Thursday 11 June 2009

PUISI-PUISI PENYAIR SUMATERA UTARA

PUISI M. RAUDAH JAMBAK

DI POJOK RUMAH SAKIT BERLANTAI TIGA
: fragmen-fragmen penyembuhan


Di pojok rumah sakit berlantai tiga
Detik maut pelan-pelan mengukir nisan memipih-pipih umur kami
Setiap tetes air mata yang jatuh adalah harapan yang perlahan menjauh
Sakit kami seolah menghunuskan napas yang semakin aus
Berharap izrail menunda waktu melepas sauh
Berharap tuhan masih berumah di tubuh

Jika ternyata hidup hanya di genang air mata
Biarlah jiwa yang lara tenggelam di dasarnya
Melumpurkan debu-debu kesakitan yang meradang
Pada raga di kurung masa ke masa

Jika ternyata hidup hanya di genang air mata
Biarlah angin mengirimkan lembut lengannya
Membawa segala aroma-aroma telaga surga
Dari kepedihan seluas samudera

Jika tenyata hidup selalu di genang air mata
Maka hapuslah lara kami, hanguskan duka kami
Biar jadi debu, biar jadi abu yang dihanyutkan
Sungai-sungai hati menuju muara cinta

Jika ternyata hidup selalu di genang air mata
Adakah tempat untuk membangun dermaga
Tempat kapal-kapal kami membangun rumah
Menyusun segala rencana menuju ke pulau bahagia

Padahal pernah kami serahkan utuh-utuh hati kami, padamu
Tetapi kau balur jiwa kami sepenuh empedu

Mata kami yang berpijar, berbinar
Tetapi padamu kau susun kelam, buram

Kami berpikir kau adalah pengobat hati
Ternyata kau bakteri yang menanam nyeri

Aduh, ibu
Bersebab narkoba kami celaka

Aduh, bapak
Bersebab narkoba kami merana

Aduh, tuhan kami
Kami terlanjur lupa memaknai diri

Dulu ketika hidup kami di belenggu ragu
Siapa lawan dan kawan kami tak tahu

Dulu ketika cinta di gunting putus asa
Tak ada tempat berbagi suka dan duka

Dulu ketika segalanya hilang entah ke mana
Psikotropika seolah sahabat berbagi duka

Ternyata setelah berbagi setia berlama-lama
Lara hati membara sepanjang usia

Membelenggu jiwa
Menumpuk derita
Membisa racunnya


Di pojok rumah sakit berlantai tiga
semoga maut enggan menjemput umur kami
Setiap tetes do’a membasuh adalah harapan yang berlabuh
Sakit kami adalah sampan-sampan sebuah pengakuan
Berharap izrail menunda waktu melepas sauh
Berharap tuhan masih berumah di tubuh

Medan, 01-09


SEKOLAH, NAK

Sekolah, Nak
Jika memang sekolah itu mampu mewujudkan
Cita-citamu menjadi dokter yang mengobati
Negeri yang sedang sakit ini, bersebab narkoba
pahami semua mata pelajaran secara bersahaja
jangan hanya hitung-hitungan saja
Sebab pikiranmu nanti akan tertanam
Sekadar keuntunganmu pribadi
Buta dengan kerugian orang lain

Boleh, Nak
Kau boleh jadi jaksa, apalagi jadi hakim
Tapi hati-hati, sebab kau akan tergelincir
Hanya untuk mempermainkan hati nurani di balik
Gelar yang kau pugar, dan jika masih begitu
Lebih baik kau jadi pedagang saja yang jelas
Ukuran timbangannya, itupun jika kau pedagang kecil
Seandainya kau pedagang besar, maka kau akan merepotkan
Pemerintah dengan kerugian yang milyaran

Siapkan dirimu jadi pemimpin, Nak
Sebab banyak pemimpin yang lebih siap
Jadi anak buah, pesuruh atau pecundang
Dalam pikiran mereka rakyat bukan apa-apa
Jika negara adikuasa yang mengerdipkan mata
Agama hanya jadi rawa-rawa penghalang
Akal bulus keinginan mereka menaikkan tarif
Setinggi-tingginya,menghukum maling ayam
Dengan cara yang paling jahanam
Sementara pelaku korupsi masih diberikan
Hukuman bergaransi

Sekolah, Nak
Jika memang sekolah itu mampu menjadikan kita
manusia berakal budi-berhati mulia
dalam setiap detik alirkanlah do’a-do’a
memohon kepada sang pencipta
karena dialah yang layak sempurna dipercaya

medan, 04

PUISI HARTA PINEM

NANDE GODA

Aku, Nande Goda
lahir dari rahim Gunung Sinabung
ibuku, petani kampung
ayahku, bekas pejuang revolusi berpangkat kopral
waktu Agresi Militer II aku dibawa ibu mengungsi ke hutan
tidur berselimutkan daun-daun
makananku keladi rebus dan singkong hutan
begitulah, aku dibesarkan ayah dan ibuku dengan sederhana
bermenukan cinta dan kasih sayang
di tengah saudara-saudaraku aku disebut perempuan binal
dan gampang memberontak
setelah remaja aku dijodohkan kedua orangtuaku
dengan seorang pria sesuku yang lugu dan baik hati
keluarganya masih punya hubungan darah dengan keluargaku
kata ibu beliau masih ipar dekatku dari garis keturunan ayah
aku tidak tahu inikah namanya cinta
namun satu persatu anakku berlahiran
mereka semua butuh belanja
aku tak punya keahlian
sedang ke ladang bukanlah kesukaanku
pening kepalaku berhadapan dengan cangkul dan matahari
akhirnya aku jadi berjualan sayur ke pekan-pekan
sedang suamiku jadi petani jeruk di kebun
pergi subuh pulang malam kini jadi jadwal rutin keseharianku
mula-mula biasa saja dan rezeki mengalir ke rumah tangga kami
lama-lama karena setiap hari bertemu
aku jatuh hati pada sopir langgananku
dia sudah beranak lima dan aku pun beranak banyak
tapi dalam bercinta kami merasa jadi muda kembali
seperti buah durian masak di pohon
bau aib itu akhirnya tercium juga oleh keluarga
balik ke rumah seperti pulang ke neraka
suami kurasa jadi musuh besar
sang pacar gelap menghasutku bertindak nekat habisi nyawa suami
biar bebas perjalanan berbuat jinah
aduh cintaku!
17 liang di dadanya cukuplah
kata orang aku bejat moral
tapi bagaimana, tindakanku sudah terlanjur basah

Aku Nande Goda !
suamiku kubunuh dengan keji
begitu aku disuruh petugas berteriak


Aku Nande Goda !
suamiku kubunuh dengan tega
begitu aku digelandang berkeliling kota
orang-orang menyambutku dengan wajah murka
sambil meludahi wajahku
mereka sebut aku perempuan binal tak beradat
tapi bagaimana, perbuatanku sudah telanjur basah
kini penjaralah tempatku mengadu paling baik
rumahtanggaku hancur karena permainan gila!

Aku Nande Goda !
kata orang masa depanku sehitam malam
aib akan berbuahkan aib
tapi jangan hakimi aku dengan pedang murka seumur hidup

medan, 2006









PUISI HIDAYAT BANJAR

KARBALA

Karbala, empat belas abad silam
hari ini terulang
beratus-ratus Hussein dibantai
padang yang kini jadi wilayah Irak itu
hadir di pelupuk mata kita

Kepala Hussein-hussein yang menjadi bola
memang tak ditendang ke Damaskus
tetapi menggelinding sendiri
ke dalam rumah kita

Karbala, empat belas abad silam
menjadi mimpi buruk anak-anak kita
yang setiap jam pelajaran di sekolah
mendapat ajaran Pancasila

Karbala, empat belas abad yang silam
jadi sejarah yang aneh bagi Islam
kita hanya terbengong-bengong
menyaksikan para Ali yang tak dapat menangis
karena kehabisan air mata
Sampit......Sampit........Sampit
Aceh.........Aceh...........Aceh...
adalah Islam yang terkoyak

Karbala, empat belas abad silam
kita seperti tak bersudara dengan para Ali
terpesona kemilau pedang Yazid
yang haus kekuasaan
yang haus syahwat
yang haus segala-galanya
berlindung AlQur’an dan Hadist
yang telah diputarbalikkan

Karbala, empat belas abad silam
kemilau pedang Yazid masih menari-nari
di depan mata kita
di negeri yang penuh pesona
negeri yang subur dan kaya
dengan jutaan hektar hutan, perkebunan dan laut
dengan jutaan ton tambang emas, minyak dan gas
yang dapat dikeruk sepanjang tahun
namun tak didistribusikan dengan adil

Karbala, empat belas abad silam
hadir kembali di sini
negeri nyiur melambai
negeri yang sepanjang tahun disiram cahaya matahari
namun masyarakatnya kekurangan energi

Karbala hadir di sini
dengan panji Muawiyah
dan kitapun terbengong-bengong
diam seribu bahasa

10 Muharram 1422 H
4 April 2001


PUISI S. RATMAN SURAS

BALADA MARNI GADIS TEMBUNG

Matanya redup adalah sayap burung yang lelah
setelah terbang melintasi tanah jaluran kuburan yang resah
berhari-hari menyulam kain lusuh
disengat matahari terpercik gerimis tipis
yang menderas menjadi badai tipis

Ia lahir dari jaman serba bingung
bapak ibunya jawa generasi terkini
kakek buyutnya korban kuli kontrak kompeni
diperas keringatnya menanam tembakau deli
sampai bercucu-cicit di tanah ini

Sepetak kolam kangkung di tepi desa Tembung
harapan keluarga agar asap dapur terus membubung
walau hasilnya cekak ditilep harga yang terus melambung
sedang bapaknya cuma kenek kuli bangunan
bersepeda pancal kota yang tak nyaman

Selepas SMP Marni memberontak, saat ia ingin membeli bedak
ingin berpatut-patut di depan cermin yang telah retak
merias diri, merawat raga, sebab si Sarmin anak tetangga
perjaka muda sering mencuri wajahnya, dari balik rimbunan pisang
di suatu siang, ketika angin mulai semilir mengalir

Jika berladang tak lagi memberi harapan
tanah-tanah kebun jadi rebutan dan hunian
kebutuhan hidup makin merenggut
Marni bingung tentukan tujuan

Bersama Jirah teman kecilnya
yang telah gemilang meraih bintang
ia terpikat langsung berangkat, jadi TKW ke negeri seberang
gadis lugu nan ayu yang masih segar

Ketika tiba-tiba di negeri singa, Marni terjebak hitamnya lumpur
ia tertipu sindikat gelap dipaksa jadi gadis penghibur
hatinya pedih tersayat-sayat, impiannya seketika hancur
pada saat yang mendebarkan, ketika tangan-tangan kuat dan kekar
mulai gerayangan di sekujur molek tubuhnya yang terkapar

Marni berontak mulut terkatup batin gemeretak
ia jadi gelap mata untuk mempertahankan mahkota sucinya
dipecahkannya sebuah botol minuman beralkohol
ditikamnya perut buncit toke asing berduit
darah segar muncrat menggenang di lantai kamar

Kini ia hidup heboh dalam cerita berita duka-lara
namanya menghias menyita media massa dua negara bertetangga
orang-orang saling lempar tentang kebenarannya
kerabat dan bapak-ibunya di Tembung berpayung langit murung
anak gadisnya terancam hukuman gantung

medan, 2005-2006

PUISI HASAN AL BANNA

BELAWAN, KISAH SEBINGKAH KOTA

/1/
laut keriput, terasa aroma garam masam
dan kecut
saksikan bahu laut lebam menanggungkan
riuh-lalang perjalanan
lalu udara yang bersiut
seperti serbuk-serbuk besi tua
berat dan berkarat

ke mana camar-camar terbang
sambil menyandang sebuntal luka?

aroma tuak
menjalar dari riuk-derak lapak
kerumun laki-laki bersuara teriak
bernyanyi sambil meletuskan gelak
lantas tergeletak
dan selalu, bait-bait lagu
terperangkap di lingkar gitar tua

mmh, para gelandangan dan orang gila
senantiasa gagal mendirikan rumah

ruko-ruko renta
hasil senggama cina dan belanda
berjejer berhadap-hadap di kerut kota
aha, remuk-muram itu rupa
seperti para perempuan yang sejak lampau
kehilangan meja rias
dan yang tak pernah mengenal lelaki

/2/
dermaga adalah tubuh yang geletar
tapi tetap setia pada janji: “hai, turunkan saja
debar jangkar ke dangkal darahku
sekali waktu, tanpa aba-aba
laut akan mengokang badai
o, kapal-kapal yang kuyup
kemari, kalian akan kurangkul!”

masih adakah dada-dada yang berdebar
mendengar terompet kapal yang parau?

tapi dari ringkih kapal
cuma satu dua turis yang turun melancong
menelusur jalanan usang
atau sekadar menyodorkan cibiran
“buah tangan apa yang pantas
ditukar dengan dolar? Dan kekaguman
macam apa yang musti kami decakkan?”

amboi, adakah laut umpama kekasih
yang enggan mengirim kado?

ah, samar suara mesin sampan pencari ikan
adalah hasrat yang sekarat
berkisah tentang birahi laut
yang senantiasa luput terpagut
atau seperti igau para nelayan:”Tuhan, hanya
tengkorak ikan
yang terjebak di cemas jala!”

/3/
ai, apa yang merayap meniru seok kelabang
adalah kereta api barang, menggendong
gerbong panjang
menafsir jarak antara datang dan pulang
roda dan rel bak dua kelamin besi
yang memintal rindu
tapi tak pernah memercikkan api cemburu

anak-anak teramat lihai menanggal seragam sekolah
bereklebat menjelma bajing

demi menaklukkan terik yang berkelok dan terjal
truk-truk bermesin raung, batuk-batuk
berpundak lapuk, bernapas engah
memanggul peti kemas demi peti kemas
menyeret beban tak berkesudahan
merontokkan pitam asap
dan merentang beribu kelambu debu

entahlah, hilir-mudik orang-orang
semacam bayangan kelam yang menyedihkan

nun, kuli-kuli bertubuh hangus
bersaku tandus
masih terlatih mengintai sekeping harapan
tapi, bah, para tukang pungli
seperti berpinak dari rahim tikus
rakus
kapan mereka mampus?

Belawan-Medan,2006-2008


PUISI MIHAR HARAHAP

OHAMI

Ohami Ohami
Ohami Ohami

Siapa anakku, siapa
Anakku permata bundamu jelita

Puah. Atas kuasamu purnama raya melata di akar rimba
tepian jurang perkampungan baru bukit tajam dan jembatan
layang di bawah kali curam terbentang, sementara para
satwa mengangkasa ke awan-awan ke bintang-bintang langit
yang paling jauh. Atas kuasamu segala apa di antaranya
menjadi sempurna. Puah. Puah

Di mana anakku, di mana
Anakku melayang bundamu kepayang

Puah. Gemuruh ombak pulang ke ombak gemuruh rasa pulang
ke rasa, gerimis hujan terik mentari adalah denyut
jantung anak kembara juga pulang ke asalnya. Duhai duli
sembah harap, terimalah wewangian zikir dan asap dupa
yang menggumpal-gumpal melingkar-lingkar menujumu,
menujumu. Puah. Puah.

Kembali anakku, kembali
Anakku sembunyi bundamu mencari

Puah. Antara langit putih berjenjang naik bumi hitam
bertangga turun payung biru kuncup kembang mengapung,
di mana kau singgahkan makna peradaban penghujung?
Antara gelisah burung kehilangan dahan akar pucuk bilah
hendak tinggi menyapu buih laut ke tepi ke tengah,
di mana kau beri ini hati pasrah? Di mana? Di mana?
Puah. Puah.

Ohami. Ohami
Ohami Ohami

Inilah malapetaka. Dalam kamar gelap pengap tanpa
pintu dan jendela, tiba-tiba waktu bagai hantu yang
tiada menjadi ada. Ada anjing mengejar mangsa jerit
melengking. Ada wanita diperkosa jerit
melengking. Ada hamba dibentak ditembak jerit melengking.
Dan pada suatu saat, mereka menghajarnya, menyeretnya
Dengan ganas ke tiang gantungan. Duh, betapa perihnya,
ketika mereka menutup matanya, menjerat lehernya dan
bersiap-siap menarik urat nafasnya, “Ohami, adalah serdadu
kuda diburu, ekornya benalu melilit tali teraju. Tarik !”

Anak langitku belahan bumi
Yang muaranya hitam putih
Dalam gelombang gelembung buih

Puah. Wahai angin laut angin gunung semesta yang agung
Atas segala kuasamu segala apa diantaranyamenjadi sempurna
Dimana kau singgahkan makna peradaban penghujung? Di mana
kau beri ini hati pasrah? Wahai, duli sembah harap,
terimalah wewangian zikir dan asap dupa yang menggumpal-
gumpal melingkar-lingkar menujumu, menujumu. Puah. Puah.

Anak langitku titisan matahari
Yang cahayanya kunang-kunang
Dalam pandang sebatas bayang

Inilah kesaksian anak negeri yang mati abadi dalam hidup
tak berpri. Sebab mereka kemudi adili keadilan bukan
dengan kebenaran di atas kebenaran. Sebab mereka kendali
bijaki kebijakan bukan dengan kebenaran di atas kebenaran
inilah kesaksian anak negeri yang tanpa batas perkara
berani menatap bahaya menantang segala nista

Sebab kami bangsa merdeka merdekakan bangsa dengan
kebenaran di atas kebenaran. Sebab kami bangsa budaya
budayakan bangsa dengan kebenaran di atas kebenaran
“Tuhan, Ohami adalah serumpun bunga matahari menghiasi
halaman rumah yang hari ini mati karena musim kemarau.”

Subhanallah Wabihamdihi
Subhanalllah Wabihamdihi



Sajak M. Raudah Jambak

SUNGAI PENGEMIS
1.
Seorang pengemis duduk di pusat kota
menggenggam terompet yang dibuang
oleh pemiliknya. Jalanan mulai sunyi.
Seorang pengemis duduk di simpang kota
meniup terompet yang basah terimbas
air hujan. Suaranya tersekat.
Seorang pengemis duduk di tiang
lampu jalan raya yang mati arusnya,
pengendara satu-satu. Bibirnya membiru.
2.
Pada malam tahun baru ini, para pengemis
mengais rezeki dari sisa terompet yang ditinggalkan
para pejalan kaki. Hujan baru saja reda, meninggalkan
segala sisa.
sepanjang malam pengemis itu menahan
gigil tulang, memungut segala bekas di jalanan.
Pesta baru saja usai, menjejakkan segala mimpi
yang terburai.
Lalu perlahan ia pergi meninggalkan sisa nasib
yang tak sempat dikutip. Di simpang jalan,
lampu merah tak jua padam di antara langkah
yang tertahan
3.
dan perlahan suara malam senyap
meninabobokkan bulan di peraduan.
Suara terompet dan jerit petasan sedari
tadi telah dibungkam.
Menjelang pagi seorang pengemis
membangun kepingan mimpi. Bersama
tumpukan sisa hujan yang perlahan
meninggalkannya di sepanjang selokan
4.
Di antara pagi
Pengemis kecil duduk sendiri
Mendekap sisa hujan
Di dadanya
Sementara waktu terus berpacu
Kendaraan terus melaju
Satu per satu
Pengemis kecil duduk sendiri
menumpukkan sisa nasib
mengumpulkan kepingan mimpi
dalam nyenyak tidurnya
5.
Pulanglah, Dik
Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu
Membawa kepada segala kenistaan
Dan persekongkolan
Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah
Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu
Di kepalamu yang murni
Pulanglah, Dik
Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam
Wajah burammu menjadi senyuman
6.
Pengemis kecil bertubuh dekil
menyanyikan senandung sunyi
lagu dari segala kepedihan
Berhenti di traffic-light
Simpang jalan raya
Kencringan di tangan kanan
Merangkai harapan
Pengemis kecil bertubuh dekil
Menghalau masa lampau
Tentang bulan dan matahari
Terjebak arus pikiran belia
Yang terbang bersama debu
Sepanjang jalan raya
7.
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu rindu
Sisa mati lampu dan deru segala hujan
Entah tanggal yang ke berapa
Zikir mengalir
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu ragu
Pada pilu hati yang kuyu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
8.
Di jalan ini
Pasir menyisir pagi
Menyemai gigil kerikil
Ah, betapa angin mengganggu pintu-pintu
Tak berdaun dalam bangunan pikiran
Pada sudut rumah daun-daun berguguran
Bunga-bunga telahpun melayu
Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan
Di setiap titik peron-peron lengang
Dan daun-daun yang melayang berpeluh
Pada jejak-jejak perjalanan
9.
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengumpulkan sampah
Yang ditinggalkan peradaban kata-kata
Entah muntahan yang ke berapa
Serapah yang ia rasakan
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengutip sampah kata
Pada pilu hati yang kuyu, lugu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
MENYUSURI KOTA KOTA SUNGAI
1.
Menyusuri sungai, ketekketek bersin
Menggeram pada isak gemuruh mesin
riakriaknya menari pada perih segala sedih
rindu muara penawar tubuh segala ringkih
di gemuruh hati yang gaduh ada luka membawa cerita
di sepanjang alirannya ada sesuatu yang belum terbaca
tentang sebuah pemandian putriputri raja yang menari
melintasi perkampungan dan pabrikpabrik yang berdiri
bagai raksasa pada tepiannya, serta sejarah terkubur
yang tersusun sempurna menutupi kubangan lumpur
di bawah kayukayu penyangga dari kidung buaian
ah, apakah dayangdayang tengah menarikan tarian
selamat datang atau sekelebat ibuibu yang tengah mencuci
di depan jamban kayu sepanjang tepian perigi segala sepi
Eit, sepasang camar saling bertatap mesra, di atas sampan
yang melintas pelan. Wajah mereka terlihat kelelahan.
Angin berhembus sangat lamban mengantar ke sebuah kota
yang bernama kenangan setua usia benda-benda purbakala
Sambil meneguk setetes air membawa ingatan tertahan
dari sebuah perjalanan pergi dan kembali sebuah kenangan
sepanjang hari awan merangkak pelan
mengabarkan permulaan salam perjumpaan
2.
Menyusuri sungai, terbayang segala kenang
tongkang menerjang. Berlari kencang garang
Permukaannya membelah memberi jalan Musa
dari kejaran raja Fir'aun yang memendam luka
Pada peta hayalku yang aduh terdaftar ragam cinderamata
Serta hadiah perpisahan upah sebuah pelukan sepanjang kota
Warnanya menggambar sebuah kecemasan juga
rahasia yang belum sempat terpecahkan semesta
laksana kendaraan Musa, lajunya menikam-tikam
terjebak monopoli minyak Fir'aun sepenuh dendam
yang usianya melampaui batas keserakahan
tentang sebuah keimanan dan keyakinan
anak angkat kepada Tuhan yang terpendam nyaman
kerakusan ayah angkat yang ingin melampaui kekuasaan
saat gelombang terbawa pulang. Riaknya yang tenang
begitu meninabobokkan. Di depan terpampang kenang
sebuah kanvas perjalanan yang kita susuri
yang bergoyang kita seolah diajak menari
3.
Menyusuri sungai, pengeruk klutuk pasir menyisir
Laiknya seorang gadis yang menunggu penyair
permukaanya menggelombang sesekali
di tepiannya bocahbocah telanjang menari
Menyusuri sungai, kota-kota seolah menyendiri
Menyusuri sungai, kota-kota seperti sepi
SUARA MENYERUAK DARI DASAR SUNGAI
1.
pada aliran sungai bangkai melintasi bebatu
tak kuharap kau senandungkan debu-debu
pun mungkin ceracau bajaj yang berlari
hiruplah aroma kesumat birahi ini
di hirukpikuk pengendara
atau pengguna jalan raya
2.
disesaki asongan dan gelandang
kau bukanlah pemakaman tanpa kenang
hanya saja kau selalu hembuskan aroma bangkai pada air menggenang
aku haru pada pekat airmu, haru pada senandung lapar zikir terbuang
menarikan sampan sampah bersama goyang riak pelepah
yang menghanyutkan suara-suara dari mulut penuh serapah
3.
dan rauplah cuka
lalulalang aroma
segala pembusukkan
segala pembusukkan
2008
UJUNG PENA SUNGAI TINTA
1.
Sepenuh musim kugali kata dari ujung pena sungai tinta.
Sepanjang musim itu pula kusemai lembar kota,
menusuk--merasuk di rampak tik tak tik tak jarum jam
yang berdetak. Seutuh musim ke musim mewarta dendam
peta sengketa, menceracau bak pemabuk berdiplomasi.
Menguras sumur alkisah dengan segala menu basi,
berakhir suka atau duka. Seluas musim- musim melayarkan
perahu galau, pulau demi pulau, bersama kemudi kecemasan.
Menembus segala musim membebas ruang kuli tinta,
menggali sumur kata-kata pengab rahasia.
dan, di titik penentuan, beragam ujung pena-
musafir, mereguk cinta dari sumur kata-kata.
2.
Setelahnya prosesi sunyi. Kemudian kehadiranmu persis
sekadar kemunculan yang tak beraturan di setiap desis
Menunggumu pun tercipta ritual ujung pena.
sebuah pesta dari segala napas peristiwa
cahaya matahari menghadirkan madu makna
menetes dari mata air jiwa dan para kuli tinta
terus menguras sumur kata pada lembah segala wacana,
menyisir-ranjaunya di setiap titik perhentian langkah pena
Yang tertinggal mungkin tapak-tapak kaki juru bicara,
bertopengkan segala wawancara para dasamuka
Pun lenyapkan segala jejak tapak-tapak para musafir gagak
yang berwajah kuda berbulu serigala. Lesapkan segala gerak
3.
langkah yang mengonak Pada tubuh, peluh mulai terasa
membasuh lesatkan aroma sesak segala muak ke udara.
Lalu orkestra zaman menggumuli musim berkali,
meninabobokkan sepenuh istirah. Lalu sunyi,
lalu sepi, menutup diri. Bibirpun meloncatkan segala
rahasia sumur kata, ladang menggemuruh-hutan belantara
Para pemburu sempat kehilangan panah dan busurnya,
memburu di setiap perhentian kata menggumulinya
untuk kemudian dilahirkan pada cerita
gerbang penghabisan para jagal maupun casanova.
Pada ujung pena kuli tinta menggali sumur kata-kata.
Ada mata air yang terus melimpahkan peristiwa.
4.
Pada limpahan peristiwa, orasi kata menghambur makna.
Sumur kata-kata adalah petanya. Menetapkan warta
Kita pun dapat memahat atau mengukir wajah kita,
mengukur seberapa bersihnya. Di pisau bedah, kata
Juru bicara pun mengukir abadi rasa, membulat harap
pada keyakinan menyimpannya-menumpuk dekap
di etalase kaca bersama sekumpulan perompak yang lupa
membajak, ketika kita membaca rahasia cuaca.
Cermin-cermin retak merupakan sekumpulan arak-arakan
yang melontar, menghunus, menghujat dan meninabobokkan
Yakinku mewarna rindu, bersimpul pena, para kuli tinta
Dengan ujung pena, para kuli tinta menggali sumur kata-kata,
Mewarta segala peristiwa.
Mewarta segala cuaca
2008
DOA SUNGAI KESEPIAN
1.
Di dalam ruang dadaku ada irama degup
yang menarikan jantung dengan irama tertahan.
Mendesah seperti tangkai ranting patah.
Irama itu kadang naik-kadang turun
menembus lorong-lorong di ujung telinga
mengiringi larik terakhir sebelum senandung
yang lesap terbawa angin.
Irama itu berhamburan pada sesak irama
pada degup dada yang menembus lorong
di ujung telinga yang berseberangan. Ada
isak yang mendesak butir embun jatuh
pada lembar waktu dan cucaca.
Lalu suhu udara yang berbeda membawa
irama itu seolah nyanyian nina-bobo yang
akan mengantarkanmu pada alam, alam
yang sulit kau baca.
Dan akhirnya seperti yang telah kau duga
sebelumnya irama itu adalah lagu
dengan irama tembang kenangan
sebagai sebuah salam perpisahan.
2.
Aku tersedak dadaku menafsirkan detak
seluruh irama dari degup yang berbeda
menyatukan irama debar pada tembang
yang hampir tak terbaca
Aku tersedak merindukan lagu sukacita
memenuhi segala rasa bahagia yang pernah
dipenuhi irama dari degup yang tertahan. Dan
aku ingin membisikkan sesuatu, tapi irama
kelumu menghardik harapku,
aku ingin membisikkan ke telingamu, tapi
mulutku begitu kaku.
Aku hilang suara. Aku hilang cahaya.
3.
Tubuhku tak berasa, udara dingin yang kau
kabarkan seperti sekawanan daun
yang gugur ke bumi.
udara dingin itu melahirkan beribu gunung es
di sekujur tubuhku, menutupi rongga pori kulitku
yang pernah mengalirkan ribuan sungai-sungai kecil
tempat para nelayan menebarkan jala untuk menangkap
ikan-ikan kecil yang pernah kau pelihara.
Lalu bongkahan es itu perlahan mencair
Dihancurkan ceracau kemarau yang menghambur
Dari mulutmu. Laut matamu membuncah.
Sungai-sungaimu pecah. Irama lain memainkan
sendiri nadanya dari degup yang lain. Menghantarkan
suara lain ke langit yang lain. Membawa cahaya
yang lain ke negeri yang lain.
Entahlah, aku tak tahu apakah irama yang
lahir dari degupmu adalah doadoa sebagai
penghantar tidur abadiku. Atau doa-doaku
yang menghantarkannya pada degup isak
dari irama kebadian.

M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar Panca Budi, Budi Utomo dan UNIMED