap
Coba memahami kebenaran kitab
Disudut perih dalam ancaman hidup akhirat

Tuhan
Bukan aku ragu namun aku bisu
Ditengah padang gelap kurasa beku sekujur tubuhku

Medan - Ranah KOMPAK, januari 2011



Biodata

Nama lengkap Winda Prihartini, lahir di Medan pada tanggal 28 September 1992. Alamat Jln. Paku Gg. Siku Tanah Enam Ratus Medan Marelan – Medan. Saya anak pertama dari 3 bersaudara. Beraktivitas sebagai Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Saat ini saya semester 4 FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selain itu saya juga bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) yang bersekretariat di Taman Buadaya Sumatera Utara.

Puisi-puisi Syafrizal Sahrun
WAKTU

Adakah yang harus kita bagi dengan waktu
Atau waktu yang membagi-bagi kita

Kita yang mencari waktu
Atau waktu yang mencari kita

Kitakah waktu
Atau waktukah kita

Waktu yang mana yang kita buru
Atau kita yang mana yang diburu waktu

Waktu itukah
Atau itukah waktu

Waktu yang mewaktu di dalam waktu
Atau ….

Bagan Percut, 1 Februari 2012

PERTIKAIAN


Akankah kau menjadiku
dalamku tanpa kau
atau ku menjadiku
kau menjadi kau

kukau jadi ku atau kauku jadi kau

kukahkau bila kauku
atau kaukahku bila kukau



Percut, 20 Januari 2012

DI DIPAN CERMIN


Di depan cermin
Kau kecap sesal itu

Di depan cermin
Kau mengupat dan menggugat

Di depan cermin
Kau remuk foto impian
Lalu kau inginkan waktu berhenti sampai di situ

Kau ingin melangkah menuju pintu
Tapi kakimu tak mampu

Kau mencoba menuju jendela
Tapi jendela telah menjelma tirai batu

Oh, rindu yang kelu tak jua lalu
Oh, rindu yang lalu kini jadi belenggu

Dalam senyapmu
Angin asing masuk dari lubang pintu
Pelanpelan lalu menyergapmu
Memekapmu dan akhirnya memaksamu
Untuk katakan tidak
“Tidak untuk yang tidak”

Dan di depan cermin
Kau angkat mukamu
Kau busungkan dadamu
Lalu cermin itu memantulkan rupa lain masa lalu

Percut, 12 Februari 2012

TANAH KAMI

lalu kami datang menggenggam dendam
berbondong-bondong bak hujan yang lupa kemana pulang
tangan-tangan yang perkasa sudah mengangkasa
sebab tak ada lagi tempat mengadu yang nyata
selain berontak demi hidup layak

di atas tanah yang kaya ada aniaya
sudah sekian lama
lalu kami mau jadi apa
sementara harta ini kami yang punya
di tanah tercinta, kami disiksa
dijajah dan di kebiri hidupnya

kami bukanlah sapi
kami muak terus menyepi
kini sepi menjadi api
dan akan kami bakar sosok lelaki kekar yang kau bayar



Percut, 27 Oktober 2011

HAI !


Hai, perempuan yang masuk dari belakang
Di manakah ayahku
Sekian lama ku sapa mengapa tak pernah menyapa

Hai perempuan yang mengendap-endap dari sudut berkarat
Di mana ayahku
Mengapa kau jadi empedu

Hai perempuan yang melintas
Di mana ayahku
Apakah aku tak layak tahu


Percut, 17 Januari 2012


KETIKA KATA KETIKA KITA

dan lantas aku berkata
kita yang mempermainkan kata
atau kata yang mempermainkan kita

kata permainan
atau permainan kata

permainan katakata
atau katakata permainan
dan kita coba lagi bermain katakata
tapi akhirnya katakata jua mempermainkan kita

mengapa
mengapa ada kata mengapa
setelah kata dianggap binasa

apakah setelah binasa
tak ada lagi kata buat kita

apakah kata yang binasa
atau kita
ah..


TBSU, 3 Februari 2012
Komunitas Home Poetry

BIODATA PENGIRIM


Syafrizal Sahrun. Lahir di Desa Percut/04 November1986. Beralamat di Jl. H.M. Harun No.163 Dusun II Desa Percut Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang Profinsi Sumatera Utara – 20371. Aktif menulis puisi dan esai sastra di beberapa Koran lokal : Analisa, Medan Bisnis, Wapada dan Mimbar Umum. Puisi saya juga di muat dalam Antologi Suara Peri dan Mimpi serta Atologi Cahaya. Bekerja sebagai Tenaga Pendidik di SMA BUDISATRYA Medan, sebagai Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muslim Nusantara dan Bergiat di Komunitas Home Poetry.




















PUISI-PUISI Cut Cahyani
Aku Bukan Siapa-Siapa


Bapak separuh baya berjalan dengan tongkat; made in Indonesia
Menghampiri ibu-ibu yang sedang membongkar-balikan baju monza; made in Korea
Berjalan selangkah selangkah melihat segerombolan anak membawa mainan; made in Malaysia
Gundah hatinya, suntuk otaknya
Sepuluh langkah, ia berjumpa dengan gadis membawa dompet; made in Paris
Disampingnya berubuh gagah lewat dengan jam tangan; made in Swiss
Ku pikir, apakah aku saja yang mempertahankan negara ini ?
Aku berjuang membawa negara ini kemanapun, dimanapun, dan kapanpun
Tapi, tak satu orang pun ku lihat yang mempertahankan negara ini !
Cinta tanah air, kau bilang ?!
Busuk hati mu !
Berorasi hingga suara mu seperti kaleng susu yang berkarat dimakan rayap
kau ucapkan kepada seluruh rakyat “Cinta Produk Indonesia”
Tapi apa ?
Kau malu memakai barang milik mu yang selalu kau umbar-umbar kan !
Sedangkan aku bukanlah siapa-siapa, tetap bangga memakai tongkat mu
yang telah terkikis waktu hingga akhir hayat ku
Sebab itulah kekuatan cinta ku untuk negeri mu !






Seonggok Daging
Cut Cahyani
Aku lebih murka dari jin dan iblis
Sebab aku yang menghailkan laknat
Aku lebih terkutuk dari patung yang dikutuk
Sebab aku lah sarang jahannam
Aku bagai seonggok daging
Yang siap diterkam, dikunyah, ditelan oleh raja hutan
Sebab aku tak bisa berlari
Untuk lari dari hidup yang liar ini
Hiruk pikuk malam kurasakan
Sebab akulah raja malam kegelapan
Akulah seonggok daging yang terjual oleh malam
Malam-malam yang biasa menmbelai lembut dagingku,
membuat raja hutan tertarik dengan dagingku
Aku ingin diterkam…
Aku ingin dikunyah…
dan sekali lagi kukatakan
Aku ingin ditelan…
Darah menghinggap di dagingku,
Tapi tak apalah
Karna ku terima sekarung uang untuk merawat dagingku
Karna dagingku, adalah laknat untuk mu
Rezeki untuk ku



Realita Sang Boneka
Cut Cahyani
Anak berkerudung putih berlai
Dengan doa dalam jantung
Setiap nafas berkumandang di sela rezeki
Membuat mata teriris sepi
Ia melakoni sebuah realita
Realita yang membuatnya seperti boneka
Boneka yang terpaku dalam kejamnya dunia
Yang menjadikannya kuat bak baja
Tak jarang tantangan datang meradang dan menerjang dirinya
Membuat ia semakin terpaku didalam kejamnya roda
Tetapi ia tetap terbata-bata
Melawan hiruk-pikuk gemerlap ibu kota
Ia bukanlah dewa
Dewa yang berbentk manusia
Ia bukanlah malaikat
Yang selalu suci walaupun cahaya karat
Bila saatnya tiba,
Ia akan terbang mengepakkan sayapnya
Melewati buana negri
Dengan detak-detak nadi untuk sebatas meraih mimpi




Part I

Kau Mati Sia-Sia, Sondang !
Cut Cahyani
Kau mati sia-sia
Tak ada pengaruhnya untuk ini semua
Mungkin mereka tak tau dan tak mau tau siapa nama mu
Baiklah, aku saja yang akan mengucap nama mu
Dengan lantang dan tak gentar membusungkan dada, nama mu Sondang !
Sekali lagi ku ucapkan tanpa mengurangi gerilyawan ku, nama mu Sondang !
Hah, sontak serta-merta mereka menggigil mendengar nama mu
Pucat pasi kulihat air muka, serta bergetar kencang tubuh mereka
Aku yakin, kau menganggap mereka seperti sampah yang tak perlu dipungut
Tetapi terpungut jua hingga menjadi berlian yang dipuja-puji bangsa

Sampai akhirnya, kau merelakan tubuhmu terpanggang oleh panasnya api
yang melelehkan kulit mu hingga aku tak mengenalimu, Sondang !
Dan, lihatlah sekarang mereka si sampah busuk itu tak jua berubah
untuk menjadi sampah yang berguna bagi bangsa mu ini !
Ku tutup lontaran ku ini, dengan mengatakan “Kau Mati Sia-Sia”







Part II

Kau Mati Sia-Sia Sondang !

Heh, si sampah busuk tataplah peti jenazahnya
Lihatlah kulit yang enhitam dari tubuhnya
Sentuhlah permukaan penutup badannya
Kau tak kuasa ?
Dia adalah rakyat jelata,
Tetapi ia dipandang di Ibu kota hingga ke pelosok desa
Sebab dia lah penyelamat Indonesia
Walaupun sekarang tubuhnya tiada
Tapi ruh nya tetap hidup sepanjang masa




















PUISI-PUISI FEBRI MIRA RIZKI
Tunanetra
Merapal mimpi tentang ilusi digambaran hati. Menuang inspirasi ke-segelas kristal bening dengan perlahan, selaksa menyucur asa yang telah dimuntahkan dalam kata. Sang pena mungkin tak sempat mewakili ucap diri, sebab rasalah yang berperan penting mengendalikan tirakat jiwa. Bagaimana mungkin sang pena mendapatkan kesempatan untuk menarikan matanya si secarik kertas? Sedangkan mata penulisnya saja telah mengatup kian tertutup dan larut dalam ketenggelaman gelap yang menyasapnya. Pun, tertunduk dan luluhlantaklah ketegaran itu dalam bingkai elegi yang terbagi menjadi tiga presepsi.

Elegi Pertama,
Aku kerap menyalahkan Tuhan yang menciptakanku penuh kekurangan alias tak sempurna seperti yang lainnya.

Elegi Kedua,
Aku lantas menuduh orang tua yang mungkin waktu aku di dalam kandungan, aku tak mereka jaga dengan sebenar-benarnya, tak diberi asupan gizi yang memadai, hingga ku balita tak jua dibawa ke imunisasi.

Elegi Ketiga,
Aku sangat yakin bahwa alam berperan penting. Mengapa sawah Ayah gagal panen? Cuaca tak bersahabat, kering kerontang membuat keluarga kami melarat. Tak ada kemewahan yang melatarbelakangi keluarga kami. Wajar, bila aku kurus kering, seperti tulang tanpa daging. Merentetlah penyakit yang tanpa henti melanda. Fatalnya lagi, akibat aku bermain super riangnya, hingga tak tahu kendaraan melintas, walhasil aku sadar dalam gulita, tanpa cahaya, meski mata telah terbelalak liar entah kemana.

Akulah si tuna netra. Kini tak lagi kuperdebatkan tentang elegi yang terbagi menjadi tiga presepri, sebab aku percaya,’’ Tuhan tidak akan pernah memberi cobaan kepada hamba-Nya di luar batas kemampuan hamba-Nya. Orang tua tidak akan pernah menyia-nyiakan anaknya dan alam akan senantiasa bersahabat dengan kita, jika kita juga bersahabat dengan alam.

Ini kali kutemukan adanya benang merah yang terajut dan menciptakan ridho dipenghujung pintaku.

Aku terima dengan lapang dada, mungkin ini memang sudah menjadi takdirku dari yang Esa.

Aku yakin, Tuhan punya rencana indah buatku, nanti!


Ranah KOMPAK, 09 Februari 2012









Sira Merampas Cinta Yang Tertata
Febri Mira Rizki

Kami berkoak dari musim ke masa
memutar langkah susun barisan pasrah
sebab hak asasi kami dirampas paksa
oleh mereka yang mengatasnamakan perintah;

Dalam senarai kebajikan mereka tak terdata
minim iba melumuri raga mereka tanpa rangka
selira kekar menjadi tameng menakutkan
berkacak pongah memandang dan menekan;

Sira yang duduk di sana
mengapa bungkam dalam diam
yang mendekap siang dan malam?
selaksa dihipnotis pada jil yang hampa;

Ah, Negara ini kian berkaca pada matahari
yang sengatnya menggosongkan sanubari;
Begitu pula adanya malam
semua bercermin pada rembulan
yang pendarnya meredupkan angan;

Jatuh Pak, tetes airmata kami
menganak muara di parit pipi
bersebab bahagia mendulang derita
yang tersulam pada deskriminasi;

Habis Bu, airmata kami
karam di laut bisu
bersebab ukhuwah beragama
pecah menjadi puing yang berbeda;

Kami atasnama anak Negeri
masih memiliki sejuta mimpi
agar Bhinneka Tunggal Ika terpatri
nan teraplikasi dalam demokrasi.

Ranah KOMPAK, 09 Februari 2012
Kami, Suara Ditelan Dusta
Febri mira rizki

Ini menjadi etikat pada ejing musim galau
saat teriak adalah modal disuara parau
mengatup dan terpaksa menutup
ditatapan yang semu dan redup;
Tentang pengambinghitaman agama
atasnama benci yang meraja
dari desisan ular berkepala dua
menjadi raja dinyaman singgasana;
Kami mengais di gigir jalan
tentang pertikaian dan pengorbanan
yang terajut diberbagai iklan
nyaris mendepak kami dari zaman;
Adalah alibi bagimu lewat dalil-dalil palsu
akan merangkul kami,
akan mendekap kami,
dan akan mensejahterakan kami,
ingkar saja yang kau siar dalam kabar
lewat toak yang kau koak hingga bertekak;
Kami tetap kau sisih
dengan berbagai alasan dan dalih;
Dalam pertapaan yang berasaskan cinta
kami menyulam asa pada bingkai rasa
agar iba kau luap menjadi tawa
disumringah yang terlukis dalam makna
: hingga melahirkan airmata bahagia
dirona merah jambu yang terekam
dan menghapuskan lembaran hitam;
: kami tetap pulang dengan geram!

Ranah KOMPAK, 09 Februari 2012







Atur Siasat Dalam Niat
Febri Mira Rizki

Dimana nyaman kan kami reguk
jika air pelepas dahaga saja tak terteguk?
Dimana aman kan kami simpan
jika nasi penyumbat lapar saja tak tertelan?
Ketakutan menjadi kutukan
yang sengaja dikirim sebagai kado terindah
untuk kami agar kerap menyicip gelisah;
Kalian tidak pernah tahu tentang luka yang mengeram
dan menggerogoti hati kami dalam diam;
Kalian hanya tahu setiap anak lahir jadi benalu
merugikan Negara sebab mendulang rasa malu;
Ingatlah, kami akan datang dengan tegar!
Tuk membuat kalian bingar dalam selingar
dan berapi-api dibalik raut sangar;
: percayalah, marah kami membakar-bakar!
Kali ini kami yang akan persiapkan jamuan pedih
untuk kalian cecap dalam jiwa yang perih
sebab telah lama kami menahan getir
di atas kuasa yang selama ini kalian setir;
Dalam keselambaan kami bergerak maju
tuk dapat menebas kalian dengan ilmu
biar terbelalak indera kalian dalam bisu
dan sadar bahwa kami anak pemersatu
: yang benci perbedaan menggenang tanah ibu.

Ranah KOMPAK, 09 Februari 2012












Dialog Malam, Antara Aku Dan Tuhanku
Febri Mira Rizki

Tuhan,
Aku menguntitimu diperjamuan kelam
saat detak jam tak lagi bergumul dengan keramaian;
Dentingnya kian melengking
sebab senyap telah merayap;
Di pertigaan malam
saat sebagian orang terlelap
aku malah mengitari hasrat;
Di antara orang yang sujud
aku malah menjemput rebut;
Kan mengerang di pondasi-pondasi
dan etalase kota yang kerap terlena
oleh glamor fatamorgana;
Kelaminku koyak antara malam yang bergerak
terang saja kurasa dunia
siang malam tak ada beda;
Demi seutas makna yang telah kugadai
sejumput rindu yang pecah terberai
dan sebongkah dusta yang penyala asmara;
Kujalani semua dengan tawa
meski luka kian menganga
dan sedih menyemai air mata;
: Aku kembali pada-Mu
dengan topeng masa lalu
dan kubuang jauh-jauh rasa malu.

Ranah KOMPAK, 09 Februari 2012
















BIODATA

Febri Mira Rizki, lahir di Lhokseumawe 09 Februari 1990. Aktif di Komunitas KOMPAK, LABSAS, LRS, WSC, IMABSII dan Pendiri KASTI. Pernah menjuarai beberapa lomba dalam bidang kepenulisan Lokal dan Nasional. Karyanya termaktub di beberapa Antologi Lokal dan Nasional juga media massa. No. Hp: 085261115852 FB: Febri M Rizkisastra E-mail: febrimirarizki@yahoo.com






















*Puisi-Puisi ADLIYA EKA PUTRI

Berbatas Jalan Raya

Kadang aku memimpikan kau datang lagi. Seperti sebongkah rindu yang telah lelah aku tumpuk. Ingatan terlalu jelas, rumahmu hanya berbatas jalan raya dari rumahku. Kita sering bermandikan senyum ketika kedatanganmu secara diamdiam tercium oleh pandangku. Ah, dulu kita masih terlalu fajar. Masih terlalu bening.
Sketsa KONTAN, Februari 2011

Marelan, Waktu Itu

Kita adalah teman baik. Teman lama. Teman hati yang pada pertengahannya. Awalnya di Marelan, kau sering mengintipngintip keadaanku, bukan aku tak sadar, kau bahkan sering khilaf termenung dibawah pohon depan toko itu sampai aku datang menepuk bahumu, kita saling tertawa. Ah, renyah, aku menyukainya!
Sketsa KONTAN, Februari 2011

Akhir Februari

Februari adalah kita yang pada pertengahannya berdoa untuk sejati. Dalam waktu yang masih entah. Bisa singkat. Bisa lama.
Kau pernah jadi doa terindah dalam tiap sujudku sebab dalam senyummu terselip ketulusan untuk ibuku, bicara soal ini kurasa kita sudah terlalu senja untuk memaknainya. Letak kasih sayang yang tidak aku saja. Ibuku, aku berbalik, ibumu.
Sketsa KONTAN, Februari 2011


Airmata Awal Shaum

Kita kembali bercengkrama di bilik malam, sehabis tarawih. Ya, kita menuang rindu dalam semangkuk katakata. Lalu aku bertanya tentang diam yang kau bumbui di resepresep sahur kemarin. Bagaimana kekuatanku. Cinta kita yang hambar. Dan pemulangan hati masingmasing. Satu pesanmu yang tak kau acuhkan hingga kini “jangan berubah aku”. Kau kemana di akhir?
Sketsa KONTAN, Februari 2011

Ayahmu, Cerita Itu

Dan aku tak pernah menerkanerka pertemuan lagi setelah Agustus kemarin. Untuk sebuah jika, aku harus apa, tidak lagi. Sebab hatiku yang seperti kunangkunang sudah mulai tahu tempat. Kepada siapa. Untuk apa.
“ayahku telah tiada, kau masih ingat mengapa?”
Aku terhenyak, lalu bergegas. Airmata jatuh pada pelukan ibumu.
Satu cerita yang masih jelas dua tahun lalu “ayah rindu senyum pencuri hatimu, by.”
Sketsa KONTAN, Februari 2011


(*) ADLIYA EKA PUTRI. Penulis kelahiran 20 Juli 1992 di kota Medan, adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universtas Negeri Medan. Bergiat di Komunitas Tanpa Nama, Laboratorium Sastra Medan dan beberapa forum diskusi sastra. Beberapa karyanya telah dimuat di media lokal Medan serta sejumlah antologi. No.Hp: 085261306131 Email: adeladliya@rocketmail.com












PUISI-PUISI Muhammad Nurul Fadhli

MEMORI SENJA
Senja pun kembali menjelma. Inilah saat yang tepat buat kita merambati sisa kenangan masa silam. Hmmm...jangan bilang kau lupa. “gelang ini sebagai prasasti kita. Jangan pernah tanggal dari tangan kita, ya!” katamu dulu. Tapi kini, masih adakah mutiara dari kisah lalu itu?

Aku juga tak begitu yakin, tradisi ngeteh senja, kala terakhir kita bersua masih kau ingat. Karena camar-camar pelabuhan itu juga tak mencerminkan lagi ceria wajahmu.

Alahai, buat apalagi kutabung rasa penasaranku padamu. Padahal kau pun sudah berpindah alam.

(Rumah CAHaYa Sei Deli, September 2011)




TAK ADA YANG PERCUMA
: para pejuang hidup

Buat apa gerangan deraian air mata itu kau sajikan
Padahal beribu mata sudah menyaksikan segala usahamu

Buat apa kau sayangkan peluhmu yang jatuh
Padahal tiap tetesnya adalah tabungan mutiaramu kelak

Buat apa tumpahan darahmu kau ratap
Padahal kan jadi kolam susu mandimu kelak

Yakinlah,
Laporan Malaikat selalu sampai pada-Nya

(Rumah CAHaYa Sei Deli, September 2011

PULAU KARANG

Sungguh, aku jatuh cinta pada saat pertama kali kita berjumpa
Bagaimana tidak, lekuk rupamu eksotis amboi memesona mata
Kuhirup legenda yang pernah dititip raja-raja dulu yang pernah berkuasa
Pasir putihmu serupa permadani susu dari nirwana
Pantas saja orang bisa lupa balik ke daratan
Sebab nyiur di bibirmu jua tak kalah anggun, apalagi kala diterpa sejuknya angin
Hmmm...

Duhai Barus
Berbanggalah engkau
(Rumah cahaya Sei Deli, November 2011)


KERIKIL DAN KORAL

Marilah kita abaikan kerikil yang berserak
Biar mereka jadi terjangan ranjau bisu
Yang siap mengoyak kaki-kaki bermata lengah
Bak makhluk mungil yang terabaikan
Kerikil juga punya siasat

Bagaimana mungkin lagi kita boleh awas pada koral
Namun tidak pada kerikil?

(Rumah CAHaYa Sei Deli, Oktober 2011)

REFLEKSI MUSAFIR
Sering lupa mungkin bahwa kita hanyalah musafir
Terdampar di perantauan syarat fatamorgana
Lazimnya cuma singgah sebentar saja
Bukan untuk merebah badan dan mengatupkan kelopak mata
Sekali-kali bukan
Bagaimana hendak memetik hasil panen
Bila benih pun tak mau kita tanam

Ayolah, apa yang hendak dibawa pulang kelak ke kampung kita?
(Rumah Cahaya, Januari 2012)



SEKILAS IKLAN PARIWISATA
Maukah kutawarkan sebuah wisata yang paling memesona
Lengkap dengan berjuta kenikmatan di dalamnya
Cocok bagi sesiapa saja
:petualang sejati, peselancar ulung, pencinta keheningan, perindu kedamaian
atau mungkin yang peduli kesehatan
Tak lain tak bukan
: Sholat

Silahkan saja
Coba bila tak percaya
(Rumah Cahaya, Januari 2012)











SAJAK PUTIH-HITAM
Tidak lah putih itu adalah putih bila tak ada hitam
Dan hitam tidak lah hitam bila tak ada putih
Setitik putih di atas hitam tak lah sejelas hitam di atas putih

Putih-hitam
Kan terus tak sering tak sejalan
Mencari takdirnya masing-masing

Putih-hitam
Kan mengalir di tiap ruas kehidupan
Saling berebut untuk jadi pemenang

Putih-hitam
Tak kan pernah berdamai walau mereka saling membutuhkan
(Rumah Cahaya, Januari 2012)






DI SIMPANG EMPAT
Penjaja panganan
Penjaja jasa servis arloji
Penjaja perbaikan sol sepatu
Pedagang aneka buah segar
Pedagang surat kabar
Segerombol pasukan becak
Sekumpulan ojek
Angkutan umum yang sedang ngetem
Siapa yang paling diminati?

(Rumah Cahaya, September 2011)









Biodata penulis
Muhammad Nurul Fadhli, Lahir di Medan, 14 Juli 1985. Alumni F-MIPA Universitas Negeri Medan. Jejaka yang kini menjabat sebagai ketua umum FLP-SU ini telah menghasilkan banyak karya yang sering dimuat pada harian di Medan. Puisi-puisinya terangkum dalam antologi “Medan Puisi” (2009) bersama seluruh penyair Nusantara. Antologi Puisi FLP-SU “NUUN” (2011). Kini bekerja sebagai pegawai swasta di Medan.






















PUISI-PUISI Fitri A.B.
Tentang Kepulanganmu….
Kepulanganmu yang merambat di pelupuk rinduku
Masih saja menjadi nyanyian paling syahdu di telinga langit
Maka pada sajak angin,
Aku selalu temukan rindu sedekat pertemuan lazuardi dan menara Madni Bradford
Seperti sajak rindu yang mulai kujulang di tiap ujung jarum jam kita, sejak kemarin

Di kepulanganmu yang dijaga waktu akan kusyairkan sekumpulan titah
Tentang yang kutunggu dan menungguku di bilik embun,
di antara gerimis dan hujan
di balik jendela yang meranumkan rindu dan di etalase doa....

-2012, Rumah Cahaya, FLP Sumut-

Seperti Katamu
Oleh: Fitri A.B.

Seperti katamu, tiap hujan yang singgah di wajah jendela kita akan selalu menghapus yojana. Pun sejak renyainya, akan ada yang mengingatkan kita tentang daun Maple yang selalu gugur di Nara. Tiap jatuhnya adalah resah yang mengunci diam kita. Selalu. Jika saban rinduku kulerai pada kuntum-kuntum Mussaenda Erythrophylla, kau bisa memunguti aromanya dari beranda rumahmu.
Seperti katamu, esok kita akan selalu meruntun kenangan dari genggaman angin di teluk mata kita. Lalu menyimpannya di tiap ruas jemari kita yang masih merindu gerimis. Kepulangan kita dari temaram ingin yang tak pernah pupus tetap saja lebih menderu dari air terjun Choshi Ohtaki. Maka menungguimu di sekitar purnama malam nanti lebih kusukai dari menghitung jejak angin di kota ini.

-2012, Rumah Cahaya, FLP Sumut-
Itu Milik Kita
Oleh: Fitri A.B.

Sekira masa membuat kita lupa pada jejak-jejak pilu. Adakah sebingkai kenangan kan menautkan kita padaNya. Apalagi bila pintu hati yang kita masuki tak selalu sama. Begitupun jendela hati yang biasanya kita tutup. Sebelum senja terlalu menua untuk kita tuntun. Kalau langkah kita tak segenggam lagi. Bisakah kita bertemu di simpang hidup yang sama. Merantaikan hati dengan ikatan kasihNya. Apalagi kata mereka. Waktu punya simpanan pilu yang tak bisa kuteguk sendiri. Kalaupun ada bahagia menyelinap di alunan darahku. Itu milik kita…

Jogja, 08 Pebruari 2011


Surat Cinta Untuk Cinta
Oleh: Fitri A.B.

Datang saja di detik yang tepat
Usah terlalu cepat…
Tapi jangan sampai terlambat….

-2012, Rumah Cahaya, FLP Sumut-








Ini Surat Untukmu , Ibu
: Ibuku
Oleh: Fitri A.B.

Ini surat untukmu, Ibu. Maaf, kali ini ia beramlop rindu;
“Kemarin, uang disakuku hanya cukup untuk membeli sebatang pena
dan selembar kertas, Ibu.”

Ini surat untukmu, Ibu. Aku menulisnya di rimbun rasa rindu
Itu ruangku biasa menanak angan;
“ Aku ingin mengajakmu berteduh di beranda Ar-Rahiim, Ibu.”
Juga ruangku menidurkan airmata;
“Kalaupun ia jatuh, tiada sesiapa yang mendengar langkah kakinya.”

Ini surat untukmu, Ibu
“Ibu, dengan apa kuganti garis-garis yang terlanjur singgah di keningmu.
Kata hatiku, ia singgah sebab resah yang pernah aku tumpah di pangkuanmu.
Airmatamu yang ranum itu, sering kupetik ia dengan luka;
namun, selalu ia sembuh tanpa inginkan aku terluka.”


Ini surat untukmu, Ibu
“ Tentang kulitmu yang mulai mengerut; dari situ aku mengenal kasih Rabb-ku.
Tentang tawamu; yang masih sesempurna bulan sabit di malam itu;
meski masih saja kau suka menyembunyikan luka di baliknya. “

Ini surat untukmu, Ibu. Maaf, tidak sepanjang surat yang selama ini kau kirimkan untukku;
di doa-doamu seusai melipat sujudmu
“Ini pun pasti tak serupa dengan cintamu yang gemanya menghampiriku
setiap kali aku lelah. Juga tak seperti kasihmu yang kuteguk sejak kubersemayam di rahimmu.”

-Rumah Cahaya, FLP Sumut-



BIODATA PENULIS
Fitri A.B. adalah nama pena dari Fitri Amaliyah Batubara, S.Pd.I. Perempuan yang lahir di Pagaranbira (Padang Lawas) pada 26 Desember 1988 ini hobi membaca, menulis, foto, design grafis dan jalan-jalan. Alumni IAIN SU (2010) ini merupakan mahasiswi semester 2 Pascasarjana Prodi Teknologi Pendidikan di UNIMED dan merupakan Bendahara Umum FLP (Sumut).
Karya-karyanya telah diterbitkan di media massa di kota Medan sejak 2005 hingga sekarang. Karya-karyanya pun terangkum dalam beberapa buku antologi. Diantaranya, Antologi Puisi FLP Sumut ‘Nuun” (Format Publishing, 2010), Antologi Puisi Kasih “TigaBiruSegi” (Hasfa Publisher, 2011), Antologi Puisi dan Cerpen “Rumah Air” (Leutika Prio, 2011), Antologi Kisah Nyata “Scary Moment #2” (Indie Publishing), Antologi Surat Terakhir Untuk Planet Mars #5, Antologi Kisah Nyata Deg-Degan “Ini Bukan Kisah Cinderella” (Format Publishing, akan terbit), Antologi Terapi Menulis (bersama Jonru Ginting) (akan terbit), dll.
Penulis beralamat di Perumahan Setia Kota Melati Blok: XI No: 184 Bandar Setia, Medan- Sumatera Utara, 20371. Di dunia maya ia beralamat di www.facebook.com/embun , syairlangit88@gmail.com dan www.fitriamaliyahdiazura.wordpress.com . Dia pun bisa dihubungi di 0852 6174 7088.








PUISI-PUISI Cut Cahyani
Aku Bukan Siapa-Siapa

Bapak separuh baya berjalan dengan tongkat; made in Indonesia
Menghampiri ibu-ibu yang sedang membongkar-balikan baju monza; made in Korea
Berjalan selangkah selangkah melihat segerombolan anak membawa mainan; made in Malaysia
Gundah hatinya, suntuk otaknya
Sepuluh langkah, ia berjumpa dengan gadis membawa dompet; made in Paris
Disampingnya berubuh gagah lewat dengan jam tangan; made in Swiss
Ku pikir, apakah aku saja yang mempertahankan negara ini ?
Aku berjuang membawa negara ini kemanapun, dimanapun, dan kapanpun
Tapi, tak satu orang pun ku lihat yang mempertahankan negara ini !
Cinta tanah air, kau bilang ?!
Busuk hati mu !
Berorasi hingga suara mu seperti kaleng susu yang berkarat dimakan rayap
kau ucapkan kepada seluruh rakyat “Cinta Produk Indonesia”
Tapi apa ?
Kau malu memakai barang milik mu yang selalu kau umbar-umbar kan !
Sedangkan aku bukanlah siapa-siapa, tetap bangga memakai tongkat mu
yang telah terkikis waktu hingga akhir hayat ku
Sebab itulah kekuatan cinta ku untuk negeri mu !






Seonggok Daging
Cut Cahyani
Aku lebih murka dari jin dan iblis
Sebab aku yang menghailkan laknat
Aku lebih terkutuk dari patung yang dikutuk
Sebab aku lah sarang jahannam
Aku bagai seonggok daging
Yang siap diterkam, dikunyah, ditelan oleh raja hutan
Sebab aku tak bisa berlari
Untuk lari dari hidup yang liar ini
Hiruk pikuk malam kurasakan
Sebab akulah raja malam kegelapan
Akulah seonggok daging yang terjual oleh malam
Malam-malam yang biasa menmbelai lembut dagingku,
membuat raja hutan tertarik dengan dagingku
Aku ingin diterkam…
Aku ingin dikunyah…
dan sekali lagi kukatakan
Aku ingin ditelan…
Darah menghinggap di dagingku,
Tapi tak apalah
Karna ku terima sekarung uang untuk merawat dagingku
Karna dagingku, adalah laknat untuk mu
Rezeki untuk ku



Realita Sang Boneka
Cut Cahyani
Anak berkerudung putih berlai
Dengan doa dalam jantung
Setiap nafas berkumandang di sela rezeki
Membuat mata teriris sepi
Ia melakoni sebuah realita
Realita yang membuatnya seperti boneka
Boneka yang terpaku dalam kejamnya dunia
Yang menjadikannya kuat bak baja
Tak jarang tantangan datang meradang dan menerjang dirinya
Membuat ia semakin terpaku didalam kejamnya roda
Tetapi ia tetap terbata-bata
Melawan hiruk-pikuk gemerlap ibu kota
Ia bukanlah dewa
Dewa yang berbentk manusia
Ia bukanlah malaikat
Yang selalu suci walaupun cahaya karat
Bila saatnya tiba,
Ia akan terbang mengepakkan sayapnya
Melewati buana negri
Dengan detak-detak nadi untuk sebatas meraih mimpi




Part I

Kau Mati Sia-Sia, Sondang !
Cut Cahyani
Kau mati sia-sia
Tak ada pengaruhnya untuk ini semua
Mungkin mereka tak tau dan tak mau tau siapa nama mu
Baiklah, aku saja yang akan mengucap nama mu
Dengan lantang dan tak gentar membusungkan dada, nama mu Sondang !
Sekali lagi ku ucapkan tanpa mengurangi gerilyawan ku, nama mu Sondang !
Hah, sontak serta-merta mereka menggigil mendengar nama mu
Pucat pasi kulihat air muka, serta bergetar kencang tubuh mereka
Aku yakin, kau menganggap mereka seperti sampah yang tak perlu dipungut
Tetapi terpungut jua hingga menjadi berlian yang dipuja-puji bangsa

Sampai akhirnya, kau merelakan tubuhmu terpanggang oleh panasnya api
yang melelehkan kulit mu hingga aku tak mengenalimu, Sondang !
Dan, lihatlah sekarang mereka si sampah busuk itu tak jua berubah
untuk menjadi sampah yang berguna bagi bangsa mu ini !
Ku tutup lontaran ku ini, dengan mengatakan “Kau Mati Sia-Sia”







Part II

Kau Mati Sia-Sia Sondang !

Heh, si sampah busuk tataplah peti jenazahnya
Lihatlah kulit yang enhitam dari tubuhnya
Sentuhlah permukaan penutup badannya
Kau tak kuasa ?
Dia adalah rakyat jelata,
Tetapi ia dipandang di Ibu kota hingga ke pelosok desa
Sebab dia lah penyelamat Indonesia
Walaupun sekarang tubuhnya tiada
Tapi ruh nya tetap hidup sepanjang masa

















Puisi-puisi Nurhasibah Nasution

Risalah Rindu
Beribu tanya yang kusatukan dalam gumam rindu
Menerawang kisah kelam masa lalu
Mengorek luka yang bersarang di kalbu
Terpaku dalam pandangan nanar
Pada senja yang akan menghilang sepertimu

Entah luka mana yang tersirat di relungmu
Hingga mampu merebut kebersamaan kau dan aku
Saat baru 2 bulan umurku
Harus ku rasai getir hidup tanpamu,
Serta sang ayah yang telah berpulang padanya
Kala aku masih dalam rahimmu

Kini aku telah memaknai hidup yang sesumgguhnya
Namun, Tatkala bahagia hendak singgahiku
Dia yang menjadi ayah, ibu serta nenek untukku
Pergi menikahi tunangan sejatinya

Ibu…
Walau aku tak tahu dimana dirimu berkelana
Setelah 18 tahun tanpa kabar serta berita
Meski semua tak mengharap hadirmu
Namun aku tetap setia dalam bahana rindu
Bersebab yakinku rinduku tak melampaui rindumu untukku


Memoar Hidupmu
Izinkan ku tulis memoar hidupmu
Bersebab perjuangan telah menyelimutimu
Ranjang tua kini peraduanmu
Disaat renta menyetubuhimu

Keelokanmu kini telah hilang
Molek wajahmu diganti keriput tua
Hanya tinggal jasad lemah tak berdaya
Namun sudut matamu masih memancarkan cinta sucimu

Terkenang indah dimasa lalu
Itu cinta,
Cinta yang tak terangkai dengan kata-kata
Tak terhitung dengan angka
Meski senja kini menghampirimu
Cinta itu kan kekal abadi selamanya dihatiku
Ibu…
Jadikanlah aku tongkat disaat tak mampu lagi kakimu berpijak
Ingin ku tahu perjuangan saat kau memapahku kala ku belum bisa berjalan
Jika matamu tak mampu lagi melihat
Biarkan aku jadi cahaya di matamu
Dan kini kau tak mampu lagi bicara,
Izinkan aku jadi suaramu
Seperti saat kau terjemhkan kata-kataku sebelum mampu ku bicara dulu


Sajak Rindu Untuk Ayah
Dalam singgasana luka yang menerjang
Di istana duka yang menghadang
Di antara belenggu duri yang melingkar
Namun,
Senyum masih dapat tersimpul
Tawa masih dapat terutarakan
Dikala jiwa dinaungi kegalauan

Kasihmu, bagai pancuran yang tak pernah mengering
Cintamu,sepanjang jalan yang kau tempuh
Sayangmu,setulus embun pagi yang menyejukkan hati
Kini diriku adalah rerantau
Bersebab terbentang jarak yang memisahkan kita
Ayah,
Dikala rindu ini membuncah di relung hati
ku ingin mematrikan rindu ini di hatimu
Ku titip rindu lewat angin yang menemani kesendirianku
Kala seperempat malam di atas sajadah kerinduanku
Tunangan Abadi
Semua terabaikan!
Menjejaki langkah iblis yang merayu
Meskipun kutau itu duri yang terbentang
Namun,
Rayuan itu ombak !
Ombak yang menghanyutkanku dalam gulungan cinta

Kini,
Tadahan tangan mengharap ampunanmu
Menanti peralihan zaman
Meskipun kemarin aku buta akan indahnya cinta dengannya
Tetapi, kusadari dialah tunanganku yang abadi
Ajalku!


Syahadat Impian
Tergores tekad dalam sajadah hati
Diantara dzikir di reranting impian
Dalam asa yang tersirat dalam hadist-Nya
Menulis sejuta cita-cita dalam kitab-Nya
Yang terukir dalam ayat-ayat-Nya



Kekakuan khayal dalam sujudku
Terbentang harapan diatas firman-firman-Mu
Memohon keridhaan-Mu
Langkah kaki terpusat menelusuri kegelapan
Ribuan jalan terbentang menuju kejayaan
Terkadang terhadang badai yang menggulung
Namun,
Langkah tak pernah mundur
Harapan semakin pasti
Dengan iringan puji untuk-Mu

Syahadat terlukis dalam semangat
Tujuan berpadu dalam lingkaran doa
Mengharap keagungan-Mu
Ya..Robbi
Izinkan kutiti jembatan menuju kesuksesan
Untuk Ayah dan Bunda ku




Biodata Penulis
Nurhasibah Nasution, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNIMED, stambuk 2011. Lahir di desa Simanguntong,15 Februari 1993. Sekarang bergiat dalam komunitas tanpa nama (kontan), Email : nurhasibahnasution@rocketmail.com.






PUISI-PUISI Try Annisa Lestari
Dari Balik Lensa
Dari balik lensa ku lihat wajah negara
Dari balik lensa ku lihat nyata wajah Indonesia
ada yang tersenyum dan mengayunkan tangan
lalu menghilang di balik sekat kaca mobil mewah
ada pula yang tersenyum meringis tampilkan gigi
sengat mentari dari pagi hingga senja setiap hari
Dari balik lensa gedung-gedung menjulang
menggapai langit, lancip membelah awan
Dari balik lensa ku lihat kolong-kolong tua
gubuk-gubuk renta, wajah-wajah susah
Dari balik lensa wajah kecut tersengat matahari
sedang berdiri meminta sedekah karena makan susah
Dari balik lensa para pejabat sikut-sikut
rebut kuasa rebut-rebut harta
lupa negara makan tak pun tak bisa
ini wajah ku wajah negara ku
Sketsa KONTAN, Jakarta 8 Februari 2012


Kurang dari satu kilometer
Try Annisa Lestari

Ada satu cerita yang aku bawa dari Ibukota, cerita tentang jarak langit dan bumi. tahukah Kau wahai sahabat, ternyata langit dan bumi kurang dari satu kilometer. Disana ada Istana negara pusat segala pemerintahan Republik Indonesia, kurang dari satu kilometer di bawah kolong-kolong jembatan jalan raya Ibukota ada warga negara yang terabaikan oleh pemerintah, hidup di bawah garis kemiskinan mengemis dan meminta hal yang biasa. Suara mereka, tangis mereka. Seperti nyanyian lagu kemarin sore, yang terabaikan, yang terbuang yang menghilang tanpa sedikit terngiang dalam lelap malam para penguasa Istana. Wahai sahabat ku yang baik hatinya nyanyikan lah lagu mereka lagu tentang kisah masyarakat bumi pertiwi yang dijajah mati oleh penguasa negeri.
Sketsa KONTAN, Jakarta 8 Februari 2012


Dari Kuta, Jakarta Hingga Medan
Try Annisa Lestari

Langit biru bergelombang pasang
ombak menari-nari cadas di tepian dinding batu
sekilas ku tatap langit serupa langit diatas atap rumah
namun ada yang berbeda dari suara sengau pujian persembahan untuk dewata,
aroma dupa hingga suara klaskson bis kota
sungguh suasana berbeda dari rumah
biar makan lidah kebarat-baratan
biar dialek sok pake Lo, Gue
namun End aku anak Medan
lidah dan perutku hanya satu selera susah di rubah
aku bangga jadi anak Medan
Sketsa KONTAN, Jakarta 8 Februari 2012

Raja Tipu
Try Annisa Lestari

Kau ajarkanku jadi penipu lantas aku jadi penipu
Kini aku lebih pintar menipu dari mu sang Raja tipu
Hai, Sang Raja tipu
Pantas negara ini nergara penipu
Rajanya saja seorang penipu yang menipu rakyatnya
Aku adalah satu diantara orang yang kau tipu
Trimakasih atas bimbingan dan arahan mu
Kini aku siap untuk menipu penipu seperti mu
Sketsa KONTAN, Medan Mei 2011




Mak, Aku ingin Pulang
Try Annisa Lestari

Mak, masih ada sebakul nasi hangat dari padi
yang kau panen kemarin?
masih ada sayur daun ubi yang kau petik tadi pagi
dan masihkah ada secangkir wedang jahe hangat spesial itu?
Oh Mak, aku rindu masakan dari tangan mu
hingga langkah kian gontai tanpa arah
jangankan lantang menantang petang
bertegur sapa pada fajar saja aku tak mampu
perut ku bergendang nyanyikan lagu riang
pikir ku melayang, terbang keawang
Mak, aku mau pulang
hidupku tak tenang di kejar hutang
Sketsa KONTAN, Medan Agustus 2011

(*) Try Annisa Lestari Penulis kelahiran 22 Januari 1992 di kota Medan, adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universtas Negeri Medan. Bergiat di Komunitas Tanpa Nama, Laboratorium Sastra Medan dan beberapa forum diskusi sastra. Beberapa karyanya telah dimuat di media lokal Medan dan sejumlah antologi. No.Hp: 087768164440 Email: tryannisa@rocketmail.com




PUISI-PUISI KHAIRUL ANAM

Pada Malam

pada malam
kupintal seribu zikir
kurapal mantera sihir
berdoa agar Ia segera memanggil

Innalillahi

Awan Gelisah, 20 Maret 2011



Akal Tak Berakal
Oleh: Khairul Anam


Kepada R&S

Angin kehidupan masih setia berhembus di lorong-lorong gelap. Sedang dendam tetap menjadi raja pada rumah yang dibangun dari sebongkah gelisah. Dan kurasa dogma saja tak cukup meretas tali belenggu yang mengikat tubuh dari sebuah kata; lemah

Tak seorang dari kita yang tahu siapa pemenang atas perkelahian tak berdarah ini. Kau, dia pun aku sudah samasama kehabisan logika di diskusi dini hari tadi. Hingga tiba di senja telur angsa kau masih saja menikam akal tak berakal dari kepalakepala besar.

Awan Gelisah, 13 November 2011



Kutunggu Sampai Tuhan Berbicara
Oleh: Khairul Anam

Cukup berdiri saja kurasa
Berjalanpun tak merubah apa-apa
Setelah kebenaran tertikam dipenghujung jalan
Kutunggu sampai Tuhan berbicara

Awan Gelisah, 19 Desember 2011



Balada Kutub Utara
Oleh: Khairul Anam



Kepadamu
yang berbicara mengenai luka yang ganga
yang bercerita tentang hawa di taman surga
yang tertawa kala senja mengulum nestapa

Balada kita sudahi sampai simpang tempat
temu dulu sempat bersetubuh dengan takdir

Tuhan telah menyampaikan firmanNya
tentang benang merah yang berubah hitam
seperti saat dulu pernah kuucap sebelum langkah teranyun
dan bibirmu bertemu senyum
sudahlah,
anggap saja ini balada kutub utara

Awan Gelisah, 10 Desember 2011



Rintihan 17 Ramadhan
Oleh: Khairul Anam



Malam bertasbih pada tuhan lewat keheningannya
dedaun berzikir pada tuhan lewat gerakannya
sedang aku berjalaga lewat tetes air mata yang mengalir di sungai pipi kulit muram
dalam setiap doa-doa yang menghujam batin

Tiada kata yang dapat menerjemahkanmu
sebagai kesempurnaan atas cipta karsa dan karya Sang Maha
bersebab kau adalah jiwa peri abadi bagi keluarga

Akh,, ini hanya secoret rintihan hati anak malang di malam 17 Ramadhan
yang telah lama tak merebahkan kepala di pangkumu

Awan Gelisah, 17 Agustus 2011

Profil Singkat











Khairul Anam adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed. Bergiat di LPM Kreatif Unimed dan sebagai Dewan Perintis di Labolatorium Sastra (LABSAS).














PUISI-PUISI Pertiwi Soraya

Bahkan Cermin pun Berdusta

Bahkan cermin pun berdusta
Mengapa mata menangis namun bibir tertawa?
Dan jika manis syairmu tipuan belaka,
lalu janji madumu bisa kutagih di mana?
Senin duka
Selasa pora
Rabu canda
Kamis hina
Sisanya mana?
Sang dosa terpana
Tak sangka ia terpajang di sana
Kau atau aku yang buta?
Oh, bahkan cermin pun berdusta



Semburat Jingga

Pantulan mentari di pematang sawah kencang mengejar keretaku
Serasa tak rela ku tinggalkan
Namun, hasrat hati segera ia berlabuh di pojok langit barat
Karena ketika ia melukis semburat jingga di sana
Sepasang tubuh kudekap erat
Lalu kuucap
Ayah..Bunda..
Putrimu pulang


Kutanya Kapan Berakhir

Layangnya kapas-kapas tak jua membumi
Terombang-ambing walau ruang tak berbadai

Banyak pati tergantung di dinding
Namun tak kutemui satu di ujung gading

Tak selama ombak mengukir karang
Tak sempat sebuah novel terkarang
Tak sampai selesai ragi menyulam sarang

Namun,
Nasi telah tanak
Kacang kunjung lunak
Santan telah berminyak

Walau waktu tetap menyimak
Meski ruang terus berderak
Namun aku mulai muak

Lalu kutanya,
kapan berakhir?
Guratan mata pena, saat ini bergiat di FLP-Sumut.
PUISI-PUISI Dewi Agus Fernita Ginting
HITAM-PUTIH
:penjaga hati
Hatiku kelu, dingin, tiada rasa. Mati. Kata itu pantas mewakili semuanya.
Kelaknatan, kedurjaan, ketololan, semua telah kulakukan berharap temu pada kebenaran, tapi sia-sia.
Akankah HITAM bertemu Putih? Sungguh keduanya tak pantas disatukan. Abu-abu, tak pantas ada di antaranya. Ia hanya hasil dari sebuah dilema HITAM-PUTIH.
Jika ada yang ragu, hendaklah ia jadi tak pantas jika muncul di antara kita, abu-abu bukan jawaban, tapi masalah baru yang timbul di antra kita.
Sebenarnya akupun sulit melihat betapa tidak adilnya jika kita meniadakanya, tapi aku sungguh tak menyukainya hadir di antra kita.
HITAM ya harus hitam, PUTIH ya harus putih
Ingin kubuat HITAM menjadi kebenaran yang benar, PUTIH hanya bagian dari kebenaran bukan berarti ia benar, bukan?
Akan kubuktikan pada dunia tak selamanya HITAM itu gelap, PUTIH itu terang
Mereka harus melihat apa yang sedang kulihat, mereka harus tahu apa yang semestinya mereka tahu yang sedang mereka tidak ketahui
Dunia mengajarkan tentang bahagia, tapi tidak lupa pula mengajarkan luka. Semua telah ada di HITAM-PUTIH.
Seketsa KONTAN, 2011



MAAF, AKU TAK MENGENAL CINTA LAGI
Oleh Dewi Agus Fernita Ginting
Tak seharusnya aku jatuh cinta padamu. Rasa-rasanya baru kali ini aku jatuh cinta yang sangat teramat mencintai. Kau buat aku melupakan dia, kau buat aku tertawa, kau buat aku merasa nyaman, tapi setelah semua itu kau malah pergi tanpa kabar. Terlalu cepat aku mengira kau juga mencintaiku. Aku juga tak paham kenapa aku begitu mencintaimu, lebih cintaku padanya dulu. Aku berpikir biarlah kau yang terakhir, namun kau pergi juga. Ahh... tolol benar aku. Sebenarnya aku telah berjanji tak ingin menyesal jika kelak jatuh cinta lagi, tapi kali ini aku benar-benar menyesal.
Aku menyesal telah menjadikanmu penjaga hatiku, aku menyesal telah mendewakanmu, aku menyesal telah mengenalmu. Aku menyesal. Sungguh.
Mengapa dulu kita harus bertemu? Mengapa! Jika hanya meninggalkan luka di hatiku. Tahukah kau hampir setiap waktu aku merindumu, tahukah betapa sakit yang kurasa?
Sudahlah itu mungkin tak penting bagimu. Bagaimanapun hidup harus tetap harus berjalan bukan? Aku akan mencoba menikmati hidup dalam rangkulan luka demi luka.
Jika sekarang kau ada di sini dan bertanya, “mengapa kau mencintaiku?”
Mungkin aku akan menjawab karena aku membencimu.
Jika kemarin kau bertanya, “Cintakah kau padaku?”
Aku pasti akan menjawab, “Lebih dari yang kau tahu. Dan jagan tanya mengapa aku harus mencintaimu.”
Jika esok kau bertanya, “Masih cintakah kau padaku?”
“Maaf, aku tak mengenal cinta lagi.”

Seketsa KONTAN, 28 Nov 2011
*di relung kerinduan



MAAFKANKU MENCINTAIMU
Oleh Dewi Agus Fernita Ginting
Aku benci dengan semua ini, aku muak. Apa yang harus ku lakukan? Salahkah aku jika memiliki rasa seperti ini, tidak bisa ku bohongi rasa yang sedang mendegupkan jantungku. Andai saja bisa ku padamkan api yang sedang menyala-nyala ini.

Terlalu sucikah rasa yang biasa orang sebut cinta tertanam di hatiku? Aku juga tak mau rasa ini tumbuh, aku tak butuh. Tapi itu bohong, ini semua kebohongan yang ku cipta sendiri. Salahkah aku mencintaimu? Aku tahu, tak sepantasnya kutanam rasa ini sedalam jiwaku, tapi rasa ini yang selalu mengiginkannya.

Bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak sedangkan tiap kali ku pejamkan mataku selalu ada bayangmu, setiap kali aku bernafas selalu terlintas semua tentangmu. Apakah wanita seperti ku tak pantas untuk sebuah cinta? Andai kukatakan pun tentang hasrat hati mungkin kau tak akan pernah paham. Maafkanku mencintaimu diam-diam.

Aku selalu berdoa agar suatu hari nanti kau dapat mengerti tentang rasa ini. Namun terkadang aku merasa malu, masih layakah aku berdoa pada sang yang Maha Agung meminta agar Dia mau memberi cinta ini untukmu? Mungkin Tuhan juga tidak sudi melihat wanita sepertiku. Mungkin juga Ia bosan mendengar semua doa-doa yang penuh dosa ini.

Aku ingin cintaku abadi, maka ku akhiri saja semua ini. Jika Tuhan mau marah, murkalah pada rasa yang mengoda hatiku. Ampuniku Tuhan.
Seketsa KONTAN, 2011






INDAH JIKA DINIKMATI
Oleh Dewi Agus Fernita Ginting

Dengan segenap jiwa yang rapuh ku coba trus langkahkan kaki
Etetis jiwa rasanya sampai tererupsi
Wejangan demi wejangan ku ingat kembali
“Indah jika dinikmati”

Ahh...
Gila rasanya yang katakan itu
Ubun-ubunku ingi meledak jika ingat kata-kata itu
Sampai kapan aku harus terus begini? Sampai aku mampus?

Fraksi-fraksi otakku hampir meleleh
Entah apa lagi yang terjadi setelah ini
Ranting keyakinanku pun mulai goyah, bahkan dedaunanya pun telah berguguran
Nyanyian kematian rasanya telah mendekatiku
Instingku menyerukan pertahanan
Taklukkan semua tantangan, hadapi semua rintangan
Angkat bendera kemenangan
Seketsa KONTAN, 2011




IJINKAN KU MEMELUK TANGIS
Oleh Dewi Agus Fernita Ginting

Menatap binar ke dalam hatimu
Merenguk sebongkah luka lama yang menganga
Harap lalu kembali ke permukaan,
Mengambang-ambang melaju dalam angan
Memori terindah saat bisa merangkul tangis bersamamu
Namun kini kau memilih bahagia
Dari pada berjalan dalam derai air mata kebersamaan kita
bisakah kupeluk sekali lagi tangis di antara kita?
Agar aku bisa bermain dengan tawa lagi
Seketsa KONTAN, 2011








Biodata penulis
Dewi Agus Fernita Ginting adalah sebuah nama yang di berikan orangtua saya untuuk saya sandang. Saya lahir pada 25 Agustus 1991 dari keluarga yang sederhana dan bahagia. Sekarang saya kuliah di Universitas Negeri Medan, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan sedang bergiat dalam Komunitas Tanpa Nama (Kontan). Alamat e-mail saya, dewiagusfernitaginshu@yahoo.com atua no hp 0858 3032 6272.














PUISI-PUISI Satria Jaka Psb
KEAJAIBAN HATI DI KAMPUNG MUHASABAH

Berjalan-jalan mengitari kampung muhasabah
harum dan kenakalan bunga di taman cinta
memanggil datangnya angin asmara
ini suatu keajaiban alam, sayang

Daun-daun dosa telah menguning
menunggu datangnya musim gugur
rangkul aku sayang
bawa menikmati dinginnya malam sunyi
dalam dekapan sajadah panjang
tanpa bebintang dan rembulan, hanya kita berdua
mengucapkan cinta

pandanganku datang dan pergi
menjemput wajah yang sedang bersemi
rayuan lembut angin malam ini
membuatku tak mampu terpejam lagi
ini suatu keberkahan alam, sayang
mari kita teruskan menari di kampung muhasabah ini
sampai dedaunan hijau tumbuh dan bunga-bunga kembali bersemi

Sayang, ini keajaiban hati
aku ingin terus bersama selamanya
menikmati rayuan malam
di pinggir waktu fajar
membawa airmata
di kampung muhasabah
ciptakan bahagia
pelebur dosa dosa yang telah menguning

Rumcay FLP Sumut, Februari 2012

AKU INGIN

Suara-suara ayat terus berdetik
menjamu fajar di taman dzikir
mengalun dalam mimpi yang masih berteman
dalam kelam, dalam ibadah cintaku
Kekasih aku ingin mimpiku berteman cahaya wajahmu
sekali saja, aku ingin meski hanya sekejap
Kekasih aku ingin menjadi dirimu
walau hanya sepercikpun, aku ingin

Berjalan seperti baiknya jalanmu
menerangi setiap jalan sunyi seterang cahaya imanmu
Kekasih, aku merindukan langkahmu di hadapanku
aku ingin mengikutimu ke arah jalanmu
meski telah jauh jarak kita
aku ingin, Kekasih

Setebar senyum ramah itu
aku ingin, menjadi bibirmu
yang lembut dari segala ucapan
meski hanya sekejap saja di penghujung waktuku
Kekasihku, Muhammadku
aku rindu padamu
selalu ingin jadi dirimu
Rumcay FLP Sumut, Februari 2012
CERITA KITA

Di sini kita sudah bercerita banyak tentang pribadi masing-masing
sambil menikmati air kelapa muda langsung dari buahnya,
manis sekali...
tambah lagi angin laut dari samudera luas menghempas di wajah kita
padahal waktu itu aku tak bermaksud untuk bercerita banyak
kini, ya sudahlah.
Di sana kau mungkin juga sedang bercerita perihal pibadi pada orang yang kau pilih
sedang di sini, aku terus bercerita pada pasir
berulang kali menuliskan namamu

Rumah Cahaya, Januari 2012
CINTA DI HARI CINTA

Beranda cinta di dua hati yang salah
menebar kata yang belum berarti sakral
oh, jiwa mengerti kah kau tentang cinta
cinta pada sebatang cokelat
cinta pada setangkai mawar

Manis yang kau berikan hanya sekecap rasa
padaku, pada kekasihmu
cinta

Tak seindah mawar merah berbatas waktu
kau tebarkan satu persatu
dalam satu waktu yang kau sebut “hari cinta”

Aku ingin selamanya,
selamanya kau datang menemaniku
bersama kita; lebih indah di dunia sampai menjadi penghuni surga

Rumcay, FLP Sumut. Februari 2012
Profil Penulis

Satria Jaka Psb adalah Penulis kelahiran kota Sibolga Sumatera Utara. Kelahrian 22 Februari 1989. Sekarang sedang menyelesaikan kuliah S1 di IAIN-SU. Dan sekarang sedang aktif dalam organisasi Forum Lingkar Pena Sumatera Utara

PUISI-PUISI Azizah Nur Fitriana

Andai saja,


Andai saja hati ini bisa bicara
langsung tepat ke hatinya
tak kan ada Tanya
dan kecurigaan lagi
lihatlah hati ini…
betapa bahagia tanpa ada
kata kekasih

Sketsa Kontan
Fb , 19 desember 2011

Dalam Sajak



Dalam sajak aku berkata
Dalam sajak aku bicara
Dalam sajak aku bercerita
Dalam sajak aku bermanja
Dalam sajak aku bertakhta
Dalam sajak aku merasa
Dalam sajak aku mengiba
Dalam sajak aku mencoba
Dalam sajak aku mencipta
Katademikata yang bermakna
Dalam sajaksajak itu
Aku tafakkur merenung
Hidup nan penuh bilur
Menghantam tanpa alur
Hingga aku rembab sungkur

Sketsa Kontan
Syair kehidupan, 20 Desember 2011











Dalam kelam aku menanti
Oleh : Azizah Nur Fitriana

Dalam kelam aku menanti sajaksajakmu tenangkan ruh dan jiwa ku.Dan dalam sajaksajak itu aku tafakkur merenung hidup nan penuh bilur menghantam tanpa alur hingga aku rembab sungkur .”jangan pernah berkata mundur tetaplah selalu tafakkur semoga menjadi penyair termahsyur.” Aku tak hendak semua itu aku hanya melepaskan sesakan kata di jiwa tanpa pernah ingin seperti yang kau lantunkan.

Sketsa Kontan
Berandaku, 20 Desember 2011


Kematian
Oleh : Azizah Nur Fitriana

Jika berbicara tentang kematian
Mungkin tak ada jiwa yang bahagia
Kematian adalah mutlak
di alami setiap insan
bernyawa di alam semesta
Kematian adalah kabar duka
Teramat dalam luka meraja

Sketsa Kontan
Alam imanajinasi, 23 Desember 2011

*Penulis adalah mahasiswa FBS Universitas Negeri Medan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan saat ini bergiat dalam Komunitas Tanpa Nama ( KONTAN)


























PUISI-PUISI Feronika Hutahaean
Tangisan Wanita Malam
Kau bayar tubuhku dengan uangmu
Tanpa peduli dari mana kau mendapatkannnya
Aku bayar tubuhku dengan uangmu
Tanpa peduli apakah istri, anakmu tahu hal ini
Ini kulakukan karena akulah tulang punggung keluargaku
Ayahku sakit, ibuku sudah tua, adikku banyak semuanya masih kecil-kecil, sedangkan aku adalah anak pertamanya
Kami keluarga tak mampu, bahkan untuk makan saja tidak sanggup
Aku hanya lulusan sekolah dasar
Bukannya aku tak mau mencari pekerjaan yang lain
Tapi telah kucoba, namun tak seorangpun menerimaku serta memberiku kesempatan
Apakah memang aku adalah orang yang tek pantas untuk diberi kesempatan?
Katanya aku tak mampu melakukan pekerjaan itu
Padahal kalau mereka menerimaku, aku akan belajar untuk lebih baik
Bekerja dengan ikhlas dan sukarela
Aku tak pernah meminta dilahirkan kedunia ini
Tetapi mengapa aku dilahirkan jika hanya untuk menanggung semua ini
Diam...
Kuterpaku dalam kebisingan kota Medan
Sungguh kejam, tak mau memberiku kesempatan
Apakah memang ini adalah takdirku?
Apakah pekerjaan malam ini adalah takdirku?
Beritahu aku agar kumerasa lebih baik
Jika memang ia maka aku akan menerimanya sampai akhir hayatku
Tapi kalau tidak tolong aku, bantulah aku keluar dari pekerjaan ini
Karena aku juga tidak mau berlama-lama disini
Aku capek, jenuh, bosan dan sakit
Bantu aku, beri aku jawaban yang pasti



Sajak Rindu Untuk Ayah
Butiran air mata kembali membanjiri pelupuk mata
Meninggalkan bekas kepedihan yang teramat sangat dalam
Bersebab kerinduan yang kurasa tak tertahankan
Ingin berjumpa denganmu dialam baka
Ayah...
Seuntai kata kurangkai untukmu hari ini
Sebagai pesan bahwa aku sangat merindukanmu
Berharap engkau akan datang menemuiku bersama senyuman hangatmu
Kusediakan pahatan wajahku untukmu
Sebagai kenangan yang kau bawa kealammu nantinya
Datanglah ayah, dengarlah jeritan orang yang sungguh merindukanmu
Nasehat dan tutur bahasamu yang lembut
Membuat aku haus akan kehadiranmu
Kepergiannmu sungguh sulit untuk kuterima ayah...
Aku belum bisa merelakan semua ini
Karena bagiku engkau terlalu cepat pergi
Padahal banyak yang ingin kuceritakan untukmu
Bahwa aku sungguh mencintaimu dan aku belum sempat mengatakannya padamu
Melalui sajak ini, aku beritahu bahwa aku mencintaimu
Sampai akhir hayatku engkau takkan pernah pudar dalam relung jiwa




Rasa Yang Hilang
Pergilah...
Jangan kau datang kembali untuk mengungkit masa lalu
Karena bagiku engkau hanyalah masa lalu dan tak perlu kau kembali
Tahukah kau, ketika kau pergi meninggalkan aku, aku terpukul, menangis dalam diam adalah hal yang selalu aku lakukan ketika akan tidur
Tetapi kini, setelah aku bisa melupakanmu engkau malah datang dengan membawa sejuta penyesalan
Maaf, aku tak mau menjalani hidup denganmu lagi
Sebab aku tak mau tersakiti untuk kedua kalinya hanya kerena seumbar janji
Suatu hal yang harus engkau tahu, bahwa aku juga bisa hidup tanpamu
Walaupun memang harus kuakui bahwa aku mencintaimu dan takut kehilanganmu
Ingatlah semua telah berlalu dan menjadi masa lalu
Tak ingin aku kembali merajut kasih denganmu
Sebab, luka yang kau tanam sudah terlalu sakit hingga meninggalkan bekas
Takkan terobati walau engkau datang kembali
Cukuplah sudah kisah ini
Jika suatu saat kau temukan wanita yang mencintaimu
Janganlah tinggalkan dia terlalu lama dan berilah dia perhatian, kasih sayang dan cintamu seutuhnya
Karena kehilangan orang yang kita cintai adalah hal terberat ketika menjalani hidup ini



Ijinkanlah (Sebelum Aku Pergi)
Cinta...
Sebelum aku pergi meninggalkan dunia ini
Ijinkan aku mengungkapkan isi hatiku padanya
Sebab aku merasa ada cinta yang tulus untuknya
Aku merasa bahwa dia adalah orang yang paling tepat untuk mendapatkan cinta ini
Sebelum mata terpejam untuk yang terakhir kalinya
Ijinkan aku memeluknya
Merasakan kehangatan dan kenyamanan gelora sukma
Andaikan aku bisa hidup lebih lama lagi
Aku akan menjadi orang yang paling bahagia
Namun, apalah daya tubuh ini tak mampu untuk bergerak
Mata ini semakin lama semakin ingin terpejam
Dia adalah pujaan hatiku
Walaupun aku sudah pergi, aku akan selalu mengingatnya


Jangan Tinggalkan Kamu (Bunda)
Tak pernah kau berharap budi balasan dari setiap pengorbananmu
Kasih sayangmu selalu kau tebar
Doa selalu kau lanturkan
Kuingin kau tahu aku sangat mencintaimu
Maafkan aku telah membuatmu terluka
Tapi, itu bukanlah aku sengaja
Kumohon janganlah tingalkan kami
Sebab aku tak mampu hidup tanpamu
Kesetiaanmu sungguh luar biasa
Tak dapat diukur dan tergantikan






Biodata penulis
Nama saya Feronika Hutahaean kelahiran tahun 1992, untuk saat ini saya berstatus mahasiswa, jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Medan, semester 4. Saya anak kedua dari lima bersaudara. Menulis adalah suatu hobby saya karena dengan menulis saya merasa lebih baik serta mendapat kepuasan tersendiri. Saya tinggal di jalan Durung No. 217, Medan. No. Hp : 082162400167. Beberapa karya saya sudah dimuat di media massa dan juga dibukukan.






GELANGGANG SAJAK M. RAUDAH JAMBAK


GELANGGANG SAJAK : M. Raudah Jambak

SEBAB AKU PEREMPUAN

Gerai rambutku
Binar mataku
Mancung hidungku
Tipis bibirku
Maka,
Membara kelelakianmu

Tunduk kepalaku
Terbungkus tubuhku
Terbata mulutku
Perlahan langkahku
Maka,
Surut perasaanmu

Selalu Hawa yang dipersalahkan
Ketika Adam mencicipi buah keabadian
Sebagai penyebab sebuah ketelanjangan
Bibit huruhara persengketaan
Yang memabukkan

Selalu Cleopatra menjadi cibiran
Ketika lelaki harus menghunus senjata
Membunuh saudara sendiri
Demi sebuah pengakuan
Dan cinta

Selalu aku merelakan pengorbanan
Untuk sebuah ketidakpastian
Dari janjijanji bersayap cumbu
Bagi kumbang
Penghisap madu

Sebab aku perempuan
Maka, perasaanku
Kau permainkan


BUKAN KARENA, TETAPI

Bukan karena hiba
Dan tetes air mata
melukis pilu segala warna duka
Menggores di kanvas segala luka
penuh amarah yang memerah
atau pedih segala perih
memudarkan rona
memudarkan rasa

Bukan karena apatis
hingga hasrat harus teriris
Meninggalkan catatan
Sebuah kenangan
Di buku harian
Pada halaman-halaman tertinggal

Tetapi, karena aku perempuan
Yang merawat segala cinta
Dan kasih sayang
Di hatimu


MEMBACA POTRET KARTINI

Membacamu adalah menerjemahkan makna
Alis yang bertengger di atas bening binar matamu
Yang mengisyaratkan cita-cita
Dan cinta

Membacamu adalah mencatat patahan
Pada sketsa hidungmu yang membaui
Aroma segar nurani
Murni

Membacamu adalah menafsirkan hakikat
Keperempuanan yang disalahartikan
Tentang kesamaan
Dan kesetaraan

NASKAH DRAMA TV MH.RAJ


Drama Pendek














BANJIR OH BANJIR

Muhammad Raudah Jambak















TVRI
SUMATERA UTARA
2009

BANJIR OH BANJIR

Muhammad Raudah Jambak

Dimainkan oleh
Komunitas Home Poetry
Pimpinan M Raudah Jambak



Para pelaku:

Ulong (30 tahun) : Ahmad Badren Siregar

Nasir (30 tahun) : Djamaluddin

Sahdiran (35 tahun) : Syahdi Azhari

Genel (30 tahun) : Rahma

Pak Kades (40 tahun) : M. Raudah Jambak

Di bantu dengan peran orang-orang













BANJIR OH BANJIR

Muhammad Raudah Jambak



Sinopsis



Ulong tidak sadar rumahnya terendam banjir. Mulai dari dapur kamar tidur, apalagi kamar mandi. Hanya yang menjadi persoa lan adalah halaman rumah ulong juga terendam banjir. Selidik punya selidik selain dari hujan yang tak kunjung henti juga sam pah yang bertimbun. Tetapi, ulong tidak sadar dia asik-asikan di rumah. Nasir marah. Perdebatan terjadi. Genel juga marah. Akhirnya, perdebatan itu pun dapat diselesaikan oleh pakar banjir yang kebetulan datang ke rumah mereka. Nah, selamat menyaksikan.

Medan, November 2009
Muhammad Raudah Jambak









Fragmen Pendek
Muhammad Raudah Jambak
BANJIR OH BANJIR

ADEGAN SATU
Ext. Ruang Tamu. Rumah sederhana. Pagi hari
Terdengar orang-orang berbondong-bondong, pergi ke suatu tempat. Ulong baru bangun. Marah. Kesal. Heran. Berteriak memanggil orang-orang.

Ulong : (berteriak) Woooi, Mananya semua orang di rumah ini?! Alah-alah.
Yang kucari pun tak dapat-dapat. Dimana, ya?
Terdengar suara rintik hujan sebentar, lalu menghilang.. Ulong masih mencari-cari.. Marah. Kesal. Heran. Berteriak memanggil orang-orang.
Ulong : (berteriak) Woooi. Adanya kalien lihat barang aku. Eh, barang,
maksudku sekop. Mananya orang-orang ini. Kemananya kelien?
Macammana mau menguras, barangnya aja tak nampak. Eh, barang,
maksudku sekop.
Terdengar suara orang menguras, seolah berirama di suatu tempat. Ulong mulai hilang kesabaran. Memilih duduk di kursi. Marah. Kesal. Heran. Mengeleng..
Ulong : (Berdiri mengambil rokok. Menggaruk-garuk kepala kembali duduk.
Monolog) Ah, inilah susahnya tinggal di pinggiran kota. Tak hujan
aja kadang-kadang bisa banjir. Apalagi kalau hujan. Orang-orang ge
dung di depan gang itu enaklah dia. Hujan aja tak banjir. Apalagi
kalau tak hujan makin nyonyak tidurnya kuraso. Kurasopun macam
begitu. Banyak kali berita kudongar. Sana banjir. Sini banjir.
Jangankan mau berbaring. Jongkokpun payah. Alah-alah........ Hm, ni
ado koran. Kubacolah dulu. Pelan-pelan aku mambaconya. Biar
dengar orang-orang. Alah-alah...kalau polan macammana nak
didengar orang. Ontahlah. Ah, sudah. Kubaco dulu. Kalian dengar
yo. (membaca koran) Gubsu Diminta Bentuk Tim Banjir
Bandang Rabu, 30 September 2009,
MEDAN-Hingga awal tahun 2010 mendatang, Sumut berada dalam kondisi rawan bencana banjir bandang dan longsor. Hal itu disebabkan rusaknya kawasan hutan di hulu, sehingga ekosistem terganggu dan curah hujan yang tinggi menjadi media perantara. Sekjen Komunitas Peduli Hutan Sumatera Utara (KPHSU), Jimmy Panjaitan, mengungkapkan ada beberapa lokasi yang harus diwaspadai, terutama kawasan yang terdapat ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengelola Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang masih aktif maupun tidak aktif, juga termasuk kawasan hutan yang terdapat aktifitas illegal logging.
“Karenanya, Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan, serta kabupaten-kabupaten pemekaran dari Tapsel, tetap menjadi kawasan rawan bencana. Selain itu, Dairi, Langkat, Labuhan Batu, Asahan, dan Nias juga menjadi daerah rawan bencana banjir bandang dan longsor,” beber Jimmy.
Dia menambahkan, bencana yang menimpa beberapa kawasan di Sumut, akibat perubahan fungsi hutan dan juga perusakan hutan yang cukup signifikan. Seperti kasus yang masih segar di Muara Batang Gadis, dimana gelondongan-gelondongan kayu yang terbawa arus banjir, bukti masih berlangsungnya aktifitas perambahan kayu di daerah hulu.
“Dari data KPHSU, saat ini luas tutupan kawasan hutan di Sumut hanya tersisa sebesar 20 persen saja, dari luas wilayah administrasi provinsi. Tentu saja kondisi ini akan menggiring kita pada persoalan multi krisis lingkungan. Dan ini adalah bencana! Bencana paling besar yang akan menghadang di depan kita akibat perusakan hutan,” ungkap Jimmy.
Karenanya, untuk mengatasi ancaman itu, diharapkan Gubsu Syamsul Arifin membentuk Tim Audit dan Penilaian Lingkungan. Sasarannya, perusahaan - perusahaan yang memanfaatkan potensi hutan dan kawasan hutan, serta kebijakan-kebijakan pemerintahan daerah yang mengatur tentang kehutanan atau bersinggungan dengan hutan di wilayahnya.
“Tim itu harus lintas intansi pemerintah ditambah stakeholder lainnya, di luar pemerintah, guna menghindari terjadinya manuver-manuver kepentinganan jika ditangani oleh salah satu instansi.
Kehadiran tim ini sangat diperlukan untuk membangun kebijakan kehutanan di Sumut sebagai rujukan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” harap Jimmy. (jafar)
Nasir : (mengucapkan salam tak didengar langsung masuk dan memperha
tikan ulong) Ooo, enak-enak abang di sini rupanya.
Ngapainlah abang. Di luar orang-orang sibuk membersihkan sampah-
Sampah yang bertumpuk di paret depan rumah abang. Abang kok
duduk-duduk aja kerjanya. Bantulah...!
Ulong : (bersemangat) He, Sir. Kok aku yang kau marah-marahi. Tau kau,
aku sedang pening. Bukannya kau hibur. Malah datang-datang marah-marah pulak. Hei, Sir. Dengar, ya. Kau dengar. Kalau masuk ke rumah orang itu ketuk pintu. Terus ucapkan salam. Nah, kalau tiga kali tidak ada sahutan. Pulang. Itu namanya sopan santun bertamu. Apa kau nggak pernah diajarkan cara bertamu?
Nasir : (heran) Sudahlah. Eh, bang dari tadi aku menjerit-jerit mengucap
salam, di luar sana sibuk terus mengetuk pintu. Abang aja yang nggak dengar. Tau, Abang? Ha ini biar abang tahu. Dari luar sana kudengar suara abangtu teriak-teriak tak menentu. Makanya, aku kemari. Entah kenapa-kenapanya, Abang. Takutku abang tersengat listrik. Maklumlah gara-gara banjir, tidak hanya terendam, tenggelam, tersengatpun bisa.
Ulong : (menggaruk kepala lagi) Manalah aku tau. Cobaklah kau pikir, dari
tadi aku teriak-teriak tak ada yang menjawab. Terus sekarang kau
bilang aku pokak. Alah-alah, memanglah kau ini. Sudahlah aku teriak tak ada yang dengar. Sekarang aku kau bilang pokak. Terus kau bilang pulak aku tersengat listrik. Kau doakan aku supaya cepat mati? Memanglah kau ini alah-alah. Terus apa lagi yang mau kau sumpahkan sama aku, ha?!
Nasir : Makanya, Abang ikut aku aja. Kita keluar. Makin banyak aku
becakap, makin banyak pulak tapsiran abang. Kita bersihkan sampah sampah. Dahan-dahan, ranting-ranting, juga batang pohon yang tumbang. Cocok, Abang rasa?
Ulong : Ih, cocok kalilah. Tapi kau dulu. Aku bukannya tak mau. Dari tadi aku
Cari sekopku. Dari tadi teriak-teriak. Sekopku tak ketemu. Suaraku
tak ada yang menyahuti. Ah, entah kemana piginya si Genel, biniku
itu.
Nasir : (menggeleng) Itulah, Abang. Kak Genel yang menyuruhku nengok
abang di sini. Dia takut abang kenapa-kenapa. Sayang kali kakak itu kutengok sama abang.
Ulong : Yang betul kau...,Sir.
Nasir : Betul, Bang. Abang tengoklah Kak Genel yang paling semangat
bersihkan paret di depan rumah abang ini....
Ulong : (berpikir agak lama) Ini yang tak cocok sama aku. Kau tahu, aku cari
sekop karena kamarku terendam. Pigi ke dapur lebih parah lagi. Di sini aja yang agak kering. Makanya, sambil menunggu si genel, mana tahu dia membelikan aku makan, aku duduk sambil baca koran ini. Paham kau sekarang.
Nasir dan ulong saling berbantahan. Mengaku merasa benar. Saling salah menyalah kan. Pada saat berbantahan itu masuklah Genel.
Genel : (bertolak pinggang) Sir, apanya kau. Kubilang tengok abang kau.
Tengok abang kau, eeeh, malah di sini kalian berdebat. Bengak kali
kau memang.
Nasir : (membela diri) Sudah kubilang, Kak. Tapi dasar abang yang bolot.
Genel : Diam Kau. Membantah pulak kau lagi.
Ulong : (ketawa) Menyesal kau kan, makanya.....
Genel : (memotong) Abang lagi. Dengar ya, Bang. Aku sengaja menyuruh si
Nasir ini untuk menjeput Abang. Banjir, Bang. Banjir. Abang tengok
Di luar udah tegenang halaman rumah kita itu. Sampah penuh di
Paret kita itu. Malu, bang. Malu. Orang sibuk kerja di luar
membersihkan sampah di paret kita. Abang tidur-tiduran di sini.
Bangun cepat. Bantu orang- orang itu.
Ulong : Anu....
Genel : Cakap lagi, Abang, azab kubuat abang nanti.
Ulong : Tapi rumah kita perlu dibereskan juga.
Genel : Memang. Itukan sudah tugas Abang. Capek aku membangunkan
Abang. Tahu Abang sampek kusiram badan abang tadi nggak bangun
Juga.
Ulong : Pantaslah...
Genel : Pantas apa? Ya, pantaslah. Dasar pemalas.\
Ulong ; (merajuk) Jangan gitulah sayang. Malu abang sama nasir.
Genel : Looos......Aku keluar dulu. Ingat jangan sampe Abang nggak datang.
Awas (keluar).
Saling rajuk. Saling bujuk. Nasir suntuk. Tidak berapa lama kemudian Mas Sahdiran masuk. Ulong dan Nasir terkejut.
Sahdiran : (memasang wajah kesal) Jadi, begitu. Terus kalian pura-pura
bertengkar. Pura-pura berantam. Biar aku kasihan. Biar aku sedih.
Terus lupa dengan kelakuan kalian?
Ulong : Apa pula pasal kawan sebijik ni, ha? Masuk bukannya mengucapkan
salam. Tapi, datang-datang merepet.
Sahdiran : Paham aku sekarang. Memang kalian ini ada sakit-sakitnya.
Nasir : Apa maksud Mas Sahdiran. Bagus-bagus lah sikit. Enak aja tiba-tiba
bilang orang sakit. Mas Sahdi lah yang sakit. Beselemak macam
sampah yang diluar itu kutengok.
Sahdiran : Ooo, jadi kau mau ikut-ikutan cari gara-gara. Bagus. Eh, tau nggak.
siapa yang membuang sampah sembarangan di luar itu kalau bukan
kalian, ha.!
Ulong : Anu....
Sahdiran : Stop. Diam. Nggak usah ngomong. Bencong. Aku sudah lama
memperhatikan kalian. Memang kerjaan kalian nggak pernah beres.
Buang sampah sembarangan. Pokoknya aku ngggak mau tahu kalian
bersihkanlah rumahku.
O.S : (Bang, belum juga abang beranjak dari dalam tu.....?)
Ulong : Tengoklah dah merepet kakak kelen tu. Udahlah keluar kita.
Semua : Yok, yok....(semua keluar)



CUT
Medan, 2009
Muhammad Raudah Jambak