Sunday 18 April 2010

AKULAH MEDAN

Diskusi Sastra Seri ke-15
"Imperium Puisi Liris di Indonesia"

Pemikiran Dasar

Sudah lebih satu abad usia kesusastraan Indonesia yang acap dilabel
dengan kata "modern". Banyak sudah gaya dan bentuk yang telah
dilahirkan dan dieksperimentasi oleh para penyair. Sejak Abdullah
Abdul Kadir Munsyi hingga Goenawan Mohamad, sejak Sanusi Pane hingga
Acep Zamzam Noer dan penyair-penyair muda belakangan. Namun, dari
panorama yang cukup kaya itu, dapat kita melihat satu arus utama yang
sangat kuat mempengaruhi wajah, ideologi, bahkan pertumbuhan sastra
kita pada umumnya, yakni lirisisme dalam puisi "modern" Indonesia.
Tentu saja, tengara ini tidak hendak menafikan adanya bentuk-bentuk
lain dan alternatif yang pernah ditetaskan bahkan cukup bergelora di
dalam sejarah perpuisian Indonesia. Sebut saja bentuk-bentuk mulai
dari epik yang antara lain cukup pekat dilahirkan antara lain oleh
Chairil Anwar. Lalu puisi-puisi pamflet yang dimotori WS Rendra,
puisi "mantra" oleh Sutardji Calzoum Bachri, puisi "visual" Danarto,
hingga puisi "mbeling"-nya Remy Silado atau puisi "materialis"-nya
Afrizal Malna.
Namun kekayaan bentuk, gaya dan varian-varian itu masih belum dapat
menutupi kesan kuat dari pengaruh dan dominannya puisi-puisi liris di
Indonesia, hingga di belakangan hari. Hampir umum di kalangan penyair-
penyair muda berbakat saat ini, yang datang dari seluruh pelosok
negeri, mengambil pilihan artistik bahkan "ideologis" dari mainstream
dunia literer itu.
Bahkan dapat dikatakan, sebagian besar dari para
pencipta "alternatif" di atas, pada dasarnya berawal dari dan pada
akhirnya kembali pada bentuk-bentuk yang liris. Entah Chairil,
Rendra, Sutardji atau juga Remy Silado. Lirisisme seakan telah
menjadi bahasa ungkap utama yang –sengaja atau tidak—diterima atau
diakui sebagai wajah utama dalam dunia literer di negeri ini. Walau
sesungguhnya, pilihan artistik itu menyimpan berbagai persoalan,
sebagaimana ia sudah dibincangkan sejak lama, yang sayangnya tidak
cukup adekuat dan mendalam pembahasan dan penyebaran idenya.
Hal di atas, mungkin, antara lain disebabkan oleb "dikuasainya" ruang-
ruang puisi utama di berbagai media massa (koran, majalah, hingga
jurnal-jurnal sastra) oleh mereka (para redaktur, editor, sastrawan,
kritikus atau akademikus) yang memang cenderung lebih setuju atau
sesuai-paham dengan bentuk liris tersebut. Sebagai contoh, beberapa
media sastra utama, seperti koran Kompas (halaman Bentara), Koran
Tempo, majalah sastra Horison, jurnal sastra Kalam (Jakarta) atau
Puisi (Yogya), hingga terbitan-terbitan kampus (UI terutama)
digawangi oleh mereka yang memiliki kecondongan sama di atas.
Sementara media-media tersebut, diterima atau tidak, telah menjadi
sumber acuan atau referensi utama bagi media-media lain maupun
kalangan penyair muda umumnya. Sehingga terbangunlah semacam imperium
(lirisisme) di panggung puisi Indonesia.
Semua media tersebut, bila dilihat lebih dalam ternyata berpangkal
pada tiga kelompok atau komunitas sastra pendukung utama lirisisme di
atas. Yang pertama adalah kelompok Horison yang dipimpin oleh Taufik
Ismail, yang merebut pengaruh hingga Yogyakarta, dan sekolah-sekolah
dasar serta menengah di Indonesia, lewat edisi sastra khusus pelajar
dan gerakan "sastra masuk sekolah". Yang kedua, adalah kelompok Utan
Kayu yang dipimpin Goenawan Mohamad, yang tidak hanya menancapkan
pengaruh pada media-media yang tergabung di dalamnya, seperti Koran
dan majalah Tempo, jurnal Kalam bahkan hingga kebijakan puisi di
harian Kompas atau berbagai acara/festival sastra yang
diselenggarakannya, nasional maupun internasional.
Dan terakhir adalah civitas akademik, terutama Universitas Indonesia,
yang berada di bawah pengaruh kuat Guru Besar seniornya, Sapardi
Djoko Damono, yang tekun melahirkan telaah, hasil penetian, wacana
diskursif, lomba, jurnal hingga penerbitan jurnal-jurnal puisi.
Ketiga kekuatan legitimatif di atas, tentu saja tak dapat diimbangi
oleh kekuatan alternatif yang kebanyakan hanya bersifat individual,
tanpa infrastruktur pendukung sama sekali.
Apakah gejala ini sebenarnya juga menyiratkan adanya sebuab "politik"
(kesusastraan/kebudayaan) tertentu di dalamnya? Atau memang semata ia
menjadi sebuah dinamika literer biasa saja? Hal-hal itu yang antara
lain harus dicari jawabnya. Termasuk, apa sebenarnya risiko-risiko
artistik dan estetik di dalamnya? Apa hal-hal eksternal dan internal
yang mempengaruhinya? Akan kemana sebenarnya perpuisian Indonesia
akan terbawa, di jangka pendek dan panjangnya?
Untuk membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itulah,
Bale Sastra Kecapi bersama Harian Umum Kompas dan Bentara Budaya
Jakarta, kembali akan menyelenggarakan serial diskusi sastranya (yang
ke-15), dengan tajuk: "Imperium Satra Liris di Indonesia". Dalam
diskusi yang secara rutin diselenggarakan bertempat di Bentara Budaya
Jakarta, Jl. Palmerah Selatan 17, Jakarta Pusat, akan dilaksanakan
pada tanggal 19 Maret 2008, dengan menghadirkan tiga pembicara, dalam
disiplin agak berbeda untuk membahas persoalan yang terurai di atas.
Yang pertama adalah Sapardi Djoko Damono, profesor sastra dari
Universitas Indonesia juga penyair senior yang mampu mempertahankan
kekuatan kreatif dan perannya dalam dunia kepenyairan Indonesia
selama 40 tahun. Karya-karyanya cukup banyak dan beragam,
terdistribusi dengan baik dan menyentuh cukup banyak lapangan.
Berikutnya adalah Afrizal Malna, penyair juga esais yang meluaskan
aktivitas artistiknya pada bidang-bidang seni lain: teater, seni
rupa, videografi hingga seni tari. Beberapa pemikirannya dianggap
segar dan cukup memberi pengaruh pada sebagian penyair muda di
Indonesia.
Dan terakhir adalah Kris Budiman, linguis yang juga dikenal sebagai
pengamat yang cukup tajam pada persoalan sastra di Indonesia.
Berbagai tulisannya yang mengupas banyak persoalan kemasyarakatan di
sekitar kita, cukup memancing perhatian kalangan cendekiawan. Yang
pada akhirnya dapat memberi nilai lebih pada pandangan dan
analisisnya mengenai sastra Indonesia.

Ancangan Personal

Tanpa bermaksud membatasi atau memagari, atau mendikte pikiran, dari
pembicara Sapardi Djoko Damono kita dapat berharap mendapatkan
sebuah pandangan yang kuat mewakili kecenderungan liris dalam puisi
Indonesia, sebagaimana posisinya yang cukup menonjol di dalam hal itu
dalam hampir setengah abad terakhir perpuisian Indonesia. Adekuasinya
sebagai seorang peneliti dan akademikus, akan memberi bobor
tersendiri bagi pandangan tersebut dan diharapkan ia bisa menjadi
argumentasi terkuat bagi kuat dan bertahannya imperium puisi liris di
Indonesia. Termasuk jawaban persoalan, dari mana sebenarnya
kecenderungan itu berasal; kenapa ia menjadi pilihan utama; apa
advantage yang diperoleh seorang penyair yang memilih bentuk artistik
tersebut, dan pada akhirnya, apa pandangannya terhadap rangkaian
eksperimentasi atau bentuk-bentuk alternatif lainnya yang ada dan
pernah berkembang di negeri ini?
Sementara dari Afrizal Malna, mungkin dapat kira peroleh sebuah
pandangan perbandingan yang coba melihat dunia dan sejarah perpuisian
Indonesia dari sudut lain. Sudut yang selalu mempertanyakan realitas
literer yang ada, realitas yang kadang dianggap terdominasi atau
mengalami hegemoni oleh kekuatan literer tertentu, baik dalam
artistik, politik maupun historik. Mengapa, misalnya, kritik yang
keras harus dilancarkan; dominasi harus dihindarkan; penciptaan
alternatif mesti diperkuat; atau apa antara lain yang pernah
dilakukan oleh Afrizal sendiri dalam mencoba memperkaya khasanah
bentuk atau artistik dunia sastra di Indonesia?
Akhirnya terakhir, dari Kris Budiman, sebagai wakil dari kalangan
pengamat dan akademisi murni, kita dapat mengharap satu pandangan
jernih dan dingin tentang situasi dunia sastra kita, terutama dalam
puisi, dalam sejarah maupun kekiniannya. Bagaimana permainan bentuk,
gaya atau ideologi memberi pengaruh bahkan arah dalam perkembangan
sastra/puisi di negeri ini? Apa yang terjadi atau direaksi oleh
publik sastra pada umumnya, terhadap berbagai kecenderungan atau
pilihan artistik dunia literer di atas? Mengapa secara sosiologis,
historis dan juga mungkin politis, lirisisme begitu kuat bahkan
seakan membangun imperiumnya sendiri? Benarkah karya-karya alternatif
atau eksperimental akan selalu tertinggal solitaire, marjinal untuk
pada akhirnya pupus oleh kekuatan imperial di atas? Dan terakhir
mungkin dapat terbaca kemana arah perkembangan sastra/puisi kita pada
akhirnya; apakah lirisisme dalam puisi sungguh telah dapat menjawab
kebutuhan sastra (dan akhirnya kebutuhan publik luas) kita sekarang
ini?
Dan tentu banyak sisi lain atau persoalan lain yang dapat mencuat
dari ketiga pembicara di atas, yang diharapkan dapat memancing
diskusi atau debat dengan floor demi terciptanya pemahaman lebih baik
dalam kita menghadapi semua kemungkinan konfliktual yang berpotensi
merusak kehidupan dan kebudayaan secara keseleruhan.
Di samping harapan-harapan di atas, kali ini serial diskusi Bale
Sastra, Bentara Budaya dan Kompas juga akan menampilkan satu
pelengkap baru, dimana Bale Sastra akan memresentasikan hasil riset
kecilnya tentang permasalahan yang diangkat. Presentasi itu berupa
penjelasan hasil studi pustaka di seputar wacana dan karya-karya
sastra yang bersangkutan dengan lirisisme. Awal mula, bentuk, isyu-
isyu utama, pengarang-pengarang terkemuka dan perkembangan
mutakhirnya. Kedua, hasil dari kuosiner yang disebarkan di kalangan
para pembaca sastra, tentang bagaimana apresiasi mereka terhadap tema
yang bersangkutan? Apa siginifikansi yang mereka peroleh? Dan apa
harapan yang ada bagi jenis sastra tersebut, berkait dengan kebutuhan
hidup masa kini mereka? Dan lain-lainnya.

Sunday 11 April 2010

PUISI INDOSAT 2010

PELAJARAN MEMBACA RUANG
kelas rusuh sekelompok debu berebut kursi
angin tak mau kalah mengambil tempat di mana saja
seperti bias gaduh melongok gagu menyikut sendiri
ingin tak sudah tampil semangat dari tekad membaja

kursi-kursi gelisah mencatat catatan yang tersisa di papan tulis
meja-meja gemetar disetrap keadaan yang membingungkan
seperti siswa usia sekolah mengaratkan hafalan sampai tiris
membaca gambar bibir yang membekap masa depan

langit-langit ruang tak mau kalah menerjunkan kucuran hujan
menguyupkan lantai yang tak pernah selesai berdandan
seperti bantuan pendidikan yang berdiri mematung di simpang jalan
sementara arus jalanan hanya hilir mudik saling berbantahan

media pembelajaran ternganga entah harus melakukan apa
alat-alat tulis tak akrab lagi dengan hurup-hurup dan angka-angka
seperti guru-guru yang terlalu sibuk menebar fatwa-fatwa
dan siswa-siswa yang sibuk menyusun make-up dalam tasnya

"Hore bel panjang. Kita pulang!"
"Hore guru rapat. kita pulang!"
"Hore Ketua Yayasan sakit. Kita pulang!"
"Hore ada artis datang. Kita pulang!"

ah, debu lagi...
SEKOLAH PATUNG
pelajaran pertama adalah memanfaatkan diam
senyum bisu
pelajaran kedua adalah ejaan yang disempurnakan
untuk tangis dan tawa
pelajaran ketiga adalah makan siang
dari tempat sembahyang
pelajaran keempat adalah menyusun nama samaran
di depan puting susu perawan
pelajaran kelima adalah menciptakan mimpi
dengan serpih ingatan kelam
tentang kudeta dan penghianatan
pelajaran keenam adalah melukis nyawa
dengan memberi nafas kepada angka
pelajaran ketujuh batal
disampaikan
sebab para guru ketahuan
telah mempersekutukan Tuhan
Teluknaga, 2010
Sajak Empat Larik
Bertemu sunyi di denyut nadi
Tanpa tegur sapa
Kami memandang ke arah yang berbeda
: cakrawala berkabut, malam jekut, wabah amnesia di setiap penjuru kota

2009
Surat dalam Botol
menjelang pagi, aku menemukkan sepucuk surat dalam botol
ombak utara telah mengantarnya ke bibir pantai abrasi ini
buru-buru aku meminjam pembuka botol dari warung terdekat, kubuka
tapi surat itu sudah mati

kertasnya pucat, hurup-hurupnya terbujur kaku, tinta yang membeku
kugoncang-goncang surat itu, dan kusebut satu-dua nama yang mungkin bisa membangunkannya,
sia-sia,
hanya aroma hutan masa lalu yang menguap lamat-lamat

aku menggali lobang di atas pasir dengan talapak tanganku
jenazah surat itu aku kuburkan dengan sedikit doa-doa
udara laut membiaskan beberapa wajah yang kukenal
tapi tak ada yang bersedih

mejelang tengah hari,kutinggalkan kuburan itu
saat camar berganti nazar
SEBUAH SAJAK SENTIMENTIL DARI TELEVISI HITAM-PUTIH
gadis kecil itu bermimpi
menyusuri kanal kanal di venesia
di atas sampan
dengan sepasang dayungnya
yang kecil
bersama seorang bocah laki laki
penulis puisi.

que sera sera

seorang penyair
duduk sendiri
di kamarnya yang berdebu
dinding dan atap tiba tiba
ja
tuh.
penyair itu cuma menggumam
"o venesia, venesia aku datang"
saat tubuhnya yang kaku
dilarikan banjir ke selokan.

que sera sera
sebuah buku puisi
tersenyum genit
dan menutup dirinya sendiri!
Sungai Waktu
SUNGAI WAKTU
---Elo, Progo dan Borobudur

aku berdiri mendengarkan
detak jantungku sendiri
sembari menandai jejak waktu

ketika detik-detik sejarah
perlahan hanyut dalam arus air
menyeret dan menenggelamkan
rangkaian peristiwa tanpa selesai

silsilah moyangku lahir di pertemuannya
perkawinan masa silam dan masa depan
dimana pemahat batu, petani dan prajurit
mengambil tenaga hidup dari nyawanya

lumpur usia,
dan berabad aliran riwayat
menghembuskan bau mistik
arus memahat bebatuan
tangan mengukir pecandian

di genggaman para tetua
jemari waktu menuliskan prasasti
merapal mantra kata-kata
membukakan gerbang matahari

aku berdiri mendengarkan
detak jantungku sendiri
sembari menandai jejak waktu

menziarahi tumpukan bebatuan
yang menyerupai kelinting raksasa
terpaku mendengarkan gema agung
terhisap musnah dalam arus waktu
lingkaran yang mengitari dirinya sendiri

2010
kantata lundi
ada bunyi sebuah pintu terbuka
pada suaramu
dan langkah kaki orang-orang
dengan lentera di tangan mereka
dengan malam masih saja luruh
dari tangkai-tangkainya

suara-suara tembakan itu
berasal dari atas bukit
suara mereka menunjuk ke gunduk itu
sebab tangan mereka mengangkat lentera

ada bunyi sebuah jendela tersibak
pada suaraku
dan langkah kaki orang-orang
pulang menyimpan rumah
sebab tapak tangan mereka
adalah anak kunci bagi gagang pintu.

orang-orang akan melupakan
apa yang baru saja mereka dengar,
hidup memang harus seperti itu
seperti tak pernah terjadi apa-apa

lalu pintu mengeluarkan ketukan
pada mulut seseorang

silakan masuk
pintu tidak dikunci

lalu entah,
kita yang masuk ke mulut makam

09/07/18

Di Kutuk Gerimis
Di Kutuk Gerimis
-M. Nasser Endara-

Yang hitam bersanggul sajak, di tanah tengah kota ini, aku terlahir dari seribu ucapan selamat malam pepohonan. Dengan mata seputih gema, kuburku memekik menikahi seteguk kata – kata ganjil. Sungguh telah kuberi nama janin dalam lesung pipimu yang remaja itu, namun siang telah berpulang dan hujan kian deras menyeret lumpur dalam rumahku. “Maknai raung dalam peperanganmu dan aku akan menjelma gurat – gurat mantra.” Begitu kau pernah berbisik padaku lewat senggama. Aku berjalan bersama gerimis tak terbaca, namun kiranya punggung yang bersahabat dengan bayang – bayang itu sayangku, telah melikut segala takdir dan kemalanganku.
Aku menggubah puisi sendirian. Luruh! Senyummu serupa ledakan goa kelelawar, menggenapkan ingatan bahwa dulu kau pernah khusuk menyapu bibirku dengan lidahmu. Aku terbaring di atas dedaunan kering masa lalu, hidup dalam sungai – sungai pergantian musim. Lalu, tanah yang kian basah ini, menerbitkan tunggak – tunggak ajalku, dan malam semakin pucat diteluh beburung kepergianmu. Sungguh aku merindukan purnama dalam ekormu, namun kesunyian terlanjur gahar mencintaiku. Mendung membangkitkan gaung dalam kantuk dan kereta – kereta perak lamat memuntahkan siulan para penyair yang setubuhi bianglala, juga dinding – dinding yang retak di tiap tikungan itu, sebab aku telah lama menggubah puisi sendirian. “ Sayang, aku jatuh selingkuh.” Segala letup keperihan dan firman para penyamun bertegur tanpa wujud di merah dan kering lambungku. Betapa luka ini adalah sebentuk mimpi buruk paling terjal. Rindu, menjadi jembatan bagi sepi dan ketandusanku.
Biarkan matahari terbit bersama kecantikanmu yang gaib atau selongsong peluru dari kutuk penyalibanmu menembus bebal jidatku. Adakah kepak sayap kupu – kupu lebih raib dari tangis – tangis belasungkawa? Aku berteriak dan dunia ini semakin tak bernama karena dalam lubang fantasiku, bulan tak lagi bulat, melainkan memanjang dengan seratus siku di tiap sisinya. Jasadku muntab dipanggul geludhuk saat kau menatapku menggubah puisi sendirian. Pernah kutulis nama dan hijau tubuhmu, namun seribu malaikat maut terlanjur menyematkan ciuman lain di kurus jemariku. Ruhku mendadak rusuh, di antara padam dan remuk dadaku, kubangun mercusuar terkutuk layaknya kastil dengan meriam yang siap diletuskan ke otak siapa saja. Aku benar – benar menggubah puisi sendirian. Pelukanku jatuh murtad dan kematianku prematur ditusuk parang tertajam. Bibirku sumbing melantunkan sajak gelap paling perih : Aku cinta padamu.

Surabaya, Januari 2010
Siklus
di pagi hari
matahari dan burung-burung
riang memainkan bulir-bulir padi

di sawah dan di ladang-ladang petani cemas
hasil panennya tak seperti musim kemarin
ia mengerang dibakar matahari

di laut
bulan yang berlayar karam
dihantam badai dan gelombang yang begitu tinggi
retak dan berkeping

di bibir pantai
ada yang memunguti sisa-sisa
kepingan bulan yang telah pecah
merangkainya kembali menjadi sebuah matahari
Permintaan Seorang Suami Kepada Istrinya yang Diterima Jadi TKW




berhentilah mengupili dada dengan puisi yang rusak
melubangi lapis terbawah dari sunyi negeri yang ngeri

"segala sakit akan kami kubur di sini!"

inilah omong kosong kita: menyuling kata-kata dari airmata
yang sering jatuh ke dalam jantung lupa
dan mengungkai kuman luka kehilangan
yang berkembang biak demikian kencang
lalu merasa sendiri mengidap sakit penangis
seakan, kita keturunan nuh paling malang
harus enyah dari tanah kelahiran
melayari airmata yang buncah menggenang kenangan

jauh sebelum kita saling memasuki
sama-sama membawa cermin dan bangku
duduk berjuntai di taman seberang mata kita yang telah cokelat
melihat rupa-rupa mengerdil
di batas nyawa, pada genangan tangis bumi membenam pinggang
kita sudah gemar merawat lumut yang meruyaki beratus juta kepala

"o, sejarahkah itu? sekawanan anjing hutan, melingkari danau darah
dan kita bertaruh nyawa di dalamnya!"

kataku, kita masih di negeri keturunan ikan. berenang sajalah
segala sakit itu tak boleh membuatmu ngeri pada kedalaman
tak perlu pula membuat perahu, seperti nuh, nabi yang penangis itu
aku jengah membilang titik-titik iba yang mengurung matamu
menemanimu berenang ke dalam puisi rusak yang kita peras dari airmata

dengung rarau dan umpat-kutuk telah menjangkiti akal
kepala-kepala berlumut yang bertumbuhan di negeri ngeri ini
sepanjang hari, sejauh jalan, kita selalu disuguhkan wajah ngilu
yang diusung para pesakitan

kataku, ini tidak akan terselesaikan oleh puisi

kita masih suntuk bertanya: betapa sukarnya membedaki muka gembira
berdandan, meski tidak sedang ada keramaian digelar

"kalau hatimu tak lagi beruang tampung
sedang sungai yang pernah dan sering kau dongengkan itu sebenarnya tak ada,
biarkanlah tangisku di sini, bertempat tinggal dalam puisi ini
bila rindu datang juga, kirimi aku sapu tangan
tak akan kujatuhkan lagi tangisku ke dalam jantung lupa yang rusak
ia segera kuturunkan ke tebing pipi
ke pinggir negeri yang ngeri ini, mencair. mengalir!"


2008-2010
Matahari di Sungai Chao Phraya
di sungai Chao Phraya aku temukan Venesia
yang menjadi sebongkah cerita untuk hidangan bersama
ketika berlayar dengan perahu
aku seperti mengintip ibu kota yang penuh riuh rindu
dan tidak pernah habis disampaikan kepada para turis

sepanjang bengawan Chao Phraya
banyak gedung berjajar di tepi dan melukiskan pesona kota ini

menyusuri bengawan Chao Phraya
seperti tenggelam dalam gelombang dan melihat megahnya tiang-tiang

matahari menemaniku di sungai Chao Phraya
di perahu kuberteman karyawan berdasi, mahasiswa, dan mbak rok mini

tidak ada jarak ketika aku di perahu
semuanya menggenggam mimpi dan mengejar waktu
sambil memegang ponsel berkirim kabar ke muasal rindu
dan aku mendapat ketenangan di Phra Buddhasaiyas
tempat berteduhnya kalbu seiring berputarnya arus di perahu

Malang, 2010

Sebuah Senja di Dermaga Merak
i//
aku tahu, Va, kelak aku mati di tepi laut ini
di dalam bebatan tanganmu yang tambang, dan dekapan tubuhmu yang kapal

tapi, badai jantungmu atau gemuruh nadimu adalah hitungan mautku satu-satu
terus menyeretku ke tengah samudera, ke sebalik punggung langit yang pernah surga

ii//
kau pun tahu, Va, angin senja yang garam
tak pernah seperih ini mengelus muka, tak pernah selara ini tebalkan duka

tapi, matamu yang pecahan kaca berserakan pula di dermaga
menjadi koin yang diburu anak-anak silem, menjadi rumput laut di karang-karang

iii//
sementara, permukaan laut seperti keriput kulit nenekku yang tisu
menegaskan siluet kematianku yang pekat, dan kerinduanku yang likat

Merak, Desember 2009-Januari 2010
PENYAIR DAN SAPU LIDI
penyair itu terpana
menatap warna merah menyulap rumahnya
yang dulu berwarna putih menjadi hitam
benar-benar hitam

ketika itu langit merah akan menjadi hitam
hanya tubuh yang bersisa dari apa yang dimilikinya
tiba-tiba ia merasa rumah itu adalah tubuhnya yang juga memiliki warna merah
dan terkadang menyulap putih hatinya menjadi hitam
ia bayangkan rumah itu terpana ketika warna merah menyulap putih hatinya menjadi hitam
putih yang membuatnya menjadi betah sedangkan hitam itu membuatnya menjauhi betah

tiba-tiba kata-kata yang ia dapatkan sepanjang menjauhi betah telah menghilang
ia berbalik menelusuri jalan yang tadi dilewatinya
ia yakin kata-kata yang telah dilahapnya dengan ingatan
pulang kepada peristiwa yang telah menjadi rumah bagi kata-kata itu sendiri

tapi kata-kata tak bisa ditemukan karena langit telah menjadi hitam
terpaksa ia gunakan sapu lidi yang tergeletak di halaman rumah orang yang tak dikenalnya
ia coba mengumpulkan kata-kata
tapi kata-kata memang tak bisa lagi ditemukan

kata-kata sepertinya membutuhkan kemerdekaan meski telah memiliki rumah
seperti dirinya
dan kata-kata itu telah menyelamatkan diri ke tempat-tempat lengang
di tempat itu kata-kata kembali kawin dengan waktu
dan waktu pun mengandung
kemudian melahirkan peristiwa baru
kembali menjadi kata-kata yang baru

2010
Rantau

maka, aku berlayar kepulau-pulau lengang, selat-selat yang menghulu haluan kapal
amboi, di manatah wajahmu dara. aku hanya mengingat jejak tarianmu di ujung semenanjung. kini di situ pulalah kaki terbenam, menjadi seorang kuli pelabuhan.
orang-orang bongkar turunkan impian dari selatan, mengapalkan goni lada, kopi
dan secebis hikayat-hikayat. tanah ini, berabad-abad dipenuhi sejarah kebabilan.
seribu punggawa telah memotret dirinya di mega yang pasi. aku melukis sketsa para sultan, mengulum rindu para sayid pada cinta nan abadi, anbiya-anbiya
yang mengunus tinggi nama tuhan
: tapi tak jua kudapati sedikit jejak rambutmu yang merbak pala di pesisir ini.

pada malam-malam yang diam, orang-orang tidur dalam hikayat ksatria
: mereka telah menjelma Hang Tuah, Hang Jebat, beradu keris acungkan kebenaran,
saat itu pulalah kubayangkan kau terduduk haru di satu sudut polis,
mengemis sejumput kasih lewat pasi dinding dingin, dengan wajah diranum garis.
sedang pun, di pertigaan simpang lain, orang-orang lengkingkan stanza
dengan muncung aroma anggur tua. ”tanah ini, tanah ini harum humusnya mengirim rindu pada negeri seberang. teruslah...,teruslah tulis hikayat kalian dengan ujung pedang”

tapi kaki merindu ayun, hendak langkah jua menemu tanah yang lain.
maka, kususuri sungai, hingga kehulu. kucari para lanun di tanah perca,
beradu niaga, bertaruh peruntungan. Aih..., apatah ini yang disebut nasib?
berkali doaku patah,
diujung
sujud.

1428-1430


Wanita dalam Cermin

katanya angin yang mengetuk pintu cermin searah jarum jam, hingga aku ikuti arah
menapak lorong waktu sampai pada gerbong – gerbong kereta tua dengan hantu masinis
penunggu perlintasan

cermin yang terletak sejajar dengan tembok lusuh seumpama retak lumut yang mengkaji hari. berakar retaknya dengan wanita cantik mengetuk – ngetuk, mengadukan tangan pada tembok kaca. tak diperdulikannya helai gaun dari pundak melusuh ke lengan.

akh, kau rupanya
wanita dalam mimpi yang tiap malam menghamili tidur. memaksa jejak memasung rembulan serupa air mata beku di pipimu

matamu menengadahkan harapan. meminta mengepingkan cermin. adalah kepalan tinju dari tanganku. mengadukan daging pada tulang, tulang pada urat, urat pada cermin
( dan diluar kau membersihkan gaun putih kembang )
Aku terperangkap!

Pada Sebuah Stasiun, Medan 2010
Monolog Kumbakarna
Bukan karena Surga atau Neraka

Seluruh tetes darah yang kugenapkan di altar kota Alengka
Adalah kredo terhadap sisa mimpi yang masih bisa kuraba
Meski terlalu gelap--Bahkan menyesatkan doa yang terbata kubaca
Sebelum ia sampai ke tangan para dewa

Bukan karena Surga atau Neraka

Setiap bagian tubuh yang meninggalkan kedudukannya
Mungkin hanya santapan hewan semata
Dan itu akan lebih membuatku merasa lega
Karena meski tak mampu kunaikan tinggi-tinggi panji kemenangan
Namun masih bisa kukecap rasa sebagai ciptaan-Nya dalam setiap luka ini
Kemudian yakin bahwa namaku nantinya akan tertulis pada kitab Weda
Layaknya seorang yang memiliki jasa

Sampai nantinya kuakhiri pula ceritaku ini di antara bilah panah Sri Rama yang terakhir
Masih ada huruf demi huruf yang ingin kuucapkan
kepada kakakku Rahwana,
kepada adikku Wibiksana,
dan kepada semua prajurit Alengka
Yang masih mengangkat senjata dalam pertempuran ini
Tentang apa yang kita cita-citakan
Sesungguhnya hanyalah kefanaan yang baka

Bukan karena Surga atau Neraka




Bandung, Januari 2010
gedunggedung tua pada sebuah ciuman
semuanya bermula dari alamat rindu
membaca gairah pada beratus bisikan
yang membeku

jika yang bersembunyi pada sebuah ciuman
adalah gedunggedung tua
dengan kesepian yang gemetar
maka aku semakin tak mengenalmu

kegelisahan ini bukan seperti jarum jam
yang senantiasa merenungi waktu
ketika dingin meluruhkan seluruhnya

ahh..selalu ada yang menggema
pada kepungan malam
meninggalkan tiupan angin
yang mengandung ucapanucapan gusar
NOL
baiklah, kau telah menulis sunyi di batu itu
yang kemudian kau biarkan digauni lumut dan semut
aku tak menduga ada kabar bahwa menara
yang kau bangun dengan airmata, terbakar tadi malam
orang-orang memadamkannya dengan bersorak
kejam, katamu. keji, kataku
sudah kuhallo berulang kali ponselmu
tapi kesunyian yang kuterima
kau sengaja mencuri suaraku
tapi kau sembunyikan
gairahmu

Rumah Dalam Tas
Seandainya kamar-kamar terbakar,
sumur-sumur hanya dipenuhi lumpur
dan seluruh kampung halaman tenggelam
dan hilang.
Setelah hujan itu ia hanya ingin pergi
dan membuat rumah dalam tas-tas perjalanannya.
Rumah yang tak banyak jendela, satu pintu tak berkunci.
Di balik pintu tak ada meja dan kursi, apalagi televisi.
Hanya membentang karpet merah beludru, berbulu debu.
Tempat membaring tubuh waktu.

Gerimis setelah hujan, ia hanya ingin pergi
Membuat rumah dua pondasi
Dari tumpukan buku dan gundukan baju.
Rumah dengan halaman yang singkat,
tanpa kata pengantar dan daftar pustaka.
Kelak disana, akan ia wariskan mobil mewah dari kaleng biskuit
atau kulit jeruk, juga terbangan balon udara dari busa-busa senja.
Ia pun berjanji seikat melati.
Takkan pernah memberikan pistol atau pedang.
agar tak pernah lagi ada perang.

Hingga selamanya, setelah hujan tak ada pelangi.
Ia hanya ingin pergi membuat matahari sendiri.
Membiaskan lumpur yang menggenang
dan air mata yang mengenang.

2009
Rindu Kabut
Suatu pagi aku menemukamu terbelah dua di teras rumah,
tepat ketika hujan selesai mengguyur pekarangan
yang selalu gundah seperti tengah menunggu seseorang di masa lalu,
mungkin aku harus membangunkamu segera
setelah cuaca pagi yang kembali cerah ini beranjak pecah
menjadi serbuk yang menyakitkan tubuh,
atau aku yang akan menjagamu dari dada hujan yang tebal itu,
sebab kau pasti tersengal ketika siuman dan mendapati kakimu
tak bisa lagi berpijak seperti waktu-waktu yang lalu
Kakimu telah menjadi bunga yang hidup dan bernapas,
lewat celah daun-daun kulihat kau yang mulai bangkit
dan membiarkan suara udara itu bersemayam sejenak
sebelum berpindah sambil mendendangkan nada alam yang samar
Kau dengar suara itu? Suara serak di balik keremangan sana,
kepak sayap burung telah sepenuhnya lenyap sore tadi,
ketika seorang penarik pedati bertanya pada perantau
yang ditemuinya di tepi jalan, "di manakah jalan pulang?"
Padahal perantau itu merasa bodoh tentang waktu dan tempat
Kau belum menyimak kisahku itu, tentu, aku sudah di sini
dan duduk untuk menceritakan segala sesuatu, apa saja,
asal kau siuman dan tenang kembali bersamaku
menatap hamparan kabut yang berpendar dalam hening ujung bukit itu

PUISI TENTANG ANAK-ANAK BULAN
1.
dulu, anak-anak bulan senang main origami kapal-kapalan
sewaktu penghujan melahirkan arus luapan kali menuju jalan-jalan kampung
lalu ada dolanan jamuran saat banjir tak lagi tinggal pada bulan-bulan kemarau
: di mana ibu mereka sering berdandan dengan begitu purnama

mereka bilang, kapal-kapalan jauh lebih seru dibanding
berpura-pura melingkar bergandeng-tangan menyanyikan
kidung jamuran yang jadul itu

dan bermain kapal-kapalan tak perlu mendiamkan
pura pada wajah-jujur kita.

2.
sekarang, duduk mengendapkan mata pada layar televisi
atau muka-muka kaca digital lebih jadi jaminan hiburan
tanpa perlu keluar di jalanan kampung
mempelajari mainan nenek moyang
:banjir-banjiran
kapal-kapalan
jamur-jamuran

demikian, mereka jadi tahu
tentang ibubulan yang berpindah tempat
mengungsi karena kebanjiran sepi di setiap jalan-malam.

3.
sekian lama duduk belajar memilih
mana channel yang paling baik ditonton
anak-anak bulan sadar; televisi telah mengurungnya
pada kepala mereka

sedang ibu mereka masih saja menyimpan lagu jamuran
yang siaga diajarkan untuk setiap malam
yang bangun dan lelap pada bola-mata mereka.

4.
rupanya, ada isyarat pembicaraan kecil
suatu ketika pada channel nomor satu
mulut mereka begitu nyaring
membacakan tanya dari televisi,

“hei…hei...
ada wajah siapa di muka layar itu

ada bu guru dan pak guru
yang berdemo di depan sekolah kita
juga ada alat-alat besar itu

dan mau ke mana
bangku-bangku
papan tulis kita?”

rupanya, tanya menuntun mereka
untuk kembali ke pangkuan ibubulan
supaya mimpi tak meleleh di samping nyala doa.

5.
di pinggiran jalan kampung anak-anak bulan menengadah
berhitung tentang bilangan-waktu ramalan
kapan bisa menemui ibubulan lagi

semenjak mereka rajin belajar mencari arah
tanpa kompas dan peta, ke mana namanya diketemukan
selain dalam rupa ibu yang berdandan purnama lagi

lantas bertanya mengapa kata bulan tak dinamakan, padahal
ibubulan masih setia merancang adegan permainan jujur-tawa-rindu
untuk setiap anak yang lahir dan bermain
di setiap kota-malam di setiap zaman
di setiap nyanyian anak-anak bulan;
tradisi yang membuatnya ada dan tanda!


Semarang, 2010




CATATAN
Jamuran: permainan tradisional dari Solo, Jawa Tengah
Dolanan (bahasa Jawa): permainan (bahasa Indonesia)
Ketika Orang-orang di Kampungku Meremas Jantungnya Sendiri
Waktu itu hujan panas dan angin mati pulang ke ibunya. Lalu mereka pun
berjalan di tengah hari terbungkuk-bungkuk
mencari luhak, sekedar menimba air; sekedar minum kopi; sekedar
mandi anaknya. Sekedar saja, kemudian

mereka telah berjalan subuh-subuh dengan punggung tegak,
di pematang. Ketika mata itu belum sepenuhnya berisi terang. Hanya samar
dari pundak mereka, bekas lumpur atau kulit yang terkelupas
telah membusuk sebelum hari naik sepenggalah. Maka jangan mengantuk
di ujung balai, sebelum hujan turun; sebelum air menggelegak; sebelum
gelas kopi terisi penuh.

Jika saja kopi ini terlalu pahit, datang saja. Akan kaudapati
hujan tengah berhenti di tengah kampung.

Kandangpadati, 091021
Tafakur
Di tanah yang akan punah ini usia kita tumbuh dan rubuh
Ia seperti daun-daun hari yang memutih disembelih matahari
Rumah bagi riwayat kita bangun di atas sepetak keluh kesah
Menabung mimpi yang sepi di tahun-tahun yang tenggelam
Membenahi rencana di lembaran-lembaran musim yang fana

Di sinilah di taman purba dunia dahaga iman mengendapkan jelaga
Tafakur kita tersungkur dalam legam sunyi dan misteri
Merangkak di setapak puisi memunguti remah-remah cahaya
Hayatilah nyala kegelisahan yang tak pernah selesai ini
Dengan cinta kita pertautkan temali mimpi pada tiang-tiang zaman

Di sinilah di kebun kepedihan kita tanam benih-benih permenungan
Dan kita pergilirkan silsilah rindu yang tak pernah menyerah
Doa-doa kita dilipat seperti surat yang terkirim tanpa alamat
Ia seperti pohon yang menjulurkan lidahnya pada warna langit
Dengan akar ketabahannya kita lebur dalam sujud yang teduh

Di tanah yang akan punah ini usia kita tergusur dan terbujur
Waktu perlahan akan meredup menutup pintu-pintu masa lalu
Jiwa yang berabad kita dzikirkan akan hilang dan berakhir
Hayatilah nyala kegelisahan yang tak pernah selesai ini
Sebelum kita runtuh dan terbunuh tanpa menyisakan makna

Bandung, Februari 2010

Dari Pesisirmu Luka Berpesiar ke Jantungku

di bulan pengalih tahun. satu lagu masih setia berputar di langit gaza
sepucuk sajak kukirim lewat genit angin yang membelai harap
lalu separuh bulan redup menatap ringkih kematian
di taman-taman pembantaian

di gaza. kota yang kehilangan peta atau barangkali cinta
setiap hela napas adalah detik terakhir mengukur waktu
dan orang-orang tak peduli. masihkah segelas capucino hangat
menenggelamkan nol derajat musim-musim yang gelisah melerai sudah

di gaza. kota yang menyelundupkan nyawa di liku-liku terowongan
burung-burung tajam mengintai nasib

ah, jadi remuk juga kanak-kanakku dalam kenangan
memulung bahagia. di taman-taman pembantaian

dan sesuara kudengar berpesiar dari pesisirmu ke pesisirku
”ini laut kami. kapan lagi kami bisa meneruskan hidup dari laut ini?”

begitulah
deritamu bukan deritaku. tapi luka jantungku

di sepetak meja, aku tak turut merundingi kisahmu. hanya tulis satu puisi
` -tentang derita di genting batas yang tak putus disergap ngilu-
seindah pelukis menggaris liku-liku kamboja di antara dada kekasihnya
tapi kata jadi sederai debu juga. meruap dalam mimpi orang-orang yang dijanjikan

gaza. seperti sebuah lakon
hamletkah yang kau kisahkan? sebagai epilog

Padang, Februari 2009
kampung angin
Kampung Angin

utara
perkenalan diam-diam
daun jambu dan anjing kampung
berpeluk di tanah yang lirih
asmara dari hujan januari

barat daya
musim telah berbagi
tak ada lagi rindu
daun jambu lapuk
dingin yang tak terpahami usia

barat
bergegaslah, perjalanan belumlah genap
dua musim adalah hadiah
pertaruhan dari waktu yang ganjil dan tengil

tenggara
karang dan ombak
ranjang perkawinan bagi sayap
pertukaran untuk para lelah
mencari kelahiran yang tak patah

selatan
beburung berpindah
meninggalkan anak dan cahaya
berlesapan ringan ke langit
menduga kehidupan baru yang biru

barat laut
batu-batu adalah keabadian
kenang yang tak mudah pecah
merupa dupa asap yang bunga

timur
awal dari segala ketakutan
dosa yang tak pernah diinginkan
hujanhujan menyerbu dalam tidur

timur laut
sebuah rancangan rencana
tak diketahui dan
tak akan diketahui
siapa pun?

2010
KAMPUNG INDONESIA
ku tabuh gendang
ku tiupkan seruling
pepohonan menari pada hamparan bumi
menyanyikan lagu-lagu tentang tanah kelahiran
angin membawa irama bungong jeumpa sampai yamko rambe yamko
membaca keindahan taman-taman nusantara pada peta khatulistiwa
menikmati hombo batu, menikmati tari piring
membarakan hentakan reog, membarakan pendet
pada pandangan pemuda-pemuda berpeci dan gadis-gadis berbaju batik
di sinilah catatan sejarah bermula
takkan hilang indonesia di bumi

ku pukul tifa
ku petik hasapi
gemanya menembus dinding hati setiap generasi
memenuhi ruang-ruang sepenuh semesta
menitipkan semangat juang cut meutia sampai dewi sartika
melahirkan kartini-kartini yang penuh dedikasi
menanamkan semangat sisingamangaraja, menanamkan semangat pattimura
lebih besar dari osama, lebih gariah dari obama
dicatatkan sriwijaya, didengungkan sumpah palapa
di sinilah sejarah melegenda
tentang kejayaan nusantara

ku tepuk pak pung
ku petik kecapi
bersama tarian daun-daun, dengung gunung, titik embun, kicau burung
betul-betul senikmat kampung, kampung indonesia

Jambek, 2010
DI BAWAH TUGU GURU PATIMPUS
ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan
yang terlepas hurup-hurupnya dari meidan bukan mesawang
sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus
membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain
dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan pendulum,
mengekalkan peradaban urban

di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah
di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah
di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki

bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan
kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup
menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi
yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya
diam-diam pada bulan

ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana
bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua
langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari
menghibur para petualang yang sejenak datang
mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus
bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain
membenam teriak loko hitam, mencampak gumpal asap
ke langit rerak

di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara
percik riwayat kisah-kisah semangat juang
di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula
pemancakan gedung-gedung nan gagah
dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain
dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua
dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang,
yang entah kapan pergi

Komunitas HP, Medan, 2010

PENGUMUMAN LOMBA CIPTA PUISI INDOSAT PERIODE MARET 2010

SEBOTOL AIR MINERAL BUAT BODE RISWANDI
Ada sepasang nama yang tersaji di mejamu
Kerut kerut kening di wajahmu melahirkan
Ringkik kuda yang mendaki bukit rindu
Rindu yang dikultuskan seberkas wajah
Pada coretanmu.

“Sudahlah, Kinantimu sudah pulang.” Kataku
memecah kebisuanmu yang amat keramat.
“Masih ada sajak untuk meminangnya.” Jawabmu
singkat.

Seperti katamu kemarin. Kayu adalah impian
Yang kau gantung di langit musim basah kali ini.
Bukan kayu yang dihiasi hijau daun daun
Bukan kayu yang disematkan doa doa keramat
Tetapi kayu yang siap menuju perapian rumah-Nya.

Sebotol air mineral yang kuberikan kemarin
Adalah bukti perjuanganmu yang tak kunjung usai
Perjuangan menafsir gerimis yang turun di bukit rindu
Juga perjuangan seberkas wajah yang kau endapkan
di cangkir musim.
“Aku telah meminangnya dengan sajak.” Katamu
Dengan kegembiraan hutan hutan. Mata basah segera
Kau tawarkan pada jerit jangkrik malam ini.

Aku masih menyimpan sebotol air mineral
yang tinggal setengah itu. Sementara sungai puisi
yang kau ciptakan, masih mengalir menuju hilir.

Tasikmalaya, 2010
Plaosan

Angin kerontang memungut sepotong awan
Kepak burung hitam tumbang menampar terik
kaoknya parau bagai sayatan sabit malaikat
Liang semut telah berabad lalu ditinggal penghuni
rengkah
di balik ilalang kering

Sepasang kaki menjejak
pusara sejarah tanpa kamboja
Lahat menganganga
risau menunggu kematian
melenggang tanpa wujud

Di dinding batu yang gelap dan dingin
tangan gaib merangkai ceceran huruf berkabung
Amithba Aksobya Vajprani Manjsuri
Diakah Bodisattva yang bersimpuh
menahan perginya sang Budha?
Arca bergelimpangan tanpa kepala
Oh, pembantaian semalam menyisakan
anyir darah
dan desir kekosongan

Aku Pramudya Wardhani, putri Samaratungga!
Kutebar kuncup melati di atas jasadku
agar semerbak lesap dalam kalbu kekasih
Ingatkah ketika kau letakkan gelora di pucuk-pucuk perwara?
Dua kerajaan langit bertikai
dan menghunus pedang ke jantung kita

Air mata telah mensucikan kenangan
musykil sirna sekalipun pahatan kisah runtuh
bersetubuh puing ganjil
Kelelawar berhambur dengan tengkuk merinding
Suara gemuruh terpantul di lorong sunyi
"Plaosan lambang cinta abadi!"

(Desember 2009)
Jika Dia
Jika dia datang
bilang saja aku sudah pergi
jangan bilang padanya aku ke mana
cukup bilang aku sudah tak ada lagi

Jika dia tanya
bilang saja aku telah lama
jangan bilang padanya kapan aku pergi
dan jangan bilang juga kapan aku kembali

Jika dia tak percaya
bilang saja kau adalah orang yang kupercaya
jangan bilang padanya aku terpaksa
cukup bilang memang ini nyatanya

Jika dia menangisi
bilang saja apa yang ada di kepalamu
jangan bilang bahwa aku menangis juga
cukup bilang memang begini harusnya



(8.3.10)
SAJAK BULAN FEBRUARI
Mendaki Februari yang sepuh di mata-Mu
Adalah menelusuri waktu yang dikeramatkan
Batu cincin. Mencuri kata kata yang diagungkan
penyihir dan penyair. Juga menjaring ikan di kedalaman
tangan tangan penasbih.

Seperti katamu, menjemput tahun adalah
Menyusuri bentangan sungai firdaus di awal
musim, menafsir dzikir dari kemunculannya di hilir
Juga pemasrahan pada kutukan gerimis yang jatuh di mataMu

Tasikmalaya, 2010
DIWAN BATU-BATU
/1/
Akulah batu-batu; Saksi atas bintang-gemintang
yang menua di pematang malam. Saksi bagi matahari
yang mengendap menandai lelangkahmu di punggung bumi.

Akulah batu-batu; Bayang-bayangmu yang kelam memanjang
yang senantiasa suntuk kau dustai. Buku-buku usia
yang ringkih membeku, membatu.

Akulah batu-batu; Ketabahan dan gairah basah sepanjang
musim kemarau dan penghujan. Bilik sepi dari sujud-sujudmu
yang tunjam, namun hilang dari sajadah sejarahmu.

Akulah batu-batu; Kusimpan lengking tangismu pertama
juga lembar demi lembar kesunyian yang memudar
dari aorta, jantung, dan wajahmu yang memar.

/2/
Sehabis mendaki bukit terjalmu.
Aku pun menggelinding turun mengusung luka-luka.
Namun percayalah, aku bukan batu kutuk terlunta!

Lihatlah, aku tak hangus! Dan aku tak mengenalmu
sebagai Sisipus. Aku hilir mudik tujuhkali selayak Sa'i
menemani jiwamu yang terus mencari.

Akulah batu-batu bara yang menghalau pasukan gajah Abrahah.
Batu-batu sohib burung Ababil! Aku sahabat para malaikat! Aku kerabat
ruh segala tetumbuhan, hewan-hewan, dan peri-peri di hutan keramat.

Aku bersenyawa di sungai waktu.
Menjelma Rindu yang kau rindu.
Menjelma Tangis yang kau tangis.

/3/
Akulah batu-batu; Arsiran-arsiran hitam legam
yang meluntur diam-diam dari helai-helai rambutmu.
Jeritan-Jeritanmu tertahan, degupnya erat kugenggam.

Tataplah pepori wajahku yang kerontang.
Hadapilah aku sebelum kau beranjak pulang.
Pungutlah aku, dan sucikan dirimu!

Sebab akulah batu-batu!
Akulah batu-batu Rindumu!
Batu-batu Kasihmu!

Batu-batu Tangismu!
Batu-batu darahmu! Batu-batu nasibmu!
Dan kelak, akulah batu-batu Kuburmu!

/4/
Manaji, pungutlah aku! Dan
lontarkan aku ke tubuh arca-mu.
Biarkan aku luruh

bersama arca-mu runtuh.
Sebab akulah batu
batu fana-mu!

Muntilan, 2010.
pada seutas benang yang menjulur ke langit
ia mencecap amis angin yang terbang di depan rumah
aroma kecut menyeruak
dari karung bekas
yang setiap minggu diangkat

ia mengibas seikat kenangan
kenangan waktu yang dirangkai
pada seutas benang yang menjulur ke langit

dulu pernah terjadi,
ketika ia menghitung detak jam
meniris keringat yang bau
mengusap peluh yang melekat di dahinya
ia terus merajuk pada nasib
di depan pintu yang sepi
menyusun angan di kepalanya
mengorek kata yang tepat
tapi ia gagal memilihnya menjadi sebuah pesan yang membalut kesunyian

gundah terpuruk di tumpukan sampah
resah bersemi di kedalaman jiwa
air mata hanyalah lintasan kesedihan
yang menghiasi warna pagi dan petang
menjadi buih liar menebar di halaman wajahnya

orang orang menyisir angin memuja waktu
tapi ia memahat udara di bawah terik
ada bahagia yang ditinggalkan
langkahnya merubah masa
meninggalkan tapak tapak yang diraba debu

sepenggal hari tak sekadar mampir di benak siang
di hamparan sampah tanpa aksara
ia menjadi sajak elegi yang membumbung ke langit

agustus, dua ribu delapan
ia mencecap amis angin yang terbang di depan rumah

aroma kecut menyeruak
dari karung bekas
yang setiap minggu diangkat

ia mengibas seikat kenangan
kenangan waktu yang dirangkai
pada seutas benang yang menjulur ke langit

dulu pernah terjadi,
ketika ia menghitung detak jam
meniris keringat yang bau
mengusap peluh yang melekat di dahinya
ia terus merajuk pada nasib
di depan pintu yang sepi
menyusun angan di kepalanya
mengorek kata yang tepat
tapi ia gagal memilihnya menjadi sebuah pesan yang membalut kesunyian

gundah terpuruk di tumpukan sampah
resah bersemi di kedalaman jiwa
air mata hanyalah lintasan kesedihan
yang menghiasi warna pagi dan petang
menjadi buih liar menebar di halaman wajahnya

orang orang menyisir angin memuja waktu
tapi ia memahat udara di bawah terik
ada bahagia yang ditinggalkan
langkahnya merubah masa
meninggalkan tapak tapak yang diraba debu

sepenggal hari tak sekadar mampir di benak siang
di hamparan sampah tanpa aksara
ia menjadi sajak elegi yang membumbung ke langit

agustus, dua ribu delapan
Kura-Kura dalam Tubuhmu
Malam-malam sekali ada ombak berjalan ke tubuhmu. Aku pikir itu laut yang tiba-tiba
kalut dan takut kalau hujan tak lagi mau turun. Hujan pasir. Hujan lambaian nyiur
di pantai itu, yang diam-diam memanggil kura-kura ke pinggiran. Meninggalkan telur.
Menyampaikan rindu yang lain dari bekas-bekas tetasan yang tak pernah kembali.

Kura-kura itu berjalan ke tubuhmu. Aku takut kura-kura itu akan memakanmu yang sedang
lelap dalam tidur memimpikan sepasang kepiting yang tak lagi berjalan miring. Kepiting anjing
yang menggonggong malam-malam. Kepiting kuda yang meringkik meminta penggembalaan
seperti domba-domba lain yang pernah kauceritakan dalam suratmu itu.

Malam-malam sekali bantal itu berkhianat pada janji untuk memberimu sepasang mimpi
lain tentang caranya bercinta sambil melenguh-lenguhkan namaNya sebelum ada kura-kura
yang berjalan ke tubuhmu. Kura-kura itu mungkin sekali adalah gadis empat belasan yang
pernah kau cumbui di halaman sekolah. Lalu kau bekap ia dengan sebuah bantal yang
kini berkhianat di tidurmu.
KASIDAH TERAKHIR
- ALMARHUM WAN ANWAR

Sepagi inikah harus kulepas engkau ke utara ?
menuju pulau asing
mengarungi samudera yang belum tersentuh
melepasmu ke dermaga nan jauh.

Sebenarnya kita sama-sama tak kenal
belum ada janji untuk tatap muka
maupun sekedar minum kopi kental.
Namun bahasa jantungmu,
bahasa ginjalmu
jauh-jauh waktu telah kucermati dengan seksama
sebagaimana kucermati setiap titik gerimis
yang kerap menghujam Cianjurmu
yang dingin.

Sepagi inikah harus kututup November ini dengan sunyi?
menyeka dada dengan kabar pilu
berita kehilangan yang ungu.

Sebenarnya kita sama-sama tak kenal
belum ada janji untuk tatap muka
maupun sekedar minum kopi kental.
Setidaknya pernah kau baca tempo hari
rangkaian kata yang sempat kuanyam
tentang tragedi kota luka.

Sepagi inikah harus kulepas engkau ke utara?
mengikuti arah maut
yang datang selalu tergesa.





CIWIDEY, NOVEMBER 2009
tentang orang yang bicara sengau
: empat tanya mak dan petuahnya

satu
orang sekarang yang tak lagi berjalan
meski bicara banyak hal dalam kotak-kotak partikulir

kusampaikan itu pada mak
pulang yang tertunda baiknya kubicarakan saja

tapi mak berkata; orang-orang berbicara sengau
seperti menyembunyikan sesuatu; bau mulutnya sendiri

dua
bagaimana kau rupakan air mukamu, nak?
sementara mataku mulai lamur

kusampaikan pada mak tentang kuasa ilmu
kuasa niscaya tawajuh melebihi sihir; tri-ji dan setelahnya

tapi mak berkata; muka orang-orang terlihat samar
seperti menyembunyikan sesuatu; air mukanya sendiri

tiga
kata mak orang-orang masih tetap bersuara parau
dan airmukanya tak bercahaya

kusampaikan pada mak tentang kuasa globalisasi
kuasa niscaya uang di negeri-negeri tak bertepi

tapi mak berkata; orang-orang terlihat tergesa-gesa
seperti mengeluarkan sesuatu; kotorannya sendiri

empat
mak akhirnya berkata
bicaralah baik-baik, pelan-pelan dan seadanya
katakan saja kerinduan adalah kuasa persuaan
setelah kata-kata habis diucapkan

19/02/2010
Aku Kini Menjemputmu
tiba-tiba aku membayangkan kita adalah burung kecil yang terbang,
ketika gerimis turun mengecup langit senja. ribuan pohon-pohon
yang basah dengan terpaksa, mengusir kita. lantas kucari atap-atap teduh
di antara gedung-gedung yang menggigilkan peristiwa muasal kita.
tiang-tiang listrik yang seolah-olah ingin melesat menuju angkasa.
sementara mereka hanya tertancap dikepung kabut jalan raya.

kita memang pernah diciptakan dengan sayap gemerlapan, jauh
sebelum cahaya bersujud pada kita. dan api memilih pengkhianatannya.
kita juga tinggal di taman yang separuhnya terkena terik matahari hangat
dan separuhnya lagi terbasahi hujan –geliat semak belukar, pohon-pohon
yang menjatuhkan apel hijau ke tepian sungai. tapi aku dan kau,
telah lebih memilih cinta. lebih tergoda dengan lampu-lampu kota,
dan riak telaga berangsa. yang sesekali kita kunjungi di saat
merasa perlu meneteskan airmata.

kusayangkan semua itu pada waktu yang terus bergelora di langit jingga.
di mana gerimis memang terasa pahit bagai ujung pisau tembaga.
sebab itulah jarak kita yang kini telah kuhancurkan dalam kerinduan.
lama kunantikan, sejak engkau menetas di rahim ibumu,
dan aku kini menjemputmu. aku membayangkan lagi, bila kita mampu
menjawab pertanyaan di antara sesak iklan dan berita menggelikan.
maka aku sudah sampai pada pengembaraan adam. haruskah
memilih ruas tulang yang hilang, di kantor perusahaan, mal atau swalayan.
meskipun, sejak berabad silam, kuharapkan pertemuannya
di tepian pantai, di mana angin menyapa bersama ombak lembut.
atau paling tidak, di sebuah taman yang hangat dan dinginnya
sedikit mengingatkan pada pohon terlarang.
: dan sekarang, bukankah kini adam ada pada diriku, terpuasakan oleh cintamu.

Bandung, 2010
PENINGGALAN KALENDER DI BULAN MARET

untuk sebuah keluarga dusun di wonogiri


I
seketika itu, engkau jadi usia sumur yang sering kali
engkau timba setiap pagi hari sebelum engkau pergi beli
sarapan untuk dua anak yang sering kali
berebut uang jajan sekolah

-waktu itu ternyata air belum langka,
seperti uang-

II
ada arah lain yang merangkai jalan setapak menuju
kebun kopi yang pernah engkau mohonkan pada musim
yang menyebabkannya;
sementara pencuri-pencuri kecil yang tak diduga menanam kesal
pada ranting pohon-pohon anggur di hampir setiap purnama

-kebun kopi milikmu telah berbicara banyak padaku
mengenai arah pencuri yang menyisakan biji-biji anggur
di bawah dahannya-

III
saat bulan belum lengkap dan panen belum genap
pada suatu masa tanggal-tanggal menghitung jarak yang engkau
bilangkan kepada kesederhanaan rindu: pakaian yang senantiasa
engkau tanggalkan di hari-hari telapak-tangan-doamu,
gubuk ternyata tak cepat lupa mengingat tangan siapa
yang lumpur karena doa

saat panen belum genap dan bulan belum lengkap
selalu saja ada lipatan senyum yang sabit berarakkan
dari ladang-ladang ketela menuju pintu rumahmu
tempat kalender berdiam pada kedua pipiku
lalu kubaca salammu yang tinggal di bulan ketiga
: simpanlah kami baik-baik untuk engkau bawa
sebagai tanda dan doa.


2010
Bincang Bintang
suatu kali kau bergumam,
"Aku telah mati lama sebelum ini,
saat menggigit segaris nadi yang
katanya membuatku abadi".
kau jelas mengelak saat aku
tanya apa yang
kau bicarakan diantara kabut
asap rokokmu.

kau malah bertanya,
mengapa aku menyukai masa lalu,
sejak caya bintang yang sering kupuja
dalam sajak adalah
pesan yang tersesat dan terkatung
sebelum akhirnya
tiba hanya untuk mengabarkan
"Aku menua, barangkali kini meniada."


melampaui perkara kini atau lalu,
tetap saja bintang memikatku,
sebagaimana cinta.
bukankah terkadang cinta
lebih cantik dari jauh, kita tak usah
cemas hangus atau sekadar gemetar
bersipandang dengan
kegelapan yang
jujur dan pekat?

barangkali kau benar.
jika tak lagi berwarna
cahaya tetaplah bernyawa
meski adanya gelap semata
serupa kerinduan
yang kekal dan bengal
tersengal saat mengetuk
dengkur halusmu
subuh tadi.
Dzikir
bersama gelap dan sunyi
berkaca diri pada kedalaman hati
mengapa hidup mesti ditawar
bila kita tak sanggup membayar

kita seperti musafir yang disesatkan angin
tak henti mengudap mimpi di siang hari
sementara jemari kita letih menghitung nasib
dan membiarkan jiwa kerontang dimakan usia

subhanallah
satu tarikan nafas
segenap karunia Tuhan meruah luas

alhamdulillah
sedetik jantung berdetak
semilyar cahaya rahmat melesak

la ilahailallah
setetes aliran darah
seluas samudera hikmah mengurai anugerah

allahu akbar
setitik denyut nadi
segala daya insani membuncahkan energi

telah jauh menempuh perjalanan
namun kita lupa untuk pulang
seperti selembar puisi lusuh yang kita simpan
dimakan ngengat dalam lemari ingatan

kapan lagi kita membaca umur
yang berlumut oleh angin dan hujan ?

dengarkan suara cicak bergunjing
membicarakan kita yang alpa membaca doa
seperti musim-musim yang berlari
meninggalkan cuaca di halaman rumah kita

pejamkan mata dari pandangan
tumpulkan rasa dari kenikmatan
tanggalkan pakaian kemunafikan
lantunkan lafal dengan perlahan
subhanallah walhamdulillah wala ilaha ilallah allahu akbar
Tirtomoyo, 19 Maret

Partitur Hujan
apakah ini yang kau sebut dengan rindu?
jika daun-daun telah basah, dan tanah-tanah
meruapkan namamu, untuk kuhirup
bersama kenangan.
ketika segalanya, menjadi kesenyapan
yang tak bisa lagi ditawar.
jalan-jalan atau bahkan gedung-gedung
terasa mengenakan mantel, sedangkan
aku sendirian kedinginan
menggigil, seraya ingin mengucapkan cinta
pada api, pada lampu-lampu
dan pada apapun itu
yang mampu mencairkan kehendakku.

saat jarak seolah-olah sekeras batu.
dan ciuman tak pernah kunjung tiba.
sungguh aku telah menjadi
nyanyian yang dihiraukan,
ribuan titik jarum tak tertahankan
menikam ke ulu jantung ingatan.


Bandung, 2009
di Pinggir Batavia
semalam kereta berhenti di pinggir Jakarta
malam sangatlah setia menjaga lajunya
hingga tak rela pagi membuncah di sela kaca
mungkin si malam terlalu cemburu pada pagi buta
ah malam, kau tak perlu terlalu cemburu
pagi ini ribuan orang sudah terburu-buru
beradu cepat dengan pagi untuk tiba di Jakarta
tak seperti tadi malam dimana mereka pulas kau jaga

lalu pagi yang singkat cepat berlalu atau mungkin tak ada pagi di sini
karena rasa pagi dengan cepat pula ditelan habis oleh aroma Jakarta
tak tercium aroma teh hangat dalam gelas kaca pagi
hanya wajah-wajah tergesa menempel di sela kaca kereta

dan sepulang dari stasiun dalam fajar yang menggempur sisa malam
kota ini sudah berantakan dengan roda-roda yang menggilasi jalan
oh ,apa yang mereka cari di ujung jalan sana?
di ujung jalanan yang salah urus dan penuh nestapa
: terkadang mereka menyebutnya penghidupan, terkadang saya sebutnya keserakahan, terkadang mereka menyebutnya kebahagiaan saya berani menyebutnya air mata

( Stasiun Bekasi, 19 Maret 2010)
balada para dewa
begitu malam menampakkan wajahnya
orang-orang gegas merapikan langkah

“jangan ada satu jejak pun tertinggal
apalagi berkeras berdiam di sudut kegelapan
kita harus kembali pada rahim peraduan
sebelum gigil memporakporandakannya
hanya ada satu obor yang dibiarkan tetap menyala
menyambut kedatangan para dewa”, tegasnya.

ya, memang benar
kini kami mulai mendengar derap langkah itu
dari kejauhan terlihat seperti nyata, namun tak tampak
satu persatu tak tiknya berkeliaran dalam ruang tengah telinga
mengental dalam larutan keheningan
memaksa setiap pendengaran tetap bersetia
menghitung tiap detak, mengukur jejarak
sampai benar-benar tak adalagi yang berderap dan berjarak

kegelapan dan bunyi kecapi sunyi mengiringi kedatangan
harum keresahan semakin menyengat
langit-langit mata kami berubah menjadi kuning langsat
menyaksikan, mendengar balada para dewa

“kami datang membawa bebungkus doa yang kalian panjatkan sejak subuh tadi
kami datang membawa sekantong keringat dan selembar airmata yang terkoyak
di balik langit, kami datang membawa sebongkah mimpi yang tergolek di bibir senja
dan kami datang tidak untuk menggenapkan doa-doa, tapi kami datang hanya
mengambil sedikit angka dalam tubuh, kami datang memungut
sedikit nafas dari mimpi-mimpi kalian”.

siapa yang masih bertahan atau berapa yang lari dari kenyataan
semua tercatat pada tiap lelembar tanah—
sesuatu kepahitan dan keindahan yang takkan terlupakan sepanjang zaman peradaban
akan didapatkan setiap insan”, tegasnya.

demikianlah kami menutup malam setiap harinya
memersiapkan sesaji
mendengarkan balada para dewa
sambil memungut kata-kata yang bergelincatan dari bibir tuanya
barangkali berkah tak lari ke mana
sambil mengemas musim pulang

Maret, 2010
Kampung dalam Aquarium


ke pemancingan mana lagi kautumpahkan rindu
melumutkan kecemasan pada lendir umpan
dan mata kail yang lapar
agar ikan-ikan mau kaubujuk bercerai dengan lubuk
dan pulang ke kampung penggorengan
pelengkap hidangan di meja makan

kau tahu, sejauh-jauh pergi menyisir bibir sungai,
hanya untuk mencari air keruh,
ikan-ikan pilihan tak akan memakan umpan dalam kejernihan
kau tinggalkan hulu yang hening-bening
muasal segala arus terus menghanyutkan
anak-anak pantau dengan sejarah hambar
entah arah mana akan mereka tuju
sebut saja, kampung berair jernih berikan jinak;
berair keruh berikan liar;
berair tawar berikan banyak
alamat kepulangan yang pahit

aku beritahu, andaikata pemancinganmu sia-sia, pulanglah.
aku dan ikan-ikan yang sering kauburu
setelah penggusuran itu
kini tinggal di kampung baru
mendekam di kamar air empat persegi
pada sebuah ruang tamu tidak berhulu-bermuara
hanya gelembung-gelembung dihembus tenaga listrik
juga kincir-kincir plastik
batu-batu buatan dan lukisan karang di balik kaca
terasa seperti menyelam-melintas di antara
tanjung dan teluk kampung pesisir yang tenang
meski tidak ada kapal-kapal berbenah
bagi pelayaran para pelaut
apalagi jejaring pukat ikan karang

bertandanglah, oi pemancing
bukankah sungai-sungai yang menghilir
dari hunjaman kaki-kaki hujan sudah tidak mampu menafsirkan kehendak air matamu
dan kerinduan tidak selamanya mesti dipuaskan dengan tancapan mata kail di rahang ikan yang rakus

aku bayangkan kau datang
sebelum insangku sempurna jadi karang
menyematkan mata kail
di setiap saku baju para tamu

sungai naniang, 20
Gendang
Sampai takdir mengirim perempuan tuli ke tempat paling sepi:
tak ada lagu kayu-kayu, bunyi-bunyi besi atau suara ranting patah
menimpa genting rumah. Tak ada.

Hanya keluh penabuh dan teriak penyorak yang mengoyak telinga
hingga untuk pertama kalinya, perempuan itu pun akhirnya menangkap
dengar.

Barangkali, karena kemurahan hati atau rasa syukur yang terlanjur.

Sebut saja pengorbanan atau perampasan. Ketika kulitnya yang halus
mulus dikecup kilau bibir pisau, di tangan si ahli. Maka sempurnalah
luka-lukanya.

Ketika semuanya ditabuh, semuanya disentuh, semuanya bergemuruh.
Tinggal sepenggal luka dibawa lari sapi-sapi.

Bandung, 20
Ketika Hujan
Apa yang hendak kau cari, selain teduh. Mendekatlah. Tengah
kudirikan api sebagai pengganti matahari. Keringkanlah segala
yang basah. Sementara kusembunyikan bajumu di tempat paling
rahasia. Pakai sarung itu. Jangan balut tubuhmu dengan rambut.
Cintailah aku. Kau perempuan yang tiba-tiba datang dari rimba
hutan dan belukar hujan.

Kelak

Setelah reda. Kau menjadi istri atau ibu dari anak-anakku.
Kemudian kau temukan baju yang dulu sempat kusembunyikan.
Jangan tanya siapa pelakunya, atau diam-diam kau memakainya lagi.
Sebab ini tanah dan rumah-rumah berbeda dengan tempatmu yang entah.
Sepertilah denganorang-orang itu.
Biar mereka tak bertanya-tanya mula, menduga-duga asal.
Kedatanganmu yang memang sukar dikabar.

Barangkali, ini takdir yang salah. Kau bertamu ke tempat yang salah.
Aku berikan jamuan yang salah dan kita bercinta dengan cara yang salah.
Tapi, biarlah. Segalanya telah tumpah.

201
Sajak Pengantar
Sebab kepergianmu yang terburu-buru. Maka aku tulis sajak ini, sebagai
pengantar perjalananmu yang basah, menuju rumah tempat singgah segala
yang bermula dari tanah.

Beristirahatlah. Meskipun luasnya tak sama dengan rumah sewaanmu yang dulu.
Tapi, setidaknya cukup aman dan nyaman untuk berbaring tanpa harus berpusing
memikirkan biaya listrik, air atau sewa bulanan. Beristirahatlah, tenang. Sesekali
orang-orang datang memberimu sebotol air dan beberapa lembar cahaya.

Sebenarnya, aku tak ingin bersedih. Tapi sedang. Tapi, sudahlah. Lagi pula,
kau sudah jauh pergi. Dan barangkali di sini sudah tak aman lagi, untukmu
menikmati hidup, berdemonstrasi atau sekedar mencari calon istri.

Memang. Dalam setiap kepergian selalu ada yang disisakan. Maka, biarlah
kuamankan namamu dalam sajak ini, di samping rasa tidak enak, di bawah
kesedihan yang sudah aku tulis, sebelumnya.

201
Tujuh Belas Yard dari Hari Esok
kembalilah, wahai masa lalu yang pernah kurelakan
tiada pulang yang bisa kalian tempuh
selain pada aku yang tubuh, waktu yang tersepuh.
tujuh belas yard dari hari esok
adalah bayang-bayang yang terpelosok
dalam ingatan kita, tentang kekasih.

jalan yang sesak oleh pesta
kini sudah seperti merayakan sajak dengan dusta.
aku inginkan melaju jauh ke paling fana
membawa rindu yang membeku
pada dinding-dinding benteng lintasanmu.

sudah tiba waktunya, kita rela mabuk
sebelum tempat-tempat semakin asing.
air mata yang ngalir dari sepasang hilir
tanpa tujuan, tanpa akhir.
jarak adalah tanda bagi gerbang tak bernama
untuk membuka luka. manakala tak ada sesiapa
yang menantikan kedatangan kereta di depan nasib kita.

Stasiun Bandung, 2010
Aku Akan Selalu Berteman Musim yang Kau Tinggalkan



Aku akan selalu berteman musim yang kau tinggalkan
dalam tidurmu bersama waktu. Tahun-tahun terpenggal,
merangkum semua hujan yang turun jadi ngungun.
Hari menetas dan tiba-tiba saja terlepas.
Suara kecilku menjerit-jerit dalam tubuh
yang telah sunyi kini. Memanggil-manggil kenangan
dan sisa percakapan separuh bulan.

Aku akan selalu berteman musim yang kau tinggalkan
dalam tidurmu bersama waktu. Berkawan cahaya senja
yang berayun di pucuk-pucuk ilalang di depan rumah kita.
Membuka pintu-pintu sajak yang telah kau bangun
dengan cinta. Mungkin dapat kumasuki sebuah rahasia
dari kata-kata di langit rekah. Atau akankah selalu
kutampung mendung yang kini mulai terapung.

Serang, 200

SAJAK CINTA DI UMUR ENAMPULUH EMPAT TAHUN
dalam perbincangan seusai senja itu
kau terasa begitu puisi:
pasir pantai dan rinai rinai
hujan di masa kecilku menari nari dan menganaksungai
di kedalaman lesung pipimu.

o demi kedua bola matamu yang sendu
kugosokkan kedua telapak tanganku agar hangat. agar lamat lamat
dapat kusekakan tangismu. dan kupindahkan duka
dan kupindahkan airmata
ke wajah rembulan yang nestapa.

bibir atas dan bibir bawahmu
yang merah muda mengeluhkan cintaku yang
menurutmu semakin habis saja. getarnya pelan dan lemah.
seperti kesunyian yang rutin merangkak rangkaki punggung kota. aku diam.
aku selalu diam kalau sedang duka atau jatuh cinta.

ah, sekarang kaupun ikut diam. suara jangkrik dan rayuan jalang
bunga bunga di bawah jendela
menggantikan keluhanmu. sebuah radio buruk di atas meja
berkisah tentang sepasang kekasih yang saling menikam.
—cara yang bagus untuk bunuh diri. sementara malam semakin kelam
dan bulan memucat seperti geliat sepi.

menatap kulit pipimu yang kuning
dan harum mengingatkanku akan ciuman ciuman
yang dulu saling kita berikan. bagai kupu kupu yang tidak kian
lelah mengepakkan sayapnya yang biru kehijau hijauan.
tetapi di pipimu yang kuning dan harum itu
kini ada sebaris peringatan dan tanda seru:
“o cintamu telah berkurang!”

dadaku sesak membayangkan kau menangis di kamar kecil di malam malam
ketika aku pulas tertidur dan tak sadar bahwa cintaku telah berkurang.

waktu tak pernah ambil pusing dengan permasalahan kita. dengan
airmatamu dan diamku. atau
dengan bibir merah mudamu dan sisa sisa ciumanmu di leherku.
waktu terus saja menjalankan tik toknya
seperti cicak terus terus membunyikan cak caknya.

tetapi bukanlah waktu yang membikin kita harus bersegera
melainkan aku yang tidak ingin
membuatmu jadi kering dan tua: bagaimana kalau kita
selesaikan saja
cinta ini dengan pucat?

di atas meja di dalam kaca jendela
sebuah radio buruk
kembali

menggumamkan berita
tentang sepasang
kekasih
yangbunuhdiri.

(2009
Dzikir Perempuan
Berabad dzikirku menjelma seribu tetes cinta di atas batu-batu takdir
Sajadahku adalah hamparan puisi yang sunyi di taman sejarah
Rindu yang kuriwayatkan melahirkan gemuruh aroma kesedihan
Rahimku melantunkan musim-musim yang sepi dalam kehidupan
Barisan lelaki tak henti menyanyikan lagu sumbang pengkhianatan
Harapanku karam dan tenggelam dalam bahasa kaum pemerkosa

Dzikirku lahir dan bergulir di dalam penjara-penjara gelap penindasan
Menggeliat melawan birahi kekuasaan, menampar hasrat zaman
Suaraku adalah berjuta jiwa yang meronta dalam belenggu tradisi
Menafsir isyarat Tuhan dalam manuskrip-manuskrip lusuh dan berdebu
Mimpiku merapat pada barisan ilalang yang tegak menunjuk terang
Menyusun akar cahaya di atap langit dan ladang-dalang harapan

Kubangkitkan huruf-huruf dan suaraku tengadah mewarnai dunia
Merentangkan sayap-sayap cinta dalam ruang derita yang gulita
Kuberi napas hak yang sempat terhempas badai purba kedzaliman
Kulangkahkan kaki mendaki bukit-bukit memanjat kemerdekaan
Jiwa kita sama di mata alam, kehadiran kita sama di mata Tuhan
Terimalah, terimalah getar dzikirku dalam tebing-tebing pikiranmu
Karawang 201
Drupadi
Biarkan langit mengagungkan kecantikan wajahmu
sebab awan belum menjadi bagian yang sesungguhnya.

angin adalah tempat pertemuan burung-burung
pertemuan dari setiap doa, mantra dan puja-puja
kau yang mengantar lewat tangan kanan dan jari-jarimu
menguap beribu wangi kekhawatiran
menyatu di sudut matamu yang beraliran

akan ada maut datang tanpa salam
menerjemahkan mata busur satu persatu
lalu meminang dan melesat ke palung udara
membaca setiap gerak bibirmu yang samar
memegang tanganmu yang bergetar
atau meraba wajahmu yang basah dan pasrah

aku bukan bagian dari sajak-sajak
atau dewa-dewa yang menundukan dagumu
aku juga bukan doa, mantra dan puja-puja
aku adalah lelaki pengukur waktu
sibuk mengemas keinginan sendiri
dan mencari apa arti mati

Maka biarkan langit mengagungkan kecantikan wajahmu
sebab awan belum menjadi bagian yang sesungguhnya.

201